Anda di halaman 1dari 12

Perlindungan Terhadap Keruntuhan Lereng Batuan Melalui Protection Net Fences dan Implementasinya di Indonesia Puji Utomo1 10/296293/TK/36098

1 Faculty of Engineering Dept. Civil and Environmental Engineering, University of Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Tel : +6285740581319 E-mail : puji.utomo@mail.ugm.ac.id Pendahuluan Rockfall atau lebih akrab disebut sebagai longsoran/runtuhan batuan merupakan proses pelepasan/jatuhnya batuan dari lereng curam dengan gaya bebas atau bergelinding dengan kecapatan tinggi sampai sangat tinggi. Nilai kecepatannya berkisar antara 25-30 m/s (Broili, 1973 ; Giani, 1992). Biasanya sering terjadi di daerah lereng yang sangat curam.

Gambar 1. Bentuk Rockfall Keruntuhan lereng batuan secara umum dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperi kemiringan lereng curam, gempa bumi, bencana badai, pencairan salju yang cepat, pengaruh muka air tanah yang melemahkan daya dukung batuan, ataupun adanya aktivitas manusia seperti kegiatan ekskavasi, pembangunan infrastruktur, galian-timbun, penebangan vegetasi, dan lain-lain pada lereng tersebut. Sebagian besar kasus-kasus keruntuhan lereng batuan hanya mengakibatkan kerugian material seperti penutupan dan kerusakan jalan sehingga menghambat lalulintas ekonomi, serta kerusakan infrastruktur lainnya. Namun, sebagian lagi juga mengakibatkan kerugian moril seperti kecelakaan yang berujung hilangnya nyawa manusia.

Contoh-contoh kasus terjadinya rockfall di dunia sangat banyak. Bahkan, semakin membuka mata kita tentang bahaya dari rockfall itu sendiri. Contoh kasus yaitu rockfall yang terjadi di Chapmans Peak Drive (CPD) di kota Cape Town, Afrika Selatan. Pada daerah ini terdapat jalan sepanjang 10 km yang terkenal akan pemandangan eksotisnya. Namun, dalam kurun waktu selama lebih dari empat tahun (2000-2004) jalan ini harus ditutup karena runtuhan batuan berat dan tanah longsor. Kasus juga serupa terjadi di Porcupine Rim, Grand Cunty pada tanggal 8 Juli 1985 dimana hampir 48000 m 3 batu jatuh, dan nyaris menghilangkan seluruh pemukiman di Castle Valley. Bahkan, yang sering dilanda bencana ini yaitu di daerah Colorado Rocky Mountain. Insiden rockfall hampir menjadi tamu rutin di daerah ini meskipun dalam beberapa kasus dapat dihindari atau dikurangi. Tak hanya itu, masih banyak kasus-kasus lain yang sudah pernah terjadi. Jika dicermati, isu rockfall akan semakin meluas karena efek yang ditimbulkannya. Sehingga, dibutuhkan solusi atau strategi sebagai upaya mengurangi dan menghindari resiko akibat bencana tersebut.

Penanganan Keruntuhan Lereng Batuan Sejauh Ini Sejauh ini, penanganan keruntuhan lereng batuan sudah semakin berkembang pesat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, secara umum terbagi menjadi 3 kategori yaitu (1) dengan perkuatan (reinforcement) , (2) dengan pengurangan massa batuan (rock removal), dan (3) dengan fasilitas perlindungan (protection measures) .

Gambar 2. Penanganan keruntuhan lereng batuan

Dari masing-masing cara tersebut, tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Sehingga, diperlukan perancangan matang dalam pemilihan teknologi yang tepat. Berikut ini, penulis menyajikan salah satu teknologi yang saat ini sudah banyak dikembangkan di berbagai negara yaitu Rockfall Net Fences. Dalam pembahasan terkait teknologi ini, ada beberapa hal penting yaitu bagaimanakah cara kerja dan perancangan dari teknologi ini, Apa sebenarnya keunggulan teknologi ini dibanding dengan teknologi lain dan alasan pemilihan teknologi ini, contoh-contoh kasus yang menggunakan teknologi ini, perkembangan teknologi ini sendiri, dan bagaimana implementasi teknologi ini sendiri di Indonesia. Karakteristik Produk Rockfall Net Fence Sebelum, mengetahui lebih jauh terkait bagaimana proses perancangan teknologi ini, tentu perlu pengetahuan dasar tentang bagaimana karakteristik dari produk teknologi ini sendiri. Berdasarkan pedoman dari ETAG 027, dapat diketahui beberapa komponen beserta fungsinya (Tabel 1.). Tabel 1. Komponen utama net fence dan fungsinya

Sementara itu, sebelum teknologi ini diterapkan perlu adanya karakterisasi model sesuai kondisi lapangan tanpa diskala (full-scale test) . Berkaitan dengan hal ini, ada

beberapa contoh model simulasi yang sudah diterapkan dalam pedoman dari ETAG 027 (Gambar 3.)

