Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga makalah dengan judul Manajemen Kesehatan pada Demam Berdarah ini dapat diselesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai manajemen kesehatan pada demam berdarah yang berlandaskan pada teori yang ada. Pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Syahrial R. Anas, MHA selaku pembimbing penulisan makalah ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Pencegahan/Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan dalam penyusunan makalah ini akibat keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti guna menyempurnakan makalah ini. Akhirnya penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Manfaat BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1 2 2 3
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi 2.1.2 Etiologi 2.1.3 Cara Penularan 2.1.4 Epidemiologi 2.1.5 Patogenesis 2.1.6 Gejala dan diagnosis 2.1.7 Strategi penatalaksanaan 2.2 Manajemen Kesehatan 2.2.1 Definisi 2.2.2 Penerapan Manajemen Bidang Kesehatan 2.2.3 Ruang lingkup manajemen kesehatan 2.3 Manajemen Kesehatan Pada DBD BAB 3 KESIMPULAN
3 3 4 4 7 7 9
9 9 10 14
DAFTAR PUSTAKA
15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang bisa hidup produktif secara social mahupun ekonomis. Untuk mencapai ini, pemerintah khususnya hendaklah melakukan berbagai program untuk memelihara dan menanggulangi berbagai masalah kesehatan yang sering terjadi pada masyarakat. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Supaya pemeliharaan kesehatan ini dapat dilakukan dengan baik, hendaklah dibuat suatu aturan sesuai dengan prinsip manajemen kesehatan. Manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan nonpetugas kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat melalui program kesehatan. Selain itu, antara permasalahan pokok dalam hal kesehatan masyarakat di Indonesia adalah masalah penyakit menular. Antara penyakit menular yang sering terjadi di Indonesia adalah Demam Dengue Berdarah(DBD). Seperti yang kita tahu, Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus
menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Oleh sebab itu, diperlukan suatu manajemen DBD untuk mencegah dan mengendalikan sumber penularan, agar tidak menjadi sumber infeksi dan mencegah terjadinya KLB. 1.2 Tujuan Makalah ini ditulis untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik senior di Departemen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Pencegahan/Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 1.3 Manfaat Bagi penulis, penulisan makalah ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu kesehatan masyarakat yang diperoleh semasa perkuliahan.
2.1
2.1.1 Definisi Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh terjadinya hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.1 2.1.2 Etiologi Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue (DENV), yang merupakan virus RNA beruntai tunggal (sekitar 11 kilobases panjang) dengan nukleokapsid ikosahedral dan ditutupi oleh amplop lipid. Virus ini dalam keluarga Flaviviridae, genus Flavivirus, dan virus tipe-spesifik demam kuning.2 Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus yang termasuk kedalam genus Flaviridae. Dengue Virus memiliki 4 jenis serotipe yang beredar khususnya di Indonesia, yaitu Dengue Virus (DENV) 1, DENV 2, DENV 3, dan DENV4.3 2.1.3 Cara Penularan Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 -10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.4 2.1.4 Epidemiologi Setiap tahun, sekitar 50-100 juta kasus demam berdarah dan 500.000 kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia, dengan 22.000 kematian (terutama pada anak-anak). [34, 35, 36] Diperkirakan 2,5-3 bilion orang (sekitar 40% dari populasi dunia) di sekitar 112 negara tropis dan subtropis di seluruh dunia beresiko untuk infeksi dengue. Satu-satunya benua yang tidak mengalami transmisi dengue adalah Eropa dan Antartika2 Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut.3 2.1.5 Patogenesis Patogenesis DBD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.1,4 Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar.1,4
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigenantibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen 1,4 degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
