SULAWESI SELATAN
SKRIPSI
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011
GEOLOGI DAN STUDI MINERALISASI BIJIH DAERAH SITEBA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN WALENRANG UTARA, KABUPATEN LUWU, PROPINSI SULAWESI SELATAN
SKRIPSI
OLEH : BUDI SULISTYANTO 111 040 072
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi
Yogyakarta,
September 2011
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
ii
Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua dan kakak-kakak tercinta.
iii
UCAPAN TERIMAKASIH
Laporan penelitian ini tidaklah semata-mata merupakan hasil kerja penulis sendiri, melainkan juga sumbangan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : Kedua orangtua yang selama ini telah mendidik dan membesarkan penulis dengan kasih dan sayangnya serta membiayai pendidikan hingga ke jenjang ini, dan kakak-kakak yang selalu memberikan dukungan dalam segala hal. Ir. Sugeng Raharjo, M.T., selaku kepala jurusan. Prof. Dr. Ir. H. Sutanto, D.E.A., selaku dosen pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu, mencurahkan pikiran dan tenaganya guna membimbing penulis dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul sewaktu menyelesaikan penyusunan laporan penelitian. Ir. F. Suhartono, M.Si., selaku dosen pembimbing kedua yang telah berkenan meluangkan waktu, mencurahkan pikiran dan tenaganya guna membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian, dengan diselingi humorhumor ringan. Ir. M. Haasyir Naufalin, MT., selaku koordinator dan pembimbing lapangan, terimakasih atas segala dukungan dan waktu yang telah banyak terbuang untuk membantu. Ir. Nugrahanto, Ir. Taryoko, dan Ir. Amin Dahrussalam, selaku pembimbing di lapangan. Bersama orang-orang hebat seperti anda pekerjaan terasa nyaman. Rekan-rekan : Widiatmoko Indrayana, Putra Agung Setiaji, Ikhsan Putra Digdaya, Haryanto Andi Prasetyo, Abfatieh Marham, Rifki Febrianto, Andik Koeswoyo, dan pangchopat yang lain. Terima kasih atas perjuangan dan kebersamaan kita selama ini. Kalian adalah teman di saat senang dan bersenang-senang.
iv
SARI
Lokasi penelitian secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Wanlenrang Utara, Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian secara UTM terletak pada zona 51M, berada di antara titik 174000 mE 180000 mE dan 9691000 mS 9695000 mS, dan secara astronomis terletak pada koordinat 024500 LS sampai 024905 LS dan 1200340,80 BT sampai 1200718,04 BT. Berdasarkan kenampakan di lapangan dan peta topografi, daerah telitian dibagi menjadi dua satuan geomorfik, yaitu satuan bentuk asal vulkanik yang terdiri dari bentuklahan perbukitan vulkanik berlereng curam (V1) dan satuan bentuk asal struktural yang terdiri dari bentuklahan perbukitan homoklin berlereng curam (S9) dan lembah sesar (S21) (Van Zuidam, 1983, dengan modifikasi penulis). Pola pengaliran di daerah telitian termasuk kedalam pola trellis, dimana cabang-cabang anak sungai mempunyai arah aliran relatif tegaklurus terhadap sungai utama. Berdasarkan tingkat erosi dan stadia sungai, maka daerah telitian termasuk dalam stadia dewasa dimana dicirikan dengan lembah-lembah sungai yang berbentuk U, bermunculan anak sungai dan erosi lateral lebih dominan. Stratigrafi daerah penelitian dari tua ke muda adalah satuan batugamping (Formasi Toraja) yang berumur Eosen awal-tengah, satuan breksi dan satuan andesit (Formasi Gunungapi Lamasi) yang berumur Oligosen. Hubungan stratigrafi antara batugamping dengan satuan yang ada di atasnya adalah tidak selaras. Di atas batugamping diendapkan secara tidak selaras satuan breksi (Formasi Gunungapi Lamasi) dan satuan andesit (Formasi Gunungapi Lamasi), dimana hubungan antara breksi dan andesit adalah bersilang jari. Struktur geologi yang terdapat pada daerah telitian yaitu berupa kekar, baik kekar sistematik maupun kekar taksistematik. Pada daerah penelitian juga terdapat satu struktur sesar, yaitu sesar geser yang mempunyai arah relatif tenggara-barat laut. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang didukung dengan hasil analisis termasuk diantaranya analisis petrografi, geokimia, dan XRD, zona alterasi yang terdapat di daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga zonasi, antara lain zona alterasi propilitik, advanced argilic, dan filik, yang berasosiasi dengan mineral bijih seperti pirit (FeS2), Kalkopirit (CuFeS2), hematit, dan magnetit. Mineralisasi di daerah telitian dikontrol oleh struktur geologi berupa kekar dan sesar, dimana mineralisasi banyak dijumpai mengisi kekar-kekar dan sebagian mengisi urat kuarsa.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga terselesaikannya skripsi yang berjudul Geologi dan Studi Mineralisasi Bijih Daerah Siteba dan Sekitarnya, Kecamatan Walenrang Utara, Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan. Merupakan suatu pengalaman dan proses belajar yang tidak terlupakan, menerapkan dan mengaplikasikan apa yang telah didapatkan didapatkan dari bangku perkuliahan yang syarat akan teori-teori dan hukum-hukum, di lapangan. Pada akhirnya penulis sadar bahwa segala sesuatu yang telah diberikan oleh para pengajar selama ini ada maksud dan tujuan tersendiri yang kesemuanya demi kebaikan anak didiknya. Penulis sadar bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunan laporan skripsi ini, sangatlah penulis harapkan masukan-masukan, koreksi serta kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas penulis dalam pembuatan laporan maupun karya tulis ilmiah pada kesempatan berikutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat sesuai yang penulis harapkan.
Yogyakarta,
September 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .... i HALAMAN PENGESAHAN ..... ii HALAMAN PERSEMBAHAN . iii UCAPAN TERIMAKASIH ....... iv SARI ..... v KATA PENGANTAR ..... vi DAFTAR ISI ................ vii DAFTAR TABEL ....... xi DAFTAR GAMBAR .. xii DAFTAR FOTO .. xiii BAB I PENDAHULUAN . 1 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 1.2. Rumusan Masalah ... 1 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ....... 2 1.4. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian . 2 1.5. Hasil Penelitian ... 4 1.6. Manfaat Penelitian .......... 4 BAB II METODOLOGI PENELITIAN 5 2.1. Metodologi Penelitian . 5 2.2. Pengumpulan Data .. 7 2.2.1. Sumber Data .. 7 2.2.2. Teknik Pengumpulan Data 7 2.3. Alat dan Bahan Penelitian ... 8 2.4. Peneliti Terdahulu .. 9 BAB III DASAR TEORI ..... 11
vii
3.1. Alterasi Hidrotermal ... 11 3.1.1. Tipe Endapan Hidrotermal ........... 13 3.1.1.1. Hipotermal ................... 14 3.1.1.2. Mesotermal .. 14 3.1.1.3. Epitermal ...... 14 3.1.2. Proses Alterasi Hidrotermal ............. 15 3.1.2.1. Kaolinisasi 15 3.1.2.2. Serisitisasi .... 15 3.1.2.3. Silisifikasi . 15 3.1.2.4. Propilitisasi ...... 16 3.1.2.5. Saussuritisasi ... 16 3.1.3. Ubahan . 16 3.1.4. Pembagian Zonasi Ubahan .. 18 3.1.5. Model Zonasi Ubahan ...... 19 3.1.5.1. Model Zonasi Ubahan Creasey (1966) 19 3.1.5.2. Model Zonasi Ubahan Lowell dan Gulbert (1970) . 20 3.2. Mineralisasi 21 3.3. Proses Pembentukan Mineral Logam dan Non Logam ..... 22 3.3.1. Proses Magmatik ..... 22 3.3.2. Proses Metamorfisme ...... 23 3.3.3. Proses Permukaan .... 24 3.4. Resume ... 24 BAB IV GEOLOGI REGIONAL ..... 26 4.1. Fisiografi Regional . 26 4.2. Stratigrafi Regional ........ 28 4.2.1. Formasi Latimojong (Kl) . 28 4.2.2. Formasi Toraja ..... 28 4.2.3. Batuan Gunung Api Lamasi (Tolv) . 28 4.2.4. Formasi Date (Tomd) dan Formasi Makale (Tomm) .. 29 4.2.5. Formasi Salowajo (Tms) ..... 29 4.2.6. Formasi Loka (Tml) .... 29
viii
4.2.7. Formasi Mandar (Tmm) ... 29 4.2.8. Formasi Sekala (Tmps) dan Batuan Gunungapi Walimbong (Tmpv) . 30 4.2.8. Formasi Mapi (Tmpm) ..... 30 4.3. Struktur Geologi dan Tektonika ..... 31 BAB V GEOLOGI DAERAH SITEBA DAN SEKITARNYA ... 37 5.1. Geomorfologi ..... 37 5.1.1. Kelerengan ... 38 5.1.2. Bentuklahan .. 40 5.1.2.1. Satuan Perbukitan Vulkanik Berlereng Curam (V1) 40 5.1.2.2. Satuan Perbukitan Homoklin Berlereng Curam (S9) ... 41 5.1.2.3. Satuan Lembah Sesar (S21) ..... 42 5.1.3. Pola Pengaliran .... 43 5.1.4. Stadia Geomorfologi .... 43 5.1.5. Morfogenesis 44 5.2. Stratigrafi .... 45 5.2.1. Satuan Batugamping Formasi Formasi Toraja .... 45 5.2.2. Satuan Breksi Formasi Gunungapi Lamasi . 48 5.2.3. Satuan Andesit Formasi Gunungapi Lamasi .... 50 5.3. Struktur Geologi .... 52 5.3.1. Struktur Kekar ..... 52 5.3.1.1. Kekar tak sistematik .... 53 5.3.1.2. Kekar sistematik ...... 54 5.3.2. Struktur Sesar ... 55 5.3.2.1. Sesar Mendatar Kanan Daerah Sungai Mataluntun . 56 5.4. Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi . 57 BAB VI STUDI MINERALISASI BIJIH . 59 6.1. Alterasi Hidrotermal Daerah Sungai Mataluntun dan Sungai Makawa.. 59 6.1.1. Alterasi Propilitik .. 59 6.1.2. Alterasi Advanced Argilic . 66 6.1.3. Alterasi Filik ................. 69
ix
6.2. Mineralisasi Daerah Siteba dan Sekitarnya .... 74 6.2.1. Aktivitas Magmatisme Daerah Siteba dan Sekitarnya . 75 6.2.2. Mineralisasi Bijih Daerah Siteba dan Sekitarnya . 76 6.2.3. Hubungan Alterasi Dengan Mineralisasi Logam Daerah Siteba dan Sekitarnya ... 77 6.3. Hasil Analisa Kadar AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) pada Daerah Siteba dan Sekitarnya ........ 78 6.4. Karakteristik Endapan Epitermal Daerah Siteba dan Sekitarnya ....... 78 6.5. Peranan Struktur Geologi Terhadap Keberadaan Urat Kuarsa pada Daerah Siteba dan Sekitarnya . 80 6.6. Hubungan Struktur Geologi dan Litologi dengan Mineralisasi Bijih pada Daerah Siteba dan Sekitarnya .... 81 BAB VII KESIMPULAN ....... 82 DAFTAR PUSTAKA .. 83 LAMPIRAN . 85
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral. (Creasey, 1966; Lowell dan Guilbert, 1970 dalam Anonim, 1997) ... 13 Tabel 4.1. Kolom Stratigrafi Regional Lembar Majene dan Palopo bagian barat (Djuri , dkk, 1998) . 31 Tabel 5.1. Hubungan antara persentase sudut lereng dan beda tinggi dalam klasifikasi relief (van Zuidam, 1983) 38 Tabel 5.2. Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik menurut ITC, dalam Van Zuidam (1983) 39 Tabel 5.3. Kolom lithostratigrafi daerah telitian 45 Tabel 6.1. Hasil analisa XRD LP 51 ...... 64 Tabel 6.2. Hasil analisa XRD LP 49 .. 68 Tabel 6.3. Hasil analisa XRD LP 61 .. 73 Tabel 6.4. Tabulasi data kandungan unsur dari hasil analisa AAS 78 Tabel 6.5. Ciri-ciri umum endapan epitermal (Lingrend, 1983) .. 79 Tabel 6.6. Karakteristik mineralisasi daerah Sungai Mataluntun dan sekitarnya .. 80
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peta Lokasi Penelitian (Global Mapper; BAKOSURTANAL, 1994), Insert : Peta Sulawesi (Global Mapper 8.0) .............. 3 Gambar 2.2. Bagan Alir Penelitian ........ 10 Gambar 4.1. Peta satuan litotektonik Sulawesi (Rab Sukamto, 1975) ...... 27 Gambar 4.2. Geologi regional Sulawesi (Hamilton 1979) .... 34 Gambar 4.3. Pembagian Mandala Geologi Sulawesi (R.A.B. Sukamto, 1973), Di bagian tengah mandala ini juga didapatkan suatu terban yang memanjang kearah utara selatan yang disebut terban Walanae. Terban ini dibatasi oleh dua sesar normal yang berarah utara-selatan. Kemudian terban ini terisi oleh produk-produk vulkanik Kuarter ........ 35 Gambar 4.4. Tumbukan antara Mikrokontinen Banggai-Sula dengan subduksi Sunda pada Kala Pliosen Akhir (Sartono, dkk. 1991) .. 36 Gambar 5.1. Klasifikasi stadia geomorfologi, Lobeck (1939) 1. stadia muda, 2. stadia dewasa, 3. stadia tua .. 44 Gambar 5.2. Hubungan antara Shear Joint, Extension Joint dan Release Joint terhadap prinsip arah tegasan 53 Gambar 5.3. Klasifikasi penamaan sesar berdasarkan Rickard, (1972) .... 56 Gambar 5.4. Mekanisme struktur geologi berdasarkan model teori strain ellipsoid menurut Reidel (modifikasi dari Teori Harding, 1974) dalam Mc Clay, 1987 ........ 58 Gambar 6.1. Grafik analisa XRD LP 51 63 Gambar 6.2. Temperatur pembentukan mineral pada sampel alterasi propilitik ... 65 Gambar 6.3. Grafik analisa XRD LP 49 ........ 67 Gambar 6.4. Temperatur pembentukan mineral pada sampel alterasi advanced argilic ............................... 69 Gambar 6.5. Grafik analisa XRD Lp 61 ........ 72 Gambar 6.6. Temperatur pembentukan mineral pada sampel alterasi filik ... 74
xii
DAFTAR FOTO
Foto 5.1. Kenampakan satuan bentuklahan perbukitan vulkanik berlereng curam, diambil pada lokasi pengamatan 36, dengan arah kamera N345E ...... 41 Foto 5.2. Kenampakan satuan bentuklahan perbukitan homoklin berlereng curam, diambil pada lokasi pengamatan 37 dengan arah kamera N250E ... 42 Foto 5.3. Satuan bentuklahan lembah sesar, diambil pada lokasi pengamatan 17, dengan arah kamera N120E ............................................................ 43 Foto 5.4. Singkapan Satuan Batugamping pada lokasi pengamatan 80 dengan arah kamera N215E ......... 46 Foto 5.5. Singkapan batugamping pada lokasi pengamatan 83 dengan parameter kompas geologi ..... 46 Foto 5.6. Sayatan tipis LP 83 batugamping klastik, beserta deskripsi ..... 47 Foto 5.7. Singkapan breksi pada lokasi pengamatan 66 dengan arah kamera N005E .. 48 Foto 5.8. Singkapan breksi dengan parameter alat tulis (insert foto 5.7) ..... 49 Foto 5.9. Sayatan batuan beku volkanik LP 66, beserta deskripsi ... 49 Foto 5.10. Singkapan andesit pada lokasi pengamatan 9 dengan arah kamera N354E . 50 Foto 5.11. Singkapan andesit pada lokasi pengamatan 9 dengan parameter palu geologi ... 51 Foto 5.12. Sayatan batuan beku volkanik LP 23, beserta deskripsi 51 Foto 5.13. Kekar tak sistematik yang terletak pada lokasi pengamatan 49 daerah Sungai Mataluntun, dengan arah kamera menghadap ke bawah ...... 54 Foto 5.14. Kekar sistematik pada andesit lokasi pengamatan 49 dengan arah kamera menghadap ke bawah ... 55 Foto 5.15. Zona hancuran (breksiasi) pada andesit lokasi pengamatan 49, dan kenampakan kekar gerus dan kekar tarik lokasi pengamatan 49 dengan arah kamera N189E . 57 Foto 6.1. Singkapan andesit teralterasi pada lokasi pengamatan 51 daerah sungai Mataluntun dengan arah kamera N350E ..... 60
xiii
Foto 6.2. Singkapan andesit teralterasi dan didapatkan mineral pirit dan kalkopirit yang menyebar pada batuan (insert foto 6.1) .... 60 Foto 6.3. Sayatan tipis batuan teralterasi, beserta deskripsi .... 61 Foto 6.4. Sayatan poles batuan alterasi, beserta deskripsi ... 61 Foto 6.5. Alterasi advanced argilic di batuan andesit pada satuan andesit, lokasi pengamatan 49 .. 66 Foto 6.6. Singkapan andesit teralterasi didapatkan mineral pirit dan kalkopirit yang menyebar pada batuan .................................................. 70 Foto 6.7. Andesit teralterasi dengan parameter uang logam (insert foto 6.6) .. 71 Foto 6.8. Sayatan batuan teralterasi, beserta deskripsi . 71 Foto 6.9. Kenampakan pirit yang hadir pada batuan teralterasi, pada lokasi pengamatan 61 daerah Sungai Makawa 76 Foto 6.10. Kenampakan pirit yang hadir pada sayatan poles batuan teralterasi LP 61 . 77
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Bidang ilmu geologi saat ini memiliki peranan penting di kalangan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi yang berkembang dan bekerja di daerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu ini akan mendorong para ahli untuk melakukan penelitian secara regional, sebab masih diperlukan suatu penelitian yang lebih detail guna melengkapi data geologi yang telah ada mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta aspek geologi teraplikasi lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melakukan penelitian mengenai keadaan geologi daerah Siteba dan sekitarnya, kecamatan Walenrang Utara, kabupaten Luwu, propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan data-data geologi daerah Siteba yang secara administratif masuk dalam wilayah kecamatan Walenrang Utara, Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan, terutama untuk pengembangan daerah tersebut. Penelitian geologi lapangan ini meliputi kegiatan pemetaan terhadap aspek geomorfologi yaitu dengan melihat permukaan bumi diantaranya gerakan tanah, proses erosi, bentukan sungai dan beberapa gejala lainnya. Aspek stratigrafi membahas mengenai jenis batuan, urutan lapisan dan umur batuan yang ada di daerah penelitian. Struktur geologi membahas mengenai pengaruh struktur yang bekerja serta hubungannya dengan stratigrafi di daerah tersebut. Sedangkan potensi bahan galian membahas mengenai indikasi penyebarannya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan penduduk di daerah sekitar maupun oleh penduduk di luar daerah tersebut, serta dapat menceritakan sejarah geologi daerah penelitian.
