Anda di halaman 1dari 4

Rezim Anti Pencucian Uang Di Indonesia

Di Indonesia kini kata-kata Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin tampaknya semakin jelas terlihat. Hal ini dapat dibuktikan dengan keadaan yang sangat kontras yang terjadi masyarakat. Di daerah Jakarta pinggiran dapat kita lihat ratusan rumah kumuh berderet disetiap jalan. Hal ini sangat kontras jika kita bandingkan dengan daerah Jakarta seperti daerah kelapa gading yang dipenuhi dengan rumah-rumah mewah nan megah dengan mobil-mobil mahal didalamnya. Menghilangkan kesenjangan yang sangat tinggi antara pihak yang menikmati kesejahteraan dan pihak yang tidak menikmati kesejahteraan merupakan salah satu tugas pemerintah saat ini. Penyalahgunaan wewenang, pembagian pendapatan yang tidak seimbang, dan korupsi diduga sebagai salah satu pemicu terjadinya kesenjangan ini. Untuk itu pemerintah dalam upayanya menghilangkan kesenjangan, membentuk satu lagi lembaga independen yang intelijen, berfokus pada pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan nama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Indonesia, pencucian uang diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana yaitu : Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010). Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK (Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari ''The Egmont Group'' yakni suatu asosiasi lembaga FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang bersih dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional. Dalam UU PP TPPU No.8 Tahun 2010 Pasal 2 menyebutkan ada 26 jenis tindak pidana asal dari pencucian uang antara lain : a. b. c. d. e. f. Korupsi; Penyuapan; Narkotika; Psikotropika; Penyelundupan tenaga kerja; Dan seterusnya sampai poin z.

Uang yang berasal dari sumber yang berasal dari poin a sampai z dalam pasal diatas merupakan uang kotor karena diperoleh dari hasil kejahatan. Selanjutnya untuk menyamarkan sumber uangnya, para pelaku melakukan proses pencucian uang. Uang kotor yang mereka terima dicuci dengan tiga tahap yaitu :
1.

Placement Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system). Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang

tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uanguang kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Lalu di depositokan kedalam rekerning bank, dan dibelikan ke instrumen-instrumen moneter seperti cheques, money orders, dll. 2. Layering Layering atau heavy soaping, dalam tahap ini pencuci berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya, dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Dengan cara memecah-mecah jumlahnya, dana tersebut dapat disalurkan melalui pembelian dan penjualan instrumen investasi. Mengirimkan dari perusahaan gadungan yang satu ke perusahaan gadungan yang lain. Para pencuci uang juga melakukan dengan mendirikan perusahaan fiktip, bisa membeli efek-efek atau alat-alat transportasi seperti pesawat, alat-alat berat dengan atas nama orang lain. 3. Integration Integration adakalanya disebut spin dry dimana uang yang dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan bersih bahkan merupakan objek pajak dengan menggunakan uang yang telah menjadi halal untuk kegiatan bisnis melalui cara dengan menginvestasikan dana tersebut kedalam real estate, barang mewah, perusahaanperusahaan. Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK bekerja sama dengan berbagai Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan Penyedia Barang serta Jasa yang dalam hal ini berperan sebagai pihak pelapor. Dalam Pasal 23 dijelaskan bahwa PJK wajib menyampaikan laporan kepada PPATK berupa : Transaksi Keuangan Mencurigakan; Transaksi tunai yang bernilai lebih dari sama dengan Rp 500.000.000,00 atau mata uang asing yang setara; Transaksi keuangan transfer dana.

Dalam melaksanakan kewajibannya tersebut, PJK diberikan perlindungan berupa : dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan (Pasal 28) dan tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana (Pasal 29). Pengertian dari transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, dan kebiasaan pola transaksi; transaksi yang dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh PJK; dan transaksi yang dilakukan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Setelah transaksi keuangan mencurigakan tersebut ditemukan, dilakukanlah tindakan analisis. Dalam menjalankan tugas analisi transaksi keuangan mencurigakan, PPATK meneliti aliran dana yang ditransaksikan untuk mengetahui sumber dananya dan pihak penerima akhir dana. Penelitian sumber dana asal ataupun pihak penerima dana, setidaknya dilakukan satu layer kedepan (trace forward) atau satu layer kebelakang (trace back). Hasil analisis transaksi keuangan mencurigakan kemudian dituangkan dalam sebuah laporan yang memuat kasus posisi, profil nasabah, hasil analisis, dan kesimpulan. Tahap selanjutnya, PPATK berkoordinasi dengan penyidik selaku pihak yang menindaklanjuti hasil analisis PPATK untuk mendapatkan status hukum si terlapor. Penyidik yang dimaksud terdiri dari : Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai.

REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

NAMA NIM

: :

YULIANA DWI PUJI LESTARI 201150546

Trisakti School Of Management

Anda mungkin juga menyukai