Anda di halaman 1dari 17

JOUNAL READING

EFEK TERAPI TAMBAHAN OKSITOSIN INTRANASAL PADA IDENTIFIKASI PENCIUMAN DAN GEJALA KLINIS PADA SKIZOFRENIA : HASIL DARI STUDI PENGACAKAN KONTROL GANDA SECARA TERTUTUP
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu kedokteran Jiwa RSUD dr Soeroto Ngawi

Diajukan Kepada : dr. Kardimin Sp.Kj Oleh : Ali Rohmad (08711105)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2013

EFEK TERAPI TAMBAHAN OKSITOSIN INTRANASAL PADA IDENTIFIKASI PENCIUMAN DAN GEJALA KLINIS PADA SKIZOFRENIA : HASIL DARI STUDI PENGACAKAN KONTROL GANDA SECARA TERTUTUP

ABSTRAK Latar belakang : defisit identifikasi penciuman telah secara luas dilaporkan pada pasien schizophrenia (SZ) dan berhubungan dengan gejala negatif. Terapi tambahan oksitosin intranasal telah menunjukan perbaikan bebrapa aspek sosial kognitif serta gejala positif dan negatif pada pasien schizoprenia. Mengingat rute pengiriman oksitosin intranasal ke jalur penciuman dan kelainan penciuman potensial endophenotype pada SZ, kita meneliti efek oksitosin intranasal pada identifikasi penciuman serta gejala positif dan negatif pada orang dengan schizoprenia. Metode : individu dengan ganguan schizoprenia dan scizoafektif (n =28;16 rawat jalan, 12 rawat inap) di acak untuk mendapat terapi tambahan oksitosin intranasal 20 Iu dua kali sehari atau plasebo untuk 3 minggu. Hasil : 28 peserta telah selasai di uji klinis. Pelaksanaan identifikasi penciuman secara signifikan membaik pada UPSIT skor total dan subskor untuk bau menyenangkan. Skor UPSIT (F = 5.20, df = 1,23, p =0.032) dan subskor bau menyenangkan (F = 4.56, df =1,23, p = 0.044). pada pasien yang menerima oksitosin dibandingkan dengan plasebo mulai dari awal sampai akhir. Secara global simptomatologi baik gejala positi maupun negatif tidak berkurang oleh oksitosin intranasal. Fakta sebenarnya, gejala keseluruhan baik gejala positif dan negatif membaik pada kelompok

plasebo. Analisis kedua menunjukan oksitosin intranasal menunjukan perbaikan gejala negatif pada kelompok kecil pada pasien rawat inap. Oksitosin intranasal ditoleransi dengan baik selama 3 minggu percobaan. Simpulan : terapi tambahan oksitosin intranasal mungkin memperbaiki identifikasi penciuman, terutama pada item valensi positif. Studi yang lebih besar dibutuhkan untuk membedakan efek oksitosin pada gejala negatif pada SZ.

1. PENDAHULUAN Gejala negatif sebagian besar refakter terhadap pengobatan standar menggunakan antipsikotik generasi pertama maupun berkontribusi meningkatnya penarikan dari sosial dan kedua dan avoliation

(berkurangnya motivasi), serta gangguan funsional dan ketrampilan menjadi karakteristik klinis yang memburuk pada orang skizofrenia (SZ) (Kirkpatrick et al., 2006). Mengingat hal tersebut, telah ada minat yang besar dalam mengembangkan pengobatan untuk memperbaiki gejala negatif dan meningkatkan fungsi sosial pada orang SZ. Baru baru ini, telah dilaporkan dari studi klinis kecil dengan menggunakan oksitosin intranasal berulang sebagai pengobatan tambahan untuk orang dengan SZ. Studi ini telah melaporkan perbaikan gejala positif dan negatif serta perbaikan dibeberapa bidang pengolahan emosional dan pengolahan kognitif (Bakharev et al., 1984; Feifel et al, 2010; Pedersen et al, 2011; Wacker dan ludwig, 2012). Tersedia banyak literatur tentang studi pada hewan dan manusia yang menunjukan bawa oksitosin dapat meningkatkan berbagai perilaku sosial termasuk ikatan pasangan, perilaku ibu, memori emosional, kepercayaan dan pendekatan sosial (MayerLindenberg et al., 2011). Gejala negatif adalah konsep multi dimensi, dengan dukungan yang secara konsisten terhadapa 2 faktor yang mencerminkan disatu sisi,