1.2. Rumusan Masalah Permasalahan pada penelitian ini dapat dikelompokkan kedalam beberapa bagian, yaitu : Bagaimana permasalahan geomorfologi pada daerah telitian?
Permasalahan yang timbul adalah pembagian satuan geomorfik dan pola pengaliran serta stadia geomorfologi di daerah telitian. Bagaimana permasalahan stratigrafi daerah telitian? Permasalahan yang timbul adalah mengenai batas penyebaran satuan batuan seperti kontak antara dua satuan batuan yang dapat berupa batas tegas maupun berangsur. Bagaimana permasalahan struktur geologi daerah telitian? Permasalahan yang timbul adalah mengenai struktur geologi apa saja yang mengontrol di daerah telitian.
Bagaimana permasalahan mineralisasi daerah telitian?
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana penyebaran zonasi mineralisasi di daerah telitian.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Kegiatan Skripsi dalam jangka pendek dilakukan untuk mencapai pengetahuan tentang geologi regional maupun geologi lokal daerah telitian yang akan dilakukan dan bagaimana proses tahapan mulai dari tahap perencanaan, tahap persiapan, serta tahap pelaksanaan dalam proses eksplorasi. Kegiatan Skripsi dalam jangka panjang ditujuan untuk dapat menghasilkan ilmu terapan, membuktikan teori, memaparkan konsep geologi yang mempengaruhi dari proses alterasi pada daerah telitian, kemudian mencari berbagai hubungan antar gejala yang mengontrol dari alterasi, sehingga dapat mengungkap geologi dan alterasi serta tipe mineralisasi apa yang berkembang pada alterasi tersebut, yang dapat berguna bagi Mahasiswa, Perusahaan, serta Masyarakat pada umumnya.
1.4. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitian terletak di desa Siteba dan sekitarnya yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Walenrang Utara, Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara astronomis daerah penelitian terletak pada koordinat 024500 LS sampai 024905 LS dan 1200340,80 BT sampai 1200718,04 BT. Daerah ini tergambar dalam peta tunjuk lokasi penelitian dan masuk dalam peta lembar Palopo,
nomor 2113-11 Edisi I tahun 1991, yang diterbitkan oleh Bakosurtanal Cibinong Bogor dengan skala 1 : 50.000. Luas daerah penelitian yang diukur berdasarkan peta dasar berskala 1 : 50.000 adalah 5000 Ha. Pencapaian lokasi penelitian tersebut yaitu dari Jakarta ke Makassar dengan pesawat udara selama 2 jam, dari Makassar ke Palopo dengan mobil selama 7 jam, dan dari Palopo ke kecamatan Walenrang Utara dengan Mobil selama 1 jam. Perjalanan Palopo Bolong kondisi jalan masih beraspal, setelah itu kondisi jalan belum beraspal sampai desa tujuan, pada waktu musim hujan masih dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 dikarenakan jalan relatif bagus.
Gambar 1.1. Peta Lokasi Penelitian (Global Mapper; BAKOSURTANAL, 1994), Insert : Peta Sulawesi (Global Mapper 8.0).
1.5. Hasil Penelitian Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu berupa : a. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan Mencakup segala informasi lintasan pengukuran kedudukan dan litologi yang berkembang di daerah telitian. b. Peta Geomorfologi Daerah Telitian Mengandung informasi mengenai geomorfologi daerah telitian yang meliputi bentuk asal dan bentukan lahan. c. Peta Geologi Daerah Telitian Mencakup segala informasi geologi mengenai daerah telitian yang diantaranya sebaran litologi penyusun daerah telitian serta struktur geologi yang berkembang. d. Peta Mineralisasi Daerah Telitian Mencakup informasi mengenai penyebaran mineralisasi pada daerah telitian. e. Peta Semi Detail Mineralisasi Daerah Telitian Mencakup informasi mengenai penyebaran mineralisasi pada daerah telitian.
1.6. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam beberapa bidang, antara lain: a. Keilmuan Mengetahui kondisi geologi daerah telitian. Mengetahui dan memahami mineralisasi daerah Siteba dan faktor-faktor pengontrolnya serta keterdapatan mineral bijih di daerah Siteba. b. Bagi pemerintah
Mengetahui lokasi keberadaan daerah daerah yang berpotensi. Sebagai acuan untuk perencanaan, kebijakan, penataan, pengendalian, dan arah pembangunan yang akan diambil oleh pemerintah daerah Kabupaten Luwu pada daerah telitian dan acuan pengembangan lokasi penambangan.
c. Masyarakat Masyarakat dapat mengetahui potensi yang terdapat di daerah tersebut. Sebagai wacana untuk melakukan pengembangan terhadap potensi
daerahnya.
2.1. Metodologi Penelitian Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi yang dilakukan di lapangan meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan batuan, pengukuran, pengambilan sampel batuan. Sebelum melakukan observasi ke lapangan, terlebih dahulu melakukan analisis data sekunder yang didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan secara detail. Setelah mendapatkan data dari hasil observasi lapangan, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data tersebut yang kemudian disusun sebagai laporan. Adapun beberapa metodologi yang dipergunakan dalam penelitian dan pembuatan laporan geologi ini adalah sebagai berikut : a. Studi pustaka Studi pustaka mempelajari geologi daerah Sulawesi dan daerah penelitian berdasarkan publikasi-publikasi dan literatur-literatur yang telah dibuat oleh peneliti terdahulu. Hal ini sangat penting untuk mengetahui geologi dan aspekaspek teoritis dalam ilmu geologi yang berguna sebagai dasar pemikiran dalam penyelesaian masalah geologi yang dihadapi di lapangan. Tahapan ini dilakukan sebelum penelitian lapangan dilaksanakan. b. Pemetaan awal Pemetaan awal ini sangat berguna untuk mengetahui nama-nama desa atau daerah yang ada pada daerah penelitian, serta mengetahui macam-macam litologi dan penyebarannya. Kegiatan semacam ini sangat berguna untuk menentukan jalur dan kegiatan penelitian. c. Pemetaan Pemetaan ini meliputi pengamatan jenis batuan, hubungan antar jenis batuan, struktur geologi, struktur sedimen, maupun gejala-gejala geologi lainya. Apabila mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam tahapan-tahapan ini, maka
diadakan diskusi bersama dengan tim dan pembimbing lapangan dalam mencari penyelesaian masalahnya. Kemudian disinkronkan dengan penyebaran lateral geologi dengan daerah yang bertampalan dan bila dianggap perlu diadakan penelitian lapangan bersama-sama. d. Pemeriksaan ulang Tahapan ini dilakukan bersama-sama dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan geologi yang penulis hadapi selama melakukan penelitian di lapangan. e. Analisa Tahapan analisa ini meliputi berbagai macam kegiatankegiatan laboratorium, diantaranya adalah : 1) Tahap analisis geomorfologi Meliputi analisis data lapangan, pengelompokan dan pemerian satuan geomorfik, analisis sungai, analisis stadia daerah dan morfogenesis. 2) Tahap deskripsi petrografi Melakukan pengamatan sayatan tipis batuan yang meliputi pengamatan struktur, tekstur dan komposisi mineralogi/materi penyusun batuan dengan bantuan mikroskop polarisasi dengan tujuan mengklasifikasikan batuan dan membantu interpretasi petrogenesa batuan. 3) Tahap identifikasi paleontologi Melakukan pengamatan makropaleontologi dan atau mikropaleontologi dengan tujuan untuk membantu menentukan umur dan lingkungan pengendapan batuan sedimen. 4) Tahap analisis struktur geologi Melakukan analisis data struktur geologi dengan bantuan metode-metode yang ada (diagram kipas, stereonet) dan merekonstruksi struktur geologi dengan mengacu pada teori dan model yang sudah ada. f. Sintesa Tahapan ini adalah kelanjutan dari tahapan analisa yang selanjutnya penulis mencoba untuk menerapkan konsep atau model serta teori-teori geologi yang ada dalam memecahkan fenomena-fenomena geologi yang ada pada daerah penelitian.
g. Pembuatan laporan Pembuatan laporan merupakan kegiatan paling akhir setelah tahapan-tahapan tersebut di atas dilakukan dan selanjutnya akan dipresentasikan.
2.2. Pengumpulan Data 2.2.1. Sumber Data Sumber data diperoleh dari hasil survei lapangan (data primer) dan data yang diperoleh melalui survei instansional (data sekunder), yaitu : a. Data primer adalah data yang langsung diambil dari lapangan, yaitu : 1) Data bentuklahan (morfografi, morfometri dan morfogenesa) dan
hubungannya dengan sebaran daerah telitian. 2) Data geologi (litologi, stratigrafi dan struktur geologi) di lokasi penelitian. 3) Data pengukuran-pengukuran kedudukan batuan dan kedudukan struktur geologi di lapangan. b. Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung, yaitu : 1) Data peta geologi berikut laporan yang diperoleh dari instansi terkait seperti dinas energi dan sumberdaya mineral provinsi Sulawesi Selatan, Bakosurtanal (Cibinong), hasil penelitian dari pemerintah kabupaten Luwu, P3G. 2) Data hasil analisa laboratorium dari sampel yang sudah diambil di lokasi penelitian. 2.2.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yaitu : a. Pengumpulan data sekunder, diperoleh dari : 1) Peta rupabumi dari Bakosurtanal di outlet Bakosurtanal. 2) Peta geologi regional dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) di Bandung. 3) Hasil analisa laboratorium yang berasal dari laboratorium terkait. b. Pengumpulan data primer diperoleh dari : a. Pemetaan langsung di lapangan, melalui pemetaan awal dan pemetaan semi detail dengan skala 1:25.000.
b. Pengamatan langsung di lapangan, meliputi aspek geologi (batuan, struktur geologi dan sedimentologi).
2.3. Alat dan Bahan Penelitian Beberapa peralatan dan bahan yang dipergunakan untuk kelancaran penelitian geologi ini adalah sebagai berikut : Peta topografi skala 1 : 25.000 Digunakan sebagai peta dasar untuk melakukan orientasi medan dan pengeplotan titik pengamatan di lapangan. Palu geologi Digunakan untuk mengambil sampel batuan yang ada di titik pengamatan. Kaca pembesar (lup) Digunakan untuk mengamati sampel batuan yang diambil serta untuk mengamati komposisi penyusun batuan tersebut. Komparator ukuran butir serta klasifikasi penamaan batuan. Kantong sampel Digunakan sebagai tempat sampel untuk digunakan pada saat analisa laboratorium dan dilapangan. Kompas geologi Digunakan untuk melakukan orientasi medan/pengeplotan titik pengamatan, mengukur kelerengan morfologi dan untuk mengukur data struktur baik struktur primer maupun sekunder. Buku catatan lapangan Digunakan untuk mencatat data-data yang ada pada saat melakukan observasi lapangan. Clipboard Digunakan untuk tempat alas peta topografi dan sebagai alat bantu dalam melakukan pengukuran data-data di lapangan. Alat tulis Digunakan sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan. Penggaris dalam berbagai bentuk
Digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan. Busur derajat Digunakan untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan pada peta topografi dan untuk mengukur besar sudut data struktur yang ada di lapangan. Kamera Digunakan untuk mengambil data berupa gambar yang ada di lapangan. HCl 0,1 M Digunakan untuk mengetes ada tidaknya kandungan karbonat dalam suatu batuan. Tas/ransel/backpack. Digunakan sebagai tempat untuk menyimpan semua peralatan yang digunakan di lapangan.
2.4. Peneliti Terdahulu Beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian di daerah Pulau Sulawesi diantaranya adalah sebagai berikut : Djuri dan Sudjatmiko (1949), melakukan pemetaan geologi pada lembar Majene dan bagian barat lembar Palopo menurut pembagian dari dinas topografi. Hasil dari pemetaan ini diterbitkan sebagai peta geologi skala 1 : 250.000 dan secara resmi disebut sebagai peta lembar majene beserta keterangan peta dan laporan tertulisnya. Rab. Sukamto (1975), menurutnya ada tiga mandala geologi yang dapat di wilayah Sulawesi dan sekitarnya. Perbedaan itu terdapat pada stratigrafi, struktur, dan sejarah geologinya. Ketiga mandala geologi tersebut adalah : 1) Mandala Banggai-Sula 2) Mandala Sulawesi Timur 3) Mandala Sulawesi Barat Hamilton.W (1979), dalam Tectonic of The Indonesian Region, menekankan bahwa adanya pulau-pulau dari kelompok punggungan Sula merupakan fragmen-fragmen kebenuaan yang berasal dari New Guinea (Papua) yang
bertumbukan dengan Sulawesi bagian timur yang terjadi pada Kala Tersier Tengah atau Miosen Tengah. Rab. Sukamto dan Simandjuntak T.O. (1983), dalam Tectonic Relationship Between Geology Province of Western Sulawesi and Banggai-Sula In The Light of Sedimention Aspect.
KAJIAN PUSTAKA
Studi Literatur
PENGUMPULAN DATA
Data sekunder : - Peta Topografi lembar Palopo 1 : 25.000 - Peta Geologi regional lembar Malili dan Majene Skala 1:250.000
PENELITIAN LAPANGAN
Data Primer : - Pengamatan lapangan / Data Pengukuran lintasan semi-detail - Pengamatan morfologi - Data pengukuran struktur geologi (sesar dan kekar) - Contoh batuan, urat mineralisasi dan batuan samping (wall rock)
ANALISIS DATA
- Analisis data pengukuran lintasan semi-detil - Analisis Struktur Geologi - Analisis Sayatan Petrografi - AAS (Atomic Absorbtion Spectophotometric) dan XRD
PEMBAHASAN
- Peta Lokasi Pengamatan, Peta Geologi, Peta Geomorfologi, Peta Lintasan Semi Detail, Peta Zona Mineralisasi
10
3.1. Alterasi Hidrotermal Bateman (1956), menyatakan bahwa larutan hidrotermal adalah suatu cairan atau fluida yang panas, kemudian bergerak naik ke atas dengan membawa komponen-komponen mineral logam, fluida ini merupakan larutan sisa yang dihasilkan pada proses pembekuan magma. Alterasi dan mineralisasi adalah suatu bentuk perubahan komposisi pada batuan baik itu kimia, fisika ataupun mineralogi sebagai akibat pengaruh cairan hidrotermal pada batuan, perubahan yang terjadi dapat berupa rekristalisasi, penambahan mineral baru, larutnya mineral yang telah ada, penyusunan kembali komponen kimia-nya atau perubahan sifat fisik seperti permeabilitas dan porositas batuan ( Pirajno,1992). Alterasi dan mineralisasi bisa juga termasuk dalam proses pergantian unsurunsur tertentu dari mineral yang ada pada batuan dinding digantikan oleh unsur lain yang berasal dari larutan hidrotermal sehingga menjadi lebih stabil. Proses ini berlangsung dengan cara pertukaran ion dan tidak melalui proses pelarutan total, artinya tidak semua unsur penyusun mineral yang digantikan melainkan hanya unsurunsur tertentu saja. Larutan hidrotermal terbentuk pada fase akhir dari siklus pembekuan magma dan umumnya terakumulasi pada litologi dengan permeabilitas tinggi atau pada zona lemah. Interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya (wall rock) akan menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder (alteration minerals). Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, kimiawi, tekstur, dan hasil interaksi fluida dengan batuan yang dilewatinya. Perubahanperubahan tersebut akan bergantung pada karakter batuan dinding, karakter fluida (eH, pH), kondisi tekanan maupun temperatur pada saat reaksi berlangsung, konsentrasi, serta lama aktifitas hidrotermal. Walaupun
11
faktorfaktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia fluida kemungkinan merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal. Menurut Corbett dan Leach (1996), faktor yang mempengaruhi proses alterasi hidrotermal adalah sebagai berikut : Temperatur dan tekanan Peningkatan suhu membentuk mineral yang terhidrasi lebih stabil, suhu juga berpengaruh terhadap tingkat kristalinitas mineral, pada suhu yang lebih tinggi akan membentuk suatu mineral menjadi lebih kristalin, menurut Noel White (1996), kondisi suhu dengan tekanan dapat dideterminasi berdasarkan tipe alterasi yang terbentuk. Temperatur dan tekanan juga berpengaruh terhadap kemampuan larutan hidrotermal untuk bergerak, bereaksi dan berdifusi, melarutkan serta membawa bahan-bahan yang akan bereaksi dengan batuan samping. Permeabilitas Permeabilitas akan menjadi lebih besar pada kondisi batuan yang terekahkan, dan pada batuan yang berpermeabilitas tinggi dibandingkan dengan batuan masif kondisi permeabel akan mempermudah pergerakan fluida yang selanjutnya akan memperbanyak kontak reaksi antara fluida dengan batuan. Komposisi kimia dan konsentrasi larutan hidrotermal Komposisi kimia dan konsentrasi larutan panas yang bergerak, bereaksi dan berdifusi memiliki pH yang berbeda-beda sehingga banyak mengandung klorida dan sulfida, konsentrasi encer sehingga memudahkan untuk bergerak. Komposisi batuan samping Komposisi batuan samping sangat berpengaruh terhadap penerimaan bahan larutan hidrotermal sehingga memungkinkan terjadinya alterasi.
Proses hidrothermal akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral (mineral assemblage) pada kesetimbangan tertentu (Corbett & Leach, 1996). Secara umum himpunan mineral tertentu akan mencerminkan tipe alterasinya.
12
Tabel 3.1. Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral. (Creasey, 1966; Lowell dan Guilbert, 1970 dalam Anonim, 1997). Tipe
Mineral Kunci Mineral Asesoris Albit Kuarsa Kalsit Pirit Lempung/illit Oksida besi Pirit Klorit Kalsit Kuarsa Kalsedon Kristobalit Kuarsa Pirit Kuarsa Tourmalin Enargit Luzonit Klorit Epidot Pirit Illit-serisit Anhidrit Pirit Kalsit Rutil Pirit Illit-serisit Pirit Illit-serisit Adularia Wolastonit Klorit Biotit
Keterangan
Temperatur 200 300C , Salinitas beragam, pH mendekati netral , Daerah dengan permeabilitas rendah. Temperatur 100 300C, Salinitas rendah, pH asam netral. Temperatur 180C, pH asam. Temperatur 250 350C, pH asam. Temperatur > 300C, Salinitas tinggi, Dekat dengan batuan intrusif. Temperatur 230 400C, Salinitas beragam, pH asam netral, Zona permeabel pada batas urat. -
Propilitik
Klorit Epidot Karbonat Smektit Montmorilonit Illit-smektit Kaolinit Kaolinit Alunit Pirofilit Diaspor Andalusit Adularia Biotit Kuarsa Kuarsa Serisit Pirit Serisit (illit) Kuarsa Muskovit Kuarsa Garnet Piroksen Amfibol Epidot Magnetit
Potasik
Filik
Serisitik
Silisik
Temperatur 300 700C, Salinitas tinggi, Umum pada batuan samping karbonat.
Skarn
3.1.1. Tipe Endapan Hidrotermal Berdasarkan jauh dekat terjadinya proses alterasi hidrotermal, serta temperatur dan tekanan pada saat terbentuknya mineral-mineral, Lingrend (1983) dan Beteman (1962) membagi tiga golongan alterasi hidrotermal, yaitu : Hipotermal, Mesotermal, dan Epitermal.
