Anda di halaman 1dari 27

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PRODUKSI PEPTON DARI IKAN PETEK (Leiognathus equulus) SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN MIKROBA

BIDANG KEGIATAN: PKM Penelitian

Diusulkan oleh: Saptari Joan Tatra Saraswati Nurrokhmatunnisa Nur Aziezah Hapsari Virjean Pricillia Yulian Nur Hanifa Ragil Pratiwi C34090001 C34090004 C34090062 C34090067 C34090081 C34090082 G34080033 Angkatan 2009 Angkatan 2009 Angkatan 2009 Angkatan 2009 Angakatan 2009 Angkatan 2009 Angkatan 2008 Angkatan 2008

Cheanty Lebang MM G34080123

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan : Produksi Pepton dari Ikan Petek (Leiognathus equulus) sebagai Media Pertumbuhan Mikroba 2. 3. 4. Bidang Kegiatan Bidang Ilmu Ketua Pelaksana Kegiatan a. Nama lengkap b. NRP c. Departemen d. Institusi 5. 6. Anggota Pelaksana Kegiatan Dosen Pendamping a. Nama Lengkap b. NIP c. Alamat Rumah dan No. HP 7. Biaya Kegiatan Total DIKTI Sumber Lain 8. Jangka Waktu Pelaksanaan : Dra. Pipih Suptijah, MBA : 19531001 198503 2 001 : Griya Melati A5 No.10 Bogor/ 08128711070 : Rp 8.855.000,00 : Rp 8.855.000,00 : : 3 Bulan : Saptari Joan Tatra : C34090001 : Teknologi Hasil Perairan : Institut Pertanian Bogor : 8 Orang : PKM Penelitian (PKMP) : Teknologi dan Rekayasa

Ketua Departemen THP

Ketua Pelaksana Kegiatan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, Ms. Mphil NIP. 19580511 198505 1 002 Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

Saptari Joan Tatra NIM. C34090001 Dosen Pendamping

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP. 19581228 198503 1 003

Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 19531001 198503 2 001

A. JUDUL PROGRAM Produksi Pepton dari Ikan Petek (Lelognathus equulus) sebagai Media Pertumbuhan Mikroba.

B. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keaneragaman hayatinya, terutama kekayaan yang terkandung di laut. Kekayaan alam tersebut sangat melimpah dan dapat memberikan manfaat bagi manusia. Salah satu pemanfaatan sumber daya hayati tersebut adalah penggunaan ikan-ikan hasil tangkap

sampingan sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk yang meiliki nilai jual tinggi baik di pasaran regional maupun internasional. Hasil tangkap sampingan dapat digolongkan menjadi beberapa macam yaitu hasil samping pemanfaatan sumber daya ikan rucah (by catch) dan multispesies, hasil samping saat panen raya yang mengakibakan sebagian ikan yang tertangkap tidak dapat ditangani dengan baik, sisa produk ikutan dalam industri pengolahan ikan dan limbah industri pengolahan ikan. Hasil samping yang mayoritas berupa ikan rucah (by catch) akhirnya dibuang ke laut lagi karena tidak menguntungkan bagi nelayan. Hasil samping ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk bernilai ekonomis tinggi dengan memperhatikan proses produksi yang baik. Salah satu pemanfaatannya adalah dengan mengolah hasil samping tersebut menjadi produk berupa pepton, minyak ikan, dan tepung ikan, misalnya pada ikan petek yang merupakan jenis ikan rucah, dapat digunakan sebagai bahan baku tepung ikan, pakan ternak, ataupun pupuk. Selain itu, ikan petek memiliki

kandungan gizi yang baik terutama protein. Produk dari minyak ikan dan tepung ikan selama ini sudah dikembangkan akan tetapi tidak memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga dibutuhkan suatu jenis produk dengan bahan baku ikan yang memiliki nilai jual yang tinggi seperti pepton ikan. Pepton dalam bioteknologi biasanya digunakan untuk media pertumbuhan mikroba, karena merupakan salah satu sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Menurut Dufoss et al. (2001) pepton ikan adalah produk turunan atau derivat dari hidrolisis protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas. Kebutuhan pepton dalam bidang

bioteknologi sangat tinggi. Selama ini kebutuhan pepton di Indonesia dipenuhi melalui impor dan harga yang sangat mahal. Menurut Biro Pusat Statistik (1998) impor pepton dan turunannya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 1997, pepton dan turunannya sebesar 1.602.415 kg dengan nilai sebesar US $3.362.761. Sedangkan dari bulan Januari sampai bulan Agustus 1998 impor pepton Indonesia sebesar 862.123 kg dengan nilai sebesar US $ 3.759.272. Pepton dalam bioteknologi biasanya digunakan untuk media pertumbuhan mikroba, karena merupakan salah satu sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada beberapa ikan rucah dari ikan gulamah (Argyrosomus sp.) (Praptono 2006) dan ikan selar (Caranx leptolepis) (Saputra 2008) menunjukkan bahwa hasil samping perikanan tangkap dapat menghasilkan pepton yang dapat dikembangkan lebih luas dalam bidang bioteknologi. Hal ini yang melatarbelakangi penelitian lebih lanjut untuk mendapatkaan pepton dari jenis ikan rucah lainnya, salah satunya adalah ikan petek sebagai media pertumbuhan mikroba.

C. PERUMUSAN MASALAH a. Pemanfaatan hasil tangkap sampingan dari jenis ikan rucah. b. Ikan rucah dari ikan petek yang berpotensi sebagai penghasil pepton. c. Pepton yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba dengan kualitas yang baik dan murah. d. Perbandingan kualitas pepton dari ikan petek dengan gulamah dan ikan selar.

D. TUJUAN Tujuan dari pengembangan produksi pepton dari hasil tangkap sampingan yang diterapkan pada ikan petek sebagai media pertumbuhan mikroba dan membandingkan kualitas pepton yang dihasilkan oleh ikan petek antara ikan gulamah dan ikan selar sehingga dapat meningkatkan kemajuan di bidang bioteknologi.

