Anda di halaman 1dari 14

Kasus Arbitrase Investasi Antara AMCO dengan Republik Indonesia

Mata Kuliah: Business Law Dosen: Gatot P. Soemartono, SE., SH., MM., LL.M., Ph.D.

Diajukan oleh: Kelompok : 3


25P1205 25P1208 25P1210 25P1224 25P1225 25P1229 25P1231 Antonio Fernandez Caesar Aulia Deci Marlina Mike Silvia Muhammad Ridwan Nawawi R. M. Pradana Ramadista Randu Aditara

Kelas

: Eksekutif B 25 A

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013

I.

Latar Belakang Tahun 1964, PT Wisma yang kemudian lebih dikenal dengan nama PT Bluntas memulai pembangunan konstruksi Hotel Kartika Plaza yang

berkedudukan di Jalan M.H.Thamrin Nomor 10, Jakarta. Pada tahun 1965, PT Bluntas berganti nama menjadi PT Wisma Kartika dan juga pada tahun yang sama pembangunan hotel tersebut kemudian terhenti karena kekurangan dana. Sehingga pada tahun 1967, Bank Indonesia bersama Indonesia Private Investor, yang memegang seluruh saham PT Bluntas, menjual sahamnya kepada induk perusahaan PT Bluntas, yaitu Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad), sebuah lembaga yang beroperasi di bawah naungan Pemerintah Indonesia. Berdasarkan pengalihan (pemilikan) saham ini, oleh Inkopad, kemudian mengusahakan jalan keluar bagi kelanjutan pembangunan hotel itu. Maka pada tanggal 22 April 1968, PT Wisma Kartika mengadakan perjanjian dengan AMCO ASIA Cooperation (AMCO), suatu perusahaan yang terdaftar di Delaware dan berbadan hukum Amerika Serikat, yang bertujuan meneruskan penyelesaian pembangunan hotel serta Sewa-Kelola kompleks hotel dan perkantoran milik PT Wisma Kartika melalui penandatanganan Lease and Management Agreement (profitsharing), dibawah payung hukum

pemerintah Indonesia. Salah satu klausul dalam perjanjian tersebut adalah menetapkan lembaga arbitrase ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes) yang berafiliasi dengan Bank Dunia, melalui konvensi Washington untuk menangani perselisihan atau sengketa penanaman modal asing bila muncul di kemudian hari antara investor asing, PT AMCO, Amerika dengan negara penerima modal (host state), PT Wisma, Indonesia. Berdasarkan perjanjian tersebut, AMCO akan melakukan investasi sebesar 4 juta dolar US dalam bidang konstruksi dan pengembangan Hotel serta properti terkait. Sebaliknya PT Wisma Kartika akan memberikan AMCO hak sewa dan pengelolaan kompleks hotel/perkantoran selama 30 tahun sampai dengan tahun 1999 dengan skema bagi hasil, yaitu menyetor separuh keuntungan kepada Wisma Kartika, dengan komposisi yang disepakati sebagai berikut:

5 tahun pertama, pihak AMCO mendapat 90%, sedangkan PT Wisma Kartika mendapat 10%. 5 tahun kedua, pihak AMCO mendapat 85%, sedangkan PT Wisma Kartika mendapat 15%. 5 tahun ketiga, pihak AMCO mendapat 75%, sedangkan PT Wisma Kartika mendapat 25%. Sisanya sampai 30 tahun, pihak AMCO mendapat 50%, sedangkan PT Wisma Kartika mendapat 50%. Akibat diberlakukannya UU No.1 tahun 1967, dimana setiap investor

asing

yang

disetujui

harus

beroperasi

sebagai

sebuah

badan

yang

diselenggarakan di bawah hukum Indonesia. Maka pada 6 Mei 1968, Amco mengajukan permohonan pendirian PT Amco Indonesia. Kemudian pada tanggal 13 Mei 1968 Presiden RI berdasarkan Surat dari BKPM tanggal 11 Mei 1968, menyatakan persetujuannya dan mengirimkan pernyataan itu kepada Menteri Pekerjaan Umum. Dan pada tanggal 29 Juli 1968 Menteri Pekerjaan Umum memberikan persetujuannya kepada AMCO untuk mendirikan PT AMCO di Indonesia, yang pendiriannya kemudian diumumkan pada 14 April 1969, dalam Berita Negara No.14. Pada tanggal 22 Agustus 1969 PT AMCO membuat Perjanjian Sub-Sewa (Sub Lease Agreement of Intent) dengan beberapa pihak Aeropacific Group yaitu; RobertPullitzer Jr., NV KLM, dan PN Garuda Indonesia Airways untuk mengelola Hotel sampai dengan tahun 1978. Aeropacific melanjutkan

pembangunan kompleks tersebut, dan hingga awal tahun 1972 telah merampungkan hotel 11 lantai dengan 331 kamar tidur. Kasus Kartika Plaza dapat dinyatakan berakar dari pola penanaman modal yang diterapkan oleh PT AMCO. Pada kenyataannya, perjanjian SubSewa antara PT AMCO dan Aeropacific Group ditujukan bahwa pembangunan Hotel Kartika Plaza dibiayai oleh PN Garuda dan KLM. PT AMCO telah meminjam modal untuk pembangunan itu sebesar 1 juta dolar US dari Algemene Bank Nederland NV, dengan jaminan dari pihak Pullitzer, Garuda, dan KLM.

II.

Masalah Persoalan muncul berkenaan dengan pelaksanaan manajemen hotel Kartika Plaza yang akhirnya menimbulkan konflik hukum antara PT AMCO dan pihak penanam jasa (Aeropacific Group), sehingga pada tanggal 1 Juni 1978 pihak Inkopad mengambil alih pengelolaan hotel tersebut beserta control terhadapnya. Setelah beberapa bulan mengalami kesulitan dalam pengelolaan Hotel tanpa manajemen yang profesional, Inkopad resmi menunjuk PT Wisma Kartika untuk mengelola Hotel Kartika Plaza dengan Perjanjian Bagi-Hasil (IProfit Sharing Agreement) yang meliputi manajemen, tanah, bangunan dan seluruh isi Hotel Kartika Plaza. Pada tahun 1979 akhir, terjadi banyak perbedaan kepentingan dan perselisihan antar pihak pada sejumlah hal, dimana AMCO dinilai telah salah dalam manajemen dan AMCO sebagai pengelola investasi di Indonesia, yang seharusnya menanamkan modal US$ 4 juta, kenyataannya hanya menyetor sekitar US$ 1.4 juta. Selain itu juga AMCO dianggap melakukan kecurangan keuangan sehingga PT Wisma Kartika tidak mendapat bagian saham. Kemudian PT Wisma Kartika mulai mengancam pihak AMCO apabila jumlah yang dibayarkan oleh PT AMCO masih tidak memenuhi jumlah yang diminta atau di bawah nilai yang tertera pada perjanjian bagi-hasil sampai batas waktu tertentu, maka PT Wisma Kartika akan mengambil alih pengelolaan hotel tersebut. Karena AMCO dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan, hingga akhirnya pada bulan April tahun 1980, PT Wisma Kartika mengambil alih pengelolaan Hotel, dengan personel polisi dan tentara Indonesia yang mengawal penyitaan tersebut. Selain itu, pada 9 Juli 1980, menyusul permintaan Ketua BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) secara resmi kepada Presiden Indonesia untuk menghentikan ijin usaha dan penanaman modal asing AMCO di Indonesia yang baru berjalan 9 tahun yang mana semula AMCO diberi hak pengelolaan oleh pemerintah Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun, dikarenakan adanya usaha mengambil alih dari partner Indonesia, PT Wisma Kartika yang sekaligus pemilik dari tanah hotel tersebut. Pencabutan lisensi penanaman modal asing ini dilakukan secara sepihak tanpa adanya

pemberitahuan terlebih dahulu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
3

Awalnya kasus ini akan dilakukan penyelesaian secara damai, sayangnya gagal dilakukan. Pihak investor tetap merasa tidak puas dan berinisiatif mengajukan permasalahan sengketa kehadapan Mahkamah Arbitrase ICSID dengan membentuk konsorsium pada tanggal 15 Januari 1981 yang bertempat di Washington DC, Amerika Serikat

