Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ayu Nurani Fauzah NIM Prodi MK : 10413244009 : Pendidikan Sosiologi : Sosiologi Agama

Multikulturalisme Agama Masyarakat Pringwulung


Tantangan teologis paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah-tengah agama lain. Dalam pergaulan antaragama, semakin hari kita semakin merasakan intensnya pertemuan-pertemuan agama meskipun pertemuan itu kurang diisi dengan segi-segi dialogis antar imanya. Sebenarnya hubungan antar tokoh-tokoh agama di Indonesia terlihat baik, akrab dan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, khususnya menyangkut kemungkinan disintegrasi bangsa akibat konflik-konflik SARA (suku, agama dan ras) yang berkepanjangan. Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari Negara itu muncul kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar

kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di Indonesia. Dari beberapa latar belakang permasalahan di atas, sejatinya dapat ditangani dengan internalisasi multikulturalisme atau pluralisme yang baik pada masyarakat Indonesia. Multikulturalisme dan pluralisme mempunyai basic difference atau perbedaan yang mendasar pada konsepnya. Pada prinsipnya pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu. Sedangkan konsep dasar dari multikulturalisme mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Atau dengan kata lain multikulturalisme menekankan kenekaragaman sosial atau kebudayaan dalam kesederajatan. Saat ini pluralisme yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah pluralisme semu (pseudo pluralism). Di mana pluralisme hanya sebatas dan belum sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui sebagai kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk pengakuan terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari budaya, suku, dan agama yang berbeda-beda, namun tidak bersedia menyikapi dan menerima suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah (historical necessity) dan kenyatan sosio-kultural (sociocultural necessity) sehingga tak jarang kerap terjadi kerusuhan atau konflik atas nama latar belakang agama yang berbeda. Adapun multikulturalisme berarti penolakan tehadap kefanatikkan, purbasangka, rasisme, tribalisme dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada (William A. Haviland, Terj. 1988:289). Multikulturalisme ini diwujudkan dengan sikap saling menerima, menghargai nilai, kebudayaan maupun keyakinan (agama) yang berbeda. Nilai-nilai multikulturalisme tersebut harus

ditanamkan pada generasi muda melalui sistem pendidikan nasional secara dini sehingga kelak setelah dewasa nilai multikulturalisme sudah terinternalisasi. Ini dikarenakan tidak akan secara otomatis nilai multikulturalisme berkembang dengan sendirinya dalam pribadi manusia. Preferensi Agama dan Dinamika Sosial Internalisasi nilai-nilai multikulturalisme dapat dimulai dari pendidikan, dimana pendidikan berperan aktif merubah mindset manusia dalam menyikapi realita perbedaan sosial yang ada, khususnya agama. Perubahan mindset akan menjadi progres apabila ada prefensi atau pemahaman yang baik pula tentang elemen-elemen perbedaan dalam masyarakat tersebut. Preferensi agama adalah penjelasan supranatural yang menjelaskan tentang tujuan, arti dan asal usul kehidupan. Preferensi ini akan membantu pilihan manusia di bidang agama-memotivasi ketaatan beragama, partisipasi agama publik, dan afiliasi dengan organisasi keagamaan. Perkembangan dan dinamika preferensi berkaitan dengan bagaimana pilihan manusia dipengaruhi oleh preferensi dan faktor sosial lainnya. Dalam membuat pilihan agama, preferensi agama tidak satu-satunya faktor yang diperhitungkan. Pengambilan keputusan agama juga dipengaruhi oleh tekanan sosial, imbalan nonreligius, dan ketiadaan rasa hormat. Preferensi agama berbicara tentang tanggapan terhadap pengalaman individu atau pengaruh sosial. Misalnya, mengetahui perjalanan hidup seseorang dalam menyebarluaskan keyakinan agama dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan tertentu. Orang tua, teman, pasangan, dan rekan-rekan dinilai sumber informasi tentang kehidupan kolektif. Jaringan ikatan sosial penting tersebut dibangun untuk menghasilkan perubahan dalam preferensi dan stabilitas sosial.

Dari perspektif sosial, pengalaman religius membangun individu manusia menjadi religius, yang mana ini ditunjukkan dengan pengalaman religius individu yang sifatnya rutin. Pilihan agama sering mendorong preferensi adaptif seseorang dalam menjalankan keberagamaannya. Modal manusia beragama adalah

memproduksi nilai agama dalam pengaturan kolektif. Oleh karena itu, manusia memiliki modal dan kemampuan untuk mengubah dan menghasilkan nilai-nilai agama yang menjadi diferensiasi agama secara fundamental. Teori preferensi adaptif dan teori modal memimpin manusia untuk membangun lintasan keyakinan agama dan perilaku sosial. Kedua teori ini secara eksklusif mengembangkan dinamika keagamaan. Preferensi adaptif mempromosikan

perubahan, bukan reproduksi sentimen. Adapun preferensi counteradaptive terjadi ketika orang menegaskan dirinya dari masyarakat kolektif. Oleh karena itu, orang kadang-kadang condong ke ekspresi keagamaan yang bervariasi.

