Anda di halaman 1dari 14

V. CUTANEUS LARVA MIGRANS A.

Definisi Cutaneus larva migrans adalah kelainan kulit khas berupa garis lurus atau berkelokkelok, progresif, akibat larva yang kesasar. Sedangkan creeping eruption, istilah ini digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelokkelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invansi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Cutaneous larva migrans, dermatosis linearis migrans, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering ditemukan ditanah pasir atau di pantai), strongyloidiasis (creeping eruption pada punggung) (Aisah, 2007). Cutaneous larva migrans dapat juga disebut creeping eruption, dermatosis linearis migrans, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering ditemukan di tanah pasir atau di pantai), atau strongyloidiasis (creeping eruption pada punggung).

B. Epidemiologi Cutaneus Larva Migrans (CLM) adalah penyakit infeksi kulit parasit yang sudah dikenal sejak tahun 1874. Awalnya ditemukan pada daerah daerah 1sophagu dan 1sophagus11 beriklim hangat, saat ini karena kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada daerah daerah tersebut. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak anak dibandingkan pada orang dewasa. Pada orang dewasa, 1sopha resiko nya adalah pada tukang kebun, petani, dan orang orang dengan hobi atau aktivitas yang berhubungan dengan tanah lembab dan berpasir (Anonymous, 2013).

C. Etiologi Etiologi umum dan di mana parasit dari cutaneus larva m i g r a n s ( C L M ) y a n g paling sering ditemukan adalah sebagai berikut: 1. Ancylostoma braziliense

Cacing tambang yang berasal dari anjing liar dan k u c i n g . Hal ini dapat ditemukan di Amerika Serikat tengah dan selatan, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Karibia. 2. Ancylostoma caninum Cacing tambang pada anjing ditemukan di Australia. 3. Uncinaria stenocephala Cacing tambang anjing ditemukan di Eropa. 4. Bunostomum phlebotomum Ternak cacing tambang Etiologi Langka meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Ancylostoma ceylonicum Ancylostoma tubaeforme (cacing tambang kucing) Necator americanus (cacing tambang manusia) Strongyloides papillosus (parasit domba, kambing dan sapi) Strongyloides westeri (parasit kuda) Ancylostoma duodenale Pelodera (Rhabditis) strongyloides (Aisah, 2007).

D. Patogenesis Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang yang didapat saat terjadi kontak langsung antara kulit dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing diekskresikan ke dalam feses, kemudian menetas pada tanah berpasir yang hangat dan lembab. Kemudian terjadi pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Manusia yang berjalan tanpa alas kaki dan terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel dan fisura. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari. Larva stadium tiga akan menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa centimeter per hari, biasanya antara stratum

germinativum dan stratum korneum. Larva ini menetap di kulit dan berjalanjalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal. Hal ini menginduksi reaksi

inflamasi eosinofilik. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Manusia merupakan hospes accidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis, sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva akan menyebabkan inflamasi yang akhirnya terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru. Pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan (Kim, 2006).

Gambar 1. Patogenesis dari Cutaneus Larva Migrans

E. Manifestasi Klinis Masuknya larva ke kulit biasanya menimbulkan rasa gatal dan panas. Awalnya akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, dengan diameter 2-3 mm dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik dan membentuk terowongan, mencapai panjang beberapa centimeter. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa

gatal pada ujung lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva. Lebar lesi berkisar antara 3 mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bias juga nyeri (Lydia, 2008). Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Sering terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri. Larva terbatas hanya pada lapisan epidermis. Penyakit ini self limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau dua bulan. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi akibat garukan pada lesi. Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan peningkatan kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bisa terjadi sindrom loeffler namun jarang dijumpai (Lydia, 2008).

Gambar 2. Gambaran Klinis dari Cutaneus Larva Migrans.