13
3.1.1.1. Hipotermal Endapan hipotermal mempunyai ciri-ciri : Endapan berasosiasi dengan dike (korok) atau vein (urat) dengan kedalaman yang besar. Wall Rock Alteration dicirikan oleh adanya replacement yang kuat dengan asosiasi mineral : albit, biotit, kalsit, pirit, kalkopirit, kasiterit, emas, hornblende, plagioklas, dan kuarsa. Asosiasi mineral sulfida dan oksida pada intrusi granit sering diikuti pembentukan mineral logam, yaitu : Au, Pb, Sn, dan Zn. Tekanan dan temperatur relatif paling tinggi, yaitu 500C 600C. Merupakan jebakan hidrotermal paling dalam. 3.1.1.2. Mesotermal Endapan mesotermal mempunyai ciri-ciri : Endapan berupa cavity filling dan kadang-kadang mengalami replacement dan pengkayaan. Asosiasi mineral : klorit, emas, serisit, kalsit, pirit, kuarsa. Asosiasi mineral sulfida dan oksida batuan beku asam dan batuan beku basa dekat dengan permukaan. Tekanan dan temperatur medium, yaitu : 300C 372C. Terletak di atas hipotermal. 3.1.1.3. Epitermal Endapan epitermal mempunyai ciri-ciri : Endapan dekat dengan permukaan dan replacement tidak pernah dijumpai. Asosiasi mineral : kalsit, klorit, kalkopirit, dolomit, emas, kaolin, muskovit, zeolit, dan kuarsa. Asosiasi mineral logam (Au dan Ag) dengan mineral gangue. Tekanan dan temperatur rendah, yaitu 50C 100C.
14
3.1.2. Proses Alterasi Hidrotermal Proses alterasi hidrotermal tergantung dari kondisi-kondisi geologi zona jebakan, antara lain aspek fisik, kimia, dan temperatur, baik dari pengaruh larutan magma maupun dari pengaruh-pengaruh luar lainnya. Proses-proses alterasi hidrotermal tersebut antara lain : 3.1.2.1. Kaolinisasi Menurut Ries dan Watson (1958) bahwa alkali feldspar dan plagioklas asam dapat terubah menjadi mineral kaolin karena proses pelapukan yang intensif dan disertai dengan penggantian unsur K secara sempurna. Kaolin dapat pula terjadi di bawah kondisi hidrotermal, pada ortoklas, mineral kaolin akan terlihat seperti kabut, sedangkan pada plagioklas asam kaolin akan terlihat seperti bintik-bintik dalam satu warna. Kaolinisasi terjadi karena pengaruh larutan sisa magma dan dapat pula terjadi karena sirkulasi vertikal ataupun lateral dari air permukaan. 3.1.2.2. Serisitisasi Menurut Ries dan Watson (1958), proses pelapukan mineral feldspar teralterasi menjadi serisit. Proses ini disebabkan oleh larutan sisa magma dan gas air permukaan yang mengandung gas CO, umumnya proses kaolinisasi terjadi pada daerah dekat dengan vein dan dekat dengan sumber panas. Proses serisitisasi mengakibatkan penambahan mineral serisit dan kuarsa sekunder yang berasal dari feldspar. Mineral serisit yang terbentuk akan terlihat seperti bintik-bintik halus bersama kuarsa halus dalam feldspar. 3.1.2.3. Silisifikasi Proses ini terjadi karena introduksi (pemasukan) silikat oleh larutan magma akhir. Silisifikasi biasanya terbentuk dari alterasi yang berhubungan dengan pengendapan bijih primer dan dapat pula terjadi pada post alteration, yaitu suatu pengisian pada rongga atau rekahan dari pengaruh luar atau pengaruh dari dalam batuan itu sendiri. Peristiwa ini sering terjadi pada batuan asam, dan sangat jarang dijumpai pada batuan basa. Kadang-kadang kuarsa terbentuk sebagai rijang dan struktur asli dari batuan masih terlihat.
15
3.1.2.4. Propilitisasi Menurut Walstrom, propilitisasi adalah hasil alterasi hidrotermal yang disertai pemasukan yang terbentuk setempat. Kemungkinan mineral yang terbentuk adalah karbonat, silikat sekunder, klorit, dan sulfida sekunder. Proses akan terjadi secara maksimal jika batuan berbutir sedang pada daerah mesotermal ataupun epitermal bawah. Proses propilitisasi terjadi disebabkan larutan hidrotermal mengandung asam sulfida pada batuan beku asam sampai intermediet. Proses ini merupakan campuran dari kuarsa, klorit, alkali feldspar, zeolit, dan disertai adanya pirit. Banyak propilit ditemukan berhubungan dengan tubuh bijih. Kenampakan alterasi ini pada tingkat awal, ditandai dengan warna hijau kecoklatan yang disebabkan oleh perubahan hornblende dan biotit menjadi klorit. 3.1.2.5. Saussuritisasi Proses ini terjadi karena pengaruh larutan hidrotermal dan sirkulasi air permukaan yang mengakibatkan terubahnya plagioklas menjadi mineral-mineral saussurit, yaitu : klorit, albit, kalsit, hornblende, aktinolit, prehnit, dan epidot. 3.1.3. Ubahan Secara umum di dalam urut-urutan zona ubahan dari batuan asal dimulai dari yang paling dalam yaitu : zona potasik yang dicirikan dengan hadirnya mineralmineral kuarsa, K-feldspar, biotit, serisit, anhidrit yang hadir dalam batuan. Zona yang kedua adalah zona filik yang dicirikan oleh kehadiran mineral kuarsa, serisit, dan pirit. Zona propilitik terjadi mobilitas unsur pengkayaan Ca, dimana unsur dari plagioklas dan piroksen akan terubah menjadi epidot dan klorit. Pada zona argilik terjadi pengkayaan Al, dimana plagioklas dalam kondisi jenuh H2O akan terubah menjadi kaolinit. Pada kedua zona tersebut akan terjadi pengkayaan Fe dan Mg, dimana klorit berasal dari ubahan biotit, plagioklas, dan piroksen. Pengkayaan SiO2 di dalam batuan ubahan disebabkan oleh pengendapan lokal kuarsa di dalam urat kecil, sedangkan pada zona klorit akan ditunjukkan oleh pengkayaan MgO dan penurunan CaO. Pada batuan kuarsa adularia terjadi penambahan Si, Al, dan K serta penurunan dalam Mg, Ca, Na, dan H2O.
16
Tingkat ubahan secara petrologi didasarkan oleh pengkayaan mineral ubahan yang terjadi. Temperatur dan komposisi kimia fluida diasumsikan sebagai faktor yang sangat penting di dalam tingkat ubahan, bila dibandingkan dengan kedalaman. Mineral ubahan terjadi di dalam keseimbangan kimia dan temperatur yang khas (Elders, dkk, 1979), dan komposisi batuan akan terubah selama proses alterasi (Elders, dkk, 1979). Selama proses hidrotermal berlangsung maka terjadi mobilisasi unsur kimia mineral. Zona propilitik dicirikan oleh penambahan O2, H2, dan CO2 serta pembentukan epidot, klorit, albit, dan kalsit. Sedangkan proses yang bertanggungjawab pada zona ini adalah metasomatis. Kehadiran himpunan mineral ubahan tersebut mencirikan terjadinya pengkayaan kalsium, besi, dan magnesium. Plagioklas dan piroksen berasal dari batuan asal, pada zona ini akan terubah menjadi albit, epidot, klorit, kalsit, dan kuarsa dalam persamaan reaksi : 2Na(AlSi3O8)Ca(Al2SiO8) + 2Ca(MgFe)(Si2O3) + 2(MgFe)2(SiO2) + 5O2 Plagioklas + 4H2O + 2CO3 Klinopiroksen Orthopiroksen 3NaAlSi3O8 + Ca2Al2Fe3(O(OH)) Albit Epidot
Zona argilik dicirikan oleh hadirnya mineral lempung seperti kaolinit, ilit, monmorilonit, dan klorit, pada batuan asal dengan mineral plagioklas akan terubah menjadi kaolinit dalam kondisi jenuh H2O, dimana hal ini terjadi penghilangan kalium, magnesium, dan besi. Proses ini berlangsung pada kondisi diagenesa. Pengkayaan besi, magnesium, dan sedikit aluminium terjadi pada saat pembentukan klorit. Di samping itu terjadi penghilangan kalium sehingga pada pembentukan klorit berlangsung dari titik keseimbangan feldspar dan biotit. Selain itu monmorilonit juga berlangsung dari titik kesetimbangan feldspar dan biotit dalam kondisi jenuh H2O. Plagioklas di dalam batuan asal terubah menjadi kaolinit dapat diikuti dalam persamaan reasi sebagai berikut : 3NaAl2Si3O8 + 2H2O Albit Al2Si2O3(OH)4 + 4SiO2 + Na2O Kaolinit
17
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa batuan asal dengan komposisi mineral plagioklas, piroksen, biotit, dan gelas mengalami ubahan hidrotermal dengan mineral ubahan seperti : serisit, epidot, klorit, kaolinit, monmorilonit, dan kuarsa. 3.1.4. Pembagian Zonasi Ubahan Menurut Corbett & Leach (1996), pada alterasi hidrotermal dapat dibagi menjadi 6 zonasi ubahan, yaitu : a. Potasik Mineral utama dalam alterasi ini berupa potash feldspar sekunder dan biotit sekunder, serta aktinolit + klinopiroksen. b. Silisik Zona alterasi ini dicirikan oleh kehadiran mineral dari kelompok silika yang stabil pada pH < 2. Kuarsa akan terbentuk pada suhu tinggi, sedangkan pada suhu rendah (<1000C) akan terbentuk opal silika, kristobalit, tridimit. Pada suhu menengah (1000-2000C) akan terbentuk kalsedon. c. Filik Zona alterasi ini dicirikan oleh seritisasi hampir seluruh mineral silikat, kecuali kuarsa. Plagioklas feldspar tergantikan oleh serisit dan kuarsa halus. K-Feldspar magmatik juga mengalami seritisasi, tetapi lebih kecil intensitasnya dari plagioklas. d. Argilik Lanjut (Advanced Argilic) Alterasi ini terbentuk dari hasil pencucian alkali dan kalsium dari fase alumina seperti feldspar dan mika, tetapi hanya hadir jika aluminium tidak bersifat mobile, jika aluminium bergerak dan diikuti dengan bertambahnya serisit dan terjadi alterasi serisit (Evans, 1992). Alterasi advanced argilic ini dicirikan oleh hadirnya mineral yang terbentuk pada kondisi asam terutama kaolinit, dickit, piropilit, diaspor, alunit, jarosit dan zunyit. Perlu dibedakan antara alterasi hipogen dan supergen, alterasi advanced argilic hipogen terbentuk dari hasil kondensasi gas alam (terutama gas HCl) dan ketidakseimbangan SO2 dalam membentuk asam sulfur dan hidrogen sulfida. Alterasi advanced argilik supergen dapat terbentuk dalam 2 macam, pertama terbentuk oleh kondensasi
18
gas hasil pendidihan fluida hidrotermal yang membentuk air tanah yang teroksidasi. Oksidasi oleh atmosfer merubah H2S membentuk asam sulfur yang akan merombak silikat dan akan membentuk kaolinit dan alunit. Proses ikatan silikat terlepas akan membentuk desposit (dengan alunit) sebagai layer silikaan pada permukaan air tanah. Erosi yang datang kemudian membentuk layer silikaan yang berasal dari kaolinit dan membentuk silika cap. Kedua alterasi ini terbentuk oleh pelapukan batuan kaya sulfida, oksida sulfida membentuk asam sulfur yang merusak batuan kemudian membentuk kaolinit & alunit. e. Argilik Jenis alterasi ini dicirikan dengan kehadiran anggota dari kaolin (halloysit, kaolinit dan dickit) dan illit (smektit, interlayer, illit-smektit, illit), serta asosiasi mineral transisi yang terbentuk pada pH menengah dan suhu rendah. Kelompok dari mineral temperatur rendah-transisi yaitu kelompok klorit-illit juga hadir. f. Propilitik Jenis alterasi ini umumnya dicirikan oleh kehadiran mineral klorit-epidotaktinolit. Menurut White (1996), alterasi ini mempunyai penyebaran yang terluas dan kaitannya secara langsung dengan mineralisasi sangat kecil. Kristal plagioklas mengalami argilitisasi dengan intensitas kecil, biotit mengalami perubahan menjadi klorit dengan atau tanpa karbonat.
3.1.5. Model Zonasi Ubahan Model zona ubahan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu proses ubahan yang dibuat berdasarkan atas genetik dan deskriptif. Model tersebut antara lain : 3.1.5.1. Model Zonasi Ubahan Creasey (1966) Berdasarkan genetiknya, Creasey membagi zona ubahan menjadi tiga zona, yaitu : 1) Zona Propilitik Zona ini dapat dibagi menjadi empat : a) Klorit kalsit kaolin b) Klorit kalsit talk c) Klorit epidot kalsit d) Klorit epidot
19
Kelompok a, b, c terbentuk pada lingkungan CO2 tinggi, sedangkan kelompok d pada lingkungan CO2 rendah. Himpunan mineral di atas kecuali kelompok b merupakan batas terluar yang mengelilingi endapan tembaga porfiri pada batuan intermediet-kuarsa/granodiorit. Himpunan mineral b dijumpai pada batuan mafik seperti diorit dan diabas yang mengalami propilitisasi. Tidak semua mineral di atas hadir dalam keadaan setimbang. Mineral lain dapat hadir dalam tiap kelompok apabila suatu komponen tertentu ditambahkan kedalam sistem. 2) Zona Argilik Zona ini ditunjukkan oleh hadirnya mineral lempung (kaolin dan monmorilonit) serta hilangnya kandungan mineral kelompok epidot dan karbonat. Zona ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a) Muskovit kaolin monmorilonit b) Muskovit klorit monmorilonit Himpunan mineral di atas, mineral kuarsa selalu hadir. Pirit akan hadir apabila komponen FeS2 terdapat dalam sistem, demikian pula mineral tembaga lainnya seperti kalkopirit. K-feldspar bukan merupakan mineral stabil yang dapat hadir pada ubahan ini, karena temperatur zona ini baru stabil antara 400C 800C. 3) Zona Potasik Zona ini dicirikan dengan munculnya biotit muskovit K-feldspar atau
salah satu mineral tersebut dimana mineral penunjuk yang hadir sebagai mineral baru (mineral sekunder). Mineral bijih kalkopirit merupakan satusatunya mineral hipogen yang banyak terdapat pada zona ini. Model zona endapan mineralisasi dapat dilihat pada gambar 3.1. 3.1.5.2. Model Zona Ubahan Lowell dan Guilbert (1970) Mereka membuat zona hidrotermal di San Manuel-Kalamazoo (Amerika Serikat) dengan pola konsentris dari bagian tengah ke luar adalah sebagai berikut : 1) Zona Potasik Sebagai mineral petunjuk dalam zona ini adalah mineral ortoklas biotit atau ortoklas biotit klorit. Mineral penunjuk seperti biotit klorit K-feldspar
20
kuarsa serisit anhidrit terbentuk karena adanya penambahan unsur Fe dan Mg yang diikuti mineral sulfida dengan kadar rendah. 2) Zona Filik Mineral pencirinya adalah kuarsa serisit pirit dan sedikit klorit, hidro mika, rutil, dan kadang-kadang pirofilit. Pirit dan kalkopirit sering muncul yang merupakan mineral bijih utama pada endapan tembaga porfiri. Kontak antara zona potasik dengan filik secara berangsur. 3) Zona Argilik Ditandai dengan ubahan mineral plagioklas menjadi kaolin-monmorilonit. Tipe ubahan argilik lanjut terutama ditunjukkan dengan kehadiran pirofilit dan topas. 4) Zona Propilitik Merupakan zona ubahan terluar yang selalu muncul pada endapan tembaga porfiri. Klorit merupakan mineral ubahan umum dan berasosiasi dengan kalsit, pirit, dan epidot. Plagioklas biasanya masih segar dan sebagian terubah menjadi mineral lempung. Biotit diganti oleh mineral klorit/karbonat. Kuarsa tidak terlalu efektif terubah, kalkopirit jarang, dan pirit hadir sangat sedikit.
3.2. Mineralisasi Mineralisasi adalah proses pergantian unsur-unsur tertentu dari mineral yang ada pada batuan dinding digantikan oleh unsur lain yang berasal dari larutan sehingga menjadi lebih stabil. Proses ini berlangsung dengan cara pertukaran ion dan tidak melalui proses pelarutan total, artinya tidak semua unsur penyusun mineral yang digantikan melainkan hanya unsur-unsur tertentu saja. Secara umum proses mineralisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : a. Adanya fluida hidrotermal yang berfungsi sebagai larutan pembawa mineral. b. Adanya permeabilitas atau zona lemah yang berfungsi sebagai saluran untuk lewat fluida hidrotermal. c. Adanya ruang untuk pengendapan larutan hidrotermal. d. Terjadinya reaksi kimia yang memungkinkan terjadinya pengendapan mineral. e. Adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk mengendapkan mineral.
21
Mineral-mineral logam yang terkonsentrasi pada suatu proses mineralisasi dipengaruhi oleh adanya : a. Proses diferensiasi Proses ini terjadi kristalisasi secara fraksional (fractional crystalization), yaitu pemisahan mineral-mineral berat pertama kali dan mengakibatkan terjadinya pengendapan kristal-kristal magnetit, kromit dan ilmenit. Pengendapan kromit sering berasosiasi dengan pengendapan intan dan platinum. Larutan sulfida akan terpisah dari magma panas dengan membawa mineral Ni, Cu, Au, Ag, Pt, dan Pb. b. Adanya aliran gas yang membawa mineral-mineral logam hasil pengkayaan dari magma. Unsur silika mempunyai peranan untuk membawa air dan unsur-unsur volatil dari magma. Air yang bersifat asam akan naik membawa CO2, N, senyawa S, fluorida, klorida, fosfat, arsenik, senyawa antimon, selenida dan telurida. Pada saat yang bersamaan mineral logam seperti Au, Ag, Fe, Cu, Pb, Zn, Bi, Sn, tungten, Hg, Mn, Ni, Co, Rd dan U akan naik terbawa fluida. Komponenkomponen yang terbawa dalam aliran gas tersebut berupa sublimat pada erupsi volkanik dekat permukaan dan membentuk urat hidrotermal atau terendapkan sebagai hasil penggantian (replacement deposits) di atas atau di dekat intrusi batuan beku (Lindgren, 1933).
3.3. Proses Pembentukan Mineral Logam dan Non Logam Proses-proses pembentukan mineral-mineral logam dan non logam adalah sebagai berikut : 3.3.1. Proses Magmatik Magma merupakan sumber utama pembentukan mineral hipogen. Yaitu berawal dari tahap kristalisasi dan diferensiasi sebelum mencapai akhir pembekuan, unsur-unsur yang masih ketinggalan dalam cairan sisa magma, kemudian akan membentuk oksida-oksida magmatik dan endapan-endapan sulfida. Dalam perjalanan magma melalui rekahan atau celah-celah akan terjadi proses bertahap dan berurutan sebagai berikut :
22
Magmatik
awal,
merupakan
tahap
awal
kristalisasi
magma,
akan
menghasilkan endapan bahan galian, dengan proses-prosesnya adalah: 1) Disseminasi, yaitu proses penghamburan kristal di dalam batuan beku tanpa terbentuk konsentrasi, terjadi di tempat yang cukup dalam. 2) Segregasi, yaitu proses dengan pembentukan dan pemisahan kristal dari larutan magma karena perbedaan sifat fisik antara lain perbedaan berat jenis dan terjadilah konsentrasi. 3) Injeksi, merupakan pengumpulan mineral bahan galian itu akan berpindah ketempat lain bukan ditempat dimana bahan galian semula terbentuk. Magmatik akhir, magma yang tertinggal merupakan cairan magma sisa.
Proses berikutnya yaitu proses pemisahan terjadi bersamaan dengan saat pembekuan magma atau proses pemisahan tersebut sebagai akibat secara langsung dua jenis cairan atau lebih sisa magma yang tidak menyatu sebagai akibat dari immisibilitas cairan, keadaan seperti minyak dan air. Selanjutnya kemungkinan bahan galian yang terbentuk akan tetap terkumpul pada tempat yang sama atau akan berpindah ketempat lain akibat dari injeksi. Proses hidrothermal merupakan cairan sisa magma yang mengandung konsentrasi logam-logam yang terdapat didalam magma dan tidak ikut dalam proses pengkristalan sebelumnya, proses ini membawa logam-logam ke tempat yang dianggap baru, dianggap sebagai asal endapan-endapan epigentik. Proses ini ada 2, meliputi : Jika berhubungan dengan batuan beku, maka akan terbentuk : porfiri, greisen, epithermal (low dan high sulfidation). Jika tidak berhubungan dengan batuan beku, akan terbentuk lateral secretion.
3.3.2. Proses Metamorfisme Merupakan proses intrusi magma yang telah menjadi padatan, mempunyai sisa magma yang berupa cairan dan gas yang bersuhu tinggi. Cairan dan gas ini apabila masuk dan bersentuhan pada celah batuan lainnya dapat mengadakan reaksi dan menghasilkan mineral-mineral baru. Proses ini dibedakan menjadi dua, yaitu :
23
Metamorfosa, pada proses ini suhu memegang peranan penting dan hanya mengakibatkan terjadinya pemanggangan (backing effect). Metasomatisme kontak, selain suhu, tekanan memegang peranan penting, serta terjadi penambahan tekanan pada sisa cairan magma yang mampu mengadakan reaksi dan menghasilkan mineral baru.
3.3.3. Proses Permukaan Pada proses ini akumulasi mineral terbentuk pada permukaan bumi, diantaranya adalah sebagai berikut : Akumulasi mekanik (placer). Presipitasi (evaporasi garam, fosforit, pembentukan besi berlapis). Residual (pembentukan bauksit dan laterit nikel). Pengkayaan supergen. Volcanic-exhalatif (massive sulphide), diantaranya membentuk black smoker, kurokko type, cyprus type, dan beshi type.
3.4. Resume
bervarisasi, di bawah permukaan bumi (Pirajno, 1992). Sistem ini mengandung dua komponen utama, yaitu : sumber panas dan sumber fluida. Sirkulasi fluida hidrotermal menyebabkan himpunan mineral pada batuan dinding menjadi tidak stabil, dan cenderung menyesuasikan kesetimbangan baru dengan membentuk himpunan mineral yang sesuai dengan kondisi yang baru, yang dikenal sebagai alterasi (ubahan) hidrotermal. Beberapa hal yang dapat digaris bawahi diantaranya adalah : 1) Sumber panas Dalam hal ini magmatisme, tempat dimana terjadi proses magmatisme cenderung terbentuk sistem hidrotermal. Baik magmatisme yang membentuk plutonisme maupun vulkanisme.
24
2) Fluida Fluida hidrotermal dapat berasal dari : fluida magmatic, air meterorik, air connate, air metamorfik, air laut. 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi karakter batuan dinding. karakter fluida (Eh, pH). kondisi tekanan maupun temperatur pada saat reaksi berlangsung (Guilbert dan Park, 1986). konsentrasi, serta lama aktivitas hidrotermal (Browne, 1991 dalam Corbett dan Leach, 1996). temperatur dan kimia fluida merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses ubahan hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996). 4) Pola alterasi Pervasive Penggantian seluruh atau sebagian besar mineral pembentuk batuan. Selectively Pervasive Proses ubahan hanya terjadi pada mineral-mineral tertentu pada batuan. misalnya klorit pada andesit hanya mengganti piroksen saja. 5) Intensitas alterasi : tidak terubah, lemah, kuat, sangat kuat. 6) Tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral (Creasey, 1966; Lowell dan Guilbert, 1970, dalam Anonim, 1997). Propilitik Argilik Advanced argilic low temperature Advanced argilic high temperature Potasik Filik Serisitik Silisik Skarn
25
4.1. Fisiografi Regional Sulawesi terletak pada pertemuan lempeng besar Eurasia, lempeng Pasifik, serta sejumlah lempeng lebih kecil (lempeng Filipina) yang menyebabkan kondisi tektoniknya sangat kompleks. Kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofiolit, dan bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya (Van Leeuwen, 1994). Berdasarkan keadaan litotektonik, Sulawesi dibagi tiga mandala, yaitu : mandala barat sebagai jalur magmatik yang merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda, mandala tengah berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia, dan mandala timur berupa ofiolit yang merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias-Miosen (Gambar 4.1). Van Leeuwen (1994) menyebutkan bahwa mandala barat sebagai busur magmatik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagian utara dan barat. Bagian utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, dan bagian barat dari Buol sampai sekitar Makassar. Batuan bagian utara bersifat riodasitik sampai andesitik, terbentuk pada Miosen-Resen dengan batuan dasar basaltik yang terbentuk pada EosenOligosen. Busur magmatik bagian barat mempunyai batuan penyusun lebih bersifat kontinen yang terdiri atas batuan gunung api dan batuan sedimen berumur Mesozoikum-Kuarter dan batuan malihan berumur Kapur. Batuan tersebut diterobos granitoid bersusunan terutama granodioritik sampai granitik yang berupa batolit, stok, dan retas. Lengan utara dan selatan dibentuk oleh satu kesatuan geologi yang disebut sebagai mandala Sulawesi Barat. Secara serupa, lengan timur dan lengan tenggara adalah satu kesatuan geologi yang disebut sebagai mandala Sulawesi Timur. Dua busur Sulawesi tergabung bersama pada area Sulawesi Tengah, tapi dipisahkan secara jelas di selatan oleh teluk Bone dan di utara oleh teluk Tomini. Kedua teluk itu dalamnya lebih dari 2000 meter besarnya dari luasan kedua teluk tersebut; terisi
26
batuan sedimen dengan tebal 5000 meter; dan sepertinya mempunyai batuan dasar samudra pada bagian terdalam dari kedua teluk tersebut. Fisiografi daerah telitian termasuk dalam fisiografi lengan selatan Sulawesi yang berarah utaraselatan. Bagian barat terdapat dua baris pegunungan yang memanjang hampir sejajar pada arah utarabarat laut dan terpisahlah oleh lembah Sungai Walanae. Pegunungan pada bagian barat menempati hampir setengah luas daerah, melebar di bagian utara (50 km) dan menyempit di bagian selatan (20 km) pembentuknya sebagian besar adalah batuan gunungapi. Lereng barat dan di beberapa tempat di lereng selatan terdapat topografi berupa karst, dimana pencerminannya adalah batugamping. Pegunungan yang di barat relatif lebih sempit dan lebih tinggi dan sebagian besar juga terbentuk dari batuan gunungapi daripada pada di bagian selatan yang relatif lebih rendah, dan akhirnya menunjam dibatas lembah Walanae dan dataran Bone, fisiografi daerah telitian masuk dalam pegunungan bagian barat.
: Lokasi Penelitian Gambar 4.1. Peta satuan litotektonik Sulawesi (Rab Sukamto, 1975).
27
4.2. Stratigrafi Regional Stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam peta geologi lembar Malili, Majene dan Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998). Urutan stratigrafi batuan dari tertua sampai termuda yang dijumpai di daerah ini adalah :
4.2.1. Formasi Latimojong (K1) Formasi Latimojong atau Kapur Latimojong (Kl) yang berumur Kapur dengan ketebalan 1000 meter. Secara umum formasi ini mengalami pemalihan lemah hingga sedang dan terdiri dari serpih, filit, rijang, marmer, kuarsit dan breksi terkersikkan. Batuan ini diterobos oleh batuan beku intermediet sampai basa. 4.2.2. Formasi Toraja Formasi Toraja yang terdiri dari Tersier Eosen Toraja Shale (Tets) dan Tersier Eosen Toraja Limestone (Tetl) yang berumur Eosen diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Latimojong. Formasi Toraja terdiri dari serpih coklat kemerahan, serpih napalan kelabu, batugamping, batupasir kuarsa, konglomerat, dan setempat batubara. Ketebalan Formasi ini 1000 meter. Fosil Foraminifera besar pada batugamping menunjukan umur Eosen-Miosen sedangkan lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal. Formasi ini menindih tidak selaras Formasi Latimojong dan ditindih tidak selaras oleh batuan Gunungapi Lamasi. 4.2.3. Batuan Gunungapi Lamasi (Tolv) Batuan vulkanik yang disebut Tersier Oligosen Lava Vulkanik (Tolv) yang berumur Oligosen menindih Formasi Toraja yang berumur Eosen. Batuan vulkanik ini terdiri dari aliran lava bersusunan basaltik hingga andesitik, basalt, tuff, breksi vulkanik, batupasir dan batulanau, setempat mengandung feldspatoid. Batuan tersebut terkersikkan dan terkloritisasi. Umumnya lava basal berwarna kelabu kehijauan, porfiritik-afanitik, subhedral-anhedral, berstruktur aliran dan terdiri dari plagioklas, piroksen, dan sifatnya kompak dan keras. Breksi vulkanik umumnya berwarna kelabu kecoklatan dan kelabu tua, tersusun dari basalt dan andesit, berbutir kasar dan sangat kasar antara 2-8 cm, menyudut tanggung dengan kemas terbuka.
28
Umurnya Oligosen karena menindih Formasi Toraja yang berumur Eosen. Ketebalan satuan ini 500 meter. 4.2.4. Formasi Date (Tomd) dan Formasi Makale (Tomm) Formasi Date atau Tomd (Tersier Oligosen Miosen Date) dan Tomm (Tersier Oligosen Miosen Makale) yang merupakan Formasi Makale diendapkan secara tidak selaras di atas satuan batuan vulkanik (Tolv). Formasi Date terdiri dari napal diselingi lanau gampingan dan batupasir gampingan. Ketebalan satuan ini mencapai 5001000 meter, kandungan umur Foraminifera menunjukkan umur Oligosen Tengah-Miosen Tengah, dengan lingkungan pengendapan pada laut dangkal, Formasi ini terdiri dari batugamping terumbu yang terbentuk dilaut dangkal, umurnya diduga Miosen AwalMiosen Tengah. Hubungan kedua Formasi ini adalah kontak menjemari. 4.2.5. Formasi Salowajo (Tms) Berikutnya terendapkan secara tidak selaras Formasi Salowajo atau Tms (Tersier Miosen Salowajo) yang terdiri dari napal dan batugamping yang tersisip, setempat mengandung batupasir gampingan berwarna abuabu biru sampai hitam, konglomerat dan breksi. Fosil Foraminifera yang terkandung pada formasi tersebut menunjukkan umur Miosen Awal-Miosen Tengah. 4.2.6. Formasi Loka (Tml) Selanjutnya terbentuk Formasi Loka atau Tml (Tersier Miosen Loka) yang terdiri dari batuan epiklastik gunungapi terdiri dari batupasir andesitan, lanau, konglomerat, dan breksi, berlapis hingga masif, terutama sebagai endapan darat hingga delta dan laut dangkal. Fosil Foraminifera yang terkandung dalam formasi ini menunjukkan umur Miosen Tengah-Miosen Akhir. 4.2.7. Formasi Mandar (Tmm) Berikutnya terendapkan secara selaras Formasi Mandar atau Tmm (Tersier Miosen Mandar) yang terdiri dari batupasir, batulanau dan serpih, berlapis baik, mengandung lensa lignit, dan mengandung foraminifera berumur Miosen Akhir,
29
dengan ketebalan mencapai 400 meter. Formasi ini terendapkan pada lingkungan laut dangkaldelta. 4.2.8. Formasi Sekala (Tmps) dan Batuan Gunungapi Walimbong (Tmpv) Formasi Sekala atau Tmps (Tersier Miosen-Pliosen Sekala), yang terdiri dari batupasir, konglomerat, serpih, tuff, sisipan lava andesit dan basalt, mengandung Foraminifera berumur Miosen Tengah-Pliosen dengan lingkungan pengendapan yaitu laut dangkal dengan ketebalan sekitar 500 meter. Batuan Gunungapi Walimbong atau Tmpv (Tersier Miosen Pliosen vulkanik), terdiri dari lava bersusunan basalt hingga andesit, lava bantal, breksi andesit piroksen, breksi andesit trakit. Batuan gunungapi ini terendapkan di lingkungan laut, berumur MiosenPliosen karena menjemari dengan Formasi Sekala yang berumur Miosen-Pliosen. 4.2.9. Formasi Mapi (Tmpm) Formasi Mapi atau Tmpm (Tersier MiosenPliosen Mapi), terdiri dari batupasir tufaan, lanau, batulempung, batugamping pasiran dan konglomerat. Berdasarkan kandungan umur fosil Foraminifera, Formasi ini berumur Miosen Tengah-Pliosen. Formasi ini tersingkap di Sungai Mapi dengan ketebalan sekitar 100 meter.
30
Tabel 4.1. Kolom Stratigrafi Regional Lembar Majene dan Palopo bagian barat (Djuri , dkk, 1998).
4.3. Struktur Geologi dan Tektonika Sulawesi terdiri dari 4 bagian pulau-pulau, yaitu yang dikenal sebagai lengan, tubuh, leher, dimana dikelilingi oleh teluk yang menjorok kedalam. Terletak pada wilayah tektonik yang sangat kompleks dimana tiga lempeng utama saling berinteraksi dari zaman Mesozoikum sampai sekarang. Wilayah ini telah dibagi menjadi 4 bagian lithotektonik, yang terhubung oleh skala besar tektonik yang berbeda-beda tempat dan sesar naik (Sukamto, 1975; Hamilton, 1979) terjadi dari barat hingga ke timur. Busur Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat yang dijelaskan diatas dapat dibagi menjadi segmen continental margin (Sulawesi Barat) dan busur kepulauan Tersier yang didasari oleh oceanic crust (Sulawesi Utara). Sabuk metamorfik Sulawesi Tengah batuan metamorfnya terdiri dari material asal benua dan samudera, mungkin
31
termasuk kerak Australia (Parkinson, 1991; Charlton, 2000; Hall, 2002).Ofiolit Sulawesi Timur, secara tektonik terhubung oleh sedimen laut dalam yang berumur Mesozoikum, dan mungkin termasuk mid oceanic ridge Samudera Hindia, tepi cekungan, dan bagian dari busur depan Sundaland (Hall, 2002). Fragmen kontinen yamg berasal dari Australia (Buton-Tukang Besi dan Banggai-Sula) dimana bertumbukan dengan bagian timur Sulawesi selama Awal Miosen-Pliosen (Fortuin et al., 1990; Davidson, 1991; Smithand Silver, 1991; Davies, 1990; Hall, 1996, 2002).Hamilton. W (1979) mengatakan bahwa adanya pulaupulau dari kelompok punggungan Sula merupakan fragmenfragmen kebenuaan yang berasal dari New Guinea (Irian Jaya) yang bertumbukan dengan Sulawesi bagian tinur yang terjadi pada kala Tersier Tengah. Noer Azis Magetsari (1987), menyebutkan adanya beberapa kelurusan di pulau Sulawesi yang disebutnya sebagai trans Sulawesi. Disamping adanya kelurusankelurusan tersebut didapatkan pula adanya rekahanrekahan yang teratur dan cekungancekungan sedimen yang menyertai terjadinya kelurusankelurusan tersebut. Di antara kelurusankelurusan yang besar tersebut adalah sebagai berikut : 1) Kelurusan PaluKoro 2) Kelurusan Matano dan MaliliKendari 3) Kelurusan Batui dan struktur imbrikasi Simandjuntak T.O, (1990) mengatakan di lengan timur didapatkan adanya struktur sesar naik berupa sesar yang berbentuk konveks yang mengarah barat laut. Sesar tersebut berakhir dan menghilang di teluk Tolo yang dicerminkan dengan adanya sesar SulaMatano. Di sebelah utara daerah Poh sesar Batui bertemu dengan sesar Balantak yang merupakan sesar geser jurus menganan yang berpotongan pada bagian timur. Selanjutnya menerus ke pantai laut Banda yang bertemu dengan sesar Sangihe yang panjangnya lebih dari 100 kilometer. Sesar Batui merupakan sesar hasil tumbukan antara lempeng BanggaiSula dengan lempeng Sulawesi timur. Mandala geologi Sulawesi Barat dicirikan oleh lajur gunungapi Paleogen dan Neogen, intrusi Neogen dan sedimen Mesozoikum yang diendapkan di pinggiran benua (Paparan Sunda). Mandala Sulawesi Timur, batuan tertuanya adalah batuan ofiolit yang terdiri dari ultramafik termasuk dunit, harzburgit, lherzolit, piroksenit
32
websterit dan serpentinit, setempat batuan mafik termasuk gabro dan basalt. Umurnya belum dapat dipastikan, tetapi dapat diperkirakan sama dengan ofiolit di lengan timur Sulawesi yang berumur Kapur Awal-Tersier. Susunan paparan Tersier Tengah, batuan vulkanik Tersier Atas dan intrusi batuan granit. Mandala timur Sulawesi terdiri dari fragmen dari ofiolit dan zona subduksi. Perbedaan penting antara kedua mandala Sulawesi ialah kemunculan dari granit dan asosiasi granodiorit pada mandala barat dan ketidakhadiran granit dan asosiasi granodiorit pada lengan timur, yang lebih melimpah batuan beku basa dan ultrabasa. Menurut Hamilton (1979), berdasarkan asosiasi litologi dan perkembangan tektonik, Sulawesi dan sekitarnya dibagi dalam 5 provinsi tektonik (gambar 4.2), yaitu : 1) Busur volkanik tersier Sulawesi bagian barat, 2) Busur volkanik Minahasa-Sangihe, 3) Sabuk metamorfik Cretaceous-Paleogene Sulawesi bagian tengah, 4) Sabuk ofiolit Cretaceous Sulawesi bagian timur dan yang berasosiasi dengan lapisan sedimen pelagic, 5) Fragmen benua mikro Paleozoic Banggai-Sula yang berasal dari benua Australia.