E. LUARAN YANG DIHARAPKAN a. b. Meningkatkan nilai ekonomis dari hasil tangkap sampingan. Mengoptimalkan penggunaan hasil tangkap sampingan sebagai bahan baku pepton. c. Memberikan alternatif sumber pepton sebagai media pertumbuhan mikroba yang murah dan memiliki kualitas yang baik. d. Menghasilkan produk dengan nilai guna yang lebih dengan membandingkan kualitas pepton dari ikan petek dengan ikan gulamah dan ikan selar.

F. KEGUNAAN a. Bagi Perguruan Tinggi Pengembangan sumber pepton dari hasil tangkap sampingan akan memicu jiwa kreatif dan inovatif mahasiswa dalam menciptakan sebuah produk bahan baku media pertumbuhan mikroba yang bermanfaat di bidang bioteknologi. Kondisi ini dapat menumbuhkan iklim kompetitif di kalangan mahasiswa untuk bersaing melalui pengembangan intelektualitas dan kreatifitas, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Program ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi. Dengan program ini pula akan meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam penerapan di bidang bioteknologi yang dapat dikembangkan lebih lanjut. b. Bagi Mahasiswa Pelaksanaan program ini akan merangsang mahasiswa berpikir positif, kreatif, inovatif dan dinamis. Pelaksanaan program ini menuntut mahasiswa

untuk dapat bekerja dalam tim yang akan menumbuhkan kesolidan dan kekuatan tim. Program ini akan menambah wawasan dan pengalaman mahasiswa dalam berkarya dalam menerapkan teknologi sederhana yang berhasil guna, selain dapat menumbuhkan sikap kepedulian mahasiswa terhadap tuntutan peneliti dalam bidang bioteknologi. c. Bagi Masyarakat

Adanya pemanfaatan hasil tangkap sampingan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan khususnya para nelayan. Produk pepton yang dihasilkan memiliki harga yang murah dengan bahan baku yang mudah diperoleh.. Selain itu, dengan adanya program ini, masyarakat pesisir diharapkan dapat peduli terhadap pengolahan hasil tangkap sampingan untuk mendapatkan produk yang lebih bermanfaat dan bernilai ekonomi tinggi.

G. TINJAUAN PUSTAKA 1. Ikan Pepetek Ikan pepetek merupakan salah satu jenis ikan air laut. Ikan pepetek merupakan ikan yang euryhaline sehingga bisa hidup di air payau dan laut. Menurut Nelson (1994), ikan pepetek diklasifikasikan sebagai berikut: Filum Subfilum Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies : Chordata : Vertebrata : Pisces : Teleostei : Perciformes : Leiognathidae : Leiognathus : Leiognathus equulus

Gambar 1 Ikan pepetek (Leiognathus equulus) Sumber: Sarjono (1995) Ikan pepetek mempunyai bagian dorsal memanjang dan tergolong pada keluarga Leiognathidae yang masih berkerabat dengan keluarga Carangidae. Jenis ini merupakan jenis ikan yang kecil. Panjang tubuhnya tidak lebih dari 15 cm, badannya tinggi dan bentuknya pipih. Daging dari jenis ini tidak begitu banyak (Djuhanda 1981).

Daerah penyebaran ikan pepetek terdapat di seluruh perairan Indonesia terutama Laut Jawa, Selat Malaka, sepanjang perairan Kalimantan, Sulawesi Selatan, Laut Arafuru, ke utara sampai Teluk Bengal, Teluk Siam, sepanjang Laut Cina Selatan, Pasifik Barat, Laut Merah, Afrika bagian timur, perairan utara Australia, dan Philipina. Pada umumnya ikan ini hidup pada dasar perairan yang berlumpur, terutama di daerah muara-muara sungai (Sarjono 1995). Ikan ini umumnya dikonsumsi dengan diolah terlebih dahulu menjadi ikan asin. Karena dagingnya tidak terlalu banyak, masyarakat biasa mengonsumsinya dengan digoreng kering lalu dikonsumis bersama tulangnya karena tulangnya menjadi renyah (Bahar 2004). Ikan pepetek memiliki 176 kkal energi, 32 g protein, dan 4,4 g lemak dalam 100 g berat ikan (Irianto dan Soesilo 2010).

2. Protein ikan dan Asam Amino Protein merupakan senyawa yang mengandung berbagai asam amino membentuk rantai panjang dengan ikatan peptida. Senyawa protein merupakan konstituen pengisi jaringan otot ikan yang paling penting. Ikan mengandung protein 18-22% per 100 gram daging ikan yang dapat dimakan (Peterson dan Johnson 1987). Protein ikan menurut jenisnya dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu protein sarkoplasma, miofibril, dan stroma. Komposisi protein ikan tersebut berbeda menurut jenis dan spesiesnya (Fennema 1976). Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan dan bersifat dalam larut garam (Hall dan Ahmad 1992). Kadar protein miofibril pada otot ikan berkisar antara 75% sampai 85% dari total protein otot ikan (Govindan 1985). Protein miofibril pada otot ikan mengandung miosin, aktin, aktomiosin, dan tropomiosin. Miosin merupakan komponen miofibril yang mampu mnegalami denaturasi dan agregasi. Proses denaturasi akan menghasilkan molekul-molekul gel dari miosin dengan sifat elastis yang akan tergabung akibat adanya proses agregasi (Wong 1989). Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut dalam air dan secara normal ditemukan di dalam plasma sel, yaitu protein tersebut berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk proses metabolisme anaerob sel otot. Kandungan protein sarkoplasma lebih banyak pada ikan pelagis dibanding dengan ikan