1. Para Pihak a. Penggugat AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas: Amco Asia Corporation Pan American Development PT. Amco Indonesia

b. Tergugat Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM)

2. Permasalahan Hukum Pemerintah Republik Indonesia pada 1 April 1980 telah melanggar hukum dengan melakukan an armed military action untuk mengambil alih control dan manajemen Hotel Kartika Plaza dari PT AMCO. Pemerintahan RI juga pada 9 Juli 1980 melakukan pencabutan hak milik (expropriatation) dari hotel yang bersangkutan. BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika baru memasuki tahun ke 9. yang semula diberikan untuk jangka waktu 30 tahun. Hal tersebut dipandang oleh pihak AMCO ASIA Corporation sebagai tindakan yang menimbulkan kerugian bagi pihak mereka karena melanggar hak-hak mereka yang justru dijamin oleh hukum Indonesia.

III.

Analisis Masalah Secara garis besar penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan terlebih dahulu terkait syarat kewenangan Dewan ICSID terhadap para pihak yang bersengketa dan terhadap kasus perkara.

a. Kewenangan (Yurisdiksi) Dewan Arbitrase ICSID terhadap para pihak Setelah memeriksa fakta-fakta sengketa, Dewan Arbitrase

berpendapat bahwa pihaknya memiliki yurisdiksi terhadap penggugat dengan alasan bahwa: 1. Indonesia telah menyetujui memperlakukan PT AMCO Indonesia sebagai badan usaha asing. 2. Pada dasarnya Indonesia telah mengakui keberadaannya di bawah yurisdiksi ICSID. Dengan demikian, kedudukan AMCO ASIA adalah benar. 3. Pan American Corporation juga memiliki kedudukan yang benar di bawah yurisdiksi Arbitrase karena AMCO ASIA telah menyerahkan haknya dalam PT AMCO kepada Pan American, peralihan yang juga meliputi haknya untuk meminta penyelesaian sengketa melalui Arbitrase ICSID.

b. Kewenangan (Yurisdiksi) Dewan Arbitrase ICSID terhadap Perkara Dewan Arbitrase ICSID dinyatakan memiliki yurisdiksi atas sengketa berdasarkan pemeriksaan terhadap fakta sengketa dimana pada dalil penggugat menyatakan bahwa, sengketa yang kini dihadapkan di depan ICSID bukanlah sengketa mengenai lease, melainkan sengketa mengenai tindakan pencabutan izin yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap PT AMCO ASIA.

Atas dasar pemeriksaan kedua yurisdiksi di atas, maka Dewan Arbitrase ICSID pada tangal 25 September 1983 menyatakan dirinya memiliki

kewenangan. Pihak Arbitrase ICSID telah menfasilitasi para pihak untuk konsiliasi penyelesaian kasus yang memakan waktu hampir 12 tahun & menghabiskan biaya yang tidak kecil melalui 4 tahap penyelesaian.

Tanggal 15 Januari 1981 25 September 1983 20 November 1984 16 Mei 1986 24 Juni 1987 10 Mei 1988 5 Juni 1990 17 Desember 1992

Kejadian Permohonan untuk arbitrase Keputusan atas kewenangan arbitrase ICSID Keputusan arbitrase tahap pertama Pembatalan keputusan arbitrase tahap pertama Permohonan untuk memproses ulang Arbitrase Keputusan atas kewenangan arbitrase ICSID tahap kedua Keputusan arbitrase tahap kedua Pembatalan keputusan arbitrase tahap kedua

Tabel 1. Timeline Penyelesaian Masalah

1. Arbitrase tingkat pertama (Tahun 1984) a. Pokok Perkara Tiga pokok perkara yang diajukan oleh pihak penggugat adalah; 1. Bahwa pihak tergugat, pada 1 April 1980, dengan menggunakan kekuatan militer telah melakukan pencabutan hak milik atau