motivasi-kesenangan seperti ukuran asosialisasi, avoliation dan anhedonia, dan disisi lain, berkurangnya ekspresi emosional seperti ukuran dari alogia dan afek yang tumpul (Blanchard dan Cohen, 2006). Secara keseluruhan, mengingat literatur pada hewan dan menusia tentang dampak oksitosisn pada afiliasi sosial, pendekatan sosial dan ikatan pasangan, efek oksitosin jika ada mungkin diharapkan menjadi lebih jelas, khususnya dalam bidang motivasi dan kesenangan. Dalam literatur pada hewan, afiliasi sosial dan ikatan pasangan di mediasi melalui sinyal sensorik penciuman kepada struktur limbik dimana oksitosin dan dopamin berinteraksi untuk memfasilitasi pembelajaran dan penyimpanan penciuman (Young dan Wang, 2004). Reseptor oksitosin

sangat diekspresikan pada neuron penciuman serta struktur limbik (Loup et al., 1991) dan review terakhir menunjukan bahwa oksitosin memodulasi pengakuan sosial dan perilaku pada tingkat penciuman (Wacker dan Ludwig, 2012). Pada orang dengan SZ, disfungsi dalam proses penciuman, termasuk identifikasi (Stedman dan Clair, 1998), diskriminasi (Dunn dan Weller, 1989), memori (Wu et al., 1993) dan sensitivitas ambang batak deteksi untuk ambang bau (Turetsky dan Moberg, 2009) telah dijelaskan dengan baik. Pada kasus ini. Defisit dalam identifikasi bau paling sering digambarkan pada orang dengan SZ (Cascella et al., 2007). Menggunakan University of Pennsylvania Smell identification Test (UPSIT) (Doty et al., 1984), Moberg et al., (1999) melaporkan bahwa sampai 80% orang dengan SZ memiliki defisit dalam mengidentifikasikan bau dibandingkan dengan 15% pada populasi umu. Defisit yang hadir pada gangguan awal dan berkolerasi dengan durasi gangguan (Moberg et al., 1997); Ugur et al., 2005) selain dari efek penuaan (Kopala et al., 1995). Temuan selanjutnya menunjukan bahwa defisit dalam mengidentifikasikan bau mungkin merupakan suatu endophenotype untuk SZ bahwa dalam identifikasi bau tidak berhubungan dengan jenis kelamin, atau ukuran suatu keadaan seperti penggunaan obat-obatan, merokok, halusinasi penciuman, atau gejala klinis pada awal penyakit (Kopala et al., 1989; Kopala et al., 1994; Brewer et al., 2001, 2003; Malaspina dan Coleman, 2003;Corcoran et al., 2005; Rupp et

al., 2005; Roalf et al., 2006).