demersal. Bagian otot gelap spesies ikan tertentu mengandung sedikit protein sarkoplasma daripada otot putihnya (Suzuki dalam Shahidi dan Botta 1994). Protein stroma merupakan protein yang membentuk jaringan ikat. Komponen penyusun protein ini adalah kolagen dan elastin. Protein ikan menurut sifat kelarutannya dapat digolongkan menjadi tiga kelas yaitu protein mioplastik, protein miofibril dan protein miostroma (Okuzumi dan Fujii 2000). Protein mioplastik pada otot ikan berkisar antara sepersepuluh sampai seperlima dari total protein otot ikan. Protein merupakan sumber makanan yang sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh sekaligus sebagai zat pembangun dan zat pengatur. Protein juga digunakan sebagai sumber nutrien dalam pertumbuhan bakteri. Hal ini karena protein mengandung sumber C, H, O, N, S, dan P yang merupakan elemen penting dalam kebutuhan nutrisi pertumbuhan bakteri (Todar 2005). Molekul protein akan mengendap karena terdenaturasi, namun denaturasi belum tentu menyebabkan koagulasi bisa saja hanya menyebabkan flokuasi yaitu protein mengendap lalu kembali pada keadaan semula (Syacherie et al. 1995 dalam Rachman 2003). Protein akan mengalami kondisi isoelektrik ketika muatan gugus amino dan karbonil saling mentralkan yang mnyebakan molekul-molekul protein bermuatan netral. Asam amino merupakan senyawa penyusun protein yang membentuk sel tubuh manusia dan hewan. Asam amino dibagi dalam dua kelompok utama yaitu asam amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi diproduksi oleh tubuh sehingga harus disuplai lewat maknaan, sedangkan asam amino non esensial dapat diproduksi di dalam tubuh. Berbagai jenis asam amino menyatu dalam ikatan peptida untuk menghasilkan protein. Beberapa fungsi asam amino esensial dan non esensial yang dibutuhkan oleh manusia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Beberapa fungsi asam amino esensial dan non esensial Asam Amino 1. Esensial Histidin Isoleusin Fungsi Prekusor histamin, penting untuk pertumbuhan fisik dan mental sempurna serta menanggulangi penyakit rematik. Pertumbuhan bayi dan keseimbangan nitrogen bagi orang dewasa.

Leusin Lisin Metionin

Arginin Phenilalanin Treonin Triptofan Valin 2. Non esensial Alanin Aspartat Sistein Glutamat

Merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas. Untuk crosslinking protein dalam biosintesis karnitin dan menyembuhkan penyakit herpes kelamin. Produksi sulfur, menjaga kenormalan metabolisme, sebgai antioksidan dan merangsang serotinin sehingga dapat menghilangkan kantuk. Terlibat dalam sintesis urea di hati dan memperlancar peredaran darah. Untuk prekusor tirosin, katekolamin dan melanin. Menyumbangkan nitrogen. Prekursor nikotinamin dan produksi serotinin pada otak. Pada penyakit anemia, menggantikan posisi asam glutamat dalam hemoglobin. Prekursor glukogenik, pembawa N dari jaringan ke permukaan untuk ekskresi N. Biosintesis urea, prekursor glukogenik, dan prekursor pirimidin. Sebagai prekursor taurin (misalnya proses kunjugasi asam empedu). Produksi antara-dalam reaksi interkonversi asam amino, prekursor prolin, ornitin, arginin, poliamin, neurotransmiter -amino butirat (GABA), sumber NH3. Prekursor dalam proses biosintesis purin dan neurotransmiter. Komponen fosfolipid, prekursor sfingolipid, prekursor etanolamin dan kholin. Prekursor katekolamin dan melanin. Pembentukan kolagen dan penyerapan zat-zat gizi bagi tubuh. Donor kelompok amino yntuk berbagai reaksi non asam amino pembawa N.

Glisin Serin Tirosin Prolin Glutamin Sumber: Lender (1992)

Asam amino dalam protein tersedia dengan jumlah dan proporsi yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan minimun seseorang, dapat menghasilkan energi untuk bekerja optimum walaupun pemasukannya rendah.

3. Pepton Dufosse et al. (2001) menyatakan pepton ikan adalah suatu produk turunan atau derivat dari hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas. Pepton ikan ini merupakan produk yang sangat memiliki nilai ekonomis penting pada industri perikanan, karena

memiliki harga pasar yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan produk sampingan lainnya seperti silase ikan dan tepung ikan. Hidrolisat protein ikan dibuat dengan mencerna ikan menggunakan enzim proteolitik, seperti papain, ficin, tripsin, pankreatin, pronase atau enzim yang diisolasi dari mikroorganisme proteolitik pada temperatur dan pH optimum yang dibutuhkan oleh enzim. Hidrolisat disentrifuse untuk menghilangkan sisik dan tulang lalu dikeringkan untuk membuat bubuk protein. Peptida pada hidrolisat ikan memiliki peran fungsional. Aktivitas biopeptida tergantung pada bahan mentah dan kondisi hidrolisis (Venugopal 2006). Enzim proteolitik ditapis untuk menghidrolisis protein ikan. Pancreaten, papain, dan pepsin cocok untuk proses ini. Studi mengenai pencernaan protein menyatakan bahwa penggunaan papain pada pH 7,0 memberikan kelarutan maksimum pada beberapa jam pertama. Suhu 40 C lebih dianjurkan untuk dapat memperoleh peptida yang lebih panjang pada saat pencernaan protein. Hidrolisat protein dari ikan berlemak memberikan produk dengan kandungan lemak yang signifikan. Bubuk yang berasal dari ikan berlemak rendah, umumnya memiliki kandungan protein sebesar 92%, lemak sebesar 1,7%, dan abu sebesar 6,4%. Proses pembuatan hidrolisat protein ikan dari hasil tangkapan samping, dengan perlakuan enzim papain pada suhu hidrolisat sebesar 55 C selama 2 jam menghasilkan bubuk hidrolisat protein dengan kandungan protein sebanyak 90% (Venugopal 2006). Satu dari beberapa penggunaan potensial enzim untuk modifikasi dan peningkatan protein adalah dengan mengontrol proses hidrolisis. Berbagai produk dengan nilai jual tinggi dapat dihasilkan dari ikan berlemak tinggi dan ika berlemak rendah. Produk dari ikan berlemak rendah umumnya disebut konsentrat tipe A yang mengandung paling sedikit 67,5% protein kasar (basis kering), dan tidak mengandung lebih dari 0,75% lemak. Produk tipe ini biasanya tidak berwarna, tawar, dan tidak berbau. Konsentrat yang dihasilkan dari ikan berlemak tinggi menghasilkan produk tipe B dengan kandungan lemak lebih dari 10% dan masih memiliki aroma ikan yang jelas (Shahidi dan Botta 1994).