F. Diagnosis Berdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya (Aisah, 2008). Diagnosis banding: 1. Skabies: Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang seperti pada penyakit ini 2. Dermatofitosis : Bentuk polisiklik menyerupai dermatofitosis 3. Dermatitis insect bite : Pada permulaan lesi berupa papul, yang dapat menyerupai insect bite 4. Herpes zooster : Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papulpapul lesi dini dapat menyerupai herpes zooster stadium permulaan (Aisah, 2008). Penyakit ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Pengobatan dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa ketidaknyamanan pasien. Umumnya pengobatan selalu memberikan hasil yang baik (Dugdale, 2008).

G. Pencegahan Di Amerika serikat, telah dilakukan de-worming atau pemberantasan cacing pada anjing dan kucing, dan terbukti mengurangi secara signifikan insiden penyakit ini. Larva cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak terlindungi, karena itu penting sekali memakai alas kaki, dan menghindari kontak langsung bagian tubuh manapun dengan tanah (Jusych, 2012).

H. Penatalaksanaan Modalitas topikal seperti spray etilklorida, nitrogen cair, fenol, CO2 snow, piperazine citrate, dan elektrokauter umumnya tidak berhasil sempurna, karena larva sering tidak lolos atau tidak mati. Demikian pula kemoterapi dengan klorokuin, dietilcarbamazine dan antimony juga tidak berhasil. Terapi

pilihan saat ini adalah dengan preparat antihelmintes baik topikal maupun sistemik (Jusych, 2012; Emmy, 2005; Siregar, 2004). 1. Sistemik (Oral) a) Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali, diberikan berturut turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah (Aisah, 2008). b) Solusio topikal tiabendazol dalam DMSO, atau suspensi tiabendazol secara oklusi selama 24 48 jam. Dapat juga disiapkan pil tiabendazol yang dihancurkan dan dicampur dengan vaseline, di oleskan tipis pada lesi, lalu ditutup dengan band-aid/kasa. Campuran ini memberikan jaringan kadar antihelmints yang cukup untuk membunuh parasit, tanpa disertai efek samping sistemik. c) Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga hari berturut turut (Aisah, 2008). d) Ivermectin (Stromectol) Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap nematoda. Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui pengikatan kanal klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan dosis tunggal, dewasa: 12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal, Anakanak <5 tahun: 150 ug/kgBB dosis tunggal, Anak-anak >5 tahun: sama dengan dewasa. Efek samping mencakup kelelahan, pusing, mual, muntah, nyeri perut dan bercak kemerahan. Hindari penggunaan bersama obat yang meningkatkan aktivitas GABA seperti barbiturat, benzodiazepin dan asam valproat. Ivermectin tidak boleh diberikan pada ibu hamil (Djuanda, 2007).

2. Agen Pembeku Topikal a) Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, selama 2 hari berturut turut.

b) Nitrogen liquid c) Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya. d) Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion atau Cortisone) untuk mengurangi gatal (Aisah, 2008).

VI. AMEBIASIS KUTIS A. Definisi Amebiasis kulit adalah infeksi amuba ke dalam kulit dengan gejala gejala khas (Siregar, 2004).

B. Epidemiologi Amebiasis kutis dapat mengenai semua umur, walaupoun lebih sering terjadi pada usia dewasa. Penyebaran dari amebiasis kutis dapat terjadi di seluruh dunia dan paling sering adalah di daerah tropis (Djuanda, 2007).

C. Etiologi Penyebab dari amebiasis kutis adalah Entamoeba Histolytica, berbentuk bulat dengan diameter 20 40 mikron (Djuanda, 2007).

D. Faktor Predisposisi Faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit ini umumnya didahului oleh infeksi amuba di tempat lain terutama di saluran cerna dan abses hati. Orangorang yang kurang mengerti kebersihan lebih mudah terkena penyakit ini (Djuanda, 2007).

