Anda di halaman 1dari 5

TERORIAL

Cerpen Trisnawan H.B. Dia seperti menghilang setelah menjadi cemoohan sebagian penduduk Republik Raksasa itu. Setelah ia dihina, dilecehkan, dianiaya, lalu diasingkan, jauh ke jantung hutan yang sebelumnya tak pernah terjamah. Tak ada yang peduli, apalagi menolong karena memang sanak keluarganya tak ada. Nasab dan nasibnya tak tentu. Ia sebatang kara. Dan kini, dia telah benarbenar yatim piatu dengan berada di pelosok hutan paling dalam. Tak ada yang tahu, bahkan sekadar ingin tahu bagaimana cara hidupnya di tengah belantara sana, orang terasa lebih bijak memendam perasaan itu. Meski ada rasa penasaran, cemas, dan takut, orang-orang perlahan melupakannya. Semoga dia tak kembali lagi. Sebab kehadirannya hanya membikin penduduk ketakutan, ujar Lelaki Pertama sambil meletakkan topinya di atas meja kerja. Ya, semoga saja, Lelaki Kedua berperawakan kurus jangkung mengamini. Sudah ada berapa korban dalam setahun ini? tanya Lelaki Pertama sambil menggeser kursi tempat duduknya. Yang ditanya sejenak diam sambil membuka-buka berkas laporan. Di sini tercatat sembilan ratus sembilan puluh tujuh korban. Terakhir tadi malam, ketika si bodoh itu tertangkap sebelum sempat menyentuh mangsanya. Mengapa tidak kita tumpas saja sekalian agar kita bisa hidup tenang? tanya Lelaki Ketiga yang bertubuh gempal, yang dari tadi hanya membisu di sudut ruangan sambil memegangi tangannya yang terluka. Tidak. Jangan ceroboh. Dengarkan baik-baik. Jika dia mati, berarti kita tak punya musuh lagi. Jika negeri ini damai, berarti kita tak akan dapat proyek. Jika tak ada proyek, berarti tak ada uang yang mengucur deras ke kantong kita. Biarkan dia hidup, yang penting kita aman, sahut Lelaki Pertama sambil sekali-kali mengusap kumisnya, meski tak basah atau tak gatal. Oh, karena itukah kau membiarkan tanganku tercabik tanpa upaya membalasnya? kejar Lelaki Ketiga, sambil meringis sakit merasakan tangannya yang berdarah. Tak mengapa. Dia sudah terkurung di kandang besi. Perlahan dia akan mati. Lagi pula, luka tanganmu hanya butuh waktu paling lama seminggu untuk sembuh. Dan itu tak banyak

makan biaya, bukan? Anggap saja itu hanya secuil pengorbanan demi mendapat daging segar yang lebih besar. Bukankah dengan begitu, kau hanya memelihara masalah? sela Lelaki Kedua setelah agak lama tercenung di hadapan meja Lelaki Pertama. Mendengar pertanyaan itu, Lelaki Pertama sedikit mengundurkan kursi lalu kaki kanannya menopang ke atas kaki kiri. Kau takut?! tanyanya singkat, jika itu membuatmu takut, segera saja pergi. Aku tak mau bekerjasama dengan pecundang sepertimu, dan pecengeng seperti dia (sambil menunjuk ke arah Lelaki Ketiga). Yang jelas, kita tak sedang bermain api, Bocah. Tapi kita sedang mengolah api, agar menjadi sumber energi kehidupan tanpa batas. Seumur hidup, bahkan sampai anak cucu kita. Hahahahaha . Lelaki Kedua dan Lelaki Ketiga hanya merunduk mendengar-saksikan derai tawa Lelaki Pertama, yang pikir mereka itu adalah tawa orang sakit jiwa, bahkan lebih mirip orang kerasukan roh jahat. Pertemuan ringkas di ruang tertutup itu selesai. Mereka merasa tak perlu lagi ada yang diperbincangkan. Evaluasi kerja cukup, dengan masing-masing benak ketiga lelaki itu mengusung tanda tanya. Sebenarnya, di palung hati terdalam, ketiganya menimba rasa takut. Takut jika satu waktu menjadi incaran makhluk berbulu dan bertaring itu. Juga khawatir jika mereka belum sempat menikmati sepuas-puasnya atas hasil kerja selama ini, mereka sudah mati. Malam melompat ke malam berikutnya. Hari bertanggalan satu demi satu. Bagaimanapun, keadaan Republik Raksasa belum sepenuhnya normal. Mereka masih bertanyatanya dan senantiasa waspada, siapa tahu makhluk berbulu lebat dan bertaring itu muncul dengan tiba-tiba dan memangsa siapa saja yang ditemuinya. Di desa-desa, orang-orang beraktivitas sekadarnya saja. Selebihnya, mereka memilih berada di dalam rumah dan mengunci pintu lekatlekat. Sementara di wilayah perkotaan, sehabis mendengar pengasingan manusia yang menyerupai serigala itu, pendudukyang sebenarnya masih menyimpan waswasmulai beraktivitas seperti biasa. Bahkan, ketakutan akan kemunculan tiba-tiba manusia bertaring dikalahkan oleh rasa cemas akan kebutuhan sehari-hari. Mereka seakan tetap berlarian untuk mendapatkan pundi-pundi kehidupan dan demi menempati status yang layak, atau hanya sekadar untuk bertahan hidup. Mereka berpikir, ancaman zaman kadang lebih buas daripada teror manusia serigala itu.