4. Protease Papain Protease merupakan enzim proteolitik yang bekerja memecah protein menjadi asam amino dan polipeptida. Protease bekerja mengkatalis reaksi pemutusan ikatan protein, sehingga reaksi dapat berjalan dengan cepat. Katalisator adalah zat yang mempercepat reaksi kimia. Katalis mengalami perubahan secara fisik selama reaksi tetapi tetap kembali ke kedudukan semula setelah reaksi berakhir. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi kimia dalam sistem biologis ( Rodwell et al. 1985). Protease merupakan enzim yang berperan dalam reaksi yang melibatkan pemecahan/pembentukan protein. Enzim ini dalam mekanisme kerjanya membutuhkan air dan tergolong dalam kelas hidrolase. Protease digolongkan menjadi peptidase (eksopeptidase) dan proteinase (endopeptidase). Istilah peptidase ditujukan untuk protease pemecah peptida, sedangkan proteinase ditujukan untuk protease pemecah protein (Suhartono 1989). Papain merupakan salah satu enzim pemecah protein dari tanaman pepaya yang relatif mudah diperoleh. Apabila dibandingkan dengan enzim proteolitik lainnya, papain relatif tahan terhadap panas. Untuk aktivitasnya, enzim papain memerlukan suhu optimum 60-75 C dan pH optimum 4,5-7. Penggunaan papain sampai saat ini masih terbatas pada beberapa industri terutama industri makanan. Di Indonesia, papain banyak digunakan sebagai pengempuk daging dan penjernih pada industri bir (Suhartono 1989). Protease dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsi dan karakteristiknya dan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kelas enzim protease Kelas protease Serin protease Aspartik protease Sistein protease Metalloprotease Sumber: Walsh (2002) Contoh Tripsin, kimotripsin, elastase, subtilins, proteinase Pepsin, Renin, Microbial aspartic protease Papain,fisin, bromelin Kolagenase, Themiosin

Papain adalah enzim yang telah digunakan secara komersial dalanm industri pangan. Enzim yang digunakan secara komersial dalam industri pangan

harus memiliki sifat-sifat, yaitu biaya produksi enzim harus lebih kecil dari pada nilai tambah produk yang dihasilkan, enzim harus cukup aktif secara optimum pada kisaran pH, temperatur, dan konsentrasi substrat yang umum diperlukan dalam industri pangan , enzim haru s aman (Muchtadi et al. 1992). Papain juga banyak dipakai pada proses hidrolisis protein menggantikan proses-proses kimiawi. Industri pepton dan asam amino banyak memanfaatkan enzim ini. Papain juga digunakan sebagai bahan penghancur sisa limbah industri pengalengan ikan menjadi bubur ikan atau konsentrat protein hewani. Bubur ikan atau konsentrat protein ini digunakan sebagai bahan pakan ternak lemak, ikan, atau diolah menjadi kecap. Papain juga dapat digunakan pada proses pengolahan bungkil kacang-kacangan mendaki konsentrat protein nabati (Muhidin 2000).

5. Hidrolisis Protein Asam amino merupakan monomer yang menyusun polimer-polimer pada prtein. Asam amino dapat mengalami proses hidrilisis yang menghasilkan hidrolisat protein. Hidrolisat protein didefinisikan sebagai protein yang mengalami degradasi hidrolitik dengan asam atau basa kuat dengan hasil akhir berupa campuran beberapa hasil. Fungsi hidrolisat protein dapat sebagai penyedap atau sebagai intermedia tes untuk isolasi dan memperoleh asam amino secara individu atau dapat pula untuk pengobatan yaitu sebagai diet untuk penderita pencernaan. Ikatan peptida yang membangun rantai polipeptida dalam protein dapat diputus (dihidrolisis) menggunakan asam, basa atau enzim pemecahan ikatan peptida dalam kondisi asam atau basa kuat merupakan proses hidrolisis kimia dan pemecahan ikatan peptida menggunakan enzim merupakan proses hidrolisis biokimia reaksi hidrolisis peptida akan menghasilkan produk reaksi yang berupa satu molekul dengan gugus karboksil dan molekul lainnya memiliki gugus amina (Juniarso et al. 2007). Pada umumnya asam amino diperoleh sebagai hasil hidrolisis protein, baik menggunakan enzim maupun asam. Dengan cara ini diperoleh campuran bermacam-macam asam amino dan untuk menentukan jenis asam amino maupun kuantitas masing-masing asam amino perlu diadakan pemisahan antar asam amino tersebut. Ada beberapa metode analisis asam amino, misalnya metode gravimetri,

kalorimetri, mikrobiologi, kromatografi, dan elektroforesis. Salah satu metode yang banyak memperoleh pengembangan adalah metode kromatografi. Macammacam kromatografi adalah kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, dan kromatografi penukar ion (Poedjiadi 1994).

6.

Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan adalah penambahan secara teratur semua komponen sel

suatu jasad. Pembelahan sel adalah hasil dari pembelahan sel. Pada jasad bersel tunggal (uniseluler), pembelahan atau perbanyakan sel merupakan pertambahan jumlah individu. Misalnya pembelahan sel pada bakteri akan menghasilkan pertambahan jumlah sel bakteri itu sendiri. Pada jasad bersel banyak (multiseluler), pembelahan sel tidak menghasilkan pertambahan jumlah individunya, tetapi hanya merupakan pembentukan jaringan atau bertambah besar jasadnya. Dalam membahas pertumbuhan mikrobia harus dibedakan antara pertumbuhan masing-masing individu sel dan pertumbuhan kelompok sel atau pertumbuhan populasi (Pelczar dan Chan 2008). Suatu bakteri yang dimasukkan ke dalam medium baru yang sesuai akan tumbuh memperbanyak diri. Jika pada waktu-waktu tertentu jumlah bakteri dihitung dan dibuat grafik hubungan antara jumlah bakteri dengan waktu maka akan diperoleh suatu grafik atau kurva pertumbuhan. Pertumbuhan populasi mikrobia dibedakan menjadi dua yaitu biakan sistem tertutup (batch culture) dan biakan sistem terbuka (continous culture) (Fardiaz 1992). Pada biakan sistem tertutup, pengamatan jumlah sel dalam waktu yang cukup lama akan memberikan gambaran berdasarkan kurva pertumbuhan bahwa terdapat fase-fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan dimulai pada fase permulaan, fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial), fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner maksimum, fase kematian dipercepat, dan fase kematian logaritma (Volk dan Wheeler 1988). Pada fase permulaan, bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikroba mulai membelah diri pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang. Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag phase.

Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan konstan. Selama fase logaritma, metabolisme sel paling aktif, sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Selanjutnya pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel

hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel hidup konstan, seolah-olah tidak terjadi pertumbuhan (pertumbuhan nol). Pada fase kematian yang dipercepat kecepatan kematian sel terus meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut (Pelczar dan Chan 2008). Gambar 2 Grafik pertumbuhan mikroba dalam biakan sistem tertutup (batch culture). Pada biakan sistem terbuka dalam kemostat, sel dapat dipertahankan terus menerus pada fase pertumbuhan eksponensial atau fase pertumbuhan logaritma. Continuous culture mempunyai ciri ukuran populasi dan kecepatan pertumbuhan dapat diatur pada nilai konstan menggunakan khemostat. Untuk mengatur proses di dalam khemostat, diatur kecepatan aliran medium dan kadar substrat (nutrien

pembatas). Sebagai nutrien pembatas dapat menggunakan sumber C (karbon), sumber N atau faktor tumbuh (Volk dan Wheeler 1988). Pada sistem terbuka ini, ada aliran keluar untuk mempertahankan volume biakan dalam khemostat sehingga tetap konstan (misal V ml). Jika aliran masuk ke dalam tabung biakan adalah W ml/jam, maka kecepatan pengenceran kultur adalah D = W/V per jam. D disebut sebagai kecepatan pengenceran (dilution rate). Populasi sel dalam tabung biakan dipengaruhi oleh peningkatan populasi sebagai hasil pertumbuhan dan pengenceran kadar sel sebagai akibat penambahan medium baru dan pelimpahan aliran keluar tabung biakan. Kecepatan pertumbuhannya dirumuskan sebagai berikut: dX/dt = X DX = ( - D) X. Pada keadaan mantap (steady state), maka = D, sehingga dX/dt = 0. Dengan sistem terbuka ini sel seolah-olah dibuat dalam keadaan setengah kelaparan, dengan nutrien pembatas. Kadar nutrien yang rendah menyebabkan kecepatan pertumbuhan berbanding lurus dengan kadar nutrien atau substrat tersebut, sehingga kecepatan pertumbuhan adalah sebagai fungsi konsentrasi nutrien, dengan persamaan: = max S / (Ks + S) Keterangan: max : kecepatan pertumbuhan pada keadaan nutrien berlebihan S Ks : konstanta nutrien : konstanta pada konsentrasi nutrien saat = max.

H. METODE PELAKSANAAN 1. Alat dan Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam pengolahan pepton ini adalah ikan pepetek (Leiognathus equulus), dan enzim papain. Bahan untuk uji pertumbuhan bakteri adalah yeast extract, NaCl, Nutrient broth, Nutrient agar, alkohol dan biakan bakteri (Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus). Bahan untuk analisis lain yaitu kjeltab, H2S04 pekat, Akuades, NaOH 40 %, H3BO4 4% yang mengandung indikator (BCgMM), HCl (total nitrogen, protein, dan nilai NTT/NTB); dan heksana (kadar lemak).

Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan pepton antara lain pisau, talenan, baskom, timbangan, oven, bejana (untuk menghidrolisis), nilon berukuran 200, 300, 375 mesh, shaker bath, pengaduk, termometer, erlenmeyer, toples kaca, hot plate (untuk inaktivasi enzim), lemari es (untuk penyimpanan dingin), spray dryer. Alat untuk uji pertumbuhan bakteri antara lain inkubator, bunsen, spektrofotometer, pipet volumetrik, erlenmeyer, jarum ose, tabung reaksi, dan autoklaf. Alat lain yang digunakan adalah destilator, labu ukur, destruktor, labu kjedhal (uji total nitrogen, protein, dan nilai NTT/NTB, soxhlet, kertas saring bebas lemak, kapas, dan tanur (uji kadar lemak).

2.

Metode Penelitian Analisis proksimat ikan selar dilakukan di awal penelitian untuk mengetahui

komposisi kimia ikan selar. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama merupakan penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui waktu hidrolisis optimum bagi pepton ikan selar kuning dengan menggunakan perlakuan waktu hidrolisis (4, 6, 8, dan 10 jam). Tahap kedua merupakan penelitian utama bertujuan untuk menentukan pepton terbaik dengan memberi perlakuan penyaringan menggunakan nilon mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama penyimpanan dingin (1, 2, dan 3 hari) dengan melakukan uji kimia, fisika, sensori, dan mikrobiologi. Selanjutnya adalah membandingkan hasil penelitian utama pembuatan pepton ikan pepetek dengan pepton ikan selar yang diteliti oleh Wijayanti (2009) serta pepton ikan gulamah. Kemampuan enzim papain dalam menghidrolisis daging ikan dapat diketahui dengan melakukan uji kandungan total nitrogen terlarut (NTT), kemudian dibandingkan dengan total nitrogen bahan (NTB), sehingga diperoleh nilai nitrogen total terlarut/nitrogen total bahan NTT/NTB). Nilai kecepatan hidrolisis dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu, dan waktu hidrolisis. Penelitian Saputra (2008) yang menggunakan bahan baku ikan selar kuning diperoleh hasil bahwa konsentrasi enzim optimum adalah 0,2 %, suhu hidrolisis optimum adalah 60C, sedangkan pada penentuan waktu hidrolisis diketahui bahwa nilai NTT/NTB yang dihasilkan terus meningkat dengan semakin lamanya waktu hidrolisis, sehingga