2.1.6 Gejala dan diagnosis Pada kasus DBD, kita dapat mengenal atau mencurigai suatu demam yang akut itu merupakan kasus DBD adalah bila ditemukan gejala seperti berikut :4 1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik. 2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa uji tourniquet positif petekia, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan Hematemesis atau melena 3. Trombositopenia < 100.00/pl 4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan Peningkatan nilai hematrokrit >_ 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan nilai hematokrit >_ 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat dengan Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan. Efusi pleura, asites, hipoproteinemi Dari pemeriksaan laboratorium pula kita bisa dapatkan hasil berikut untuk menegakkan diagnosis pasti DBD.4 1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue) Apabila ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection. 2. Corfirmed DBD (Pasti DBD) Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus. 2.1.7 Strategi penatalaksanaan Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma danpenggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok,Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase
demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma danperdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis danpemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan danjumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat.4
2.2
Manajemen Kesehatan
2.2.1 Definisi Manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan nonpetugas kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat melalui program kesehatan. Dengan kata lain manajemen kesehatan masyarakat adalah penerapan manajemen umum dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat sehingga yang menjadi objek dan sasaran manajemen adalah sistem pelayanan kesehatan masyarakat.5 2.2.2 Penerapan Manajemen Bidang Kesehatan Banyak pengertian sehat disampaikan para ahli, WHO, maupun menurut Undang-Undang, antara lain disebutkan bahwa sehat adalah suatu keadaan yang optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan tidak hanya terbatas pada keadaan bebas dari penyakit atau kelemahan saja.6,7 Sesuai dengan tujuan sistem kesehatan tersebut, administrasi (manajemen) kesehatan tidak dapat disamakan dengan administrasi niaga (business adminstration) yang lebih banyak berorientasi pada upaya untuk mencari keuntungan finansial (profit oriented). Administrasi kesehatan lebih tepat digolongkan ke dalam administrasi umum/publik (public administration) oleh karena organisasi kesehatan lebih mementingkan pencapaian kesejahteraan masyarakat umum. Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi kesehatan di Indonesia.6,7 Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi kesehatan di Indonesia seperti Kantor Depkes, Dinas Kesehatan di daerah, Rumah Sakit dan Puskesmas dan jajarannya. Untuk memahami penerapan manajemen kesehatan di RS, Dinas Kesehatan dan Puskesmas perlu dilakukan kajian proses penyusunan rencana tahunan Depkes dan Dinas Kesehatan di daerah. Khusus untuk tingkat Puskesmas, penerapan manajemen dapat dipelajari melalui perencanaan yang disusun setiap lima tahun (micro planning), pembagian dan uraian tugas staf Puskesmas sesuai dengan masing-masing tugas pokoknya.7 2.2.3 Ruang lingkup manajemen kesehatan 1. 2. 3. 4. Manajemen personalia (mengurusi SDM) Manajemen keuangan Manajemen logistik (mengurusi logistik-obat dan peralatan) Manajemen pelayanan kesehatan dan sistem informasi manajemen (mengurusi pelayanan kesehatan )
10
2.3