Kehidupan Beragama Masyarakat Pringwulung Untuk menulis paper ini, penulis melakukan observasi dan wawancara secara purposive sampling kepada kepala dukuh, ketua pemuda, warga Pringwulung. Secara geografis Pringwulung adalah salah satu dusun di kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya berada di garis koordinat 746'17"S 11023'50"E. Dari ketiga informan (kepala dukuh, ketua pemuda dan warga Pringwulung) yang diwawancarai pada hari minggu, 14 April 2013 menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Pringwulung adalah bukan masyarakat pribumi atau masyarakat asli

kelahiran Pringwulung. Dari jumlah total 2300 warga yang terdiri dari 640 KK (kepala keluarga) 80% adalah masyarakat pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang kemudian menetap menjadi warga atau masyarakat Pringwulung. Dari keadaan inilah kemudian lahir keanekaragaman di Pringwulung, dimana

masyarakatnya yang mayoritas imigran membawa latar belakang ras, etnis, adat istiadat atau budaya maupun agama yang berbeda satu sama lain. Perbedaan latar belakang sosial budaya ini tidak lantas menjadikan masyarakat Pringwulung mengalami konflik. Hal ini dibenarkan oleh Wawan (27 Tahun) sebagai ketua pemuda Pringwulung yang kebutulan juga keturunan warga asli Pringwulung dan oleh Bapak Rame (57 Tahun) selaku kepala dukuh Prigwulung sejak tahun 1996 sampai dengan sekarang. Mereka berkata bahwa selama mereka hidup bermasyarakat di

Pringwulung tidak pernah sekalipun dia melihat adanya pertentangan atau pun konflik horizontal diantara warga Pringwulung. Banyak faktor yang melatarbelakangi masyarakat pendatang di Pringwulung, namun secara umum ini dikarenakan letak Pringwulung itu sendiri yang strategis, dekat dengan pusat kegiatan kota sehingga memberikan peluang besar bagi masyarakat pendatang untuk meningkatkan taraf hidup dari sebelumnya. Dan ketika hal itu sudah terbukti maka masyarakat pendatang pun memilih untuk menjadi warga tetap Pringwulung. Menurut kedua informan : Wawan dan Agus, jika diprosentasikan maka keadaan masyarakat Pringwulung adalah sebanyak 58% masyarakat beragama Islam, 40% beragama Katolik, 1,8% beragama Protestan dan 0,2% beragama Hindu, Buddha serta Kong Hu Chu. Prosentase untuk pemeluk agama Hindu Budha serta Kong Hu Chu yang sedikit tersebut berasal dari masyarakat pendatang dan sementara (anak kos/kontrakan) di Pringwulung. Hal tersebut dibenarkan juga pak Rame juga.

Indikasi multikulturalisme sudah terinternalisasi dengan baik pada masyarakat Pringwulung ialah terlihatnya implementasi nilai saling menghargai perbedaan yang ada diantara masyarakat Pringwulung. Ini dimulai dengan proses sosialisasi masyarakat pendatang Pringwulung terhadap masyarakat asli Pringwulung maupun sebaliknya dengan saling mengenal dan memahami berbagai latar belakang sosial dan budaya keduanya. Menurut Wawan, biasanya proses ini berlangsung saat masyarakat Pringwulung melakukan kegiatan dusun bersama seperti kerja bakti atau gotong royong membersihkan jalan maupun makam dusun, rewang atau gotong royong membantu warga yang mengadakan pesta atau hajatan, perayaan hari jadi Negara (17 Agustusan), kesenian Masyarakat Pringwulung berupa Sedekahan (membuat kenduri, nasi n lauk pauk dibwa ke satu tempat untuk didoakan dan dibawa pulang), gamelan, jatilan, wayang orang, ketoprak. Namun kesenian tersebut mulai tergeser sejak tahun 1980an serta lain sebagainya. Selain itu, indikasi lain nilai multikulturalisme sudah terinternalisasi juga terlihat dari artefak kebudayaan di Pringwulung berupa tempat peribadatan yang , yang mana terdapat musholah An Nur di ujung timur Pringwulung, masjid Darusalam di tengah dan Gereja Katolik St. Yohanes Rasul di sebelah barat Pringwulung. Multikulturalisme masyarakat Pringwulung tercermin dari perilaku sosial masyarakatnya melalui kebiyasaan dan kerukunan bermasyarakat masyarakat Pringwulung, dimana setiap kali ada perayaan hari besar agama baik itu Lebaran untuk pemeluk Islam, natal untuk pemeluk Nasrani, waisak untuk pemeluk Buddha dan perayaan yang lainnya masyarakat Pringwulung satu sama lain saling mengapresiasi dengan memberikan ucapan selamat meskipun berbeda agama. Ada juga perilaku masyarakat Pringwulung dimana masyarakatnya yang beragama Kristen Katolik dan Protestan ikut memberikan hewan kurban untuk ritual keagamaan Islam

saat hari raya Idul Adha. Menurut Agus (39 Tahun), kegiatan memberikan ucapan selamat hari raya keagamaan sudah menjadi tradisi masyarakat Pringwulung sejak dulu kala. Sedangkan partisipasi masyarakat non Pringwulung pada saat hari raya Idul Adha umat Islam masyarakat Pringwulung mulai tercetus setelah tempat beribah umat Islam berupa Musholah yang bernama An-Nur dibangun di tengah kompleks Pringwulung. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai multikulturalisme agama masyarakat Pringwulung mulai terinternalisasi dengan baik ketika adanya sosialisasi yang baik diantara warganya melalui budaya masayarakat Pringwulung yang melahirkan kerukunanbermasyarakat. Selain itu, meskipun masyrakat Pringwulung mengalmi dinamika yang cepat dalam kehidupan sosialnya, namun masyarakat tetap bisa mengaplikasikan nilai-nilai multikulturalismenya karena adanya preferensi agama yang baik.

Refrensi : Michele Dillon. 2003. Terjemahan Handbook Sociology of Religion. Cambridge University Press. Tiilar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme (Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Tranformasi Pendidikan Nasional). Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).

Anda mungkin juga menyukai