Anda di halaman 1dari 2

Potret Pendidikan Indonesia 2013

Pada tanggal 2 Mei 2013 kemarin, Indonesia merayakan hari pendidikan nasional yang ke-68. Dipilihnya tanggal 2 Mei sebagai hari lahirnya pendidikan diambil dari hari lahir tookh perjuangan pendidikan di Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi yang mendedikasikan dirinya untuk pedidikan, di saat Indonesia belum mengecap kemerdekaan. Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan institusi pendidikan yang bernama Sekolah kerakyatan di Yogyakarta. Kemerdekaan yang lebih ini tidak menjamin Bangsa Indonesia menjadi negara yang maju, seperti halnya dalam bidang pendidikan. Meskipun di tahun 1970 para putra bangsa Indonesia menjadi guru dan pengajar di Malaysia tetapi pada tahun 2011 (berdasarkan data yang tersaji di Education for All (EFA) Global Monitoring Report, UNESCO ), peringkat Indonesia semakin rendah, yakni berada di peringkat ke-69 dari 127 negara, sedangpadatahun 2012 berada di peringkat ke-64 dari 120 negara. Selain rendahnya peringkat pendidikan Indonesia, persoalan yang lain ialah tingginya angka putus sekolah terutama di kalangan siswa tidak mampu, minimnya saran dan prasarana, serta rendahnya kualitas guru terutama guru SD. Ditambah lagi dengan kecurangan yang banyak terjadi mengiringi pelaksanaan UN dan kelulusan. Melihat berbagai fakta tersebut, yang jadi pertanyaan adalah : Mengapa kita jadi tertinggal? Haruskah kita ajukan pertanyaan seperti yang diangkat dalam sebuah program "101 East", milik Aljazeera, yang dilansir pada Jumat, 22 Februari 2013 lalu, mengapa pendidikan Indonesia menempati peringkat terburuk di dunia? Apa yang salah dengan bangsa ini? Apa yang salah dengan system pendidikan kita? Padahal sekarang keadaan sudah jauh lebih baik dan sekolah sudah lebih banyak dari pada zaman kita belum merdeka. Lalu apa yang salah? Manajemen system pendidikan tidak jauh berbeda dengan manajemen proyek secara umum, yang terdiri atas sub-sub bagian seperti manajemen SDM, waktu, biaya, resiko, dan lain sebagainya yang saling berkaitan. Berikut beberapa catatan yang perlu dicermati terkait dengan system pendidikan Indonesia saat ini: 1. Kurikulum. Perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum di Indonesia. Kegagalan dalam

2013, bias jadi bukan penyelesaian dari persoalan kualitas pendidikan

kurikulum kita disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill terhadap guru, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. 2. Pendanaan. Anggaran untuk pendidikan di Indonesia memang terus ditingkatkan, akan tetapi Permasalahan Metode dalam Sistem Pendidikan Nasional. Metode Spoon Feeding yang

masih terdapat kendala seperti pendistribusian yang tidak tepat sasaran dan belum merata. 3.

diterapkan mulai dari TK hingga SMA atau bahkan Perguruan Tinggi masih menjadi mainstream di Indonesia, dimana guru yang bertindak aktif menyuapi ilmu kepada siswa yang hanya bertindak pasif. Metode pendidikan

seperti Student Center Learning dirasa jauh lebih baik. Dimana siswa tidak hanya pasif menerima ilmu yang diberikan oleh guru atau pun dosen, tapi juga ikut aktif berfikir, menyampaikan pendapat, melatih kemampuan berkomunikasi, kreativitas, dan jiwa entrepreneur sehingga pendidikan nasional tidak hanya melahirkan para pencari kerja tetapi pencipta lapangan kerja. 4. Pengajaran Nilai Sikap dan Bukan Pengejaran Nilai Raport. Pendidikan nilai (agama) di

Indonesia memang memiliki alokasi yang minim. Menurut beberapa pengamat pendidikan, system pendidikan di Indonesia masih membuat pendikotomian terhadap pendidikan nilai (agama) dan pendidikan sekuler. Tercermin pada nilai rapor dan UN yang menjadi segala-galanya. Banyak siswa dan guru lebih focus dengan pencapaian nilai UN dan rapor, sehingga pendidikan agama dikesampingkan. Padahal seharusnya kedua aspek pendidikan ini harus saling berkesinambungan. Pengintegrasian antara nilai (agama) dan ilmu secular ini pun dapat membantu mengurangi kecurangan yang terjadi selama ujian, dan membuat kita tidak hanya mengejar nilai, tapi juga mengejar ilmu, dan moral. Salah satuhal yang bias dijadikan sebagai titik awal bagi upaya perbaikan dan pengembangan system pendidikan Indonesia adalah dengan mengetahui kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Hal ini bias dilakukan dengan membandingkan system pendidikan Indonesia dengan system negara lain yang lebih baik, sehingga bias menjadi acuan bagi kita, bagaimana kita bias memperkuat yang menjadi kelebihan system pendidikan Indonesia dan memperbaiki kekurangan yang ada.

Science without religion is lame, religion without science is blind. Albert Einstein, "Science, Philosophy and Religion: a Symposium", 1941

HR dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai