Anda di halaman 1dari 6

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Infeksi merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas

masyarakat di seluruh dunia. Infeksi disebabkan oleh organisme patogen, baik virus, parasit, jamur maupun bakteri. Infeksi dapat terjadi ketika imunitas menurun, sanitasi lingkungan yang buruk dan penyakit pendahulu (Price & Wilson, 2006). Antara tahun 1980 dan 1996, kematian karena penyakit infeksi di Amerika Serikat meningkat menjadi 64% dari tahun 1940 (Braunwald et all., 2001). Demikian juga di negara berkembang seperti di Indonesia, penyakit infeksi merupakan masalah besar yang harus dihadapi. Sanitasi lingkungan menjadi peringkat teratas penyebab terjadinya penyakit infeksi (Sudoyo et all., 2007). Menurut Jawets et al. (2006), Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab penyakit infeksi peringkat keempat di Indonesia dengan presentasi sebesar 5,71% dari total infeksi yang disebabkan oleh bakteri . Demam tifoid merupakan salah satu jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella sp. yang banyak ditemukan di Indonesia, baik pada dewasa maupun pada anak ( Hadinegoro, 1999). Pada tanggal 27 September 2005 sampai dengan 11 Januari 2007 WHO mencatat sekitar 42.564 orang menderita tifoid dan 214 orang meninggal. Penyakit ini biasanya menyerang anak-anak usia prasekolah maupun sekolah akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga menyerang orang dewasa (Robert, 2007). Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini masih termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan

dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 per 10.000 penduduk dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 38,5% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di setiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens yang terjadi berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (Sudoyo et all., 2007; Widodo, 2007). Beberapa tahun terakhir Salmonella sp. menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang biasa digunakan (Setiabudy, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Triatmodjo dan Oktarina (1997) di Jakarta menunjukkan Salmonella sp. memperlihatkan gejala multi resisten terhadap empat jenis antibiotik secara in vitro yakni ampisilin, kanamisin, tetrasiklin dan kotrimoksazol sedangkan di Palembang resisten terhadap kotrimoksazol. Pada penelitian lain di beberapa negara menunjukkan Salmonella sp. mengalami Multi Drug Resistance (MDR) terhadap dua atau lebih antibiotik yang biasa digunakan ( Musnelina et all., 2004). Karena banyaknya kasus resistensi terhadap antibiotik, kasus infeksi sering berakhir dengan prognosis yang buruk, misalnya peningkatan angka kematian pasien, pemanjangan waktu perawatan di rumah sakit, perubahan menjadi keadaan yang kronis serta perlunya tindakan bedah dan tindakan medis yang lainnya (Aloush et all., 2006). Sampai saat ini obat yang digunakan sebagai standar untuk penanganan demam tifoid adalah golongan kloramfenikol, kotrimoksazol, tiamfenikol dan amoksilin (FK UI, 2007). Menurut Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2007), kloramfenikol memiliki efek

samping yaitu depresi sumsum tulang sehingga menyebabkan terjadinya pansitopenia dan jika dikonsumsi oleh bayi akan menyebabkan Gray Baby Syndrome. Menurut penelitian yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung (2010), dari 105 isolat yang diberikan antibiotik kloramfenikol, 25% isolat mengalami resisten terhadap kloramfenikol. Menurut data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2010, kloramfenikol masih digunakan sebagai obat standar untuk penanganan demam tifoid walaupun pada kenyataannya telah banyak dilaporkan kasus mengenai resistensi terhadap kloramfenikol. Salah satu antibiotik yang direkomendasikan sebagai alternatif terapi demam tifoid adalah kelompok fluorokuinolon yang mengurangi angka kejadian relaps dan mempercepat penurunan suhu tubuh, namun belum tersedia obat dari kelompok ini untuk anak anak dan remaja yang bebas efek samping. Dari hasil pemeriksaan secara in vitro maupun in vivo, obat sefalosporin generasi ketiga, sefiksim dan seftriakson juga digunakan sebagai salah satu alternatif terapi untuk demam tifoid dan aman digunakan untuk anak karena efek samping yang ringan namun harganya sering di atas daya beli masyarakat sosioekonomi rendah (Katzung, 2006; FK UI, 2007). Sehubungan dengan mahalnya biaya terapi demam tifoid dan timbulnya banyak resistensi antibiotik terhadap S. typhi maka perlu dikembangkan suatu inovasi baru mengenai pemanfaatan tanaman sebagai antibiotik. Saat ini tanaman obat menjadi salah satu alternatif obat yang dipilih oleh masyarakat luas. Hal ini karena tanaman obat tidak memiliki efek samping yang besar bila dibandingkan dengan obat modern yang terbuat dari bahan kimia sintetis. Selain itu tanaman obat pun semakin populer dengan makin meluasnya informasi dan penanganan medis secara tradisional yang memanfaatkan tanaman sebagai obat. Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan adalah daun binahong. Daun binahong yang biasanya kita jumpai sebagai tanaman hias dan tanaman liar kini dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Raina, 2011). Dari penelitian yang dilakukan oleh Raina (2011) telah dibuktikan bahwa daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) mempunyai efek antibakteri