pada penelitian tahap pertama ini dilakukan penentuan waktu hidrolisis dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui waktu hidrolisis yang paling optimum. Penelitian tahap pertama bertujuan menentukan waktu hidrolisis optimum pada pembuatan pepton, diberikan perlakuan waktu hidrolisis selama 4, 6, 8, dan 10 jam. Proses pembuatan pepton diawali dengan pencucian dan penyiangan ikan dengan memisahkan bagian kepala dan jeroan, kemudian badan ikan yang terdiri dari daging dan tulang melalui proses pengecilan ukuran menggunakan pisau. Ikan yang telah dicacah ditambahkan akuades dengan perbandingan 2:1 (2 bagian air dicampur dengan 1 bagian ikan). Campuran ikan dan akuades dimasukkan ke dalam bejana kemudian diaduk sampai tercampur rata (homogen). Campuran ikan dan akuades kemudian ditambahkan enzim papain sebanyak 0,2 % dari volume keseluruhan ikan dan akuades. Larutan kemudian diaduk selama 15 menit, lalu erlenmeyer dimasukkan dalam shaker bath dengan suhu 60C selama 4, 6, 8, dan 10 jam. Inaktivasi enzim perlu dilakukan setelah proses hidrolisis selesai, hal ini bertujuan untuk menghentikan aktivitas enzim pada saat proses hidrolisis. Inaktivasi enzim dilakukan dengan memberikan perlakuan panas, yaitu mengatur suhunya sampai 85C selama 15 menit. Sampel yang dihasilkan kemudian disaring dengan nilon mesh berukuran 200 mesh. Hasil penyaringan selanjutnya disimpan pada suhu 4 C selama 24 jam. Hal ini bertujuan untuk memisahkan lemak dengan air agar pepton yang dihasilkan bermutu baik dan memiliki daya simpan yang lama. Pemisahan lemak dilakukan dengan cara mengambil lemak yang mengapung di atas cairan secara hati-hati. Setiap sampel yang telah dilakukan proses pembuangan lemak, untuk selanjutnya dilakukan uji total nitrogen terlarut. Kandungan nitrogen terlarut kemudian dibandingkan dengan total nitrogen yang terkandung dalam bahan sehingga dihasilkan nilai NTT/NTB. Penelitian tahap kedua merupakan penelitian utama yang bertujuan untuk menentukan pepton terbaik dengan perlakuan penyaringan menggunakan nilon mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama penyimpanan dingin (1, 2, dan 3 hari). Perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan digunakan sebagai pengganti proses sentrifugasi dalam pembuatan pepton, tujuan sentrifugasi adalah untuk memisahkan filtrat dan padatan (dalam penelitian digantikan dengan perlakuan

penyaringan), selain itu sentrifugasi juga bertujuan untuk memisahkan partikelpartikel yang memiliki bobot molekul yang berbeda sehingga lemak dan peptida yang tercampur di dalm filtrat dapat dipisahkan (digantikan dengan perlakuan lama penyimpanan). Proses penyaringan dilakukan setelah proses inaktivasi enzim selesai. Hasil hidrolisis disaring menggunakan nilon mesh dan ditampung dalam bejana sehingga padatan berupa tulang dan daging tidak ikut tercampur dengan filtrat. Filtrat hasil penyaringan diberi perlakuan penyimpanan pada suhu 4C selama 1 hari kemudian endapan lemak pada permukaan filtrat dipisahkan dengan menggunakan sendok, selanjutnya penyimpanan dilakukan kembali selama 24 jam dan dilakukan pemisahan lemak kembali. Filtrat yang telah disimpan selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari kemudian dikeringkan menggunakan pengering semprot (spray dryer) sehingga produk akhir pepton berbentuk bubuk. Pengujian kualitas pepton dilakukan dengan melakukan uji kimia (NTT/NTB dan kadar lemak), fisika (derajat putih, rendemen), sensori (uji perbandingan pasangan), dan mikrobiologi (optical density). Analisis ragam dilakukan untuk menentukan pepton terbaik dari semua perlakuan.

3. Prosedur Analisis 3.1 Analisis Proksimat Analisis proksimat yang dilakukan terhadap daging ikan pepetek meliputi uji kadar air dan uji kadar abu dengan metode oven, uji kadar lemak menggunakan metode sokhlet dan uji kadar protein menggunakan metode kjeldahl. 1) Analisis Kadar Air Penentuan kadar air didasarkan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 oC, lalu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-102 oC selama 6 jam dan kemudian cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus: (%) Kadar air = x 100%

Keterangan:

A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging ikan (gram) C = Berat cawan dengan daging ikan setelah dikeringkan (gram).

2) Analisis Kadar abu Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan kemudian dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC). Cawan didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (%) = x 100 %

3) Analisis Kadar protein Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. a) Tahap destruksi Daging lintah ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu butir selenium dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening. b) Tahap destilasi Destilasi terdiri dari 2 tahap, yaitu persiapan dan sampel. Tahap persiapan dilakukan dengan membuka kran air kemudian dilakukan pengecekan alkali dan air dalam tanki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya. Tombol power pada kjeltec sistem ditekan lalu dilanjutkan dengan menekan tombol steam dan tungku beberapa lama sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan, tabung kjeltec dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat kjeltec sistem.

Tahap sampel dilakukan dengan meletakkan tabung yang berisi daging lintah laut yang sudah didestruksi ke dalam kjeltec sistem berserta erlenmeyer yang diberi asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang berisi asam borat mencapai 200 ml. c) Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink. Perhitungan kadar protein pada daging lintah laut : % Nitrogen =

% Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi 4) Analisis Kadar lemak Daging ikan seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak pada daging lintah: % Kadar Lemak =

x 100%

Keterangan : W1 = Berat sampel lintah (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 5) Analisis Kadar karbohidrat Kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat

sangat berpengaruh kepada zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Karbohidrat (%): 100 % - (% abu+ % air+ % lemak+% protein) Rendemen Pepton Ikan Pepetek Rendemen pepton ikan selar dihitung dari ikan selar basah yang melalui proses penyaringan dan lama penyimpanan kemudian dikeringkan sehingga menjadi bubuk. Rendemen (%) = A/ B x 100% Keterangan : A = berat pepton setelah dikeringkan ; B = berat ikan utuh 3.2 Analisis Derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu dalam Tababaka 2004) Sampel berupa tepung dimasukkan ke dalam cawan whiteness meter hingga padat dan penuh. Kemudian cawan berisi sampel beserta cawan berisi standar (dapat berupa white plate atau serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam sistem Kett Whiteness Meter. Derajat putih diukur dengan membandingkan warna sampel dengan warna kontrol. Nilai ini ditunjukkan oleh jarum penunjuk pada monitor. 3.3 Rendemen pepton ikan selar Rendemen pepton ikan selar dihitung dari ikan selar basah yang melalui proses penyaringan dan lama penyimpanan kemudian dikeringkan sehingga menjadi bubuk. Rendemen (%) : A/B x 100 % Keterangan : A = berat pepton setelah dikeringkan (g) ; B = berat ikan utuh (g) 3.4 Uji sensori (Rahayu 2001) Uji perbandingan pasangan adalah suatu uji skalar dengan menyajikan dua sampel secara bersamaan atau berurutan. Pada uji perbandingan pasangan ditanyakan kelebihan sampel yang satu dengan yang lainnya, kelebihan yang dimaksud dapat berarti sampel yang diujikan lebih baik atau lebih buruk dan seberapa jauh tingkat kelebihan tersebut, dalam hal ini pepton yang dihasilkan pada penelitian dibandingkan dengan pepton ikan selar hasil penelitian Wijayanti (2009). 3.5 Uji pertumbuhan mikroorganisme (modifikasi Poernomo 1997)

Pengujian kemampuan pepton sebagai sumber nitrogen dalam medium pertumbuhan mikroorganisme dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis mikroorganisme dengan karakteristik yang berbeda. Mikroorganisme yang digunakan berasal dari isolat murni yang mewakili bakteri Gram postif dan Gram negatif yaitu Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Bakteri sebelum digunakan dilakukan penyegaran dulu pada media nutrient agar selama 24 jam, kemudian dipindahkan ke nutrient broth selama 24 jam, sebelum bakteri

dipindahkan ke media pepton, nutrient broth diukur nilai absorbansinya sampai 0,6, apabila nilai absorbansinya telah mencapai lebih dari 0,6 maka bakteri telah siap dipindahkan pada media pepton (Chateris et al. 2001). Medium pertumbuhan dibuat dengan melarutkan ekstrak pepton sebanyak 1 g ditambahkan air hingga 100 ml sehingga konsentrasi protein dalam media diasumsikan sebanyak 1 % (b/v). Bubuk pepton komersial digunakan sebagai media pembanding dalam menguji kemampuan daya dukung pepton ikan pepetek. Masing-masing media ditambahkan yeast extract sebanyak 0,50% dan NaCl 1%. Setelah itu medium yang telah diatur pH-nya dengan menggunakan HCl atau NaOH terlebih dahulu kemudian disterilisasi (untuk bakteri pH 7,00 0,01). Inokulasi kultur mikroba murni dilakukan dengan mengambil 1 ml kultur murni dan dimasukkan ke dalam 9 ml media yang telah diberi pepton, kemudian kultur yang telah dimasukkan ke dalam media diinkubasi dalam suhu 37C selama 24 jam. Pengamatan OD menggunakan spektrofotometer pada panjang

(Optical Density) dengan

gelombang 600 nm dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan bakteri setiap 2 jam sekali. I. JADWAL KEGIATAN PROGRAM Penelitian ini akan dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan pada Tabel 3 , seperti dibawah ini : Tabel 3 Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian URAIAN 1 1. Persiapan fasilitas & Peralatan 1. Pembuatan pepton ikan Bulan I 2 3 4 1 Bulan II 2 3 4 1 Bulan III 2 3 4

2. Penghitungan rendemen 3. Analisis proksimat 4. Uji Derajat Putih, Uji Sensori, dan Uji Pertumbuhan Mikroba 5. Pengumpulan hasil penelitian 6. Evaluasi kerja 7. Pembuatan laporan J. RANCANGAN BIAYA Daftar Rancangan biaya yang akan digunakan untuk menyediakan bahan penelitian ini tercantum pada Tabel 4 berikut ini Tabel 4 Biaya Bahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Jumlah Ikan Pepetek Rp 30.000 Akuades Rp 250.000 Campuran selen Rp 150.000 H2SO4 Rp 100.000 NaOH Rp 150.000 HCl Rp 100.000 Pelarut heksan Rp 100.000 NaCl Rp 80.000 Ethanol Rp 120.000 Air Rp 35.000 Nutrient Agar Rp 300.000 H3BO3 Rp 195.000 HCl Rp 195.000 Enzim papain Rp 500.000 Total Rp 2.305.000 Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan pepton antara lain pisau, Uraian