Gambar 3. Contoh model simulasi dengan full-scale test Net Fence terdiri dari berbagai komponen struktur yang bersifat fungsional diantaranya struktur kawat penangkap, struktur pendukung, dan struktur penghubung (Gambar 4.) . Fungsi utama dari simulasi adalah mengetahui tingkat energi maksimum maupun layanan yang dapat diserap oleh struktur penangkap (pagar kawat) sesuai lendutan yang diijinkan. Sehingga, ETAG 027 mengklasifikasikan dua tingkat energi sebagai nilai referensi yaitu SEL Service Energy Level dan MEL Maximum Energy Level (Tabel 2.) . Dalam tes simulasi ini, digunakan blok beton berbentuk polyhedral (Gambar 5.). Ukuran blok beton sendiri setidaknya tiga kali lebih kecil dari ketinggian pagar kawat penangkap. Sementara, blok beton disimulasi dengan kecepatan jatuh rata-rata yang lebih besar atau sama dengan 25 m/s. Berkaitan tentang klasifikasi tingkat energi, maka perlu adanya pembahasan yang mendalam sehingga tidak terjadi kerancuan. Pertama, SEL didefinisikan sebagai energi kinetik yang timbul dari jatuhnya blok ganda secara berurutan. Sehingga, perlu adanya penyesuaian untuk mengatasi kendala tersebut. Kawat baja harus dapat menghentikan dampak yang kedua dengan tingkat energi kinetik yang sama tanpa perawatan setelah dampak pertama.

Blok beton sebaiknya tidak menyentuh tanah hingga pagar baja mencapai lendutan maksimum.

Setelah dampak pertama, tidak boleh terjadi kerusakan pada komponen penghubung, serta bukaan net harus lebih kecil dari dua kali ukuran awal mesh itu sendiri ; sementara, ketinggian residual (yaitu, jarak minimum antara tali bawah dan atas yang diukur secara tegak lurus dengan kemiringan referensi setelah dampak) harus lebih tinggi atau sama dengan 70 % tinggi nominal (Gambar 6.). Klasifikasi perlindungan dengan pagar kawat berdasarkan nilai residual oleh ETAG 027 (Tabel 3.).

Gambar 4. Komponen struktur net fence

Tabel 2. Falling rock protection kit classes

Gambar 5. Bentuk blok untuk simulasi (as foreseen in ETAG 027).

Gambar 6. Skema dari kondisi tes simulasi dan pengukuran tinggi (ETAG 027)

Tabel 3. Falling rock protection kit categories derived by evaluation of MEL residual height (as used in ETAG 027).

Kedua, MEL didefinisikan sebagai energi kinetik dari blok yang memenuhi kondisi berikut ini : MEL lebih besar dari tiga kali SEL Kawat penghalang menghentikan blok selama dampak berlangsung. Blok tidak menyentuh tanah hingga kawat mencapai perpanjangan maksimum (Gambar 7.)

Gambar 7. Penampang melintang dengan kondisi lendutan maksimum (as defined in ETAG 027)

Dari kedua parameter diatas, didapatkan bahwa nilai SEL diasumsikan sama dengan 1/3 dari nilai MEL yang diadopsi untuk memberikan informasi tingkat energi ambang yang tidak perlu dilakukan perbaikan setelah dampak berlangsung. Sehinggga, selama uji MEL didapatkan deformasi maksimum struktur dan kekuatan pada pondasi. Prosedur perancangan perangkat net fence ini dimulai dari interpretasi berbagai macam data (yaitu geologi, geoteknik, dan topografi) di daerah rawan rockfall. Selanjutnya, memunculkan rancangan yang didesain yang harus dievaluasi terlebih dahulu untuk memastikan posisi rancangan desain, level energi, kelas net fences, tinggi perangkat, dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Baru selanjutnya, dilakukan operasi dan perbaikan selama teknologi ini digunakan (Gambar 8.).

Gambar 8. Flow chart untuk desain rockfall protection (modifikasi dari Peila et al., 2006).

Hasil simulasi dari contoh Swiss Standar Simulation menggambarkan tingkat pemanfaatan dari penghalang (kawat baja) untuk meredam energi kinetik dari rockfall (Gambar 9.). Hasil utama yang diperoleh dari simulasi dapat diringkas sebagai berikut : a. Kawat baja akan kurang mampu meredam energi yang terlalu besar akibat kejadian rockfall dengan kecepatan tinggi dibandingkan kejadian dengan energi normal

tanpa diberi kecepatan. Berkaitan dengan hal ini, dapat dijelaskan dengan prinsip momentum I = mv (artinya: energi yang ditimbulkan juga dipengaruhi oleh kecepatan tetapi bukan kuadrat kecepatan). Maka, impuls harus diturunkan melalui faktor Vhighspeed/Vnormaspheed. b. Karena blok yang ukuran kecil diberikan perlakuan kecepatan tinggi sehingga energi yang ditimbulkan semakin tinggi dan akan berdampak terhadap meningkatnya beban yang harus ditahan oleh kawat baja/jaring penghalang.