terhadap Gram positif Bacillis pumilus dan Bacillus cereus dan terhadap Gram negatif Enterobacter cloacae, Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aerogenosa. Menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Saeed dan Tariq (2005), daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dapat digunakan sebagai terapi untuk asam urat, rematik, luka memar, diabetes dan pencegahan stroke. Banyak sumber mengatakan bahwa binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) berasal dari Amerika Selatan, Cina bahkan Korea. Padahal di Indonesia, tumbuhan menjalar yang dikenal dengan nama gendola ini sudah ada. Tanaman binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) tumbuh baik di daerah tropis dan sub-tropis, di dataran rendah maupun dataran tinggi dalam lingkungan yang dingin dan lembab. Di Indonesia, binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) banyak tumbuh di daerah Jawa, Sumatra dan Kalimantan didukung dengan iklim negara Indonesia yang bersifat tropis (Balai Penelitian Rempah dan Obat, 2010). Daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) mengandung banyak zat aktif, diantaranya adalah saponin, alkaloid, polifenol, asam askorbat, flavonoid, nitrit oksida, minyak atsiri dan asam oleanolik. Salah satu kandungan penting dalam daun binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) adalah polifenol yang merupakan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yang didominasi oleh katekin yang bersifat antiinflamasi, antimutagenik dan antipenggumpalan. Selain itu polifenol memiliki aktivitas antibakteri terbesar dan antivirus. Kandungan lain yang penting adalah adanya senyawa flavonoid yang bekerja dengan mengganggu permeabilitas dinding sel bakteri sehingga dinding sel menjadi pecah (Otake et all., 2006). Dengan adanya aktivitas antibakteri daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap beberapa gram positif Bacillus pumilus dan Bacillus cereus dan terhadap beberapa gram negatif Enterobacter cloacae, Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aerogenosa maka kemungkinan daun binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) juga memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. typhi yang termasuk dalam gram negatif. Sehubungan dengan hal tersebut,

maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai Aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap pertumbuhan S. typhi secara in vitro. 1.2 Rumusan Masalah a. Apakah ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri S. typhi secara in vitro? b. Berapakah KHM (Kadar Hambat Minimum) ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) terhadap pertumbuhan bakteri S. typhi secara in vitro ? 1.3 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) terhadap pertumbuhan bakteri S. typhi secara in vitro. 1.3.2 Tujuan Khusus Mengetahui KHM ekstrak etanol daun binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) terhadap pertumbuhan bakteri S. typhi secara in vitro. 1.4 a. Manfaat Penelitian Bagi peneliti, memperluas pengetahuan mahasiswa mengenai zat- zat antibakteri yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan yang ada di alam. b. Bagi ilmu pengetahuan, memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai bahan antibakteri baru bagi kemajuan di bidang kesehatan pada umumnya dan bidang mikrobiologi pada khususnya atau di bidang lain yang khususnya berhubungan dengan pengaruh ekstrak etanol daun

binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) terhadap pertumbuhan bakteri S. typhi. c. Bagi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat bahwa daun binahong (Anredera cordofolia (Ten.) Steenis) tidak hanya dikenal sebagai tanaman pagar alami tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obatobatan khususnya sebagai bahan antibakteri, tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai kadar toksisitas dan efek sampingnya terhadap tubuh.

Anda mungkin juga menyukai