Manajemen Kesehatan Pada DBD Berdasarkan huraian pengertian manajemen kesehatan pada paragraf sebelumnya, dapatlah kita ertikan bahawa manajemen kesehatan pada DBD adalah suatu usaha atau kegiatan yang mengatur para petugas kesehatan dan nonkesehatan dalam upaya menanggulangi penyakit DBD. Dengan melakukan program-program penanggulangan DBD, maka masyarakat akan lebih sehat dan bebas dari penyakit DBD sesuai dengan pengertian manajemen kesehatan yang telah dijelaskan sebelumnya. Terdapat banyak program yang telah dijalankan di seluruh dunia dalam menanggulangi permasalahan ini dan hal ini tidak terkecuali Indonesia. Indonesia yang dikenal oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai daerah atau negara yang endemis DBD juga melakukan berbagai usaha dalam menanggulangi kasus ini. Pemerintah Indonesia menerusi Kementerian Kesehatan Indonesia telah menjalankan banyak program seperti Manajemen DBD berbasis wilayah, Program Penanggulangan DBD berbasis lingkungan, biologis dan juga kimiawi. Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti (Rozendaal JA., 1997). Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu:8 a. Lingkungan Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh : menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengganti dan menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan? air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah?. Tumpah atau bocornya air dari pipa distribusi, katup air, meteran air dapat menyebabkan air menggenang dan menjadi habitat yang penting untuk larva Aedes aegypti jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.8
11
b. Biologis Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14). Peran pemangsa yang dimainkan oleh copepod crustacea (sejenis udang-udangan) telah didokumentasikan pada tahun 1930-1950 sebagai predator yang efektif terhadap Aedes aegypti (Kay BH., 1996). Selain itu juga digunakan perangkap telur autosidal (perangkap telur pembunuh) yang saat ini sedang dikembangkan di Singapura.8 c. Kimiawi Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan (fogging) (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan lainlain.8 Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras dan mengubur barang-barang yang bisa dijadikan sarang nyamuk. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi setempat (Deubel V et al., 2001).8 Pemerintah juga memberdayakan masyarakat dengan mengaktifkan kembali (revitalisasi) pokjanal DBD di Desa/Kelurahan maupun Kecamatan dengan fokus pemberian penyuluhan kesehatan lingkungan dan pemeriksaan jentik berkala. Perekrutan warga masyarakat sebagai Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dengan fungsi utama melaksanakan kegiatan pemantauan jentik, pemberantasan sarang nyamuk secara periodik dan penyuluhan kesehatan. Peran media massa dalam penanggulangan KLB DBD dan sebagai peringatan dini kepada masyarakat juga ditingkatkan. Dengan adanya sistem pelaporan dan pemberitahuan kepada khalayak yang cepat diharapkan masyarakat dan departemen terkait lebih wasapada. Intensifikasi pengamatan (surveilans) penyakit DBD dan vektor dengan dukungan laboratorium yang memadai di tingkat Puskesmas Kecamatan/Kabupaten juga perlu dibenahi (Kristina et al., 2004).8
12
d. Manajemen DBD Berbasis Wilayah Merujuk kepada Achmadi (2005, Achmadi, 2008) manajemen DBD berbasis wilayah adalah upaya paripurna terintegrasi antara manajemen kasus Demam Dengue sebagai sumber penularan, serta pengendalian faktor risiko penularan DBD pada satu wilayah RT, RW ataupun Kelurahan. 3 Komponen Manajemen DD berbasis wilayah atau Getas DBD, terdiri dari 3 kegiatan yang dilaksanakan secara simultan dan paripurna: 3 1. Pencarian dan pengobatan kasus secara pro aktif. 2. Gerakan Lingkungan Bersih (Pembersihan perindukan nyamuk) 3. Penggalangan masyarakat untuk melakukan Getas DBD. Manajemen DBD berbasis wilayah, merupakan konsep yang mengutamakan, menggarap atau berfokus pada pengendalian sumber penyakit (yaitu penderita Demam Berdarah dengan atau tanpa gejala) dilakukan secara dini untuk mencegah eskalasi atau terjadinya KLB, secara bersamaan dilakukan pencarian dan pembasmian tempat perindukan nyamuk. 3 Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau non-structural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh (Lei, 2007, Young et al, 2006). Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke 9. Setelah diketahui ada nya virus: penderita diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD (Achmadi, Reynolds, dan Khuzaemah, 2007, Witarto, 2007; Huang, 2007, Jiang, 2007, Depkes, 2006; Hakim, 2008, Hakim, 2007). 3 Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau Kelurahan. Setiap kelurahan atau Puskesmas dilengkapi alat antigen capture NS1 yang Rapid (yang hanya hitungan 20 menit sudah diketahui, dengan ketepatan harus diatas 95%). Deteksi dini kasus pertama harus di lakukan sedini mungkin. 3 Model ini terdiri dari unit pelayanan garis depan (front liners). Mereka adalah Puskesmas dan atau dokter praktek umum/klinik yang berpartisipasi yang diharapkan merupakan unit pelayanan yang dimintai pertolongan pengobatan akan mencatat alamat penderita positif DBD. Penderita yang berobat akan dicatat alamatnya, lalu dilaporkan ke Puskesmas, yang kemudian hendaknya dilakukan
13
Penyelidikan Epidemiologi oleh petugas survailans yang ditunjuk dan segera menyisir sekitar rumah menanyakan secara proaktif apakah ada yang menderita demam tambahan atau tidak (ada tidak penderita tambahan). Diagnostik dilakukan dengan antigen captured yang Rapid (test). Bagi yang memberikan gambaran positif akan langsung diberi pengobatan dengan antiviral DBD. Setiap penderita akan memerlukan dukungan laboratorium untuk memeriksa tanda awal seperti, hematokrit, trombosit, leucocyte dan gejala klinik lain. Oleh sebab itu dianjurkan ada Puskesmas rujukan laboratorium atau kepesertaan Laboratorium Klinik dalam wilayah bersangkutan. 3 Dengan kata lain Manajemen DBD Berbasis Wilayah memerlukan networking semua provider kesehatan di kota kota dengan basis wilayah kelurahan. Diantara komponen networking adalah puskesmas dan para dokter umum yang berpraktek dalam sebuah wilayah keluarahan yang dimaksud. 3 Kalau saja kasus kasus secara awal atau secara dini di ketahui dan dikendalikan dengan anti viral (misalnya MAC) maka focus focus KLB dapat ditekan. Kegiatan ini dilakukan dengan kegiatan lainnya, yakni pengendalian perindukan (sarang) nyamuk (breeding places), jentik dan lain-lain. Apabila konsep ini benar diterapkan hampir dipastikan Fogging Focus tidak diperlukan atau hanya dilakukan kalau sangat perlu. 3 Pendekatan ini bisa menekan biaya APBD yang menggratiskan pasien DBD di Rumah Sakit. Pasien Demam Berdarah tidak perlu ke Rumah Sakit namun cukup hanya dikelola oleh Puskesmas. Biaya opportunity cost bisa ditekan. Biaya transport keluarga penderita yang dirawat bisa ditekan, yang dikeluarkan sebagai extra cost selama masa perawatan tidak diperlukan lagi. 3 Mengingat bahwa kejadian DBD berakar pada ekosistem, maka dalam menentukan batasan wilayah administratif harus hati hati. Penularan DBD bounded kepada wilayah ekosistem. Di wilayah kelurahan perbatasan, diperlukan kerjasama yang dimediasi oleh Puskesmas atau Kecamatan Kota.3
14
BAB 3 KESIMPULAN Manajemen Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam memastikan kesehatan masyarakat terjaga. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat banyak hal yang menjadi hambatan dalam hal kesehatan masyarakat. Antara hal yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang masih belum tuntas sampai sekarang adalah penyakit DBD. Penderita infeksi virus dengue tetap ditemukan dalam jumlah yang banyak di Indonesia, walaupun angka kematian telah dapat ditekan tetapi penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Oleh kerana itu, pemerintah hendaklah berusaha memperbaiki dan melaksanakan manajemen kesehatan pada DBD dengan lebih baik lagi supaya masalah dengue ini tidak lagi menjadi masalah kesehatan pada masyarakat.
15
DAFTAR PUSTAKA 1. Suhendro. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta; 2006:749-754. 2. Suzanne Moore Shepherd dkk, 2013, Dengue, Medscape Medical And Drug Reference, Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview, [Accessed on 23 Mei 2013] 3. Vensya Sitohang dkk, Demam Berdarah Dengue, Buletin Jendela Epidemiologi , Volume 2, 2010, Pusat Data dan Surveilens Epidemiologi Kementerian Kesehatan Indonesia. 4. Departemen Kesehatan RI. 2007. Tatalaksana DBD. Available from: www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf 23 Mei 2013] 5. Notoatmojo, Soekidjo. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta. 6. Indonesian Public Health, 2013, Available from : http://www.indonesianpublichealth.com/2013/01/pengertian-manajemen-kesehatan.html [Accessed on 23 Mei 2013] 7. Ragil Setiyabudi, 2007, Manajemen Kesehatan, Available from : http://ajago.blogspot.com/2007/12/pengantar-manajemen-kesehatan.html, [Accessed on 23 Mei 2013] 8. Direktorat Kesehatan Dan Gizi Masyarakat. 2006. Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular Studi Kasus DBD. [accessed