E. Perjalanan Penyakit Lesi dimulai sebagai abses di sekitar anus, selanjutnya memecah dan mengeluarkan amuba. Kemudian menjadi daerah yang merah dan menebal. Biasanya penderita mengeluh gatal dan sakit (Djuanda, 2007).

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Amebiasis Kutis.

F. Diagnosis 1. Pemeriksaan Kulit Dari pemeriksaan kulit biasanya berlokasi di genitalia eksterna, sekitar anus, perineum dan bokong dengan efflorensi makula eritematosa dengan permukaan kasar tak rata, jika sudah lama akan menjadi granuloma merah di sekitar anus.

Gambar 4. Gambaran Klinis Amebiasis Kutis

2. Gambaran Hisopatologi Pada epidermis terjadi hiperkeratosis, terdapat pula sebukan jaringan nekrosis dengan sel plasma, limfosit dan selsel polinuklear. E.histolytica dapat ditemukan dalam jaringan kulit.

Gambar 4. Gambaran Histopatologi Amebiasis Kutis

3. Pemeriksaan Penunjang Mencari E.Histolytica dalam tinja Pemeriksaan Serologi.

4. Diagnosis Banding Granuloma Inguinale, limfogranuloma venereum atau tuberkulosis mukokutan bahkan karsinoma rektum harus dipikirkan sebagai diagnosis banding.

G. Penatalaksanaan Emetin 1 mg/kgBB selama 10 14 hari Diiodohidroksikuinolin atau tetrasiklin juga berkhasiat baik, jika tidak berhasil dengan emetin (Djuanda, 2007).

H. Prognosis Prognosis pada penyakit ini adalah baik.

KESIMPULAN 1. Cutaneous larva migrans (CLM) adalah penyakit kulit pada manusia disebabkan oleh berbagai larva nematoda parasit pada anjing dan kucing, yang paling umum adalah Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. 2. CLM dapat diterapi dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu: terapi sistemik (oral) atau terapi topikal. Berdasarkan beberapa penelitian yang ada terapi sistemik merupakan terapi yang terbaik karena tingkat keberhasilannya lebih baik daripada terapi topikal. 3. Amebiasis kutis adalah infeksi amuba ke dalam kulit dengan gejala gejala khas. Dari pemeriksaan kulit biasanya berlokasi di genitalia eksterna, sekitar anus, perineum dan bokong dengan efflorensi makula eritematosa dengan permukaan kasar tak rata, jika sudah lama akan menjadi granuloma merah di sekitar anus. 4. Penatalaksanaan amebiasis kutis dengan pemberian emetin 1 mg/kgBB selama 10 14 hari, diiodohidroksikuinolin atau tetrasiklin juga berkhasiat baik, jika tidak berhasil dengan emetin.

Referensi Aisah, S. 2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI. Hal: 125-6. Aisah, Siti. 2008. Creeping Eruption, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Hal: 1256. Anonymous. 2013. Clinical Presentation in Humans. Diunduh dari www.stanford.edu/group/parasites/parasites2002/cutaneous_larva_migrans/ clinical%20presentation.html. Diakses tanggal : 4 April 2013. Djuanda, A. et al.. 2007. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: FKUI. Dugdale,DC. 2008. Creeping Eruption. Diunduh dari: www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001454.htm . Diakses tanggal: 4 April 2013. Emmy dkk. 2005. Creeping Eruption, Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia, Sebuah Panduan Bergambar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : PT Medical Multimedia Indonesia. Hal 71. Jusych, LA. Douglas MC. 2012. Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and Medication. Diunduh dari: www.emedicine.com. Diakses tanggal: 4 April 2013. Kim, Lee Sohn. 2006. Three clinical cases of cutaneous larva migrans. Korean JParasitol. June; 44 (2):145-149. Lydia, M. 2008. Cutaneous larva migran. Emedicine (online). Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal: 4 April 2013. Siregar, R.S. 2004. Creeping Eruption, Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Hal 172.

Anda mungkin juga menyukai