33
Gambar 4.2. Geologi regional Sulawesi (Hamilton 1979). Mandala Sulawesi Barat dibatasi oleh mandala Sulawesi Timur karena adanya suatu jalur sesar yang arah jurusnya kurang lebih utaraselatan. Dibagian barat, mandala Sulawesi Barat dibatasi oleh terjadinya rifting karena penipisan kerak benua yang kemudian mengakibatkan sistem sesar blok di selat Makasar. Terbukanya selat Makasar ini oleh rifting yang terjadi awal Miosen ini sedikit banyaknya dikarenakan pengaruh struktur geologi di mandala Sulawesi Barat. Secara umum pada mandala ini didapatkan adanya sesarsesar mendatar yang pada umumnya memiliki arah sesar pergerakannya kekiri disertai beberapa sesar naik. Sesar mendatarnya kurang lebih memiliki arah jurus N 160o E dan N 340o E dengan arah pergerakan ke kiri. Sedangkan untuk sesar naik umumnya didapatkan didaerah Bantimala Complex yang mampu mengangkat kelompok mlange ini
34
muncul ke permukaan di beberapa tempat.Di sebelah barat mandala Sulawesi Barat dibatasi oleh selat Makasar yang merupakan marginal basin, dimana efek keluar dengan terjadinya pemekaran di lantai samudera antara Sulawesi dan Kalimantan. Terbentuknya selat Makasar terjadi pada zaman Kuarter sepanjang sesar mendatar Pasternoster dan sesar mendatar Palu Koro.
Gambar 4.3. Pembagian Mandala Geologi Sulawesi (R.A.B. Sukamto, 1973), Di bagian tengah mandala ini juga didapatkan suatu terban yang memanjang kearah utara selatan yang disebut terban Walanae. Terban ini dibatasi oleh dua sesar normal yang berarah utaraselatan. Kemudian terban ini terisi oleh produkproduk vulkanik Kuarter. Mandala Banggai-Sula merupakan lempeng yang relatif mudah mantap sejak akhir Mesozoikum. Kemudian lempeng tersebut bergerak ke arah barat sejak Miosen Tengah dan bertemu dengan lempeng Banggai-Sula yang menunjam ke arah bawah lempeng Sulawesi Timur, tetapi hanyalah pada bagian utaranya. Sartono. S, dkk (1991) mengatakan bahwa bergeraknya benua Mikro Banggai ke arah barat yang sebelumnya terkoyak dari tepi utara Benua Australia di Irian Jaya-
35
Papua New Guinea melalui sesar Sorong mulai terjadi pada akhir Miosen bawah. Benua Mikro Banggai yang berada paling depan bertumbukan dengan busur Sunda yang mengakibatkan terjadinya obduksi batuan mafik-ultramafik serta bercampuran dengan melange tektonik dan menyebabkan juga terjadinya berbagai undak pantai zaman Kuarter, yang elevasinya mencapai beberapa ratus meter.
Gambar 4.4. Tumbukan antara Mikrokontinen Banggai-Sula dengan subduksi Sunda pada Kala Pliosen Akhir (Sartono, dkk. 1991). Tumbukan antara benua Mikro Banggai dengan busur non volkanik di atas menggencet dan mempersempit cekungan depan Busur Sunda hingga menyebabkan terjadinya punggungan tengah Sulawesi yang sebagian tertutup oleh Danau Poso dan Teluk Bone serta Teluk Tomini.
36
5.1. Geomorfologi Pemetaan geomorfologi pada dasarnya adalah memisahkan bentuklahan berdasarkan relief, batuan dan proses pembentuknya. Metode yang digunakan dalam pembagian satuan geomorfologi pada daerah pemetaan adalah : 1) Morfografi : menyangkut aspek-aspek yang bersifat pemerian (deskriptif), antara lain teras sungai, kipas alluvial, plato, dataran, perbukitan, pegunungan, dan sebagainya. 2) Morfometri : menyangkut aspek-aspek yang bersifat kuantitatif, seperti kemiringan lereng, bentuk lereng, beda tinggi, tingkat pengikisan sungai, dan sebagainya. 3) Morfogenesis : menyangkut faktor-faktor yang mengontrol pembentukan morfologi suatu daerah, seperti proses struktural, proses denudasi, proses fluviatil, dan sebagainya. Daerah penelitian secara umum, sebagian besar terdiri dari pegunungan dan bukitbukit landai yang berkelompok dengan bentuk memanjang atau hampir membulat dan mempunyai arah penyebaran relatif utara selatan. Ketinggian daerah penelitian antara 125 meter hingga 800 meter diatas permukaan laut. Pembagian daerah penelitian menjadi beberapa satuan geomorfologi pada dasarnya adalah untuk memisahkan dan mengelompokkan kesamaan aspek pada suatu lahan yang memiliki karakteristik fisik tertentu. Dasar pemisahan dan penamaan satuan geomorfologi pada daerah pemetaan mengacu pada konsep dan klasifikasi berdasarkan sistem pemetaan geomorfologi ITC (International Institute Aerospace and Earth Science) dalam Van Zuidam (1983). Aspek relief (morfologi) menunjukkan gambaran umum relief daerah yang terdiri dari aspek deskriptif seperti dataran, dan perbukitan, serta aspek morfometri yaitu berupa besar sudut lereng, ketinggian maupun kekasaran permukaan lahan.
37
Berdasarkan beberapa aspek tersebut, pembagian relief daerah penelitian mengacu pada klasifikasi berdasarkan pada ketinggian relatif terhadap permukaan laut, beda tinggi dan persentase sudut lereng. Tabel 5.1. Hubungan antara persentase sudut lereng dan beda tinggi dalam klasifikasi relief (van Zuidam, 1983). Satuan Relief Datar atau hampir datar Landai Miring Agak curam Curam Sangat curam Tegak Sudut Lereng (%) 02 37 8 13 14 20 21 55 56 140 > 140 Beda Tinggi (m) <5 5 50 51 75 76 200 200 500 500 1000 > 1000
Aspek genetik menggambarkan asal-usul pembentukan dan perkembangan morfologi serta proses-proses yang bekerja padanya. Aspek ini meliputi proses endogen berupa bentukan batuan yang berhubungan dengan proses denudasi dan proses eksogen yang berhubungan dengan angin, air, es maupun pergerakan massa. 5.1.1. Kelerengan Berdasarkan klasifikasi tingkat kelerengan (Van Zuidam, 1983), daerah penelitian terbagi atas dua satuan relief yaitu : 1) Satuan berelief curam dengan presentase sudut lereng 21-55%, menempati 85% dari luas total daerah telitian, dijumpai hampir di seluruh daerah telitian. 2) Satuan berelief landai dengan presentase sudut lereng 3-7 %, menempati 15% dari luas total daerah telitian, dijumpai di bagian tengah daerah telitian.
Aspek genetik menggambarkan asal-usul pembentukan dan perkembangan morfologi serta proses-proses yang bekerja padanya. Aspek ini meliputi proses endogen berupa bentukan batuan yang berhubungan dengan proses denudasi dan proses eksogen yang berhubungan dengan angin, air, es maupun pergerakan massa.
38
Berdasarkan genesa sebagai kontrol utama pembentuknya, morfologi dikelompokkan menjadi 8 kelas, yaitu : 1) Bentukan asal struktural 2) Bentukan asal vulkanik 3) Bentukan asal fluvial 4) Bentukan asal marin 5) Bentukan asal pelarutan/karst 6) Bentukan asal glasial 7) Bentukan asal aeolian 8) Bentukan asal denudasional Adapun dalam pewarnaan peta geomorfologi, untuk membedakan baik itu satuan bentuk asalnya ataupun bentuk lahannya dengan menggunakan dasar pewarnaan (Van Zuidam,1983). Untuk pewarnaan bentuk asal seperti terlihat pada tabel 5.2. Sedangkan untuk bentuklahannya dengan menggunakan modifikasi dari dasar pewarnaan yang telah ada, misalnya dengan gradasi warna dari muda ke tua ataupun sebaliknya.
Tabel
5.2.
Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik menurut ITC, dalam Van Zuidam (1983). Warna / simbol Ungu Merah Coklat Hijau Biru Tua Biru Muda Orange Kuning
39
5.1.2. Bentuklahan Bentuklahan daerah penelitian ditentukan berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan pola kontur pada peta topografi dan hasil pengamatan langsung keadaan lapangan, yaitu meliputi bentukan lahan (morfografi), kelerengan (morfometri), jenis litologi penyusun dan struktur geologi (morfostruktur pasif) dan proses-proses geologi (morfostruktur aktif). Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983) serta dikombinasikan dengan aspek genetik yang menggambarkan asal-usul pembentukan dan perkembangan morfologi serta proses-proses yang bekerja padanya, daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua satuan bentuk asal dan tiga satuan bentuklahan, yaitu : 1) Satuan Bentuk Asal Vulkanik : Satuan Perbukitan Vulkanik Berlereng Curam (V1). 2) Satuan Bentuk Asal Struktural : Satuan Perbukitan Homoklin Berlereng Curam (S9). Satuan Lembah Sesar (S21). 5.1.2.1. Satuan Perbukitan Vulkanik Berlereng Curam (V1) Satuan geomorfik ini menempati area seluas 65% dari luas total daerah telitian, dengan ketinggian mencapai 750 meter di atas permukaan laut, yang berada di wilayah utara, tengah, dan timur daerah telitian. Penamaan satuan perbukitan berlereng curam ini berdasarkan morfologi yang ada berupa perbukitan, memiliki sudut lereng 21-55%, tergolong perbukitan berlereng curam (Van Zuidam,1983). Satuan geomorfik ini menunjukan kontur yang rapat pada peta topografi. Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek geomorfologi dan hasil pengamatan lapangan serta analisis peta topografi terlihat bahwa satuan ini mempunyai relief yang curam, dengan litologi didominasi oleh batuan beku berupa andesit yang merupakan produk vulkanik, dan dialiri beberapa sungai yang membentuk pola trellis.
40
Foto 5.1. Kenampakan satuan bentuklahan perbukitan vulkanik berlereng curam, diambil pada lokasi pengamatan 36, dengan arah kamera N345E.
5.1.2.2. Satuan Perbukitan Homoklin Berlereng Curam (S9) Satuan ini menempati area seluas 20% dari luas total daerah telitian dengan penyebaran terletak di sebelah baratdaya daerah telitian. Penamaan satuan ini berdasarkan topografi dengan kontur yang relatif rapat dan banyaknya tinggian serta lereng yang curam yang mempunyai arah kedudukan lapisan batuan relatif seragam. Bentukan asal struktural dengan bentuk lahannya perbukitan homoklin dihasilkan oleh proses endogen. Bentuklahan perbukitan ini mempunyai tekstur yang kasar dengan bentuk yang tidak teratur serta mempelihatkan kesan topografi tinggi yang seragam dan alur sungai rapat dengan pola yang seragam, dengan lereng-lerengnya yang curam, hal ini menandakan bahwa permukaannya tersusun oleh batuan-batuan yang kompak serta proses erosi intensif yang tidak mampu menggerus permukaan secara utuh.
41
Foto 5.2. Kenampakan satuan bentuklahan perbukitan homoklin berlereng curam, diambil pada lokasi pengamatan 37 dengan arah kamera N250E.
5.1.2.3. Satuan Lembah Sesar (S21) Satuan ini menempati area seluas 15% dari luas total daerah telitian dengan penyebaran sebagian terletak di tengah - timur daerah telitian. Penamaan satuan ini berdasarkan topografi daerah telitian yang berupa lembah. Satuan ini memiliki kemiringan lereng sebesar 3-7%. Pada peta topografi satuan geomorfologi ini dicirikan kenampakan pola kontur yang renggang. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah trellis. Topografi berupa lembah dipengaruhi oleh adanya sesar sepanjang sungai Makawa yang merupakan sungai utama dengan anak sungai yang mempunyai arah aliran tegaklurus terhadap sungai utama.
42
Foto 5.3. Satuan bentuklahan lembah sesar, diambil pada lokasi pengamatan 17, dengan arah kamera N120E.
5.1.3. Pola Pengaliran Pola pengaliran adalah semua yang menyangkut sistem aliran yang terpolakan akibat erosi yang bekerja pada suatu daerah yang bersangkutan. Pola pengaliran sangat erat hubungannya dengan resistensi batuan, jenis litologi, struktur geologi, dan stadia geomorfologinya. Pada daerah telitian semua sungai mengalir menuju sungai Makawa yang mengalir dari utara ke selatan karena di daerah utara batuannya lebih resisten. Untuk membantu dalam penafsiran jenis pola pengaliran, maka penulis mengklasifikasikan berdasarkan jenis pola aliran yang dibuat oleh A.D. Howard (1967). Apabila penafsiran jenis pola aliran sulit, maka penulis membuat sungai-sungai tambahan melalui alur-alur liar yang mengalir menuju arah sungai utama. Jenis pola aliran pada daerah telitian dapat diklasifikasikan kedalam pola trellis, dimana arah aliran sungai-sungai kecil tegaklurus terhadap sungai utama. 5.1.4. Stadia Geomorfologi Stadia geomorfologi suatu daerah sangat erat hubungannya dengan proses pelarutan, denudasional, dan stadia sungai yang telah terbentuk. Stadia erosi juga akan menentukan stadia geomorfologi suatu daerah yang dapat ditafsirkan dari ciriciri morfologi, sub satuan geomorfologi, pola aliran sungai, dan ciri-ciri yang lainnya.
43
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah ada 3 dan mempunyai ciri tersendiri yaitu stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan dan kondisi geologi masih origin. Stadia dewasa dicirikan oleh adanya bukit sisa erosi dan erosi lateral lebih dominan, sungai bermeander dengan point bar, pola pengaliran berkembang baik, kondisi geologi mengalami pembalikan topografi seperti punggungan sinklin atau lembah antiklin. Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola, sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai dan litologi relatif seragam. (Gambar 5.1.)
Gambar 5.1. Klasifikasi stadia geomorfologi, Lobeck (1939) 1. stadia muda, 2. stadia dewasa, 3. stadia tua. Atas dasar keterangan tersebut, dengan lembah-lembah sungainya yang berbentuk U, banyaknya anak sungai, erosi lateral lebih dominan, dan adanya lembah-lembah yang cukup terjal, maka stadianya dapat digolongkan kedalam stadia dewasa (Lobeck, 1939). 5.1.5. Morfogenesis Secara morfogenesis, pembentukan relief topografi daerah pemetaan terutama dikontrol oleh adanya sistem struktur yang berkembang. Struktur yang berkembang di daerah pemetaan terutama berupa struktur sesar, maupun kekar. Sistem retakan tersebut mengontrol pembentukan zona-zona lemah pada batuan yang akhirnya mengakibatkan intensifnya proses erosi di daerah pemetaan. Adanya proses-proses
44
eksogenik berupa erosi, yang berkembang intensif di daerah ini menyebabkan terjadinya alur-alur dan lembah-lembah. Proses eksogenik berupa erosi ini didukung oleh struktur geologi terutama berupa struktur sesar dan kekar yang mengakibatkan terbentuknya zona lemah pada batuan. Secara keseluruhan daerah pemetaan lebih banyak dikontrol oleh adanya proses endogenik dan eksogenik, maka proses tersebut lebih tepat untuk menggambarkan morfogenesis yang terjadi di daerah pemetaan.
5.2. Stratigrafi Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisa kandungan fosil yang didapatkan selama penelitian berlangsung, serta setelah dibuat penampang stratigrafinya, maka penulis membagi daerah telitian ini tersusun oleh beberapa satuan batuan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut : 1. Satuan Batugamping (Formasi Toraja) 2. Satuan Breksi (Formasi Gunungapi Lamasi) 3. Satuan Andesit (Formasi Gunungapi Lamasi)
5.2.1. Satuan Batugamping Formasi Toraja Satuan batugamping dengan batuan yang berkomposisi karbonat memiliki warna putih kekuningan sampai abu abu kehitaman didominasi oleh batugamping berfosil. Batugamping memperlihatkan struktur perlapisan seperti terlihat pada lokasi pengamatan 80 (lihat foto 5.4).
45
Foto 5.4. Singkapan Satuan Batugamping pada lokasi pengamatan 80 dengan arah kamera N215E. Adapun ciri fisik Batugamping secara megaskopis di lapangan menunjukan : Batugamping memperlihatkan warna putih-coklat muda, dan kelabu muda, struktur masif dominan fosil dan pada umumnya bersifat keras.
Foto 5.5. Singkapan batugamping pada lokasi pengamatan 83 dengan parameter kompas geologi.
46
Foto 5.6. Sayatan tipis LP 83 batuan sedimen klastik, berwarna abu-abu kecoklatan - krem, klastik, grain suppoted, dengan sedikit detritus mineral opak, berukuran 0,11,2mm. Fosil (74%), tidak berwarna (sudah terekristalisasi) kecoklatan, relief sedang, bentuk sebagian pecah (skeletal), berukuran 0,51,2m), bias rangkap ekstrim, berupa foram plankton dan bentos, foram besar serta pecahan ganggang/koral, hadir merata dalam sayatan. Mineral opak (1%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,1-0,1mm, bentuk membulatmembulat tanggung. Mikrit (15%), tidak berwarna, relief bervariasi, berukuran kurang dari 0,02mm, warna interferensi sangat tinggi ekstrim, hadir merata dalam sayatan. Sparit (10%), tidak berwarna, relief sedang, berukuran 0,10,3mm, bias rangkap ekstrim, hadir merata dalam sayatan.
Satuan batugamping ini tersebar dan tersingkap di barat daya daerah telitian menempati sekitar 30% daerah luas total peta. Berdasarkan acuan dari peneliti terdahulu, ketebalan satuan batugamping jika ditinjau dari penampang geologi yang dibuat dari sayatan pada peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan mencapai 500 meter. Untuk penentuan umur, pada satuan batugamping dilakukan dengan analisa fosil. Berdasarkan kandungan fosil foram besar dan beberapa plankton yang dijumpai yaitu : Discocylina sp, Lepidocylina sp tersebut didapat satuan batugamping berumur
47
Eosen Awal-Tengah (Blow 1969). Dan berdasarkan peta geologi lembar Majene dan Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998) satuan batugamping Formasi Toraja ini berumur Eosen dan terendapkan pada laut dangkal. Satuan batugamping Formasi Toraja ini secara stratigrafi ditumpang tidak selaras oleh satuan breksi dan satuan andesit Formasi Gunungapi Lamasi. Hasil ini didapat setelah penulis melakukan analisa fosil dan melakukan pengukuran detail pada kedua litologi. 5.2.2. Satuan Breksi Formasi Gunungapi Lamasi Satuan breksi pada daerah telitian terdiri dari breksi dengan sisipan batupasir dan tuff.
Foto 5.7. Singkapan breksi pada lokasi pengamatan 66 dengan arah kamera N005E.
Pengamatan di lapangan breksi memperlihatkan warna abu-abu, struktur masif, ukuran butir pasir sampai bongkah, terpilah buruk, menyudut, kemas terbuka, komposisi mineral fragmen : andesit, matriks: material berukuran pasir sedangkerikil, dan semen karbonat.
48
Foto 5.8. Singkapan breksi dengan parameter alat tulis (insert foto 5.7).