Selain itu, bebrapa penelitian telah

menunjukan bahwa pemuda yang beresiko menderita psikosis memiliki disfungsi penciuman (Brewer et al., 2003; Keshavan et al., 2009; Woodberry et al., 2010; Kamath et al., 2011) dan defisit tersebut memprediksikan perkembangan ke arah psikosis (Brewer et al., 2003; Corcoran et al., 2005). Selanjutnya, studi kembar monozigot menyumbang terhadap SZ dan pada tingkat kerabat pertama dan kedua SZ (Kopala et al., 2001; Roalf et al., 2006; Kamath et al, 2011) juga menemukan defisit dalam identifikasi bau pada kerabat yang terpengaruh SZ. Terakhir, defisit identifikasi bau tidak disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas penciuman (Brewer et al., 2001; Rupp et al., 2005) Yang terpenting, bebrapa penelitian telah melaporkan hubungan antara disfungsi identifikasi bau dan gejala negatif pada SZ (Brewer et al., 1996; Stedman dan Clair, 1998; Brewer et al., 2001; Coleman et al, 2002; Malaspina dan Coleman, 2003; Corcoran et al., 2005; Baik et al., 2006; Moberg et al., 2006). Secara khusus, sindrom defisit (Carpenter et al., 1998) telah ditemukan berhubungan dengan kinerja yang buruk dari UPSIT (Malaspina et al., 2002; Malaspina dan Coleman, 2003; Moberg et al., 2006; Strauss et al., 2010). Khususnya subskala pada Scale for assessment of Negative Symptoms (SANS) (Buchanan et al, 2007) seperti afek tumpul, apatis dan anhedonia telah ditemukan dengan prediksi skor rendah pada UPSIT (Ishizuka et al., 2010). Berhubungan dengan anhedonia, orang-orang dengan SZ, dibandingkan dengan kontrol memiliki gangguan kinerja pada UPSIT spesifik untuk bau positif dan valensi netral (Kamath et al., 2011) dan penelian bau yang menyenangkan juga berkurang (Crespo-Facorro et al., 2001; Moberg dan Turetsky, 2003; Plailly et al, 2006). Mengingat potensi oksitosin sebagai pengobatan untuk gangguan afiliasi sosial sperti SZ dan autisme (Young dan Wang, 2004; Hammock dan Young, 2006; Meyer-Lindenberg et al, 20110, dan rute pengiriman oksitosin intranasal melalui jalur penciuman, kelainan potensial endophenotype belakangan ini pada SZ, kami meneliti efek oksitosin intranasal pada

identifikasi penciuman dengan menggunakan UPSIT pada double blind controlled randomized selama 3 minggu uji klinis. Kami juga menyelidiki perubahan gejala positif dan negatif secara bersamaan, serta adanya hubungan dengan kinerja UOSIT sebagai konsekuensi dari pemberian oksitosin. 2. SUBYEK dan METODE 2.1 PESERTA Antara januari 2010 sampai februari 2012 kita melakukan pengacakan uji klinis ganda tertutup selama 3 minggu dengan pengobatan tambahan oksitosin intranasal vs plasebo pada orang dengan SZ. Yang termasuk dalam studi ini telah sesuai dengan kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan skizofrenia dan skizoafektif yang dikonfirmasikan dengan strukturwawancara klinis untuk ganguan DSM-IV aksis I. Versi klinis (SCID-IV); (First dan S.R.G.M.a.W.J. 2002) dimana lelaki dan perempuan antara 18 sampai 60 tahun yang stabil mendapatkan pengobatan antipsikosis ( tidak mengalami perubahan pengobatan selama 6 minggu sebelumnya dan tidak berubah dosisnya dalam 30 hari terakhir) yang rawat inap dan rawat jalan dan yang mampu melewati evaluation to Sign Consent (ESC). (Derenzo et al., 1998). Tidak ada perubahan pengobatan antipsikosis maupun dosis selama 3 minggu percobaan. 2.2 DOSIS PENGOBATAN DAN PENGACAKAN Masing-masing peserta di instruksikan untuk mendapatkan 20IU intranasal oksitosin atau plasebo dua kali sehari. Masingmasing 20 IU dosis oksitosin terbagi dalam 5 kali semprot, yang masing-masing mengandung 4 IU oksitosin. Subyek di acak pada oksitosin dan plasebo berdasarkan rawat inap dan status merokok. Semua pasien telah pulang 2 minggu setalah periode stabil sebelum pengacakan pada 3 minggu studi.

2.3 IDENTIFIKASI PENCIUMAN Kemampuan identifikasi penciuman di nilai menggunakan University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT; Doty et al.,1984) pada awal dan akhir terapi. UPSIT adalah standar pengukuran yang memerlukan identifikasi 40 bau mikroenkapsulasi umum dengan memilih salah satu dari empat jawaban pilihan ganda yang terdiri dari berbagai nama bau setelah pemberian birhinal. Kami juga menghitung valensi spesifik skor UPSIT berdasarkan penelitian yang diterbitkan yang lainnya dengan menggunakan UPSIT pada skizofrenia (strauss et al., 2010; Kamath et al., 2011). 40 aroma dibagi menjadi menyenangkan, netral dan tidak menyenangkan dengan mengguanakan peringkat kenikmatan dari UPSIT (Doty et al., 19840; 16 menyenangkan, 15 netral dan 9 tidak menyenangkan. 2.4 PENILAIAN GEJALA The Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) skor total (18 item, masing-masing skornya 1-7) (Overall dan Gorham, 1962; Doty et al., 1984) menila psikopatologi umum. 4 item BPRS gejala positif mengukur perubahan dalam gejala positif. Modifkasi SANS (Buchanan et al., 2007) skor total diukur dari perubahan gejala negatif. Rata- rata dari SANS avoliasi dan anhedonia diukur untuk menguji dimensi motivasi-kesenangan dari gejala negatif yang telah ditemukan untuk dapat dipisakan dari berkurangnya ekspresi emosional(afek yang terbatas dan alogia) (Blanchard dan Cohen, 2006). The Clinic global impression (CGI) keparahan penyakit diukur dari perubahan seluruhnya (Guy, 1976). BPRS, SANS dan CGI diperoleh dari awal, minggu pertama dan setelah pengoabatan selesai. Koefesieb korelasi dari instrumen ini berkisar 0,76-0,90. Semua penilai buta terhadap pengobatan. Informasi dari efek samping dan uji laboraturium dan hasil disediakan dalam bahan tambahan.

2.5 ANALISIS DATA Sebuah model campuran untuk diulangi langkah-langakh digunakan untuk membandingkan perubahan antara kelompok perlakuan untuk skor gejala dan untuk total skor UPSIT. Model campuan digunakan untuk mengontrol umur dan nilai dasar : hasil = variabel awal hasil primer + usia=+kelompok perlakuan+waktu+waktu x pengobatan. Bau Menyenangkan,

netral dan tidak menyenangkandiperiksa secara terpisah. Koefesien Pearsons korelasi digunakan untuk memeriksa hubungan antara perubahan gejala dan permorfa UPSIT. Untuk pengukuran gejala (BPRS, SANS) kita periksa status rawat inapnya dalam analisis eksplorasi dan menemukan pengobatan yang signifikan x status rawat inap interaksi total SANS dan dimensi motivasi SANS dan kesenangan. Dengan demikian, analisis post hoc meneliti efek independen oksitosin pada pasien rawat inap dan rawat jalam. Untuk informasi tambahan pada dta analisi, lihat informasi tambahan. 3. HASIL Terdapat 28 peserta pengacakan terapi tambahan semprot hidung oksitosin (n = 13) maupun plasebo (n= 15) untuk studi 3 minggu (lihat gambar 1 untuk alur studi). Umur dimasukkan sebagai kovariat dalam semua analisis karena usia rata-rata lebih tua pada kelompok oksitosin (44,7 11,7 vs 35,1 8,2 tahun). Tabel 1 menunjukkan variabel dasar demografi dan klinis untuk kedua kelompok.

Gbr 1. Diagram alur studi

3.1 PERUBAHAN GEJALA Tabel 3 menunjukkan perubahan gejala dari awal sampai kahir pada kelompok perlakuan untuk BPRS, SANS dan CGI. Untuk total BPRS, terdapat pengobatan yang signifikan x

interaksi waktu yang menguntungkan plasebo selama studi dalam mengulangi pengukuran analisis ( F = 14,19, df = 1,26, p = 0,0009) . berkaitan dengan total skor SANS terdapat interaksi

pengobatan x waktu untuk SANS skor total (F = 2, df = 1,26, p = 0,17, efek ukuran d = 0,01).