nasionalisasi terhadap hak penggugat atas Hotel Kartika. 2. RI telah melakukan pelanggaran perjanjian karena pencabutan lisensi itu dilakukan sebelum waktunya, ketika baru dikelola 9 tahun, yang menurut perjanjian seharusnya 30 tahun. 3. Pengadilan-pengadilan Indonesia telah melakukan denial of justice ketika menangani sengketa antara AMCO dengan PT Wisma Kartika. b. Pemeriksaan Pemeriksaan Team Arbitrase yang pada arbitrase tingkat pertama ini dipimpin oleh Berhold Goldman (French), yang menyatakan bahwa: 1. Tindakan pengambilalihan sepihak dalam pengelolaan serta bangunan Hotel Kartika Plaza pada tanggal 1 April 1980,

bukanlah expropriation (pencabutan hak milik) yang dilakukan oleh pihak RI, melainkan oleh pihak PT Wisma Kartika, yang

dikualifikasikan sebagi illegal self-help karena BKPM telah melakukan pencabutan lisensi secara bertentangan dengan prosedur formal yang berlaku.
6

2. RI telah melakukan breach of contract. 3. Tidak terdapat denial of juctice. c. Keputusan Dari hasil pemeriksaan ini, Indonesia kemudian dinyatakan bersalah melakukan pencabutan izin secara bertentangan dengan hukum dan tidak memberikan perlindungan yang layak kepada pihak investor sehingga dianggap telah melakukan international wrong, yang karenanya Indonesia harus bertanggung jawab secara internasional atas kerugian yang diderita oleh pihak penggugat. Setelah hampir 3 tahun di persidangan, maka pada tanggal 20 November 1984, Keputusan Pertama arbitrase ICSID memenangkan AMCO Corp dan sesuai dengan UU No. 5 tahun 1968, tentang penanaman modal asing, diputuskan Indonesia harus membayar ganti rugi sebesar US$ 4,2 juta dari jumlah yang dituntutkan oleh AMCO sebesar US$ 12 juta.

2. Putusan Annulment Pertama (Tahun 1985) a. Dalil Indonesia Tanggal 18 Maret 1985, sehubungan dengan putusan arbitrase tahun 1984, Pemerintah R.I. mengajukan permohonan pembatalan keputusan (annulment) dengan alasan bahwa team Arbitrase Goldman telah keliru mengutamakan ketentuan hukum Internasional dan secara demikian pula, telah mengabaikan kedudukan hukum Indonesia yang seharusnya digunakan sebagai hukum utama dalam memutuskan perkara itu. Mengingat dalam acara ini tidak terbuka kemungkinan untuk banding, maka di bentuklah Team Khusus berupa AdHoc Committee pada tanggal 16 Mei 1986 yang diketuai oleh Prof. Ignaz Seidl - Hovenveldern. b. Pemeriksaan Panitia Ad Hoc memandang bahwa menurut ketentuan Konvensi ICSID, yang disyaratkan di dalam Pasal 52 dan telah termaktub dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 (yang mengesahkan konvesi ICSID untuk Indonesia), pengambilan keputusan terhadap Kasus Kartika Plaza itu seharusnya didasarkan pada Law of the Host State. Dengan demikian,

Dewan Arbitrase dalam penyelesaian tahap pertama itu seharusnya menggunakan hukum Indonesia. Selain itu berdasarkan fakta baru, Indonesia tidak mengetahui jika perusahaan AMCO yang didaftarkan di negara bagian Delaware AS telah dilebur dalam sebuah perusahaan baru pada saat sebulan setelah keputusan Dewan Arbitrase tahap 1 keluar, dan berdasarkan pasal 42 (1) Konvensi, maka hukum Indonesia-lah yang berlaku, sehingga kalau dilebur akan mengakibatkan perusahaan tersebut terhenti untuk

melakukan perbuatan hukum apapun termasuk dalam berarbitrase. c. Keputusan Panitia Ad Hoc, berdasarkan pemeriksaan memutuskan

pembatalan putusan (annulment) tingkat pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat pertama. Adapun yang dipertahankan adalah bahwa Indonesia bertanggung jawab secara internasional terhadap kurangnya pemberian perlindungan terhadap pihak investor, yakni bahwa pihak Kepolisian RI dan TNI telah hadir pada saat secara de facto dan fisik mengambil alih gedung dan manajemen hotel. Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya yang dianggap identik dengan main hakim sendiri (illegal selfhelp) terhadap penanaman modal asing.

3. Proses Arbitrase Kedua (Tahun 1987) Proses penyelesaian ketiga ini membahas counter claim yang diajukan oleh AMCO Cs terhadap putusan annulment pertama pada tanggal 24 Juni 1987 sesuai dengan ketentuan pasal 52 sub 6 Konvensi ICSID. Tanggal 12 Desember 1987, team Arbitrase kedua mulai dibentuk dan dipimpin oleh Prof. Rosalyn Higgins (London). Dan pada 10 Mei 1988, diputuskan Dewan Arbitrase ICSID memiliki kewenangan untuk perkara tahap kedua ini.

a. Pemeriksaan Proses pemeriksaan pada ronde ini yang terpusat pada penentuan apa yang merupakan res judicata (kekuatan pasti) yang tidak dapat dipermasalahkan lagi, dan apa yang dapat diajukan sebagai tuntutan atau diperiksa kembali oleh Arbitrase dihadapan Panitia Adhoc. Dasar tuntutan yang perlu diperiksa kembali sama dengan arbitrase tingkat pertama, yaitu: Tindakan pelanggaran dari personel polisi dan tentara Indonesia yang telah mengakibatkan kerusakan. Terkait pencabutan izin usaha, AMCO tidak diberikan pemberitahuan terlebih dahulu, serta pencabutan izin tersebut tidak dapat dibenarkan secara substantif. Indonesia telah berlaku tidak adil yang diperkuat sebagai konsekuensi dari tindakan melanggar hukum. AMCO menyatakan bahwa perilaku tersebut telah mengakibatkan kerugian tidak kurang dari US$ 15 juta. b. Keputusan Atas dasar pemeriksaan, maka pada tanggal 5 Juni 1990, team Arbitrase akhirnya memutuskan 2 hal: 1. Tentang yurisdiksi, menetapkan hal-hal yang masih, atau tidak lagi dapat dipersoalkan (res judicata). 2. Putusan tentang pokok perkara, antara lain tentang pengurangan ganti rugi bagi AMCO Asia Corp. cs yang harus dibayar RI menjadi US$ 2,567,966.20. Ditambah bunga 6% setahun sejak putusan ini dijatuhkan. c. Koreksi Sepihak Atas putusan tentang pokok perkara itu, ternyata ada pengurangan yang menyolok dari apa yang harus dibayar kepada pihak AMCO, apabila dibandingkan dengan putusan Arbitrase pertama, selain itu juga perhitungan interest baru dihitung sejak tanggal putusan ditetapkan (31 Mei 1990).

Dikarenakan adanya penurunan jumlah kerugian, kemudian pihak AMCO mengajukan tuntutan pembatalan putusan, disertai tuntutan untuk menghidupkan kembali jumlah yang telah ditentukan oleh Goldman. Tanpa memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengajukan pembelaan, Tim Higgins telah memberikan putusan koreksi tambahan pada 17 Oktober 1990. Kepada AMCO, diberikan tambahan sebesar 109 ribu dollar US. Atas tindakan sepihak, dan pemberlakuan tidak sama oleh Arbitrase ini, Indonesia merasa keberatan. Tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap asas keharusan untuk memberikan perlakuan sama terhadap pihak-pihak (audialeram partem-audiatur).

4. Proses Annulment Kedua (Tahun 1991) a. Pokok Perkara Tim Higgins sampai pada kesimpulan bahwa yurisprudensi

Indonesia yang diajukan pihak-pihak itu kurang jelas dan dengan demikian Higgins telah menunjukan bahwa hukum indonesia tidak cukup untuk menyelesaikan perkara, karenanya hukum internasional-lah yang harus dipergunakan. Oleh Tim Higgins dinyatakan bahwa pencabutan izin oleh BKPM itu merupakan administrative denial of justice dengan adanya general tainted background dan tidak dapat dibenarkan jika ditinjau dari segi hukum internasional. Terhadap hal ini, Indonesia juga mengajukan permohonan annulment terhadap pertimbangan putusan team Higgins tersebut. b. Pemeriksaan Untuk memeriksa permohonan pembatalan atas putusan team Higgins, diangkat tim khusus Arbitrase di bawah pimpinan Prof. Sompong Sucharitkhul (Thailand) dan Prof. Dietrich Schindler (Swiss) serta Prof. Arghyrios A Fatouros (Junani). Pemeriksaannya telah berlangsung sejak Desember 1991, di Washington.