Foto 5.9. Sayatan batuan beku volkanik LP 66, warna abuabu kecoklatan, tekstur porfiritik bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas. Nampak lubang-lubang amigdoloidal trerisi oleh mineral sekunder kalsit dan kuarsa. Mineral sekunder yang hadir : Chlorite, warna hijau kekuningan, belahan parallel/satu arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen Silika (kuarsa) tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah, pemadaman bergelombang, berukuran <0,05mm(kriptokristalin)-0,25mm,hadir mengisi lubang amigdoloidal. Andesit piroksen (William 1982). Satuan breksi tersebar dibagian tengah dan timur daerah telitian. dengan menempati sekitar 30% dari luas daerah telitian.Berdasarkan penampang geologi yang dibuat dari sayatan pada peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan 450 m.
49
Untuk penentuan umur, pada satuan breksi monomik ini sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan analisa fosil. Akan tetapi penulis dalam menentukan umur satuan tersebut dengan menggunakan pendekatan secara kesebandingan dengan hasil telitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Berdasarkan peta geologi lembar Majene dan Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998) satuan ini berumur oligosen dan terbentuk pada lingkungan darat. Satuan breksi ini diendapkan sebagai hasil dari aktifitas gunung api dan transportasi dari batuan andesit, terbentuk bersamaan dengan pembentukan andesit. Satuan breksi Formasi Gunungapi Lamasi dengan satuan andesit Formasi Gunungapi Lamasi mempunyai umur yang sama dan menindih batugamping Formasi Toraja yang mempunyai umur lebih tua. Hubungan satuan breksi Formasi Gunungapi Lamasi dengan batugamping Formasi Toraja tidak selaras. 5.2.3. Satuan Andesit Formasi Gunungapi Lamasi Penamaan satuan ini melihat dari litologi yang mendominasi pada daerah telitian. Batuan beku andesit adalah batuan penyusun yang paling mendominasi pada Formasi Gunungapi Lamasi. Kenampakan dilapangan dari satuan andesit ini sebagian ada yang segar dan juga ada yang telah teralterasi, seperti terlihat pada foto 5.10.
Foto 5.10. Singkapan andesit pada lokasi pengamatan 9 dengan arah kamera N354E.
50
Adapun ciri fisik andesit secara megaskopis di lapangan menunjukan: Warna Abu-abu, dengan struktur: masif, tekstur; derajad kristalisasi: Hipokristalin; Granularitas: Fanerik halus <1mm ;Bentuk kristal:Subhedral; Relasi: Inequigranularporfiritik dengan komposisi mineral : hornblend , piroksen, plagioklas.
Foto 5.11. Singkapan andesit pada lokasi pengamatan 9 dengan parameter palu geologi.
Foto 5.12. Sayatan batuan beku volkanik LP 23, warna abu-abu kehijauan-kecoklatan, tekstur porfiritik (fenokris tertanam dalam masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas), subhedral-anhedral, komposisi mineral : plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas, mineral sekunder : klorit hijau-hijau kekuningan, belahan parallel/satu arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai ubahan dari piroksen. Nama : Andesit (William 1982).
51
Satuan andesit tersebar pada daerah utara dan tengah lembar telitian. dengan menempati areal sekitar 40% dari luas daerah telitian. Berdasarkan penarikan pada batuan basalt di daerah Palopo (Sukamto, 1975) dan korelasi dengan batuan gunungapi di daerah Biru (Van Leeuwen, 1979) dan daerah Bantimala (Sukamto, 1982), satuan ini diperkirakan berumur Oligosen. Batuan gunungapi ini merupakan hasil kegiatan gunungapi bawah laut. Sebarannya mulai dari Palopo, melampar ke utara sampai Sabang. Tebal satuan diperkirakan mencapai 500 m. Batuan Gunungapi Lamasi dapat dikorelasikan dengan batuan Gunungapi Miosen di lembar Majene (Djuri & Sudjatmiko, 1975; Sunarya & Surawinata, 1980). Berdasarkan peta geologi lembar Majene dan Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998) satuan ini berumur Oligosen dan terbentuk pada lingkungan darat.
Satuan andesit ini secara stratigrafi merupakan satuan berumur muda yang terdapat di daerah telitian. Dari pengamatan di lapangan menunjukkan hubungan stratigrafi antara satuan andesit dan satuan breksi merupakan beda fasies.
5.3. Struktur Geologi Berdasarkan analisis peta topografi, pola pengaliran dan hasil survei lapangan, daerah pemetaan secara umum memiliki beberapa arah kelurusan morfologi dan pengaliran. Pola kelurusan yang ada didominasi oleh arah barat-timur. Selain itu di lapangan juga ditemukan adanya gejala struktur yang terbentuk akibat proses tektonik. Seperti struktur geologi kekar dan sesar. 5.3.1. Struktur Kekar Kekar adalah struktur rekahan yang terbentuk pada batuan dengan tidak atau sedikit sekali mengalami pergeseran (Billing, 1968). Kekar yang terbentuk dapat disebabkan oleh aktivitas tektonik maupun non tektonik. Dalam pembahasan kekar daerah penelitian lebih dititik beratkan pada pembahasan kekar yang terbentuk akibat aktivitas tektonik dimana hasil analisanya akan digunakan dalam analisis struktur geologi daerah penelitian. Klasifikasi kekar ada beberapa macam tergantung dari dasar klasifikasi yang digunakan salah satunya adalah berdasarkan genesa atau cara terjadinya yang
52
berhubungan dengan gaya pembentuk kekar tersebut (gambar 5.2). Klasifikasi kekar berdasarkan genesa, terdiri dari : a. Shear joint (kekar gerus), terjadi akibat adanya tegasan tekanan (compressive stress). b. Tension joint (kekar tegangan), terjadi akibat adanya gaya tarikan. Kekar ini dibedakan atas : Extension joint (kekar tarik), terjadi akibat pemekaran/tarikan. Release joint, terjadi akibat berkurangnya atau terhentinya gaya atau tekanan yang bekerja.
Extension Joint Shear Joint
Shear Joint
3 3 2
Release Joint
1
Gambar 5.2. Hubungan antara Shear Joint, Extension Joint dan Release Joint terhadap prinsip arah tegasan. Berdasarkan atas penyebab dan bentuknya, maka struktur kekar pada daerah penelitian ini penulis kelompokan menjadi dua jenis, yaitu : a. Kekar tak sistematik b. Kekar sistematik 5.3.1.1. Kekar tak sistematik Kekar ini termasuk kekar tarik (tension), jenis kekar ini dapat saling bertemu dan tidak memotong kekar lainnya. Kekar jenis ini tidak dapat dipergunakan untuk menentukan arah tegasan (1, 2, dan 3). Hal ini dikarenakan orientasi kekar ini
53
bukanlah orientasi yang sebenarnya, dikarenakan tidak dapat memotong matrik dan fragmen secara bersamaan. Arah orientasi yang berbeda-beda pada fragmen batuan membuktikan bahwa fragmen tersebut memiliki kedudukan yang acak di dalam matriksnya. Kenampakan tak sistematik ini terlihat pada lokasi pengamatan 49 yang terletak pada Sungai Mataluntun.
Foto 5.13. Kekar tak sistematik yang terletak pada lokasi pengamatan 49 daerah Sungai Mataluntun, dengan arah kamera menghadap ke bawah.
5.3.1.2. Kekar sistematik Kekar ini termasuk dalam kekar gerus (shear) dan kekar tarik (tension). Jenis kekar ini selalu dijumpai berpasangan merupakan satu set dan arahnya saling sejajar digunakan untuk menentukan arah gaya tegasan utamanya (1, 2, dan 3) pada beberapa lokasi pengamatan kekar ini sering ditemukan. (Lihat foto 5.12). Hasil analisa menggunakan diagram roset, maka didapatkan bahwa kekar-kekar pada lokasi pengamatan 49 memiliki orientasi arah umum N290E N110E, dengan arah tegasan utamanya yaitu 1 : N140E, 2 : N000E, dan 3 : N50E.
54
Foto
5.14.
Kekar sistematik pada andesit lokasi pengamatan 49 dengan arah kamera menghadap ke bawah.
5.3.2. Struktur Sesar Seperti yang telah disebutkan di muka bahwa daerah penelitian adalah suatu daerah yang sangat aktif tektoniknya dan batuannya telah bercampur aduk. Dengan sendirinya struktur geologi seperti kekar dan sesar dapat dijumpai di daerah telitian. Sesar merupakan suatu bidang rekahan atau rekahan yang telah mengalami pergeseran akibat adanya gaya yang bekerja (D.M.Ragan,1973). Untuk menentukan jenis pergerakan sesar yang terjadi pada daerah penelitian, maka penulis menggunakan klasifikasi penamaan sesar berdasarkan Rickard, 1972. (Lihat gambar 5.3). Daerah penelitian ada satu buah struktur sesar yang penulis temukan, yaitu berupa sesar mendatar kanan. Terbentuknya struktur sesar tersebut diperkirakan akibat adanya pergerakan lempeng yang mengalami tumbukan. Struktur yang terdapat di daerah penelitian adalah sesar mendatar kanan daerah Sungai Mataluntun.
55
5.3.2.1. Sesar Mendatar Kanan Daerah Sungai Mataluntun Sesar mendatar pada daerah penelitian terdapat pada lokasi pengamatan 49. Sesar tersebut terdapat pada batu Andesit yang mengarah kurang lebih tenggarabaratlaut. Indikasi Keberadaan Sesar Indikasi keberadaan struktur sesar ini di lapangan adalah ditemukannya struktur yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus (shear fracture) dan juga kekar tarik (gash fracture). Tanda yang lain adalah didapatkannya jalur breksiasi pada andesit yang terletak pada lokasi pengamatan 49. Data dan Analisa Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar didapatkan arah umum untuk kedudukan kekar gerus (shear fracture) adalah N200E/78 dan untuk kekar tarik (gash fracture) N300E/80. Arah umum kekar-kekar tersebut didapatkan dengan menganalisa kekar-kekar yang diukur di lapangan menggunakan stereonet. Kedudukan bidang sesar adalah N282E/82 dengan data berupa dip bidang sesar sebesar 82 dan rake 8, maka penulis menafsirkan jenis sesar yang terdapat pada lokasi pengamatan 49 adalah Right Slip Fault (Rickard, 1972). (Hasil analisa terlampir).
56
Foto 5.15. Zona hancuran (breksiasi) pada andesit lokasi pengamatan 49, dan kenampakan kekar gerus dan kekar tarik lokasi pengamatan 49 dengan arah kamera N189E.
5.4. Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi Berdasarkan data-data lapangan dan didukung data regional maka pembentukan pola-pola struktur geologi di daerah pemetaan disebabkan adanya aktivitas penunjaman lempeng yang terjadi di sekitar pulau Sulawesi. Pembentukan tersebut dimulai dengan pengendapan satuan batuan yang terdapat di daerah pemetaan yang terjadi selama kurun waktu Eosen-Oligosen. Aktivitas tektonik yang terjadi pada daerah telitian menghasilkan struktur geologi baik kekar maupun sesar. Sesar mendatar yang mempunyai tegasan berarah relatif tenggara barat laut, yang mengenai satuan andesit Formasi Gunungapi Lamasi yang berumur Oligosen dan satuan breksi Formasi Gunungapi Lamasi. Mekanisme pembentukan struktur geologi pada daerah telitian di dasarkan pada pendekatan teori strain elipsoid menurut Reidel yang merupakan modifikasi dari teori Harding, 1974 (Gambar 5.4), dimana dalam pembentukannya terjadi dalam satu periode pembentukan dengan arah umum tegasan maksimum berarah barat lauttenggara. Akibat adanya aktivitas tektonik yang menghasilkan gaya kompresi dengan arah umum tegasan maksimumnya relatif berarah barat laut tenggara menyebabkan batuan pada daerah penelitian mengalami fasa deformasi anyal (elastis). Kemudian gaya tersebut terus bekerja sehingga menyebabkan batas
57
elatisitas batuan dalam keadaan minimal sehingga batuan tersebut mengalami fasa deformasi plastis yaitu dengan terbentuknya kekar gerus (shear joint). Gaya kompresi terus berlanjut sehingga menghasilkan gaya tension (gaya tarik) yang relatif tegak lurus arah tegasan maksimum ( 1) dan kemudian akan menyebabkan terbentuknya kekar tarik (extension joint). Selanjutnya tekanan (gaya kompresi) yang terus bekerja tersebut semakin meningkat sehingga mengakibatkan batuan pada daerah penelitian mencapai fasa dimana batuan tersebut akan patah dan bergeser sehingga menghasilkan terbentuknya sesar geser Mataluntun yang bersifat menganan. Penentuan umur dari struktur geologi daerah penelitian ditentukan secara relatif berdasarkan pendekatan umur batuan termuda yang mengalami pengaruh struktur geologi. Batuan termuda pada daerah penelitian yang mengalami pengaruh struktur geologi adalah andesit yang berumur Oligosen. Jadi dapat disimpulkan bahwa umur dari struktur geologi daerah penelitian adalah Oligosen.
Gambar 5.4. Mekanisme struktur geologi berdasarkan model teori strain ellipsoid menurut Reidel (modifikasi dari Teori Harding, 1974) dalam Mc Clay, 1987.
58
6.1. Alterasi Hidrotermal Daerah Sungai Mataluntun dan Sungai Makawa Alterasi hidrotermal pada suatu tempat tertentu mempunyai karakteristik atau ciri-ciri tersendiri. Fluida hidrotermal yang mempunyai kondisi fisika-kimia tertentu akan melewati suatu batuan dinding (wall rock) melewati permeabilitas sekunder maupun primer, dan menghasilkan atau merubah batuan yang ada menjadi kumpulan/asosiasi mineral ubahan (alteration). Pengendapan mineral tertentu ada yang bersifat pengisian dan juga pengalterasian terhadap batuan yang ada. Alterasi tersebut menyangkut kimiawi, mineralogi, dan tekstur. Zona alterasi merupakan zona dimana proses ubahan mineral dari mineral primer menjadi mineral sekunder. Pada prinsipnya proses alterasi hidrotermal ini merupakan ubahan yang disebabkan oleh sirkulasi fluida hidrotermal yang menyebabkan himpunan mineral pada batuan dinding menjadi tidak stabil, dan cenderung menyesuaikan kesetimbangan baru dengan membentuk himpunan mineral yang sesuai dengan kondisi yang baru. Beberapa zona ubahan dijumpai pada daerah penelitian, dimana setiap zona alterasi ini memiliki keterdapatan mineral khusus (himpunan mineral) sebagai penciri setiap tipe alterasi tersebut. Zona alterasi yang berkembang di daerah penelitian antara lain zonasi ubahan propilitik, zonasi ubahan advanced argilik dan zonasi ubahan filik. Setiap alterasi tersebut dikelompokkan kedalam tipe-tipe alterasi sesuai dengan keterdapatan mineral penciri yang sesuai dengan jenis alterasinya. 6.1.1. Alterasi Propilitik Perkembangan zona alterasi ini umumnya cenderung menempati zona paling luar atau menyelimuti semua jenis alterasi pada sistem hidrotermal. Akibat kuatnya intensitas pelapukan pada litologi andesit mengakibatkan kesulitan dalam proses penarikan batas alterasi. Alterasi propilitik dikarenakan perubahan komposisi dan temperatur fluida hidrotermal yang awalnya bersifat asam kemudian berubah mendekati pH netral akibat dari kontaminasi air meteorik. Proses kloritisasi ini
59
didominasi oleh mineral klorit-epidot. Hadirnya himpunan mineral klorit pada alterasi propilitik ini karena terubahnya mineral-mineral piroksen dan plagioklas akibat dari interaksi fluida hidrotermal dengan wall rock.
Foto 6.1. Singkapan andesit teralterasi pada lokasi pengamatan 51 daerah sungai Mataluntun dengan arah kamera N350E.
Foto
6.2.
Singkapan andesit teralterasi dan didapatkan mineral pirit dan kalkopirit yang menyebar pada batuan (insert foto 6.1).
60
Foto 6.3. Sayatan tipis batuan teralterasi, warna abu-abu kehijauan, komposisi mineral plagioklas (50%), piroksen (15%), opak (5%), gelas (10%), klorit (15%), serisit (5%).
1 A B C D E F G H I J
10 A B C D E F G H I J
Nikol silang
0,5 mm
Foto 6.4. Sayatan poles batuan alterasi, abu-abu kehijauan-hijau, batuan telah mengalami alterasi dengan dijumpainya mineral sekunder klorit (G8) (hijau gelap) yang merubah mineral plagioklas serta mafik mineral. Nampak mineral sulfida (F-5) (pirit dan kalkopirit) tersebar secara merata dan mengisi urat (I-4), dengan ukuran halus.
61
Secara megaskopis di lapangan tekstur ataupun sifat fisik dari batuan asal pada zona ini umumnya sudah tidak terlihat. Proses alterasi ini ditandai dengan hadirnya mineral klorit. Zona ini terdapat pada batuan yang memiliki sifat permeabilitas yang rendah dan salinitas beragam. Alterasi ini dapat terlihat baik pada tubuh batuan andesit. Zona ini dijumpai di sungai Mataluntun dengan urat-urat yang mempunyai arah umum N185E/60. Berdasarkan pengamatan di lapangan, zona ini berkembang di wilayah timur dari daerah telitian pada satuan andesit, zona ini menempati kurang lebih 5% dari daerah telitian.
62
Quartz
Quartz Albite
63
2-Theta
d()
BG Height I% 36 18 16 20 19 14 17 19 20 23 20 17 13 17 21 18 17 15 11 12 11 14 13 31 3.2 72 7.5 20 2.1 31 3.2 211 22 61 6.4 28 2.9 37 3.9 40 4.2 959 100 165 17.2 28 2.9 55 5.7 42 4.4 96 10 30 3.1 69 7.2 33 3.4 59 6.2 36 3.8 104 10.8 27 2.8 19 2
Area 721 1136 225 430 1874 703 1089 1125 702 9518 3688 583 431 1348 1259 1064 731 478 1073 788 1494 540 192
I% 7.6 11.9 2.4 4.5 19.7 7.4 11.4 11.8 7.4 100 38.7 6.1 4.5 14.2 13.2 11.2 7.7 5 11.3 8.3 15.7 5.7 2
FWHM 0.395 0.268 0.191 0.236 0.151 0.196 0.661 0.517 0.298 0.169 0.38 0.354 0.133 0.546 0.223 0.603 0.18 0.246 0.309 0.372 0.244 0.34 0.172
Mineral chloritic-swelling cromsieditic sudotic sepiolite quartz plagioclase plagioclase hematite stronitantie quartz albite-low chabazite tremolite mallotsitit chamosite,ferric pyrophtllite calcite bayerite diaspore illite,micas quartz oriphite pyrite
6.179 14.2916 12.459 7.0986 18.7 4.7413 19.762 4.4888 20.824 4.2622 22.037 4.0303 23.62 3.7635 24.24 3.6688 25.118 3.5425 26.639 3.3436 27.92 3.1929 30.459 2.9323 33.038 2.7091 35.059 2.5574 36.521 2.4583 37.044 2.4248 39.478 2.2807 40.262 2.2381 42.422 2.129 45.779 1.9804 50.122 1.8185 54.839 1.6727 56.259 1.6338
Berdasarkan tabel hasil analisa XRD Lp51 dapat diketahui adanya mineralmineral penciri dari alterasi propilitik atau kloritisasi di daerah telitian, mineralmineral tersebut adalah : 1. Chlorite ( Mg,Fe2+,Fe3+)6AlSi3O10(OH)8 2. Albite-low 3. Illite 4. Calcite (CaCO3)
64
Mineral-mineral penciri yang hadir dalam analisa XRD kemudian dapat dimasukkan kedalam diagram temperatur pembentukan mineral untuk epithermal deposite (White & Headenquist, 1995), sehingga dapat diketahui pada suhu berapa alterasi propilitik atau kloritisasi yang hadir di daerah telitian terbentuk dan pada pH bagaimana dapat terbentuk. Pembentukan mineral-mineral yang hadir dalam alterasi kloritisasi atau propilitik ternyata terbentuk pada suhu 200-300C dan pH fluida yang dari asam kemudian mendekati netral karena kemungkinan adanya kontak dengan air meteorik.