Pada hari kesembilan puluh tujuh, sejak dibuangnya manusia berbulu di alas antahberantah, di ibu kota negara Republik Raksasa tersiar kabar tentang kematian tragis. Seorang lelaki paruh baya terjatuh dari gedung bertingkat, tepatnya dari kamar lantai tujuh belas. Di media cetak, baik lokal maupun nasional, disebutkan bahwa korban ditengarai jatuh tepat pukul dua belas malam. Menurut seorang saksi, wajah korban hampir tak bisa dikenali. Kemeja putih yang dikenakan korban tercabik-cabik dan koyak-moyak. Darah membaluri seluruh tubuh. Sungguh mengenaskan, tutur saksi itu. Sama halnya dengan media cetak, media elektronik pun menyiarkan bahwa meredupnya berita kematian akhir-akhir ini tampaknya akan terang terulang lagi. Setelah dilakukan penelusuran lebih jauh, ternyata pembunuhan berantaiyang korbannya mencapai angka sembilan ratus sembilan puluh tujuhsepertinya akan berlanjut lagi. Dan kini, total korban mencapai sembilan ratus sembilan puluh delapan orang. Salah satu media elektronik yang cukup cermat bahkan menyebutkan bahwa korban rata-rata ialah orang-orang atau para pejabat (dari tingkat daerah sampai tingkat pusat) yang pernah tersangkut kasus korupsi, suap-menyuap, atau tindakan amoral lainnya. Penduduk desa dan kota mulai bingung dan takut. Mereka teringat sekaligus khawatir akan kembalinya manusia misterius yang dulu pernah disingkirkan ke tengah hutan nan jauh. Perbincangan meruyak di mana-mana: di warung, mini market, mal, kedai kopi, restoran, hotel. Dengan begitu, Republik Raksasa kini kembali dicekam kebisuan. Meskipun desas-desus pembunuhan misterius itu makin santer dari mulut ke kuping, dan dari kuping ke mulut, namun mereka bergunjing sebatas berbisik. Seluruh penduduk takut jika mereka melakukan pembicaraan terang-terangan. Masing-masing miris jika menjadi korban berikutnya. Seluruh kawasan pedesaan dan perkotaan seakan telah dikebumikan sebelum kiamat tiba. Menghadapi situasi yang tak tentu itu, Presiden Republik Raksasa menggelar rapat penting. Ia menginstruksikan untuk secepatnya dibentuk pasukan super khusus guna menangkap manusiayang kabarnya mirip serigalaitu dalam keadaan hidup maupun mati. Instruksi tersebut langsung mendapat reaksi positif dari peserta rapat, terutama bagi mereka yang berkepentingan dengan kekuasaan. Mereka bersama-sama mengutuk manusia serigala yang dianggap mengganggu stabilitas nasional. Adapun pemilihan pasukan super khusus akan ditunjuk langsung oleh kepala militer pusat. Dan mengenai biaya, negara yang akan menanggungnya.

Sementara di sebuah ruang kerja, Lelaki Kedua mulai bergidik mendengar berita kematian salah satu koleganya. Ia kalut hingga tak sempat memejamkan mata. Kalaupun bisa, tidurnya pun dihantui mimpi tentang kematian. Ketakutan menyelimuti jiwanya. Hari-harinya adalah kegelisahan. Setelah ia menghubungi Lelaki Pertama, ia minta rumahnya untuk dikawal ketat selama dua puluh empat jam penuh. Ibarat seekor lalat yang hendak hinggap di tembok rumahnya pun harus sepengetahuan para penjaga. Untuk alasan itu pula, ia memilih berkantor di rumah agar lebih terjamin keamanannya. Jangan takut. Kau akan aman. Tetaplah bekerja seperti biasa. Makhluk berbulu dan bertaring jelek itu takkan mampu menghadapi serbuan senjata, demikian tutur Lelaki Pertama menenangkan. Kau berani menjamin?! Ya, aku berusaha melindungimu. Tak perlu takut. Bukankah semua orang pasti mati?! Lagi pula, Pak Presiden sudah membentuk tim super khusus yang sedang memburunya. Dengan begitu, kita tinggal menunggu saja berita kematian si keparat itu. Apa maksudmu dengan mengatakan semua orang pasti mati?! Pertanyaan itu tak terjawab. Telepon telah ditutup. Lelaki Kedua makin tak tenang. Meski dalam pengawasan ketat, tetap saja ia merasa tak nyaman dengan kematian Lelaki Ketiga. Dengan bayang-bayang manusia serigala yang setiap saat bisa menerkamnya di mana dan kapan saja. Ketika menjelang tidur, ia selalu berpesan kepada anak dan istrinya untuk selalu mengunci pintu dan berdoa sebanyak-banyaknya, sebelum akhirnya lelap terbuai mimpi. Sementara, ia melek di ruang tamu. Kadang mengobrol dengan beberapa penjaga, kadang menonton televisi, kadang berlama-lama meringkuk di kamar kerja. Satu pagi, telepon berdering. Lelaki Pertama menelepon si Kepala Pengawal untuk menanyakan kabar Lelaki Kedua. Pagi itu, dikabarkan bahwa Lelaki Kedua telah terbunuh pada malam harinya. Kami melihat sendiri bagaimana cara manusia berbulu itu mencabik kelulit muka dan menyayat tubuh korban di ruang dapur itu. Dan kami sudah memberondongnya dengan peluru. Namun sayang, manusia berbulu itu ternyata kebal senjata. Dia tak mempan senapan, Pak. Begitulah informasi ringkas yang didapatkan Lelaki Pertama. Pembicaraan selesai. Di ruangan penuh kaca itu, Lelaki Pertama memandang ke luar jendela. Ditatapinya hilir mudik kendaraan-kendaraan yang merayap pelan, mirip siput yang dilombakan. Suara derum

mobil ambulan sesekali menyelinap ke padatan pemakai jalan, mencari jalan lapang. Tentu dengan membawa korban. Ia pun heran, benarkah mulai bermunculan manusia-manusia serigala baru. Bukan hanya satu. Mungkin sepuluh, seratus, seribu, bahkan jutaan jumlahnya. Dan mereka tak berhenti memburu, menghisap darah orang-orang yang mereka anggap bersalah. Setelah beberapa saat, ia berjalan ke sudut ruangan, menghadap cermin besar dan lebar. Cukup lama ia pandangi dirinya, tanpa kata-kata. Semakin lama ia tatap wajah-tubuhnya lewat cermin itu, matanya makin memerah. Dan ketika ia sedikit membuka mulut, tampaklah dua taring menyeringai dari dalam sudut bibirnya, berwarna putih berkilauan memantulkan cahaya. Ia juga mendapati kuku-kuku jari tangannya mulai meruncing, seperti logam pedang, tajam dan memanjang. Wajah dan lehernya mulai ditumbuhi bulu-bulu kasar. Berwarna kuning keemasan. Lelaki Pertama telah berubah wujud. Atau mungkin, ia telah mati lebih dulu sebelum terbunuhnya Lelaki Kedua, dan yang di depan cermin itulah ia, Sang Pemangsa. Yang jelas, dalam sebuah catatan laporan disebutkan bahwa jumlah korban sudah mencapai angka ke-seribu. (Yogyakarta, 2011)

Anda mungkin juga menyukai