Gambar 9. Different loading percentage of a rockfall barrier due to a slow and large Swiss standard test specimen (top) and a small high speed rockfall event (bottom). Details of impact areas on the right. Implementasi Teknologi Rockfall Protection Net Fence di Indonesia Sebagai negara kepulauan yang secara geografis berada dalam ring of fire mengakibatkan sekitar 45 % luas lahan di Indonesia berupa lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan erosi. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai media cetak sepanjang tahun 1993-2007, tercatat lebih kurang 238 kejadian longsoran yang tersebar di jalan-jalan di Indonesia, 15 diantaranya mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, 12 kejadian mengakibatkan kecelakaan, dan 28 kejadian mengakibatkan kerugian materi (BGR, 2007).

Pada tahun 2008, Balai Geoteknik Jalan juga telah mengumpulkan data kejadian bencana yang terjadi pada tahun 2002 sampai dengan pertengahan tahun 2008, yang bersumber dari situs berita maupun pemerintahan online. Hasilnya tercatat 214 data bencana dimana data longsoran sendiri meliputi 39 kejadian longsoran di jalur-jalur strategis di Indonesia, 21 kejadian di jalur non strategis, 28 kejadian mengakibatkan kehilangan nyawa manusia dan 22 kejadian mengakibatkan kerugian materi berupa penutupan badan jalan, rumah ambruk dan badan jalan amblas (BGTJ, 2008) Sementara itu, kejadian keruntuhan lereng juga sering diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Baru-baru ini, berdasarkan Harian Kompas Selasa (14/5/2013) menyatakan bahwa terowongan bawah tanah Big Gossan di Mil 74 Tembagapura, runtuh menimpa puluhan pekerja PT. Freeport Indonesia yang tengah mengikuti pelatihan. Kejadian hampir serupa juga terjadi di Kalimantan, berdasarkan Harian Kompas Sabtu (5/6/2010) menyatakan bahwa tambang batu bara dalam tanah PT. Fajar Bumi Sakti di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, runtuh sehingga menewaskan satu orang yang tertimbun. Sejauh ini, teknologi ini masih belum familiar di Indonesia. Dalam melihat kelayakan teknologi ini diterapkan di Indonesia, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis keruntuhan lereng batuan yang terjadi di wilayah tersebut. Teknologi ini lebih tepat diterapkan di daerah reruntuhan batuan atau serpihan batuan dan penurunan batuan secara umum. Bila mencermati, sejarah pembentukan kepulauan Indonesia dan peta wilayah Indonesia yang rentan longsor oleh Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada Gambar 10. maka teknologi net fence ini dapat diterapkan di daerah tepi barat Sumatera dan selatan Jawa. Berkaitan dengan lokasi implementasi ini, menurut penulis sendiri dapat dikaitkan dengan wilayah zona subduksi yaitu daerah tumbukan lempeng yang ditandai adanya zona hancuran, garis-garis sesar atau patahan atau bahkan oleh pelurusan akibat pola retakan regional, serta sering adanya runtuhan batuan (rockfall) dari batuan-batuan sejenis batuan beku dan metamorf.

Gambar 10. Wilayah Indonesia yang rentan longsor, dipublikasikan oleh Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

Gambaran lebih konkret tentang bagaimana kelayakan teknologi ini diterapkan di Indonesia tidaklah mudah. Perlu adanya serangkain penyelidikan dan penelitian, sehingga teknologi ini tidak hanya sekedar diadopsi secara mentah-mentah di Indonesia. Bahkan, diharapkan akan muncul inovasi-inovasi baru sehingga teknologi ini dapat diterapkan secara berkelanjutan.

Penutup Tidak dapat dipungkiri, negeri ini pantas dijuluki sebagai Warehouse of Slide. Berbagai jenis bentuk tanah longsor ada dan sudah terjadi di Indonesia. Bahkan, sewaktu-waktu akan mengancam tanpa diduga sebelumnya. Kerugian baik materiil maupun moril pasti mengikuti. Namun, tidak serta merta haris berlari dari kondisi ini. Teknologi net fence hanyalah satu dari berbagai teknologi yang akan dikembangkan dalam menanggulangi bencana ini. Dalam penerapannya di negeri ini, dibutuhkan serangkain penyelidikan dan penelitian dalam mewujudkan teknologi berkelanjutan. Terakhir, perlu diperhatikan juga masalah pemeliharaan jika teknologi ini nantinya diterapkan di Indonesia.

Referensi Peila, D. dan Ronco, C.: Technical Note: Design of rockfall net fences and the new ETAG 027 European guideline, Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 9, 12911298, 2009. Pertiwi, D. dan Gumilar, C.A. : Inventarisasi dan Kajian Terhadap Kontruksi dan Pemeliharaan Lereng pada Empat Ruas Jalan Nasional Strategis di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Kolosium Hasil Penelitian Jalan dan Jembatan, 2009. Volkwein, A. dkk : Protection from Landslides and High Speed Rockfall Events Reconstruction of Chapmans Peak Drive, IABSE Symposium Lisbon, 2005.

Anda mungkin juga menyukai