talenan, baskom, timbangan, oven, bejana (untuk menghidrolisis), nilon berukuran 200, 300, 375 mesh, shaker bath, pengaduk, termometer, erlenmeyer, toples kaca, hot plate (untuk inaktivasi enzim), lemari es (untuk penyimpanan dingin), spray dryer. Alat untuk uji pertumbuhan bakteri antara lain inkubator, bunsen, spektrofotometer, pipet volumetrik, erlenmeyer, jarum ose, tabung reaksi, dan autoklaf. Alat lain yang digunakan adalah destilator, labu ukur, destruktor, labu kjedhal (uji total nitrogen, protein, dan nilai NTT/NTB, soxhlet, kertas saring

bebas lemak, kapas, dan tanur (uji kadar lemak). Adapun rancangan biaya untuk mempersiapkan alat penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5 Biaya Peralatan N0 Uraian Penyewaan 1 laboratorium 2 Penyewaan alatalat laboratorium - pisau - timbangan analitik - cawan porselen - jarum ose - termometer - desikator - tabung reaksi - gelas Erlenmeyer - tabung kjeldahl - tabung sokhlet - pemanas - destilator - Autoklaf - buret - tanur - shaker bath - homogenizer - alat ekstraksi soxhlet - penangas air - kompor listrik - evaporator - labu takar - mortar - hot plate - inkubator - pipet volumetrik - Nilon berukuran 200,300, dan 750 mesh - oven - spray Dryer harga satuan jumlah biaya 10 kali Rp. 150.000 Rp 1.500.000

10 kali 10 kali 10 kali 10 kali 2 kali 2 kali 10 kali 10 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 10 kali

Rp. 5.000 Rp. 50.000 Rp. 50.000 Rp. 10.000 Rp. 30.000 Rp. 50.000 Rp. 50.000 Rp. 30.000 Rp. 85.000 Rp. 75.000 Rp. 50.000 Rp. 60.000 Rp.150.000 Rp. 70.000 Rp. 50.000 Rp. 50.000 Rp. 50.000 Rp. 40.000 Rp. 30.000 Rp. 30.000 Rp. 50.000 Rp. 25.000 Rp. 35.000 Rp. 50.000 Rp. 50.000 Rp. 5.000

Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp

50.000 500.000 500.000 100.000 60.000 100.000 500.000 300.000 170.000 150.000 100.000 120.000 300.000 140.000 100.000 100.000 100.000 80.000

Rp 60.000 Rp 60.000 Rp 100.000 Rp 50.000 Rp 70.000 Rp 100.000 Rp 100.000 Rp 50.000

2 kali 2 kali 1 kali

Rp. 100.000 Rp. 20.000 Rp. 100.000

Rp 200.000 Rp 40.000 Rp 100.000

- spektrofotometer 1 kali Total biaya Tabel 6 Biaya Lain-lain No Produk

Rp. 200.000

Rp 200.000 Rp 6.100.000

Jumlah

Satuan

Harga satuan (Rp)

Total harga (Rp) 200.000 100.000 100.000 50.000 450.000

1 Transportasi 2 Dokumentasi 3 Biaya Komunikasi 4 Laporan Penelitian Total Biaya Total = Biaya Peralatan + Biaya Bahan + Biaya lain - lain = Rp 6.100.000 + Rp 2.305.000 + Rp 450.000 = Rp 8.855.000 K. DAFTAR PUSTAKA

Anglemier AF, Montegomery MW. 1976. Amino acid, peptides and protein. Di dalam: Fennema OR, editor. Principle of Food Science Part 1. New York: Marcel Dekker, Inc. Bahar Burhan. 2004. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. [BPS]. 1998. Statistika Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Djuhanda. 1981. Dunia Ikan. Bandung: Armico. Dufosse L, Broise DDL, Guerard F. 2001. Evaluation of Nitrogenous Substrates Such as Peptones from Fish: A New Methode on Gompertz Modeling of Microbial Growth. J Microbiology. 42: 32-39. Fardiaz. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia. Fennema OR. 1976. Principle of Food Science. New York: Deker Inc. Govindan TK. 1995. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford and IBH PublisingCo. PVT, Lad. Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and minced fish product. Di dalam:Hall GM, editor. Fish Processing Technology. New York: Blackie Academic and Professional.

Irianti HE, Soesilo Indroyono. 2010. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Juniarso ET, Safari A, Pamungkas RA. 2007. Pemanfaatan Limbah Ikan menjadi Ekstrak Kasar Protease dari Isi Perut Ikan Lemuru (Sardinella Sp.) untuk Proses Deproteinisasi Limbah Udang secara Enzimatik menjadi Kitosan. Jember: Universitas Jember. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Muhidin D. 2000. Agroindustri Papain dan Pektin. Jakarta: Penebar Swadaya. Nelson J.S. 1994. Fishes of the World. Third edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Okumi M dan Fujii T. 2000. Nutritionaland Functional of Properties on Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperation of Squid Processor. Pelczar MJ, Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI-Press. Peterson MS, Jhonson AH. 1978. Encyclopedia of Food Science. Connection: AVI Publishing Company. Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia. Poernomo A. 1997. The Utilization of Cowtail Ray Viscery. [PhD Thesis] Sidney: The University of New South Wales. Praptono B. 2006. Produksi pepton ikan gulamah (Argyrosomus sp.) sebagai sumber nitrogen media pertumbuhan [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rodwell VW, Peter AM, Daryl KR, David MV. 1985. Biokimia (Harpers Review of Biochemistry). Edisi ke-20. Darmawan I, penerjemah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Harpers Review of Biochemistry. Sarjono S. 1995. Hukum Dagang Laut bagi Indonesia. Jakarta: Simplex. Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood Chemistry, Processing Tecnology and Quality. London: Blackie Academic & Professional.

Saputra D. 2008. Pembuatan pepton ikan selar ( Caranx leptolepis) hasil tangkap sampingan (HTS) pada kondisi post rigor dan busuk. [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Tababaka T. 2004. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.) sebagai bahan tambahan kerupuk [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Venugopal V. 2006. Seafood Processing. New York: CRC Press. Volk W, Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Walsh G. 2002. Protein Biochemistry and Biotecnology. New York: John Wiley and Sons. Wijayanti A. 2009. Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuatan Fish-Peptone dari Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai