Anda di halaman 1dari 35

BAB V OTONOMI DAERAH

BAB V OTONOMI DAERAH A. Pendahuluan

Tekad melaksanakan Otonomi Daerah diawali dengan amanat dalam UUD 45 Pasal 18 dan penjelasannya yang antara lain mengamanatkan: a. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil; b. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka sesuai dengan aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang. c. Daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Dengan landasan amanat UUD 45 tersebut ditetapkan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948 yang selanjutnya diperbaharui V/1

sesuai dengan UUDS RI tahun 1950 melalui UU No. 1 Tahun 1957, PENPRES No. 6 Tahun 1959, PENPRES No. 5 Tahun 1960, dan setelah kembali pada UUD 45 diubah lagi dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Implementasi Otonomi Daerah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1974 sangat lambat dan tersendat-sendat sampai dengan diterbitkannya PP No. 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Dati II. Untuk lebih mendorong realisasi Otonomi Daerah tersebut, diterbitkan pula PP No. 8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebahagian Urusan Pemerintahan kepada 26 Dati II Percontohan. Rangkaian upaya penyelenggaraan Otonomi Daerah tersebut masih belum mampu mewujudkan Otonomi Daerah di seluruh wilayah Indonesia seperti yang diharapkan. Hambatan dan masalah yang Pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain : dihadapi dalam upaya

a. Materi pokok Undang-undang No. 5 Tahun 1974 cenderung lebih dititikberatkan pada efisiensi manajemen pemerintah. Sedangkan aspek yang mendorong demokratisasi masih belum mampu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini antara lain terlihat dari kedudukan DPRD sebagai unsur dari Pemerintah Daerah. b. Penyerahan urusan lebih cenderung hanya mengenai hal yang bersifat administratif tanpa diiringi upaya yang memadai dalam pemberian insentif yang memungkinkan Pemerintah dan masyarakat Daerah Otonomi bergairah untuk melakukan upaya-

V/2

upaya peningkatan ekonomi didaerahnya, sehingga Pendapatan Asli Daerah sulit meningkat. c. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah belum dilaksanakan secara proposional sesuai dengan prinsip demokrasi, keadilan, dan pemerataan. d. Belum lengkap dan rincinya peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah menimbulkan perbedaan interprestasi dan persepsi yang mengakibatkan tumpang tindih kewenangan antara instansi Pusat dan Daerah. Pada pasca Orde Baru, Otonomi Daerah dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan yang strategis baik nasional maupun internasional. Perkembangan lingkungan strategis ini bergerak cepat dan dinamis antara lain tampak : a. Pada tingkat nasional, krisis moneter dan ekonomi memicu gerakan reformasi nasional yang menghendaki pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan yang menuju kehidupan yang demokratis dan sejahtera. b. Pada tingkat internasional, gerakan liberalisasi perdagangan dan investasi terus berkembang dengan komitmen Indonesia terhadap AFTA, APEC, WTO dan kesepakatan IMF. Indonesia menghadapi persaingan yang kian tajam dalam pasar internasional. Perkembangan lingkungan strategis tersebut membuka peluang bagi pelaksanaan Otonomi Daerah. Momentum reformasi adalah saat yang tepat bagi realisasi Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai V/3

bentuk pemerintahan di Daerah serta mengupayakan pengembangan potensi sumber daya Daerah agar dapat terangkat dalam era globalisasi. Namun ada pula kendala yang dihadapi, antara lain: krisis politik menghadapi Indonesia pada berbagai pilihan bentuk pemerintahan yang jika tidak hati-hati bisa menjurus kearah disintegrasi. Krisis ekonomi juga akan memperlemah kemampuan dalam pembiayaan. Kendala yang lain adalah tersedianya waktu yang sempit mengingat realisasi AFTA pada tahun 2003. Searah dengan pengaruh lingkungan strategis beserta peluang dan kendalanya, MPR melalui ketetapan No. XV/MPR/1998 mengamanatkan perlu diwujudkan penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya ketetapan MPR tersebut di atas diikuti dengan terbitnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagai konsekwensinya dari pelaksanaan Undang-undang ini, organisasi pemerintah pusat maupun daerah harus disusun lagi sesuai dengan penyerahan kewenangan yang lebih besar kepada Daerah, Peraturan Pemerintah sedang dipersiapkan untuk itu. demikian juga mengenai PNS juga diatur kembali. Dalam hubungan ini, maka Undang-undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian perlu diubah dan disesuaikan dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Pembahasan perubahan Undang-undang Kepegawaian ini telah disetujui DPR pada bulan September 1999. Hampir semua Departemen akan menjadi lebih ramping sehingga dapat lebih efisien.

V/4

Agar pemerintah daerah otonomi mampu melaksanakan tugastugasnya yang dibebankan kepadanya, dibutuhkan dukungan keuangan yang lebih besar. Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, Daerah Otonomi akan mempunyai 4 sumber pendapatan yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman, dan Penerimaan lainnya yang sah. Otonomi Daerah memiliki makna yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena akan mampu mendorong demokratisasi, dalam arti memberi ruang gerak kepada masyarakat di daerah untuk mengembangkan partisipasi, prakarsa dan kreativitasnya dalam menata dan membangun daerah, dengan mengacu pada persatuan dan kesatuan bangsa. Otonomi Daerah dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen mengenai pemerintahan, dalam pemberian kewenangan dan kemandirian pengambilan keputusan serta pengelolaan urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bertolak dari pengalaman masa lalu dan memperhatikan berbagai ketentuan yang ada serta prospek masa depan, maka telah ditetapkan bahwa otonomi daerah yang luas pada daerah kabupaten/kota dengan hanya berasaskan desentralisasi. Sedangkan di Propinsi dilaksanakan otonomi daerah yang terbatas dengan berasaskan desentralisasi dan dekonsentrasi. Disamping itu kebijaksanaan ini akan membuka peluang luas bagi terwujudnya pemerintahan yang demokratis, sehingga masyarakat bisa lebih berperan dan berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan sesuai potensi daerahnya, begitu pula pemerintah akan lebih dekat dan mudah memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

V/5

Pada prinsipnya semua tugas umum pemerintah dan pembangunan dapat diserahkan kepada Daerah Otonom, kecuali bidang-bidang pertahanan keamanan, peradilan, luar negeri, moneter, dan agama serta bidang lainnya yang secara nasional lebih tepat diurus oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu secara mendasar ada pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan pemerintah pusat diarahkan pada kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintah yang bersifat lintas kabupaten/kota serta kewenangan bidang tertentu lainnya dan kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Sedangkan Daerah Otonom berwenang untuk melaksanakan tugas desentralisasi yang diarahkan pada fungsi penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah, peningkatan efisiensi pelayanan kepada masyarakat, pengembangan sumber pembiayaan daerah dan pemberdayaan masyarakat. Dengan kewenangan-kewenangan tersebut di atas, maka pelaksanaan Daerah Otonomi harus memperhatikan kesiapan dan kelengkapan unsur-unsur penting mengenai kelembagaan, kesediaan, sumber daya aparatur yang handal, perlengkapan, potensi ekonomi daerah yang dapat menjadi sumber pendapatan sendiri, pemberian insentif fiskal dan non fiskal serta hubungan keuangan antara pusat

V/6

dan daerah. Perhatian sungguh-sungguh terhadap kemampuan ekonomi pada semua Daerah Otonom ini sangat penting. Urusan keuangan dikelola sesuai APBD dengan memanfaatkan semua sumber dana dari pendapatan asli daerah, bantuan umum, dan bantuan khusus dari pemerintah pusat serta dana perolehan sesuai kontribusi ekonomi daerah, dengan tetap memperhatikan aspek pemerintah. Penyelenggaraan Otonomi Daerah diharapkan akan mampu memberdayakan seluruh wilayah Indonesia baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dengan kemandirian fungsi legislasi dan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD akan mendorong terwujudnya pemerintah daerah serta kehidupan masyarakat yang demokrasi. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan meningkat, sehingga dapat diharapkan seluruh daerah di Indonesia mampu tumbuh dan berkembang dalam wujud semua daerah maju, dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa.

B.

Langkah-Langkah yang Dilakukan

Tuntutan, dinamika, dan aspirasi masyarakat dalam menyelesaikan krisis yang dihadapi oleh bangsa dan negara dewasa ini mengacu kita untuk menyiapkan segenap tatanan Pemerintah dan bangsa dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Suasana reformasi juga mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melakukan serangkaian penyempurnaan terhadap Pemerintahan Daerah yakni dengan memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. XV/MPR/1998. V/7

Sesuai dengan TAP MPR tersebut, Pemerintah bersama-sama DPR telah menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah 1. Hal-hal pokok yang tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999, adalah : 1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang semula dilakukan dengan pola bertahap, sekarang dilakukan dengan penyerahan secara total, bulat, utuh dan menyeluruh terhadap semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter/fiskal dan agama, serta bidang-bidang tertentu yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 2) Penyelenggaraan pemerintahan di propinsi berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi, sehingga propinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom sekaligus sebagai Wilayah Administrasi. Begitu pula Gubernur berstatus sebagai Kepala Daerah disamping juga sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Sedangkan bagi Daerah Kabupaten/ Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi, sehingga hanya berkedudukan sebagai Daerah Otonom saja. 3) Wilayah Propinsi ditetapkan pula meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil, sedangkan wilayah Kabupaten/Kota sepanjang 1/3 wilayah laut Propinsi. 4) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah lainnya. DPRD bukan sebagai unsur Pemerintah Daerah yang mempunyai fungsi pengawasan,

V/8

anggaran dan legislasi Daerah, Kepala Daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab kepada Presiden. 5) Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang. 6) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan dan kesejahteraan, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai kebutuhan dan kemampuan Daerah, berdasarkan norma, standar, prosedur yang ditetapkan Pemerintah. 7) Keuangan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, pinjaman Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah. 8) Daerah kabupaten/kota diberi Otonomi yang luas, sedang Propinsi terbatas. Kewenangan pemerintahan pada Propinsi adalah otonomi yang sifatnya lintas Kabupaten dan Kota serta kewenangan yang belum mampu ditangani oleh Kabupaten dan Kota. 9) Kelembagaan Daerah disamping lembaga DPRD, adalah Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah, seperti perencanaan, penelitian dan pengembangan, Diklat, pengawasan dan Badan Usaha Milik Daerah.

V/9

2.

Hal-hal pokok yang tertuang dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1999, adalah : 1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di Daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 2) Sumber pembiayaan pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 3) Pelaksanaan desentralisasi berasal dari Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah : a) Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi Daerah, hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain Dana Perimbangan berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan alokasi khusus.

b)

4) Penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi: 10 persen untuk penerimaan Pusat (dibagikan ke seluruh kabupaten/kota) dan 90 persen untuk daerah. 5) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi: 20 persen untuk Pemerintah Pusat (dibagikan keseluruh kabupaten/kota) dan 80 persen untuk daerah.

V/10

6)

Penerimaan negara di sektor Kehutanan dan Pertambangan dibagi: 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk daerah. Penerimaan negara dari hasil minyak bumi dibagi: 85 persen untuk pemerintah pusat dan 15 persen untuk daerah. Penerimaan negara dari gas alam dibagi: 70 persen untuk pemerintah pusat dan 30 persen untuk daerah (setelah dikurangi komponen pajak). Dana alokasi umum sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri dengan komposisi: 10 persen untuk daerah propinsi dan 90 persen untuk daerah kabupaten/kota.

7) 8)

9)

10) Dana alokasi khusus untuk membantu kebutuhan khusus yang disediakan dalam APBN termasuk yang berasal dari dana reboisasi. Dana reboisasi dibagi 40 persen kepada daerah penghasil sebagai dana alokasi khusus dan 60 persen untuk pemerintah pusat. 11) Pembiayaan dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/LPND. 12) Pembiayaan tugas pembantuan disalurkan kepada daerah dan desa Departemen/LPND yang menugaskan.

C.

Hasil-Hasil yang Dicapai Pewujudan otonomi daerah yang semakin luas, diharapkan masing-masing daerah tidak hanya berorientasi pada daerahnya masing-masing secara sempit. Hal ini dapat merugikan perkembangan masing-masing daerah yang bersangkutan, daerah lain, maupun kepentingan nasional. Untuk memperkecil dampak

V/11

negatif dari semakin luasnya otonomi daerah tersebut, perlu diciptakan aturan main dan mekanisme kerjasama antar daerah. Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah akan membawa banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dalam sistem pemerintahan pusat maupun daerah. Tuntutan utama yang perlu dipenuhi untuk memecahkan berbagai masalah tersebut adalah, pertama, meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi dampak krisis ekonomi dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat; kedua, mewujudkan otonomi daerah dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan; ketiga, mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah; keempat, mengubah orientasi pemecahan masalah dan pelaksanaan program pembangunan yang semula bersifat dari atas ke bawah (top-down) menjadi dari bawah ke atas (bottom-up); kelima, meningkatkan bantuan langsung ke masyarakat untuk memecahkan masalah yang ada, dan keenam, mewujudkan pemerintah yang baik (good governance) dan demokratis. Dalam upaya mewujudkan tuntutan otonomi, desentralisasi dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan nasional, telah dilakukan berbagai langkah penyempurnaan terhadap kebijaksanaan perencanaan pembangunan.

V/12

1.

Penyiapan Perangkat Otonomi Daerah

Hukum

Untuk

Pelaksanaan

Sebagai dasar hukum dari pelaksanaan otonomi daerah pemerintahan bersama dengan DPR telah mengundangkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan lainnya. Peraturan pelaksanaan yang diperlukan antara lain :

a. Peraturan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 : 1) Undang-undang, tentang: a) Pajak dan Retribusi Daerah. b) Ibukota Negara RI. (Telah ditetapkan dengan UU no. 34 tahun 1999). c) Pokok-pokok Kepegawaian (telah disetujui DPR). 2) Peraturan Pemerintah, tentang : a) Syarat-syarat Pembentukan Daerah. b) Kriteria Penghapusan, Penggabungan dan Pemekaran Daerah. c) Kewenangan Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota di Wilayah Laut. d) Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Daerah Propinsi dibidang lainnya. e) Pemberian Insentif Fiskal dan Non fiskal kepada Daerah. f) Pengaturan Kawasan Pertokoan di Kabupaten.

V/13

3) Keputusan Presiden, tentang : a) Pembentukan, Susunan Organisasi, Formasi dan Tatalaksana Instansi Vertikal, b) c) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Pedoman Penyusunan Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah.

b. Peraturan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 1999 : 1) Peraturan Pemerintah, tentang : a) Tatacara Penghitungan dan Penyaluran Atas Bagian Daerah dari Penerimaan negara. b) Pengaturan Dana Alokasi Khusus. c) Pelaksanaan Pinjaman Daerah. d) Pembiayaan Pelaksanaan Dekonsentrasi. e) Pembiayaan Pelaksanaan Tugas Pembantuan. f) Pengelolaan Sistem Informasi Keuangan Daerah. 2) Keputusan Presiden, tentang : Sekretariat Daerah. Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan

Selanjutnya dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan Otonomi Daerah sesuai dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah, telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 67 Tahun 1999 tentang Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang menugaskan kepada Menko Wasbangpan

V/14

untuk melakukan langkah-langkah koordinasi dengan para menteri terkait, meliputi antara lain: a. menetapkan pentahapan dan prioritas penyusunan tindak lanjut pelaksanaan kedua undang-undang tersebut; b. merumuskan konsep kebijaksanaan sebagai dasar untuk menyusun peraturan pelaksanaan, termasuk saran dan acuan tentang struktur kelembagaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; c. menetapkan instansi penyusun setiap peraturan pelaksanaan. Sebagai pelaksanaan dari Keppres Nomor 67 Tahun 1999 tersebut maka Menko Wasbangpan telah mengeluarkan dua buah keputusan yaitu : a. Keputusan Nomor 35/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang Unsur Pendukung Pelaksanaan Tugas Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pokok-pokok penting dalam keputusan tersebut adalah: 1) Membentuk Kelompok Kerja Perumus Kebijaksanaan dan Penyelerasi Peraturan Pelaksanaan Otonomi Daerah yang terdiri dari : a) Kelompok Kerja Pemerintah Pusat; Kewenangan dan Kelembagaan

V/15

b) Kelompok Kerja Pemerintah Daerah;

Kewenangan

dan

Kelembagaan

c) Kelompok Kerja Sumberdaya Aparatur.; d) Kelompok Kerja Perimbangan Pemerintah Pusat dan Daerah; e) Kelompok Kerja Keuangan. Sistim dan Keuangan Prosedur Antara

Manajemen

2) Tugas Kelompok Kerja di atas adalah, untuk : a) menyusun daftar peraturan atau keputusan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah; b) merumuskan strategi pelaksanaan Otonomi Daerah, khususnya dalam periode peralihan selama 2 (dua) tahun pertama; merancang prioritas dan tatacara penyelesaian, serta instansi penyusun peraturan atau keputusan sebagaimana dimaksud butir (a); merumuskan konsep kebijaksanaan sebagai dasar untuk menyusun rancangan peraturan atau keputusan sebagaimana dimaksud butir (a); menyusun inventarisasi kewenangan yang berada pada Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta rancangan struktur kelembagaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; merumuskan rancangan norma dan standar organisasi kepegawaian, dan pelayanan umum; teknis

c)

d)

e)

f)

V/16

g)

menyusun rancangan realokasi Pegawai Negeri Sipil diantara instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; menyusun daftar seluruh kekayaan negara berupa tanah/gedung, perlengkapan dan peralatan yang ada di daerah untuk dialihkan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengikuti pembagian kewenangan.

h)

b.

Keputusan Nomor 39/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang Rincian Tugas Dan Tatakerja Tim Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999.

Seluruh kegiatan penyusunan peraturan pelaksanaan undangundang tersebut harus diselesaikan selambat-lambatnya 7 Mei 2000 dan proses transformasi kewenangan, pembentukan kelembagaan, realokasi pegawai, keuangan dan perlengkapan harus sudah selesai selambat-lambatnya 7 Mei 2001, yang berarti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sudah mulai berlaku efektif.

2.

Jadwal Waktu Persiapan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Pemerintah dalam upaya yang sistematis melakukan persiapan implementasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Persiapan dimaksud meliputi : penyiapan produk hukum peraturan perundang-undangan yang merupakan derivat kedua undang-undang tersebut, sebagai petunjuk pelaksanaan, pengembangan organisasi, realokasi Pegawai Negeri Sipil serta

V/17

pengembangan masyarakat.

disain

proses

pembangunan

dan

kegiatan

Langkah kerja yang diproyeksikan dalam horison waktu dua tahun sejak 7 Mei 1999, dirangkum dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Sosialisasi materi undang-undang, 2. Pemantapan hasil pemilu dan capacity building legislatif, khususnya didaerah, 3. Penyelesaian peraturan perundangan-undangan untuk pelaksanaan kedua undang-undang, 4. Pengembangan disain dan capacity building pemerintah daerah sesuai dengan semangat undang-undang, 5. Penataan kewenangan dan penyesuaian organisasi pemerintah (Pusat), 6. Penataan dan penyesuaian kewenangan dan struktur organisasi Pemerintah Daerah, 7. Pengembangan disain mekanisme pembangunan daerah dan interaksi kemasyarakatan, 8. Peningkatan efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara proposional bobot kegiatan menurut semester adalah sebagai berikut :

V/18

1)

Penyelesaian Kebijaksanaan dan Perundang-undangan: a. Melakukan penyesuaian kebijaksanaan dengan pertimbangan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, menurut pasal-pasal; b. Menyusun prioritas produk hukum dari kedua undangundang tersebut sesuai dengan periode sasaran; c. Menyelesaikan semua produk hukum yang prinsip harus diselesaikan menurut periode sasaran; d. Melakukan pembinaan pengaturan antara produk hukum Pusat dan produk hukum Daerah.

V/19

2) Reorganisasi Pusat dan Pemerintah Daerah: a. Melakukan inventarisasi kebijaksanaan strategis nasional; b. Menyiapkan naskah akademik/peraturan dan draft; c. Melakukan pengembangan substansi kewenangan pusat; d. Melakukan pengembangan alternatif penataan struktur organisasi tingkat Pusat; e. Melakukan inventarisasi kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota; f. Melaksanakan pengelompokan substansi kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota; g. Melakukan pengembangan alternatif penataan struktur organisasi pemerintahan daerah; h. Melakukan pengembangan perencanaan mekanisme kegiatan (pemerintahan/pembangunan); i.
j.

Melaksanakan uji coba lapangan (field test); Membuat pedoman-pedoman hubungan kerja dan ketatalaksanaan Pusat dan Daerah serta petunjuk teknis (guidelines) yang diperlukan.

3) Analisis dan Proses Realokasi Personil: a. b. c. d. Melakukan inventarisasi kebutuhan menurut kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota; Menyusun kebijaksanaan penempatan pegawai; Melakukan pengembangan/penyesuaian kebutuhan pegawai; Memberdayakan aspek Pemerintah Daerah; kepegawaian pada kewenangan kriteria

V/20

e. f. g.

Melaksanakan koordinasi dengan instansi Pusat dan Daerah; Memberikan petunjuk kepada Daerah; Inventarisasi dan pengkajian berbagai Peraturan Perundangundangan yang terkait dengan kepegawaian dan kediklatan;

h. Penyusunan berbagai naskah akademis, sebagai masukan penyempurnaan dan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan dibidang kepegawaian termasuk Diktat Aparatur; i. Penyusunan Pedoman Pegawai per unit organisasi; j. Penyusunan draft Pendayagunaan pegawai; dan Instrumen Pendataan

Rencana

Induk Penataan dan

k. Penyusunan draft Rencana Relokasi Pegawai Kantor Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota; 1. Pendalaman materi Rancangan Undang-Undang dibidang Kepegawaian; m. Penjajagan, pembentukan Tim/Pokja Rencana Relokasi Aparatur yang terintegrasi antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Penyusunan draft Mekanisme Kerja.

4) Analisis dan Proses Asset dan Keuangan: a. Melaksanakan inventarisasi barang milik negara (instansi vertikal) yang ada di Daerah; b. Melakukan kebijaksanaan penataan barang; c. Mengembangkan kebijaksanaan dan desain penataan sistem keuangan dan anggaran; d. Menyusun pedoman kerja;

V/21

e. Melakukan bimbingan dan asistensi ke Daerah; f. Menyiapkan produk hukum sebagai dasar pengaturan pelaksanaan pengalihan hak atas barang milik negara (instansi vertikal) yang ada di Daerah. Penyesuaian struktur dan mekanisme anggaran daerah, meliputi: 1) Perubahan struktur anggaran (budget structure reform) 2) Perubahan proses penyusunan APBD (budget process reform) 3) Perubahan format dan administrasi pelaksanaan 4) Perubahan prinsip akuntansi (accounting reform); 5) Perubahan prinsip pengelolaan anggaran cadangan anggaran; kas dan prinsip

g.

6) Perubahan strategi pembiayaan melalui kemitraan; 7) Perubahan proses penyiapan anggaran; 8) Perubahan proses pelaksanaan anggaran;

9) Perubahan proses pelaksanaan tender dan kerjasama dengan swasta. 5) Analisis Umpan Balik dan Pengembangan Sistem Pembangunan dan Kemasyarakatan: a. b. Mengikuti dan melakukan masyarakat atas substansi UU. analisis terhadap respons

Mengembangkan kegiatan dalam upaya penyesuaian mekanisme menurut respons secara luas (masyarakat, Perguruan Tinggi, LSM, dll).

V/22

c.

Melakukan inventarisasi kebutuhan penyesuaian dalam mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan monitoring Pembangunan Daerah; Menyusun kebijaksanaan, dukungan peraturan pemerintah tentang perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan daerah; Mengembangkan desain mekanisme dan sistem pengambilan keputusan dan sistem keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan masyarakat; Monitoring dan evaluasi kegiatan sistem pembangunan dan kemasyarakatan, serta penyempurnaan yang diperlukan. Desentralisasi Pembangunan Penyiapan Dokumen manajemen melakukan

d.

e.

f.

3.

Anggaran

Langkah mendasar yang ditempuh untuk mewujudkan tuntutan otonomi dan desentralisasi adalah meningkatkan anggaran pembangunan yang diberikan kepada daerah dan mengupayakan keterpaduan antara perencanaan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Langkah ini dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mempersiapkan proses penyusunan dokumen anggaran pembangunan (Daftar Isian Proyek). Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan dan hasil pembangunan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah. Dalam tahun anggaran 1999/2000, anggaran pembangunan yang semula dikelola secara terpusat kemudian dialihkan ke daerah mencapai 55,6 persen dari total pengeluaran di luar pembiayaan l a i n- l a i n . P e n i n g k a t a n a n g ga r a n y a n g di d a e r a h ka n t e r s e b ut

V/23

diharapkan dapat mempercepat pemulihan kegiatan ekonomi masyarakat sekaligus mengatasi dampak krisis ekonomi di daerah. 4. Perubahan Bantuan Inpres menjadi Dana Pembangunan Daerah

Langkah penting lainnya yang dilakukan untuk mendukung kebijaksanaan reformasi pembangunan daerah adalah penyempurnaan mekanisme transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai sarana untuk mendorong perimbangan keuangan daerah. Langkah penyempurnaan tersebut adalah perubahan nama Bantuan Inpres menjadi Dana Pembangunan Daerah (DPD). Perubahan nama ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan dana bantuan pembangunan. 5. Pengalihan Dana Khusus menjadi Dana Umum

Dalam upaya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola dana pembangunan daerah, maka berbagai bantuan daerah yang semula bersifat bantuan khusus (sektoral) dikelola langsung oleh instansi pemerintah pusat kemudian secara bertahap dialihkan menjadi dana umum yang dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah. 6. Penyederhanaan Mekanisme Pembangunan Daerah Pengelolaan Dana

Langkah penting yang dilakukan adalah penertiban Pedoman Umum untuk menyederhanakan mekanisme pengelolaan dana pembangunan daerah. Pedoman Umum ini menjadi acuan bagi berbagai instansi pemerintah dalam mengelola dana pembangunan

V/24

daerah agar dapat dicapai kinerja pembangunan daerah yang semakin baik. Pedoman umum tersebut memuat tujuan prinsip dasar pengelolaan dana pembangunan daerah yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan kesinambungan hasil-hasil program, yaitu; keterbukaan, partisipasi, pendanaan tepat waktu dan langsung, pertanggungjawaban, berkelanjutan, sederhana dalam pelaksanaan dan pengembangan potensi lokal. 7. Pengelolaan Dana Pembangunan Daerah

Dalam tahun anggaran 1999/2000 Pemerintah sepakat untuk menyatukan dan mereformasi seluruh Bantuan Pembangunan Daerah (Inpres) yang ada menjadi dana pembangunan daerah (DPD) yang terdiri dari (1) dana pembangunan propinsi, (2) dana pembangunan kabupaten/kota, (3) dana pembangunan desa, dan (4) dana perluasan jaring pengaman sosial (JPS) dan pemberdayaan masyarakat (PJPS-PM). Pengelolaan dana-dana pembangunan daerah ini sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Dana pembangunan daerah propinsi terdiri dari dana umum (block grant) dan dana khusus (specific grant). Dana umum pembangunan propinsi dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah propinsi dalam membiayai program pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Sedangkan dana khusus pembangunan propinsi dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai program pembangunan tertentu di daerah sebagai satu kesatuan dari tujuan dan sasaran pembangunan nasional. Dana khusus terdiri dari 6 (enam) komponen, yaitu: Pengembangan Prasarana dan Sarana Ekonomi, Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Pengembangan Sosial Budaya dan Pelayanan Pemerintah,

V/25

Peningkatan Pendidikan Dasar di SD dan MI, Pembangunan Sarana Kesehatan, dan Pengembangan Wilayah. Dalam upaya meningkatkan kemampuan perencanaan dan proses desentralisasi di daerah, langkah penyempurnaan yang dilakukan adalah mengalihkan kewenangan dan pola penanganan Dana Pembangunan Propinsi secara langsung kepada pemerintah daerah. Hal tersebut ditunjukan bahwa dalam perencanaannya pemerintah pusat (Tim Pembina Pusat) dalam tahun anggaran 1999/2000 hanya memberikan Pedoman Umum sebagai acuan pelaksanaan Dana Pembangunan Propinsi yang bersifat umum, sedangkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis sudah diserahkan kewenangannya kepada daerah untuk menyusunnya sendiri. Petunjuk Pelaksanaan hanya diberikan untuk komponenkomponen yang baru seperti Peningkatan Pendidikan Dasar di SD dan MI, Pembangunan Sarana Kesehatan, dan Pengembangan Wilayah, mengingat komponen-komponen tersebut masih baru bagi daerah dalam pengadministrasiannya. Bantuan dana pembangunan kabupaten/kota dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan kabupaten/kota dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui kegiatan pemerintah, pelayanan umum dan pembangunan di daerah yang dilakukan atas dasar prinsip otonomi daerah dan pemberian wewenang yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Sasaran utama pemberian bantuan dana kabupaten/kota adalah mengurangi jumlah penduduk miskin dan pengangguran, meningkatkan produksi dan produktivitas dunia usaha/masyarakat, meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana umum dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

V/26

Pengelolaan dana pembangunan Kabupaten/Kota dibagi dalam dua jenis, yaitu dana umum dan dana khusus. Dana Umum adalah dana yang diberikan kepada seluruh Pemerintahan Daerah Tingkat II untuk membiayai berbagai program/proyek prioritas pembangunan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah Tingkat II dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pendapatan masyarakat dan kualitas hidup masyarakat. Dalam rangka mendukung pelaksanaan reformasi, maka pengelolaan bantuan dana umum dalam tahun 1998/1999 dan 1999/2000 dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, kebutuhan nyata, kondisi dan potensi daerah, penataan ruang daerah serta selaras dengan kebijakan pembangunan nasional. Pengelolaan dana umum juga memperhatikan proyek/kegiatan yang memberikan nilai tambah secara ekonomis dan memberikan manfaat secara sosial dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat. Sedangkan Dana Khusus merupakan dana yang diberikan kepada Dati II merupakan bantuan program untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program pembangunan secara nasional yang menjadi prioritas dan harus dilaksanakan oleh daerah. Seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka dilakukan penambahan komponen baru untuk mengatasi dampak krisis yang diderita masyarakat dengan melakukan pengalihan sebagian dana sektoral ke dalam Dana Pembangunan, seperti Pengembangan Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga, Kesehatan dan Pendidikan. Langkah ini diikuti pula dengan perubahan peranan pemerintah di tingkat Pusat dan Propinsi untuk memusatkan hanya pada aspek perencanaan umum, pengalokasian, pemantauan dan evaluasi serta pengawasan. Sesuai dengan tuntutan reformasi pula, maka dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan sejauh mungkin melihatkan masyarakat secara luas

V/27

melalui lembaga dan forum musyawarah masyarakat setempat seperti kelompok pengajian, masjid, gereja, ormas, dan badan pengelola penyelenggara pendidikan (BP3). Begitu pula halnya dalam penyaluran dana dilakukan secara sederhana, lebih cepat dan terbuka sehingga dapat diketahui semua unsur masyarakat luas. Bantuan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan adalah bantuan block grant yang diberikan kepada setiap desa/kelurahan dimasukkan untuk: (i) meningkatkan sarana pelayanan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan di desa/kelurahan, yang didukung oleh struktur organisasi, manajemen administrasi dan sarana kelembagaan desa secara memadai, (ii) meningkatkan kemampuan kelembagaan di tingkat desa untuk menampung, menyalurkan aspirasi, mengkoordinasikan dan memberdayakan masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan serta mampu mengelola pembangunan secara mandiri, dan (iii) meningkatkan kemampuan lembaga pengelolaan keuangan dan usaha milik masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi, pendapatan, dan kesempatan kerja. Perubahan kebijakan yang dilakukan dalam pengelolaan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan adalah pengalihan sasaran pengelolaan dana yang semula masyarakat desa menjadi aparat desa. Perubahan. kebijaksanaan ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan sarana pelayanan umum masyarakat dengan komponen kegiatan sebagai berikut; (i) menunjang kegiatan administrasi, dan biaya operasional pemerintah desa dan lembaga kemasyarakatan lainnya, (ii) menyelenggarakan pelatihan dan penyuluhan dalam rangka pengembangan kelembagaan masyarakat, dan (iii) menunjang kegiatan PKK, anak dan remaja. Jumlah dana pembangunan desa ditingkatkan dari Rp. 6,5 juta per desa pada tahun anggaran 1998/1999 menjadi Rp. 10 juta per desa pada tahun anggaran 1999/2000.

V/28

Sedangkan dana perluasan jaring pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat lebih ditujukan kepada masyarakat sebagai perencana sekaligus pelaksana dan pengawas. Dalam upaya untuk mencapai sasaran yang lebih efektif, pemerintah meningkatkan upaya-upaya diseminasi informasi program-program yang disampaikan, dan membuka mekanisme pengaduan masyarakat atas setiap penyelewengan atau penyimpangan yang terjadi dalam kegiatan-kegiatan program pembangunan di daerah, dimulai dari program-program jaring pengaman sosial.

D.

Tindak Lanjut yang Diperlukan

Disadari bahwa otonomi daerah yang berpihak kepada kepentingan rakyat daerah tidak akan pernah dapat dibangun semata-mata oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun demikian harus didukung oleh sumberdaya manusia dan perangkat institusi yang cukup mampu. Dua UU ini telah melandasi beberapa perubahan mendasar kepada kehidupan bernegara dengan memberikan otonomi yang jauh lebih besar kepada daerah. Beberapa perubahan mendasar yang patut diperhatikan dari kedua undang-undang tersebut adalah: 1. Dari Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah: a. Semangat otonomi daerah yang lebih besar, dimulai dengan per uba ha n s e but a n pa da na ma da er a h ot onom. Is ti l a h

V/29

tingkatan Dati I dan Dati II diganti dengan Propinsi dan Kabupaten/Kota. b. UU ini memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom dan Kepala Wilayah Administratif. Bupati dan Walikota adalah Kepala Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada Kabupaten dan Kota sudah tidak di kenal lagi. c. Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri oleh DPRD Kabupaten/Kota tanpa melibatkan pemerintah propinsi maupun pemerintah Pusat. Oleh karena itu, Bupati dan Walikota harus bertanggungjawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya selesai. Sementara itu, pemerintah Pusat (Presiden) hanya diberi kekuasaan untuk "memberhentikan sementara" seorang Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi nasional. d. UU ini menghapuskan posisi wilayah administratif pada level daerah Kabupaten dan daerah Kota. Integrated Prefectoral System yang sentralistis yang digunakan UU No. 5 Tahun 1974 diubah menjadi Functional System, bukan sekedar Unintegrated Prefectoral System sebagaimana dikenal dalam UU No. 1 Tahun 1957. e. UU ini menetapkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah otonom, yaitu daerah kabupaten dan daerah kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai kepanjangan Langan pemerintah daerah otonom, dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi. f. UU ini mengenal Badan Perwakilan Desa yang menjadi lembaga perwakilan rakyat di tingkat desa. Hal ini

V30

merupakan perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa.


g.

UU ini memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta 'kewenangan bidang lain'. Hanya raja definisi 'kewenangan bidang lain' itu ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendayagunaan SDA serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standarisasi nasional.

2.

Dari UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah:

a. Sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip perimbangan. Sebagai contoh, penerimaan negara dari SDA sektor kehutanan, pertambangan umum dan perikanan dibagi dengan imbangan 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk pemerintah daerah. Sementara itu pemerintah pusat memperoleh alokasi yang lebih besar untuk sektor pertambangan minyak bumi (85 persen) dan gas alam (70 persen). b. Ada kewajiban minimal bagi pemerintah pusat untuk memberikan alokasi kepada daerah. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa Dana alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan APBN. c. Semangat pemerataan antar daerah bisa dilihat dari adanya dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana darurat. Namun

V/31

transparansi dan kontrol daerah terhadap pemerintah pusat mengenai penggunaan dana-dana ini sangat diperlukan. Pembaharuan-pembaharuan yang dimungkinkan dengan adanya kedua undang-undang tersebut perlu segera diwujudkan melalui peraturan pelaksanaan yang merupakan penjabaran dan pedoman pelaksanaannya, sehingga upaya desentralisasi akan terwujud dengan baik sesuai dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh undang-undang. Selain itu, upaya-upaya yang perlu dipercepat adalah meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia daerah terutama di lingkungan pemerintahan daerah, dan penyempurnaan organisasi pemerintahan melalui pelatihan-pelatihan, maupun pengisian jabatan-jabatan dan fungsi yang dibutuhkan dengan tenaga-tenaga terdidik/terlatih pemerintah dari tempat-tempat lain yang kurang berfungsi. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah perpindahan penduduk antar daerah baik secara spontan maupun melalui program transmigrasi. Dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya ini maka pemberdayaan masyarakat dapat lebih ditingkatkan lagi dengan semangat kesetaraan jender, artinya tidak ada pembedaan antar jender dalam pembangunan. Sehubungan dengan peningkatan peranan wanita didalam pembangunan dilakukan pembentukan Biro Peranan Wanita. Pembentukannya sudah dilakukan dibeberapa daerah dan akan terus diwujudkan pada daerah lainnya yang belum membentuknya. Mengingat kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagian besar akan berada ditangan daerah, ditambah lagi dengan

V/32

kemampuan daerah yang cukup beragam, maka perlu diwaspadai dan dicermati akan terjadinya berbagai dampak buruk dari " kecongkakan daerah", misalnya: hambatan arus barang dan jasa antar daerah, hambatan arus perpindahan penduduk antar daerah, dan perbedaan kapasitas dan kemampuan serta pertumbuhan antar daerah. Dampak-dampak seperti ini seyogyanya dapat diselesaikan didalam suatu forum koordinasi pembangunan antar daerah dan antar daerah dengan pusat. Lebih jauh lagi, dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ditambah dengan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka daerah telah memiliki dasar hukum untuk menyelenggarakan pemerintah dari segi kewenangan, keuangan dan alokasi sumber daya alam. Ketiga UU ini satu sama lain saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan sebagai dasar dalam upaya mewujudkan otonomi daerah, melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan dan usaha pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.

V/33

Anda mungkin juga menyukai