Pembentukan alterasi propilitik pada daerah telitian disebabkan oleh adanya ruang (sesar dan kekar) sebagai jalan keluar fluida hidrotermal yang kemudian bereaksi dengan batuan vulkanik, sehingga terbentuk himpunan mineral-mineral ubahan yang mencirikan tipe alterasi propilitik. Sebagai contoh, mineral klorit yang
65
hadir diinterpretasikan sebagai hasil ubahan dari mineral plagioklas dengan reaksi kimia sebagai berikut (Stanton, 1972 dalam Heru Sigit, 2002).
2NaAlSi3O8 + 4(Mg,Fe)2+ + 10H2O (Mg,Fe)42+ (Fe,Al)23+ Si2O10 (OH)8 + 4SiO2 + 2Na + 12H
Albit
Klorit
Pembentukan tipe alterasi propilitik atau kloritisasi terjadi pada kisaran temperatur 200C-300C dengan salinitas beragam dan kondisi pH mendekati netral (57), yang umumnya terjadi pada batuan dengan permeabilitas kecil (Creasey, 1966). Tipe ini juga dipengaruhi komposisi fluida hidrotermal yang kaya unsur Ca, H2O, dan CO2 serta sedikit H+ (Pirajno, 1992 dalam Heru Sigit, 2002). 6.1.2. Alterasi Advanced Argilic Alterasi ini sebarannya mengikuti arah veinlet, alterasi advanced argilic mempunyai ciri-ciri di lapangan dengan hadirnya himpunan mineral-mineral lempung. Mineral-mineral lempung yang hadir umumnya illite, serta hadirnya mineral quartz, diaspore, dan pyrophillite. Akibat kuatnya intensitas pelapukan pada litologi andesit mengakibatkan kesulitan dalam proses penarikan batas alterasi. Secara megaskopis kenampakan alterasi ini berwarna putih keabuan dan pada batuan ini didominasi dengan kelompok mineral lempung (clay mineral). Pada alterasi advanced argilik ini juga hadir pirit sebagai mineral bijih, alterasi advanced argilik ditemukan mengalterasi pada lava andesit.
Foto 6.5. Alterasi advanced argilic di batuan andesit pada satuan andesit, lokasi pengamatan 49.
66
Quartz
67
Selama proses pembentukan alterasi argilik terjadi pengkayaan CO2 dari uap air yang terpanaskan (steam heated waters) ke arah batuan andesit (wall rock) oleh hadirnya asam sulfat / kondensasi zat volatil magmatik (Corbett dan Leach, 1996).
Tabel 6.2. Hasil analisa XRD LP 49. 2-Theta d() BG Height 36.501 2.4596 11 163 37.021 2.4262 10 54 42.4 2.13 5 117 47.382 1.9171 5 33 I% 6.2 2.1 4.5 1.3 Area 1751 746 1359 355 I% FWHM Mineral 7 0.183 Quartz 3 0.235 Pyrophillite 5.4 0.197 Diaspore 1.4 0.183 Marcasite
Berdasarkan tabel hasil analisa XRD sampel LP 49 dapat diketahui adanya mineral-mineral penciri tipe alterasi advanced argilic, yaitu dengan terdapatnya mineral : 1. Quartz 2. Pyrophillite 3. Diaspore 4. Marcasite
68
Gambar 6.4. Temperatur pembentukan mineral pada sampel alterasi advanced argilic.
Pembentukan mineral-mineral yang hadir dalam alterasi advanced argilic pada sampel LP 49 terbentuk pada kisaran temperatur 250C-300C dengan kondisi pH cenderung asam. Selama proses pembentukan alterasi advanced argilic terjadi pengkayaan CO2 dari uap air yang terpanaskan (steam heated waters) ke arah batuan andesit oleh hadirnya asam sulfat atau kondensasi zat volatil magmatik (Corbett dan Leach, 1996). 6.1.3. Alterasi Filik Zona ini tersebar di wilayah selatan daerah telitian yang sebarannya mengikuti arah kekar yang ditimbulkan oleh sesar yang berada pada daerah telitian, dimana fluida hidrotermal ini keluar melewati zona-zona lemah. Alterasi ini terlihat jelas bahwa batuan yang teralterasi mengalami pengkayaan akan mineral serisit dan kuarsa sekunder yang berasal dari feldspar.
69
Secara megaskopis, alterasi ini berwarna abu abu pada batuan dan banyak dijumpai mineral serisit dan mineral-mineral silika seperti kuarsa dan tidak jarang terdapat mineral-mineral bijih seperti pirit dan kalkopirit pada batuan tersebut. Zona filik terdapat pada tubuh batuan andesit. Proses ini disebabkan oleh larutan sisa magma dan air permukaan yang mengandung gas CO. Secara megaskopis memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, dengan asosiasi mineral yang hadir dominan kuarsa dan serisit, dimana batuan ini terpotong oleh urat kuarsa (veinlet). Sedangkan pengamatan dengan mikroskopis pada contoh batuan LP 61 dapat dilihat pada foto 6.6. Pembentukan tipe alterasi filik ini diinterpretasikan sebagai hasil proses pelapukan mineral feldspar teralterasi menjadi serisit. Proses ini disebabkan oleh larutan sisa magma dan gas air permukaan yang mengandung gas CO. Pada umumnya proses serisitisasi terjadi pada daerah dekat dengan vein dan dekat dengan sumber panas. Biasanya proses serisitisasi mengakibatkan penambahan mineral serisit dan kuarsa sekunder yang berasal dari feldspar. Mineral serisit yang terbentuk akan terlihat seperti bintik-bintik halus bersama kuarsa halus dalam feldspar (Ries & Watson, 1958).
Foto 6.6. Singkapan andesit teralterasi didapatkan mineral pirit dan kalkopirit yang menyebar pada batuan.
70
Foto 6.7. Andesit teralterasi dengan parameter uang logam (insert foto 6.6).
Foto 6.8. Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, komposisi mineral tersusun oleh kuarsa (veintlet), serisit, dan mineral bijih. Tampak fe-oksida mengisi rekahan. Silika (Kuarsa) (75%), Serisit (20%), mineral bijih (5%) jenis alterasi: filik.
71
Illite,Quartz
Pyrite
72
2-Theta 12.441 20.822 26.619 28.482 33.021 36.501 37.021 39.439 40.279 40.739 42.4 45.741 47.382 50.1 54.823 55.282 56.221
d() 7.1089 4.2626 3.346 3.1312 2.7105 2.4596 2.4262 2.2829 2.2372 2.213 2.13 1.982 1.9171 1.8192 1.6732 1.6603 1.6348
BG Height 19 10 11 9 8 11 10 8 8 7 5 7 5 6 6 8 7
I%
Area
I% 1.7 17.9 100 1.4 4.4 7 3 7.6 3.4 2.2 5.4 3.2 1.4 13.4 4.7 1.8 1.8
FWHM 0.221 0.155 0.162 0.18 0.172 0.183 0.235 0.178 0.241 0.203 0.197 0.178 0.183 0.223 0.251 0.22 0.171
Mineral Chrysotile Quartz low Illite,quartz Cordierite Pyrite Quartz Pyrophillite Manganite Kutnahorite,calcian Mullite Diaspore Illlite.micas Marcasite Quartz Graphite Pyrite Pyrite
32 1.2 416 490 18.7 4479 2620 100 25005 33 1.3 350 110 4.2 1112 163 6.2 1751 54 2.1 746 181 6.9 1893 60 2.3 852 46 1.8 548 117 4.5 1359 76 2.9 798 33 1.3 355 255 9.7 3342 80 3.1 1182 35 1.3 452 46 1.8 462
Berdasarkan tabel hasil analisa XRD sampel LP 61 dapat diketahui adanya mineral-mineral penciri dari tipe alterasi filik di daerah telitian, mineral-mineral tersebut adalah : 1. Quartz 2. Pyrite 3. Illite (serisit)
73
Gambar 6.6. Temperatur pembentukan mineral pada sampel alterasi filik. Dari gambar 6.6. diiketahui bahwa alterasi filik yang berada di daerah telitian terbentuk pada suhu relatif 200-300C, hadir mineral-mineral, antara lain quartz, illite (serisit), dan pirit. Alterasi ini merupakan penambahan proporsi dari serisit dan kuarsa sekunder pada batuan dinding. Penambahan mineral serisit diakibatkan pelapukan felsdspar terubah oleh larutan sisa magma dan gas air permukaan yang mengandung gas CO. Fasa mineral yang berasosiasi dengan tipe alterasi ini adalah K-feldspar, kaolinit, kalsit, biotit, rutil, anhidrit dan apatit.
6.2. Mineralisasi Daerah Siteba dan Sekitarnya Mineralisasi yang terjadi pada daerah telitian terdapat pada sepanjang Sungai Mataluntun dan Sungai Makawa. Mineralisasi ini hadir dengan pola setempatsetempat yang hadir berasosiasi dengan andesit. Tubuh andesit menjadi host rock, dan yang menjadi tempat mineralisasi adalah zona retakan (zona lemah akibat proses
74
tektonik yang diakibatkan oleh larutan sisa magma yang mengisi pori-pori dari batuan tersebut). 6.2.1. Aktivitas Magmatisme Daerah Siteba dan Sekitarnya Proses pembentukan mineral-mineral logam daerah telitian adalah sebagai berikut : a. Proses magmatik Magma merupakan sumber utama pembentukan mineral hipogen, yaitu berawal dari tahap kristalisasi dan diferensiasi sebelum mencapai akhir pembekuan, unsur-unsur yang masih ketinggalan dalam cairan sisa magma, kemudian akan membentuk oksida-oksida magmatik dan endapan-endapan sulfida. Perjalanan magma melalui rekahan atau celah-celah akan terjadi proses bertahap dan berurutan sebagai berikut : Magmatik awal, merupakan tahap awal kristalisasi magma, akan menghasilkan endapan bahan galian, dengan proses-prosesnya adalah : 1) Diseminasi, yaitu proses penghamburan kristal di dalam batuan beku tanpa terbentuk konsentrasi, terjadi di tempat yang cukup dalam. 2) Segregasi, yaitu proses dengan pembentukan dan pemisahan kristal dari larutan magma karena perbedaan sifat fisik antara lain perbedaan berat jenis dan terjadilah konsentrasi. 3) Injeksi, merupakan pengumpulan mineral bahan galian itu akan berpindah ketempat lain bukan ditempat dimana bahan galian semula terbentuk. Magmatik akhir, pada tahap ini magma yang tertinggal merupakan cairan magma sisa. Proses berikutnya yaitu proses pemisahan terjadi bersamaan dengan saat pembekuan magma atau proses pemisahan tersebut sebagai akibat secara langsung dua jenis cairan atau lebih sisa magma yang tidak menyatu sebagai akibat dari immisibilitas cairan, keadaan seperti minyak dan air. Selanjutnya kemungkinan bahan galian yang terbentuk akan tetap terkumpul pada tempat yang sama atau akan berpindah ketempat lain akibat dari injeksi.
75
b. Proses hidrotermal, merupakan cairan sisa magma yang mengandung konsentrasi logam-logam yang terdapat didalam magma dan tidak ikut dalam proses pengkristalan sebelumnya, proses ini membawa logam-logam ke tempat yang dianggap baru, dianggap sebagai asal endapan-endapan epigentik (bijih yang terbentuk setelah host rock terbentuk). 6.2.2. Mineralisasi Bijih Daerah Siteba dan Sekitarnya Berdasarkan pengamatan megaskopis, mineral bijih yang berkembang pada daerah telitian yaitu mineral-mineral yang dipengaruhi oleh proses magmatik, antara lain pirit, kalkopirit, hematit, dan magnetit. a. Pirit (FeS2) Mineral pirit merupakan mineral bijih yang banyak dijumpai pada daerah penelitian mulai dari yang berukuran halus (0,01-0,05mm) sampai kasar (0,25-2,00mm). Dari kenampakan megaskopis sering memperlihatkan tekstur disseminated dan spotted, secara umum berbentuk euhedral subhedral dan beberapa berbentuk anhedral. (Lihat Foto. 6.9). Pirit secara fisik berwarna kuning terang; perawakan membata; kekerasan 6 - 6,5; gores kuning; tenacity brittle; kilap logam. Pirit tersingkap pada lokasi pengambilan sampel LP 61 di daerah Sungai Makawa.
Pirit
Foto 6.9. Kenampakan pirit yang hadir pada batuan teralterasi, pada lokasi pengamatan 61 daerah Sungai Makawa.
76
Pirit
Foto 6.10. Kenampakan pirit yang hadir pada sayatan poles batuan teralterasi LP 61. b. Kalkopirit (CuFeS2) Secara megaskopis keberadaan kalkopirit teramati hadir berasosiasi dengan pirit membentuk tekstur disseminated dan spoted, Sebagian besar mempunyai bentuk kristal subhedral anhedral, ukuran relatif halus (0,01-0,05mm). c. Hematit (Fe2O3) Mineral hematit hadir sebagai sebaran dan sebagian mengganti (replacement) mineral pirit secara oksidasi. Kenampakan sangat jelas adanya mineral oksida ini adalah dari lapukan batuannya, yaitu ditunjukkan dengan warna yang kemerahan. d. Magnetit (Fe3O4) Kenampakan mineral magnetit di lapangan sering berasosiasi dengan mineral pirit dan terlihat hadir sebagai sebaran. Mineral ini dijumpai di daerah sungai Makawa. 6.2.3. Hubungan Alterasi dengan Mineralisasi Logam Daerah Siteba dan Sekitarnya Alterasi yang ada pada daerah Siteba dan sekitarnya terutama pada daerah Sungai Mataluntun dan Sungai Makawa sebagian besar diikuti oleh mineralisasi logam tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang didukung dengan hasil analisa AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) dan analisa XRD (X-Ray
77
Diffraction) diketahui pada tipe alterasi di daerah telitian sering berasosiasi dengan mineral bijih seperti pirit dan kalkopirit, terutama pada alterasi tipe filik dimana keterdapatan pirit cukup melimpah. Keberadaan alterasi ini di lapangan ditandai dengan hadirnya asosiasi ubahan seperti kuarsa, mineral silika (kuarsa) dan klorit.
6.3. Hasil Analisa Kadar AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) pada Daerah Siteba dan Sekitarnya Analisis geokimia dengan metode AAS (Atomic Absorbtion
Spectrophotometry) dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur Au, Ag, Pb, Cu dan Zn di dalam urat kuarsa dan batuan dinding yang diambil contoh batuannya dari lapangan daerah telitian yang termasuk dalam data primer penelitian. Hasil analisa mineralisasi bijih selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4. Tabulasi data kandungan unsur dari hasil analisa AAS. Zona ubahan propilitik advanced argilic filik Au (ppm) 0,1 1,1 0,1 Ag (ppm) 0,05 0,5 0,03 Cu (ppm) 0,02 0,14 0,02 Pb (ppm) 0,01 0,86 0,01 Zn (ppm) 0,01 0,79 0,01 As (ppm) 70 436 89
Sampel 1 2 3
6.4. Karakteristik Endapan Epitermal Daerah Siteba dan Sekitarnya Mineralisasi dimulai pada saat menerobosnya larutan hidrotermal melalui permeabilitas primer (rongga antar butir) ataupun permeabilitas sekunder (kekar, sesar) kemudian bereaksi dengan batuan samping (open space filling dan vug filling) dan menghasailkan mineral-mineral ubahan temperatur tinggi (>300C) seperti mineral lempung dan kuarsa, selain itu juga membawa mineral bijih pirit dan kalkopirit. Kemudian terjadi penurunan temperatur dan pH serta pengisian rekahan dan rongga batuan (open space filling dan vug filling) oleh asosiasi mineral klorit membawa mineral berharga seperti emas dan perak serta mineral bijih lainnya seperti pirit, kalkopirit, hematit, dan magnetit.
78
Larutan hidrotermal sebagai pembawa mineralisasi yang ada pada daerah telitian mengalir melalui permeabilitas sekunder. Sebagian fluida akan mengisi ruang/rekahan (open space filling) yang tersedia sehingga menghasilkan endapan mineral. Sebagian fluida akan bereaksi dengan lava basalt dan batupasir (kedua batuan dapat sebagai wall rock) yang akan mengubah mineral primer menjadi mineral sekunder. Untuk menentukan karakteristik endapan epitermal daerah telitian maka penulis mengacu pada ciri-ciri umum endapan epitermal (Lingrend, 1983). (lihat Tabel 6.5). Tabel 6.5. Ciri-ciri umum endapan epitermal (Lingrend, 1983). Kedalaman Temperatur Pembentukan Permukaan hingga 1500 m. 50 2000C Pada batuan sedimen atau batuan beku, terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusif dekat permukaan atau ekstrusif, biasanya disertai oleh sesar turun, kekar, dsb. Urat-urat yang simpel, beberapa tidak beraturan dengan pembentukan kantong-kantong bijih, juga seringkali terdapat pada pipa dan stockwork. Jarang terbentuk sepanjang permukaan lapisan dan sedikit kanampakan replacement (penggantian). Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Hg, Sb, Cu, Se, U Native Au, Ag, Cu, Pirit, Markasit, Sfalerit, Galena, Kalkopirit, Cinabar, Stibnite, Realgar, Orpiment, Ruby Silvers, Argentite, Selenides, Tellurides. Kuarsa, Chert, Kalsedon, Ametis, Serisit, Klorit rendah Fe, Epidot, Karbonat, Fluorit, Barite, Adularia, Alunit, Dickite, Rhodochrosite, Zeolit. Sering sedikit silisifikasi, kaolinisasi, piritisasi, dolomitisasi, propilitisasi. Crustification (banding), sangat umum sering sebagai fine banding, vugs, urat terbreksikan. Ukuran butir (kristal) sangat bervariasi. Makin kedalam makin tidak beraturan, seringkali kisaran vertikalnya sangat kecil.
Zona bijih
Mineral penyerta (gangue) Ubahan batuan samping Tekstur dan struktur Zonasi
Berdasarkan ciri-ciri endapan epitermal (Lingrend, 1983) di atas, maka penulis mencoba membuat suatu karakteristik mineralisasi daerah sungai Mataluntun dan sekitarnya (lihat Tabel 6.6).
79
Tabel 6.6. Karakteristik mineralisasi daerah Sungai Mataluntun dan sekitarnya. Komponen Pendekatan Batuan samping Kontrol struktur Pola mineralisasi Kedalaman pembentukan Temperatur pembentukan Tekstur mineralisasi Tipe alterasi Logam dasar Mineral bijih Karakteristik Endapan Emas Perak Batuan vulkanik (Andesit) Kekar, sesar open space filling dan vug filling Kedalaman di bawah 450 m 150 C 300 C Disseminated spoted Propilitik, advanced argilic, silisik Pb, Zn, Cu, Ag, Au Pirit, kalkopirit
6.5. Peranan Struktur Geologi Terhadap Keberadaan Urat Kuarsa pada Daerah Siteba dan Sekitarnya Mineralisasi pada daerah telitian terdapat dalam bentuk urat-urat yang menyisip dalam andesit. Urat kuarsa pada prinsipnya terbentuk oleh larutan yang mengisi rekahan, oleh sebab itu urat kuarsa akan mengikuti pola rekahan, bentuk urat dan impergensi digolongan dalam cavity filling (Sudrajat, 1982 dalam Sigit H P, 2002). Park, 1964 (dalam Sigit H P, 2002), menyatakan bahwa urat merupakan tubuh yang tabuler, kedua ujungnya memanjang dan terbentuk sepanjang zona lemah di kulit bumi dan pada suatu patahan, sehingga keberadaan urat kuarsa akan mengikuti pola struktur yang terbentuk sebelum terjadinya mineralisasi baik itu pola kekar maupun sesar. Berdasarkan hal tersebut dimungkinkan mineralisasi di daerah telitian terkait dengan struktur sesar dan kekar yang telah terbentuk. Struktur kekar dan sesar berperan sebagai ruang bagi larutan hidrotermal untuk mengendapkan mineral,
sehingga urat-urat kuarsa yang ada akan mengikuti pola struktur sesar maupun kekar.
80
6.6. Hubungan Struktur Geologi dan Litologi dengan Mineralisasi Bijih pada Daerah Siteba dan Sekitarnya Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa mineralisasi atau urat kuarsa yang ada di daerah telitian mengisi celah yang ada pada batuan yaitu andesit. Kehadiran urat-urat (vein) pada suatu formasi batuan tersebut sebagai penciri terjadinya proses mineralisasi, yang dikontrol oleh struktur geologi. Struktur geologi yang paling berperan sebagai indikator kehadiran urat-urat tersebut adalah struktur rekahan. Demikian pula kehadiran dan sebaran mineralisasi di daerah telitian dikontrol oleh struktur, yaitu rekahan, kekar, dan sesar. Pengukuran pada LP 49 menunjukkan adanya urat kuarsa yang mengisi rekahan akibat kompresi (sheared), hal ini diperlihatkan dengan ciri hablur kuarsa yang hancur (brecciated) juga pertumbuhan dari kristal yang kurang baik dengan bentukan urat kuarsa (quartz breccia), rekahan akibat tarikan (tensional fracture) diperlihatkan dengan ciri hablur kuarsa yang baik, masif dan pertumbuhan kristal yang baik. Urat-urat kuarsa (veinlets) banyak mengisi kekar-kekar baik kekar gerus maupun kekar tarik. Trend dari alteasi berarah barat laut-tenggara searah dengan bidang sesar mendatar di daerah telitian, sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur geologi mengontrol terdapatnya urat-urat kuarsa dan sebagai sebaran mineralisasi di daerah telitian. Mineralisasi pada daerah telitian juga dikontrol oleh litologi pembawa yang berasal dari basalt, sedangkan batuan yang sebagai wallrock adalah andesit, dapat dibuktikan asosiasi mineral-mineral bijih dan mineral ubahan berada pada batuan beku vulkanik yang terbentuk secara disseminated. Peran dari litologi pembawa ini sangat berpengaruh terhadap mineralisasi karena litologi tersebut nantinya yang akan menghasilkan fluida hidrotermal pada saat pembekuan yang mempengaruhi sifat pH larutan hidrotermal. Perbedaan litologi pembawa akan menghasilkan sifat fluida hidrotermal yang berbeda yang apabila fluida tersebut melewati wall rock dengan litologi yang berbeda, maka fluida tersebut akan bereaksi dan menghasilkan mineralmineral ubahan dan akhirnya akan menghasilkan tipe-tipe alterasi yang berbeda. Kedua peran antara stuktur dan litologi sangat mempengaruhi mineralisasi, karena struktur sebagai ruang tempat terisi fluida, dan litologi sebagai pembawa dari larutan hidrotermal yang berperan sebagai faktor dalam mineralisasi tersebut.
81
82
DAFTAR PUSTAKA
Billings, M. P, 1968, Structural Geology, Second ed. Prentice of India Private Limited, New Delhi. Carmichael, I.S.E., Turner, F.J., and Verhoogen, J., 1974, Igneous Petrology, Mc Graw Hill. Corbett, G.J & Leach, T.M. (1996), Southwest Pasific Rim Gold / Copper System : Structure, Alteration and Mineralitation, A workshop presented for the Society of Eksploration Geochemist, Townsville. Djuri, dkk, 1998, Geologi Lembar Majene dan Palopo Bagian Barat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi. Hamilton, W. H., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. U.S. Geol. Surv. Prof.Pap.1078, 345 pp. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1973, Sandi Stratigrafi Indonesia, Departemen Pertambangan Republik Indonesia. Katili. J. A., 1978, Past and Present Geotektonic Position of Sulawesi, Indonesia, Tectonophysics, 45: 289-322. Koesoemadinata, R.P., 1981, Prinsip Prinsip Sedimentasi, ITB., Bandung. Lindgren, W. (1983) Mineral Deposit McGraw-Hill Book Company, Inc, USA. Sukamto, Rab 1975, Perkembangan tektonik dengan membagi pulau Sulawesi dan pulau-pulau disekitarnya kedalam tiga mandala geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi. Sukamto, Rab (1975), Perkembangan Tektonik Sulawesi dan Sekitarnya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan energi. Sukamto, Rab (1985), Penelitian tentang Tektonik Sulawesi yang menghasilkan Peta Pola Tektonik Sulawesi Regional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi.
83
Sukamto, Rab, and Simanjuntak R.O., (1983), Sintesis terhadap hubungan tektonik ketiga Mandala Geologi Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi. Sukamto, Rab, and Simanjuntak R.O., (1983), Tectonic Relationship Between Geologic Provinces of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi and Banggai Sula in the Light of Sedimentological Aspect, Bull. Geol. Res and Dev. Centre, No. 7. . Van Bemmelen, R. W., 1949, The Geology of Indonesia Vol.II, Martinus Nijhoff The Hague. Van Leeuwen, T.M., 1974. The gology of Birru area, South Sulawesi; PT Riotinto Bethlehem Indonesia, upnubl. Rept. 277-304. William, H. F., Turner, and Gilbert, C. M., 1955, Petrography : Introduction To Study of Rock In Thin Section, W. H. Freeman and Co. San Fransisco Zuidam, Van, R.A, 1983, Aerial Photo Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping, Smith Publishers, The Hague, Neatherlands.
84
LAMPIRAN
85
Nomor Foto : 1 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 5 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Batuan beku intermediet vulkanik; warna:abu-abu; indeks warna 20%; kristalinitas:hypokristalin; granularitas:fanerik sedang-halus; bentuk kristal:subhedral-anhedral; ukuran kristal:2-0.1 mm; relasi:Inequigranular vitroverik yang disusun oleh : KOMPOSISI MINERAL : Plagioklas (45%); berwarna coklat; relief:sedang; bentuk kristal:subhedral; indeks bias Nmin<Nkb, menunjukkan kembaran Albit, pada fenokris berukuran 2 mm dengan An 33 jenis labradorit, dan mikrolit berukuran 0.1 mm dengan An 28 jenis andesin. Hadir merata dalam sayatan. Piroksen (20%); berwarna coklat kebiruan; relief:rendah; menunjukkan adanya belahan 2 arah; bentuk kristal:subhedral; hadir setempat dalam sayatan. Massa gelas (20%); tidak bewarna, hadir merata dalam sayatan. Mineral opak (15%); berwarna hitam; relief:rendah; bentuk kristal:anhedral, hadir menyebar dalam sayatan. Penamaan petrografis : Andesit piroksen.
86
Nomor Foto : 2 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 18 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan tipis batuan piroklastik (lapuk), berwarna coklat, tekstur klastik dengan butiran berukuran 0,050,3 mm, terdiri dari lithic,piroksen feldspar, kuarsa dan mineral opak, bentuk menyudut tanggung, butiran tertanam dalam matriks gelas. KOMPOSISI MINERAL : Feldspar (10%), putih, relief rendah, berukuran 0,10,25mm, bentuk menyudut tanggung, berupa plagioklas. Lithic (5%), abu-abu, kecoklatan, berupa pecahan batuan pumice, ukuran butir 0,1-0,3 mm, bentuk menyudut tanggung. Piroksen (5%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemahtidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm. Kuarsa (1%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, indeks bias n>nKb, berukuran 0,050,1mm, pemadaman bergelombang. Min opak (4%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran 0,05 0,1mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat setempat dalam sayatan. Gelas (75%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung. Penamaan petrografis : Vitric tuff (Klasifikasi Williams, 1982)
87
Nomor Foto : 3 Nama Megaskopis No. Sampel : Lp 38 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan beku vulkanik, warna abu-abu kehijauan, tekstur porfiritik (fenokris tertanam dalam masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas. KOMPOSISI MINERAL : Plagioklas (65%), warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran kalsbadAlbit sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-0,5 mm, bentuk subhedralanhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (45%) berukuran 0,050,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan. Piroksen (15%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemah-tidak ada, bentuk subhedral-anhedral, ukuran 0,05-0,5 mm. Hadir sebagai klinopiroksen (Augite). Hadir merata dalam sayatan. Mineral opak (5%), hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,050,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen. Gelas (10%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna gelap, dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut. Penamaan petrografis : Andesit piroksen. (klasifikasi Williams, 1982) Mineral sekunder yang hadir : Klorit (5%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel/satu arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari piroksen.
88
Nomor Foto : 4 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 9 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Batuan beku intermediet vulkanik; warna abu abu; indeks warna 20%; kristalinitas:hipokristalin; granularitas:fanerikhalus-afanetik; bentuk kristal : subhedral-anhedral; ukuran kristal : 0,5-3 mm; relasi: Inequigranular vitroverik yang disusun oleh : KOMPOSISI MINERAL : Plagioklas (60%); warna:coklat; relief:sedang; bentuk kristal:subhedral; indeks bias:Nmin<Nkb, menunjukkan kembaran Albit, pada fenokris berukuran 2 mm, dengan An 55 jenis Labradorit, dan pada mikrolit berukuran 0.5 mm dengan An 28 jenis Oligoklas, hadir merata dalam sayatan. Piroksen (20%); berwarna biru; relief:rendah; menunjukkan adanya belahan 2 arah; bentuk cristal:subhedral; hadir setempat dalam sayatan. Massa gelas (20%), yang hadar merata dalam sayatan. Penamaan petrografis : Andesit piroksen.
89
Nomor Foto : 5 Nama Megaskopis No. Sayatan : LP 61 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, komposisi mineral tersusun oleh kuarsa (veintlet), serisit, dan mineral bijih. Nampak fe oksida mengisi rekahan. KOMPOSISI MINERAL : Silika (Kuarsa) (75%), tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah, pemadaman bergelombang, berukuran 0,050,3mm, hadir mengisi fracture. Serisit (20%), tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan dari mineral plagioklas dan K-feldspar. Mineral bijih (5%), hitam, relief sangat tinggi, isotrop, berukuran 0,020,1mm; dari pengamatan megaskopis berupa mineral sulfide pyrite, tersebar mengisi urat. Jenis Alterasi : Filik
90
Nomor Foto : 6 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 61 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, komposisi mineral tersusun oleh kuarsa, serisit, dan mineral bijih. KOMPOSISI MINERAL : Silika (Kuarsa) (75%), tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah, pemadaman bergelombang, berukuran 0,050,3mm, hadir mengisi fracture. Serisit (20%), tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan dari mineral plagioklas dan K-feldspar. Mineral bijih (5%), hitam, relief sangat tinggi, isotrop, berukuran 0,02 0,1mm. dari pengamatan megaskopis berupa mineral sulfide pyrite, tersebar mengisi urat. Jenis Alterasi : Filik
91
Nomor Foto : 7 Nama Megaskopis : Batuan alterasi No. Sampel : LP 51 Daerah : S. Mataluntun Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, komposisi mineral tersusun oleh kuarsa, serisit, klorit dan mineral bijih. KOMPOSISI MINERAL : Silika (Kuarsa) (70%), tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah, pemadaman bergelombang, berukuran 0,050,3mm, hadir mengisi rekahan (vein). Klorit (20%), hijau - hijau kekuningan, belahan parallel/satu arah, fibrous, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Serisit (5%), tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan dari mineral plagioklas dan K-feldspar. Mineral bijih (5%), hitam, relief sangat tinggi, isotrop, berukuran 0,02 0,1mm. dari pengamatan megaskopis berupa mineral sulfide pyrite. Jenis Alterasi : Propilitik
92
Nomor Foto : 8 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 47 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan beku vulkanik (teralterasi), warna abu-abu kehijauan, tekstur porfiritik (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas. KOMPOSISI MINERAL: Plagioklas (50%) warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbadAlbit sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-0,5 mm, bentuk subhedralanhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (45%) berukuran 0,050,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan. Piroksen (15%) hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemahtidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-0,3 mm. Hadir sebagai klinopiroksen (Augit) Sebagian besar mineral telah mengalami ubahan menjadi mineral klorit. Hadir merata dalam batuan. Mineral opak (5%) hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,050,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen. Gelas (15%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna gelap, dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut. Penamaan petrografi : Andesit piroksen (klasifikasi Williams, 1982). Mineral sekunder yang hadir : Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen. Jenis alterasi : Propilitik.
93
Nomor Foto : 9 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 50 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan beku vulkanik (teralterasi), warna abu-abu kehijauan, tekstur porfiritik (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas. Nampak adanya urat klorit. KOMPOSISI MINERAL : Plagioklas (50%), warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbadAlbit sebagai fenokris (25%) berukuran 0,3-0,5 mm, bentuk subhedralanhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%) berukuran 0,050,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan. Piroksen (15%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-0,3 mm. Hadir sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah mengalami ubahan menjadi mineral klorit. Hadir merata dalam batuan. Mineral opak (5%), hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,050,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen. Gelas (10%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna gelap, dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut. Penamaan petrografis : Andesit piroksen (klasifikasi Williams, 1982).
94
Mineral sekunder yang hadir : Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen, sebagian hadir mengisi urat. Serisit (5%) tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan dari mineral plagioklas. Jenis alterasi : Propilitik
95
Nomor Foto : 10 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 48 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan beku vulkanik (teralterasi), warna abu-abu kehijauan, tekstur porfiritik (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas. KOMPOSISI MINERAL : Plagioklas (45%), warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbadAlbit sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-1,5 mm, bentuk subhedralanhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%) berukuran 0,050,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan. Piroksen (15%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm. Hadir sebagai klinopiroksen (Augit) Sebagian besar mineral telah mengalami ubahan menjadi mineral klorit, hadir merata dalam batuan. Mineral opak (5%), hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,050,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen. Gelas (15%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna gelap, dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut. Penamaan petrografi : Piroksen andesit (klasifikasi Williams, 1982)
96
Mineral sekunder yang hadir : Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen. Serisit (5%) tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan dari mineral plagioklas. Jenis alterasi : Propilitik
97
Nomor Foto : 11 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 66 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan beku vulkanik, warna abu-abu kehijauan-kecoklatan, tekstur porfiritik, bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari plagioklas, hornblende, mineral opak dan gelas. Nampak lubang-lubang amigdaloidal terisi oleh mineral sekunder kalsit dan kuarsa. KOMPOSISI MINERAL : Plagioklas (60%), putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbad-Albit, sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-1,5 mm, bentuk subhedral-anhedral, An 43 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%) berukuran 0,05-0,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan. Nampak pada masa dasar memperlihatkan penjajaran mineral plagioklas. Piroksen (15%), hijau muda pucat, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm. Hadir sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah mengalami ubahan menjadi chlorit. Hadir merata dalam batuan. Mineral opak (5%) hitam, isotrop relief tinggi, ukuran butir 0,05-0,1mm. Gelas (20%) tidak bewarna, pengamatan dengan cross nikol berwarna gelap, dengan Keping gips bewarna ungu muda berkabut. Sebagian besar telah mengalami ubahan menjadi lempung. Penamaan Petrografis : Andesit (klasifikasi Williams, 1982).
98
Nomor Foto : 12 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 83 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan tipis batuan sedimen klastik, berwarna abu-abu kecoklatan - krem, klastik, grain supported, dengan sedikit detritus mineral opak, berukuran 0,11,2mm. KOMPONEN PENYUSUN : Fosil (74%), tidak berwarna (sudah terekristalisasi) kecoklatan, relief sedang, bentuk sebagian pecah (skeletal), berukuran 0,51,2 mm, bias rangkap ekstrim, berupa foram plankton dan bentos, foram besar serta pecahan ganggang/koral, hadir merata dalam sayatan. Mineral opak (1%) hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,1-0,1mm, bentuk membulat-membulat tanggung. Mikrit (15%), tidak berwarna, relief bervariasi, berukuran kurang dari 0,02mm, warna interferensi sangat tinggi ekstrim, hadir merata dalam sayatan. Sparit (10%), tidak berwarna, relief sedang, berukuran 0,10,3mm, bias rangkap ekstrim, hadir merata dalam sayatan. Kehadiran fosil foram: Discocylina sp, Lepidocylina sp. Penamaan petrografis : Packstone (Klasifikasi Dunham, 1962) Biomicrite (Klasifikasi R.L. Folk, 1962) Fosilliferous Limestone (Klasifikasi Gilbert, 1954)
99
Nomor Foto : 13 Nama Megaskopis No. Sampel : LP 46 Daerah Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran
Nikol sejajar
PEMERIAN PETROGRAFIS : Sayatan batuan beku vulkanik, warna abu-abu kehijauan-kecoklatan, tekstur porfiritik(fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, mineral opak dan gelas. KOMPOSISI MINERAL : Plagioklas (60%), putih-abu-abu, indek bias n>nkb, relief sedang, kembaran kalsbad-Albit, sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-1,5 mm, bentuk subhedral-anhedral, An 43 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%) berukuran 0,05-0,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan. Piroksen (20%), hijau muda pucat, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm. Hadir sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah mengalami ubahan menjadi chlorit. Hadir merata dalam batuan. Mineral opak (5%) hitam, isotrop relief tinggi, ukuran butir 0,05-0,1mm. Gelas (15%) tidak bewarna, pengamatan dengan cross nikol bewarna gelap, dengan keping gips bewarna ungu muda berkabut. Sebagian besar telah mengalami ubahan menjadi lempung. Penamaan petrografis: Andesit (klasifikasi Williams, 1982)
100
Mineral sekunder yang hadir : Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral hornblende Silika (quartz)(5%) tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah, pemadaman bergelombang, berukuran <0,05 mm(kriptokristalin) - 0,25mm, hadir mengisi lubang amigdoloidal.
101
ANALISA STRUKTUR LP 49
102
103
104
PETA GEOMORFOLOGI
105
PETA GEOLOGI
106
107
108