10

c. Keputusan Selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1992, tim Arbitrase IV ini telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menguatkan putusan tim Higgins dan RI dinyatakan kalah, dengan pertimbangan bahwa adanya kekhwatiran apabila terus menerus dapat dilakukan pembatalan dari putusan-putusan ICSID, maka seluruh sistem arbitrase ICSID akan menjadi lapuk.

IV.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. AMCO bernjanji untuk menanamkan modal sebesar US$ 4 juta, tetapi kenyataanya hanya US$ 1.4 juta 2. Tenggat waktu yang diberikan tidak dapat dipenuhi oleh AMCO sehingga PT Wisma Kartika merasa perlu untuk mengambil langkah selanjutnya. 3. Permintaan BKPM kepada Presiden RI untuk menghentikan ijin usaha AMCO yang sekaligus mencedrai perjanjian hak pengelolaan secara sepihak. 4. Penyelesaian sengketa secara damai yang tidak menemui jalan keluar, membawa pengajuan masalah ke mahkamah Arbitrase ICSID. 5. Arbitrase I (1984), Indonesia diputuskan bersalah 6. Arbitrase II ( 1987), penetapan yurisdiksi dan putusan pokok perkara. 7. Ombang-ambing hukum di Indonesia menyebabkan keraguraguan pihak asing dengan Indonesia 8. Tidak konsistennya BKPM terhadap investor. 9. Penggunaan jalan arbitrase yang justru memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Saran 1. Ombang-ambing hukum di Indonesia menyebabkan keragu-raguan pihak asing dengan Indonesia. Sebagai dampak ketidakcocokan sistem Civil Law dengan Anglo-Saxon.
11

2. Tidak konsistennya BKPM terhadap investor. Seharusnya sejak awal melibatkan pihak ketiga yang netral agar parapihak saling menjaga perannya dalam kesepakatan. 3. Penggunaan jalan arbitrase yang justru memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit seharusnya bisa dicegah dengan memaksimalkan fungsi BKPM sebagai salah satu filter untuk mencegah hadirnya investor bodong/mengecewakan yang menimbulkan masalah di masa depan.

V.

Daftar Pustaka

Feby. 2011. ARBITRASE PENANAMAN MODAL ASING (Kasus Kartika Plaza Sebagai Suatu Model) (http://lotusbougenville.wordpress.com/2011/02/11/arbitrase-penanaman-modalasing-kasus-kartika-plaza-sebagai-suatu-model, diakses tanggal 24 Maret 2013)

Gayatri, Aprilia. 2008. AMCO vs Republik Indonesia (Studi Kasus ICSID) (http://binchoutan.wordpress.com/2008/07/22/amco-vs-republik-indonesia-studikasus-icsid/, diakses tanggal 24 Maret 2013)

Higgins, Rosalyn., dkk. 1988. AMCO v. Republic of Indonesia: Resubmitted Case Decision on Jurisdiction. International Centre for Settlement of Investment Disputes. (https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVa l=showDoc&docId=DC663_En&caseId=C126, diakses tanggal 24 Maret 2013)

Poerba, Sugeng Meijanto. 2011. Analisa terhadap putusan arbitrase mengenai perkara hotel kartika plaza di tinjau dari undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian masalah. (http://binatangpoerba.wordpress.com/2011/10/13/analisa-terhadap-putusanarbitrase-mengenai-perkara-hotel-kartika-plaza-di-tinjau-dari-undang-undangnomor-30-tahun-1999-tentang-arbitrase-dan-penyelesaian-masalah/, diakses tanggal 24 Maret 2013)

12

Ripinsky S., Williams K. 2008. Amco Asia Corporation, Pan American Development Limited, PT Amco Indonesia v Republic of Indonesia (AMCO v Indonesia). British Institute of International and Comparative Law. (http://www.biicl.org/files/3936_1990_amco_v_indonesia.pdf, diakses tanggal 24 Maret 2013)

13

Anda mungkin juga menyukai