Namun pada analisis eksplorasi dari penetapan

pengobatan,

terdapat kelompok perlakuan x penetapan interaksi (F= 5,51, df = 1,22, p = 0,028) menguntungkan penetapan oksitosin dalam rawat inap. Oleh karena itu , pada minggu ke 3, terdapat perbedaan yang bermakna antara dasar demografi dan informasi klinis kelompok perlakuan untuk rawat inap rerata total skor SANSA ; oksitosin = 25,57,2, plasebo = 38,7 7,4, perbedaan = -8.0 3.4, t = -2,3, df = 33,8, p = 0,025. Pada minggu ke-3 tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan untuk rerata skor total rerata SANS : oksitosin = 34.86 5.64, plasebo = 33.008,93, perbedaan = 4.8 3.0, t = 1.6, df = 33,7, p = 0,11. Gambar 2 menunjukkan skor total dan motivasi menyenangkan SANS oleh pengobatan dan pengaturan. SANS

subskor terahir juga menujukkan perbaikan signifikan pada kelompok oksitosin pada pasien rawat inap ( F= 4.65, df = 1,22, p = 0.042). dampak ukuran untuk perbaikan total SANS pada kelompok rawat inap adalah d = 0.85 dan untuk ukuran kesenangan dan motivasi d = 0.74.

3.2 IDENTIFIKASI BAU Tabel 2 menunjukan dasar dan akhir total skoor UPSIT dan subskor untuk kesenangan, netral dan tidak menyenangkan. Terdapat signifikan kelompok perlakuan x interaksi waktu seperti terdapat perbaikan yang signifikan skor total UPSIT pada kelompok oksitosin terhadap plasebo dari awal sampai akhir ( F = 5.20, df = 1,23, p = 0,032). Juga terdaoat kelompok perlakuan x interaksi waktu untuk bau menyenangkan subskor UPSIT mengalami perbaikan pada kelompok oksitosin (F = 4.56, df =

1,23, p = 0,044) dengan tidak terdapat efek signifikan pengobatan pada bau netral dan tidak menyenangkan. Efek ukuran untk perbedaan antar kelompok dalam skor total dan skor bau yang menyenangkan UPSIT masing-masing adalah d+ 0,32 dan d = 0,52/ tidal terdapat interaksi antara rawat inap dan rawat jalan untuk UPSIT. Kami tidak menemukan hubungan yang signifikan antara perubahan dalam skor UPSIT dan perubahan dalam skor gejala untuk total atau rawat inap atau kelompok rawat jalan.

4. DISKUSI Secara ringkas, penunjang intranasal oksitosin (20 IU BID) yang diberikan selama lebih dari 3 minggu secara signifikan meningkatkan identifikasi bau pada UPSIT dalam penderita skizofrenia berhubungan dengan plasebo dan peningkatan ini ini sebagian besar didorong oleh peningkatan dalam pengidentifikasian bau yang menyenangkan. Symptomatology global telah meningkat secara signifikan pada kelompok, sedangkan analisis sekunder menunjukkan perbaikan pada SANS untuk intranasal oksitosin tetapi hanya pada kelompok pasien rawat inap. Defisit kinerja pada UPSIT di SZ telah terbukti berkaitan dengan gejala negatif (Brewer et al, 1996;. Stedman dan Clair, 1998;

Brewer et al, 2001;. Malaspina dan Coleman, 2003; Corcoran et al, 2005;. Good et al, 2006;. Moberg et al, 2006;. Ishizuka et al,. 2010) dan menjadi valensi-dependen. Kamath et al. (2011d) melaporkan bahwa akurasi identifikasi bau pada UPSIT pada orang dengan pasien SZ terganggu karena kesalahan dalam mengidentifikasi bau yang menyenangkan dan bau yang netral dibandingkan dengan kontrol, dengan tidak ada kelompok pembeda di dalam kemampuan untuk mengidentifikasi bau yang tidak menyenangkan secara benar. Pastinya, akurasi untuk bau yang menyenangkan pada UPSIT di Kamath et al. Awal studi kita adalah hampir mendekati sama, masing-masing 76 dan 75%. Kamath et al. (2011) juga melaporkan korelasi positif antara identifikasi bau yang menyenangkan dan tingkat SZ subjektif

subskala SANS anhedonia. Orang dengan

pengalaman atau "hedonicity" dari bau yang menyenangkan dan juga yang kurang menyenangkan dibandingkan dengan kontrol

subyek dengan tidak ada nya perbedaan dalam peringkat hedonicity untuk bau yang tidak menyenangkan (Crespo-Facorro et al, 2001;. Moberg dan Turetsky,2003; Plailly et al, 2006).. Secara bersamaan, temuan ini telah menyebabkan spekulasi bahwa kelainan pada sirkuit saraf untuk pemrosesan bau di SZ mungkin tumpang tindih dengan kelainan yang mendasari anhedonia. Oksitosin, kami melaporkan di sini, perbaikan kinerja pada UPSIT dalam cara valensi-bergantung, yaitu, khusus untuk bau yang menyenangkan. Di penelitian terhadap manusia dengan populasi

menggunakan oksitosin intranasal, sebagian besar di

kontrol kesehatan, ada efek dipenden yang dijelaskan secara runtut untuk oksitosin lebih dari beberapa bidang, menunjukkan beberapa bukti untuk oksitosin memiliki efek yang lebih kuat pada persepsi rangsangan positif di kisaran jenis stimulus misalnya, wajah (Guastella dan MacLeod, 2012). Pada orang dengan skizofrenia dosis tunggal dari intranasal oksitosin menunjukkan perbaikan pengakuan emosi sama untuk positif dan ekspresi wajah valenced

negatif (Averbeck et al., 2011). Studi yg baru baru ini menggunakan oksitosin intranasal penunjang selama beberapa minggu di SZ perbaikan laporan daya ingat verbal (Feifel et al., 2012), serta gejala positif dan negatif (Feifel et al, 2010;. Pedersen et al,.2011). Kami adalah yang pertama memeriksa identifikasi bau dengan intranasal oksitosin dan melaporkan efek dipenden konteks dalam bidang ini pada orang dengan SZ, secara selektif perbaikiam deficit dalam identifikasi penciuman pada UPSIT ditemukan oleh Kamath et al. (2011). Hal ini, tentu saja,belum jelas bagaimana perbaikan ini dalam identifikasi penciuman secara keseluruhan dan peningkatan identifikasi bau yang menyenangkan berkaitan dengan gejala perbaikan (gejala positif dan negatif) yang dilihat dalam studi kecil terkini menggunakan penunjang intranasal oksitosin dalam SZ. Secara umum, intranasal oksitosin belum diteliti berkenanan dengan pemrosesan bau pada manusia, meskipun pada sebagian tulisan tubuh mengenai peran oksitosin (dan vasopressin) pada pengolahan bau sosial pada model hewan (Wacker dan Ludwig, 2012), meskipun terdapat perbedaan spesies yang mungkin membuat proses penciuman kurang penting dalam interaksi sosial pada manusia. Kedekatan rute pengiriman penciuman pada jalur penciuman, serta diketahui ekspresi reseptor oksitosin pada neuron penciuman, di hipotalamus serta dalam frontal, korteks temporal dan striatum (Loup et al., 1991), daerah diketahui terlibat dalam identifikasi bau (Kjelvik et al., 2012) dan menjadi disfungsional pada SZ (Nguyen et al., 2010), membutuhkan penyelidikan lebih lanjut dari obat ini pada proses penciuman pada populasi ini. Kami tidak menemukan bahwa penunjang intranasal oksitosin memperbaiki gejala negatif daripada dengan plasebo pada contoh keseluruhan seperti yang ditemukan orang (Feifel et al,

2010;.. Pedersen et al, 2011). Kita telah melakukannya, namun, menemukanperbaikan yang signifikan dalam total subskor gejala negatif dan motivasi-kesenangan SANS pada kelompok perlakuan

dengan oksitosin pada pasien rawat inap (N = 6), tanpa adanya efek utama pengobatan terhadap gejala negatif. Lingkungan pasien rawat inap memberikan lebih banyak kesempatan untuk interaksi sosial dan dalam pengaturan ini kepatuhan terhadap pengobatan dijamin. Bahwa efek obat yang dibatasi dengan konteks sosial yang

diperkaya adalah sebuah temuan yang juga telah dilaporkan dalam penelitian lain menggunakan oksitosin intranasal pada kontrol sehat (Heinrichs et al, 2003;.. Kosfeld et al, 2005). Meskipun defisit kinerja pada UPSIT telah terbukti dihubungkan dengan gejala negatif, kami menemukan tidak ada korelasi keseluruhan pada awal studi, baik untuk kelompok terapi, antara perubahan gejala negatif dan perubahan total skor UPSIT atau perubahan subscore. Namun, penelitian percobaan ini mungkin tidak memiliki kekuatan untuk memberikan bukti yang meyakinkan untuk atau melawan gagasan bahwa perubahan SANS dan UPSIT berkorelasi sebagai fungsi daripemberian oksitosin. Sebuah studi yang lebih besar diperlukan untuk mengidentifikasi secara tepat apakah memang ada hubungannya. Penggunaan oksitosin digunakan dalam subkelompok dengan gangguan penciuman yang signifikan mungkin ideal untuk mempelajari hubungan perbaikangejala seperti gejala negatif. Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian kami. Pertama, dosis yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah dari peneliti terkini lain yg di publikasikan dengan menggunakan 80 IU (Feifel et al., 2010) dan 48 IU (Pedersen et al.,2011). Hal yang menarik, bahwa untuk seluruh sampel (n = 28), pengaruh terbesar dari dosis yang digunakan dalam studi kami adalah pada penciuman yang diperantarai oleh struktur saraf yang paling dekat untuk pengiriman obat, epitel penciuman dan korteks penciuman primer. Menggunakan dosis yang lebih besar dari oksitosin, bisa berdampak gajala negatif dan ataupositif, yang dimediasi oleh lebih jauh, komplek neurosirkuit. Kedua, dalam studi percobaan kami tidak merekrut

tingkat tinggi paranoia pada awal studi seperti yang dilakukan dua studi lain pada penunjang intranasal oksitosin dalam perbaikan gejala positif (Feifel et al, 2010; Pedersen et al., 2011). Ketiga, sementara dasar fungsi kognitif tidak berbeda antara kedua kelompok, kami tidak yakin jika pengukuran neurokognitif dipengaruhi oleh oksitosin dalam penelitian ini. Terakhir, penelitian kami hanya 3 minggu intervensi dan gejala negatif sering memakan waktu lebih lama untuk perbaikan (Fleischhacker, 2000). Studi demikian dalam jangka panjang dengan penunjang intranasal oksitosin memungkinkan untuk perbaikan lebih domain gejala ini. Kesimpulannya, penelitian percobaan ini memberikan bukti bahwa intranasal oksitosin, 20 mg Iu dua kali sehari, diberikan kepada orang dengan skizofrenia baik yang ditoleransi dan berhubungan dengan perbaikan identifikasi penciuman terutama

untuk bau yang menyenangkan. Ini juga mungkin efektif untuk domain gejala negatif yang sulit untuk diobati: avolision dan anhedonia, khususnya dalam konteks dukungan sosial. Data ini menyarankan bahwa penunjang intranasal oksitosin menjamin studi lebih lanjut untuk berdampak pada gejala dan penciuman pada orang dengan skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai