Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN KASUS BANGSAL REAKSI KUSTA

Diajukan kepada: Dr. Dwi Retno Adi Winarni, Sp.KK(K)

Disusun oleh: Subhan Yudihart (KU/11334) Tin Puspadewi B K (KU/11671) Carolina (KU/11546)

REAKSI KUSTA

PENDAHULUAN Kusta atau lepra merupakan penyakit yang memiliki dampak pada semua aspek kehidupan pasiennya. Reaksi penyakit yang dikenal sebagai Reaksi Kusta ini, merupakan salah satu konsekuensi yang paling buruk pada penderita kusta. Namun seiring dengan perkembangan jaman,

reaksi kusta telah banyak dipelajari dan bila dapat terdeteksi pada saat yang tepat, reaksi ini dapat dicegah. Reaksi kusta sendiri adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta dapat muncul pada semua pasien Paucibaciller (PB) dan Multibaciller (MB), terutama pada pasien dalam masa pengobatan. Reaksi kusta dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni: Reaksi reversal / upgrading atau dikenal sebagai reaksi tipe 1 ENL (eritema nodusum leprosum)atau reaksi tipe 2 Reaksi tipe 1, umumnya terjadi pada kusta tipe BT, BB, dan BL. Pada reaksi tipe ini sistem imunologis seluler memiliki peranan yang penting. Sedangkan pada reaksi tipe 2 sistem imunologis humoral memiliki peranan yang lebih dominan. Selain itu, reaksi tipe 2 terjadi pada kasus kusta tipe BL dan LL. Angka kejadian kusta di Indonesia 1 per 10.000 penduduk. Sedangkan angka kejadian reaksi kusta tipe 1 bervariasi antar 8-33% dari seluruh penderita kusta. Dan angka kejadian reaksi tipe 1 pada penderita BT sendiri adalah 20-50%. Angka kejadian reaksi tipe 2 pada penderita BL dan LL adalah 24%.

DESKRIPSI KASUS Seorang laki-laki berusia 27 tahun, dengan pekerjaan buruh asal Sewon, Bantul, datang ke RSUP Dr. Sardjito dengan keluhan utama bentol-bentol merah nyeri di tungkai atas dan bawah. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk RS. Gejala bentol merah tersebut disertai demam, mual, muntah, dan pasien merasa sangat lemah. Pasien sudah tegak didiagnosis lepra oleh Puskesmas, dan sedang dalam terapi lepra bulan ke-13. Keluhan yang dirasakan tersebut pertama kali muncul saat pasien dalam pengobatan lepra bulan ke-8, namun dirasakan hilang timbul. Hingga saat ini keluhan serupa telah dirasakan 2 kali. Pada keluarga yang serumah tidak didapatkan penyakit serupa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien lemah, dengan suhu tubuh 38C, nadi 80x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, dan respirasi 18x/menit. Pada pemeriksaan dermatologi didapatkan pada kedua lengan tampak nodul eritema multiple, sebagian confluence; pada kedua punggung kaki dan tungkai bawah tampak patch hipopigmentasi, soliter, berbatas tegas, berbentuk oval, dengan ukuran 2x1 cm. Pada pemeriksaan neurologis, terdapat pembesaran pada nervus peroneus komunis dan nervus auricularis magnus. Sedangkan pada nervus ulnaris dan nervus tibialis posterior tidak didapatkan adanya pembesaran. Fungsi motorik dalam batas normal. Sensibilitas mengalami penurunan pada lesi di kaki. Pasien ini didiagnosis sebagai Morbus Hansen (MH) multibaciler (MB) RLD13, dengan Eritema Nodosum Leprosum (ENL), dan cacat derajat 0. Pasien ini diterapi dengan infuse NaCl 20 tpm, RLD13, Prednison 40mg/hari, Neurodex 1x1 tab, Plantacid syrup 3x2 cth, Paracetamol 3x500mg jika perlu.

REAKSI KUSTA Reaksi kusta adalah episode akut dari penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di kulit. Adapun
3

patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Reaksi kusta terbagi atas 2; reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading dan reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL). Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM, IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula. Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Berbeda dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe

lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah luas. Jadi

kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular) sedangkan reversal tanpa nodus (reaksi non-nodular).

Pengobatan ENL Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat penderita dapat menjalani rawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus. Obat lain yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik, jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantug pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan reaksi reversal Perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-

cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomide tidak efektif terhadap reaksi reversal.

REFERENSI Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates: Jakarta. Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2. EGC: Jakarta. Wollf, Klaus, Richard Allen Johnson. 2009. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology sixth edition. Mc Graw Hill: New York. Jacob, Jesse T, Phyllis Kozarsky, Roberta Dismukes, Vicky Bynoe, Lindsay Margoles, Michael Leonard, Ildefonso Tellez, Carlos FrancoParedes. 2008. Short Report: Five-year Experiece with Type 1 and Type 2 Reactions in Hansen Disease at US Travel Clinic.

Anda mungkin juga menyukai