Anda di halaman 1dari 9

Sampah Dan Kesadaran Ekologis Kota Malang

Pendahuluan

Sampah merupakan masalah umum bagi masyarakat perkotaan. Fenomena tentang meningkatnya volume sampah hampir dialami oleh kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta (sebagai contoh, Jakarta pada tahun 2005 memproduksi 25.632 m3 sampah perhari. Lihathttp://www.kebersihandki.com/dinas index.

php?option, diakses pada 7 November 2011) dan Bandung yang pada tahun 2006 diperkirakan menghasilkan 307.500 m3 sampah dan terus bertambah 7.500 m3 setiap hari (lihat, http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=848, diakses pada 6 November 2011) yang sudah biasa menjadi langganan masalah sampah. Perlu diketahui bahwa pada tahun 2011 Indonesia menghasilkan sampah 200 ribu ton perhari. (Amril Amarullah,http://nasional.vivanews.com/news/read/131299sampah_indonesia_tiap_h ari_capai_200_ribu_ton,diakses 15 September 2011). Jumlah itu sebagian besar disumbang oleh kota-kota besar di Indonesia. Permasalahan sampah di perkotaan erat kaitannya dengan kebudayaan yang dialami warga masyarakat perkotaan.

Kebudayaan perkotaan identik dengan hadirnya pasar dan industi. Pasar dan industri bahkan kerap menjadi poros penting dinamika kemajuan suatu kota. Dinamika semacam ini merupakan dinamika yang wajar terjadi pada masyarakat modern. Semakin modern budaya dan penguasaan teknologi dan industri, semakin banyak sampah yang diproduksi.(Kuncoro Sejati: 2009, 39). Masalah sampah dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari dinamika yang dialami masyarakat modern. Kota Malang merupakan kota terbesar ke dua di Jawa Timur. Kota Malang bagaimanapun juga merupakan kota yang cukup besar di Indonesia. Dengan segala perkembangannya kota ini sangat mungkin memenuhi kriteria sebagai kota atau masyarakat modern. Selain disebut sebagai kota pelajar karena banyaknya pelajar dan mahasiswa yang berkuliah di kampus-kampus Kota Malang, Malang juga merupakan kota yang sedang gencar melakukan pembangunan. Berbagai pusat belanja berdiri baik yang bertaraf mall maupun pertokoan dan pasar. Menggeliatnya bisnis di kota Malang ini berani mengorbankan lahan-lahan persawahan untuk dijadikan pasar atau

pertokoan. (Lihatlah kasus pemindahan Pasar Dinoyo ke sawah Merjosari). Kota Malang sedang mengalami transisi dari kota tradisional menuju masyarakat modern di mana kapitalisme dan konsumerisme juga merebak. Tansisi ini walaupun telah menghasilkan peningkatan produksi dan kesejahteraan, di sisi lain secara tidak sadar menyumbangkan peningkatan sampah yang merupakan bungkus dari produksi dan konsumsi tersebut. Semakin meningkatnya jumlah produksi, semakin meningkat pula konsumsi dan sampahnya. Dengan kata lain, jumlah sampah berbanding lurus dengan modernitas masyarakat. Hal yang menjadi persoalan adalah ketika produksi dan konsumsi naik, tetapi masyarakat tidak siap menerima dan menangani sampahnya sendiri. Akibatnya sampah bertebaran di mana-mana. Pada tingkat ini, sampah baru menjadi perhatian pemerintah terutama Dinas Kebersihan. Akan tetapi jangkauan area kerja Dinas Kebersihan tidak seluas area yang ditempati seluruh warga. Sentuhan tangan Dinas Kebersihan hanya sampai pada tingkat pusat kota dan perumahan, sedangkan daerah pinggiran dibiarkan begitu saja dengan menggantungkan tangantangan pemulung yang jumlahnya tak banyak. Akibatnya, pinggir-pinggir jalan, kolong jembatan dan sungai menjadi tempat favorit masyarakat pinggiran kota untuk membuang sampah. Fenomena ini dapat kita sebut sebagai tanda kemunduran kesadarn ekologis masyarakat kota Malang. Fenomena kemunduran kesadaran ekologis ini dimulai dengan menempatkan sampah pertama sebagai sisa-sisa pembuangan manusia yang sangat manusiawi. Karena sangat manusiawi, sampah akrab dengan hidup manusia. Masyarakat tradisional, di samping menyampah juga memiliki kesadaran untuk menangani sampahnya sebagai bagian dari budaya dan kearifan lokalnya. Namun, pada zaman modern yang lekat dengan perkembangan teknologi dan sistem produksi, keberadaan sampah semakin kompleks dan mencemaskan. Seiring dengan jumlah produksi yang meningkat, volume sampah juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Sampah yang dihasilkan oleh manusia pun bermacam-macam jenis dan semakin tidak mudah hancur. Rupanya peningkatan volume sampah ini tidak diikuti dengan peningkatan kesadaran manusia untuk menangani masalah sampahnya. Pertumbuhan sampah melaju lebih cepat daripada pertumbuhan mental manusianya. Hal ini terlihat dengan adannya sampah yang berserakkan di pinggir-pinggir jalan umum, di sungai-sungai dan tempat-tempat umum di kota Malang (lihat gambar 1-12). Ada kesan bahwa

orang bebas atau memang dibiarkan bebas membuang sampah di tempat-tempat tersebut. Meskipun peraturan telah diundangkan, namun sampah-sampah yang berserakan di tempat-tempat umum itu semakin tak diperhatikan. Bahkan orang sekarang tidak peduli dan merasa jijik menyentuh sampahnya sendiri. Munculah pertanyaan: di manakah peran peraturan dan hukum? Mengapa manusia bebas membuang sampah di ruang-ruang yang seharusnya bebas sampah? Benarkah manusia mengalami kemunduran kesadaran dalam menangani masalah sampahnya? Di atas semuanya ini, adakah sistem-sistem politik tertentu yang menjadi dalangnya dan telah mengorbankan lingkungan sebagai arena dan objek bermainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab untuk mengetahui akar masalah sampah sebenarnya demi melakukan penanggulangan sampah yang lebih baik. Masalah sampah ini, jika dilihat dengan menggunakan kacamata pemikiran Anthony Giddens merupakan imbas dari transisi yang dialami masyarakat modern. Ia menggambarkan masyarakat modern sebagai Juggernaut (panser-raksasa), yakni suatu masyarakat yang kehilangan kendali dan siap menuju kehancuran. Itulah masyarakat Runaway World atau dunia yang sedang tunggang langgang. Sejalan dengan itu, Fritz Schumacher (ekolog politik) dalam bukunya Small is Beautiful mengkritik masyarakat industri modern dengan menyatakan bahwa Sistem industri modern dengan segala kerumitan intelektualnya justru menggerogoti landasan yang menjadi pijakan sistem ini. Dalam artikel ini penulis menggunakan pemikiran sosiolog Anthony Giddens tentang modernitas untuk memecahkan masalah sampah di kota Malang ini dan juga kalangan ekologi politik yang menganalisa masyarakat modern. Untuk memperoleh data, penulis menggunakan visual method atau mengumpulkan foto-foto yang diambil dari berbagai tempat di kota Malang terkait masalah sampah tersebut. Untuk membantu memecahkan masalah sampah ini, penulis juga memakai sumber-sumber dari internet dan kepustakaan. Suhu Kota Malang Semakin Meningkat Tahun belakangan ini, beberapa mahasiswa komunitas asrama Seminari Montfort Malang digelisahkan dengan semakin panasnya suhu kota Malang. Peningkatan suhu ini dialami ketika mereka pulang dari kampus STFT Widya Sasana Malang dengan mengayuh sepeda. Malang tidak seperti yang dulu, kebanyakan berujar demikian. Yang lain membenarkan bahwa pohon bambu yang biasa menjadi tempat mereka berteduh saat ini ditebang habis. Jalan Joyo Agung yang menuju

kompleks perumahan Villa Bukit Tidar diperlebar. Sedangkan sampah-sampah plastik berserakan dipinggir-pinggir paritnya. Isu hangat muncul ketika beberapa mahasiswa kemudian melontarkan wacana untuk membeli mobil sebagai sarana transportasi ke kampus untuk menghindari suhu yang panas itu. Wacana ini sempat memunculkan perdebatan antara kelompok pro dan kontra yang akrirnya dimenangkan oleh kebijaksanaan para mahasiswa senior. Membeli mobil sama saja menambah sampah, katanya. Benarkah? Fenomena semakin panasnya suhu kota Malang ini tidak hanya dirasakan oleh para mahasiswa tadi, tetapi juga menjadi perhatian umum. Lihat saja laporan berikut ini. Kota Malang beberapa dekade yang lalu masih terkenal dengan julukannya sebagai kota apel yang dingin, sejuk, bahkan kota wisata atau kota bunga. Di salah satu sudut perumahan Joyo Grand misalnya, tertulis sogan Malang Kota Bunga. Secara geografis, Kota Malang terletak pada ketinggian di antara 440 sampai 667 mdpl. yang memberikan hawa cukup sejuk dengan suhu rata-rata 24,5 derajat Celcius (2001).[1] Pada tahun 2008, suhu kota Malang mengalami peningkatan.

Dari blogPemerintah Kota Malang, suhu yang tercatat pada tahun 2008 mencapai rata-rata 22,7 deraja Celcius hingga 25,1 derajat Celcius.[2] Hal ini berarti sepanjang tahun 2001 hingga 2008, suhu kota Malang mengalami peningkatan 0,6 derajat Celcius. Pada tahun 2011 peningkatan suhu kota Malang semakin besar. Berdasarkan data yang dicatat oleh BMKG Karang Ploso, pada tanggal 30 Agustus hingga 7 September, suhu kota Malang mencapai maksimal 29 derajat Celcius.[3] Hal ini memerlihatkan bahwa dalam kurun waktu 2008 hingga 2011, suhu kota Malang mencapai peningkatan hingga 3,9 derajat Celcius. Dari data sementara tersebut kita dapat memerkirakan bahwa suhu Kota Malang ke depan akan semakin meningkat. Peningkatan suhu di Kota Malang ini merupakan salah satu dari sekian banyak fenomena pemanasan global yang terjadi di seluruh dunia. Penumpukan sampah menyumbang dampak cukup besar pada Pemanasan Global.Sampah berkontribusi kuat terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca. Pembuangan sampah terbuka di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

mengakibatkan sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik, dan proses itu menghasilkan gas CH4 (metana). Metana sendiri mempunyai kekuatan merusak hingga 20-30 kali lebih besar daripada CO2. Sampah menghasilkan gas metana (CH4) dengan komposisi rata-rata tiap satu ton sampah

padat menghasilkan 50 kg gas metana.[4] Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat di kota Malang, dapat diperkirakan semakin meningkat pula gas metana yang dihasilkannya. Fenomena peningkatan suhu global ini jika kita kembalikan kepada masalah lokal, memiliki kaitan erat. Peningkatan volume sampah di TPA Supit Urang menjadi salah satu penyumbangnya.

Malang Sebagai Kota Yang Sedang Berkembang Tahun belakangan ini, beberapa mahasiswa komunitas asrama Seminari Montfort Malang digelisahkan dengan semakin panasnya suhu kota Malang. Peningkatan suhu ini dialami ketika mereka pulang dari kampus STFT Widya Sasana Malang dengan mengayuh sepeda. Malang tidak seperti yang dulu, kebanyakan berujar demikian. Yang lain membenarkan bahwa pohon bambu yang biasa menjadi tempat mereka berteduh saat ini ditebang habis. Jalan Joyo Agung yang menuju kompleks perumahan Villa Bukit Tidar diperlebar. Sedangkan sampah-sampah plastik berserakan dipinggir-pinggir paritnya. Isu hangat muncul ketika beberapa mahasiswa kemudian melontarkan wacana untuk membeli mobil sebagai sarana transportasi ke kampus untuk menghindari suhu yang panas itu. Wacana ini sempat memunculkan perdebatan antara kelompok pro dan kontra yang akrirnya dimenangkan oleh kebijaksanaan para mahasiswa senior. Membeli mobil sama saja menambah sampah, katanya. Benarkah? Fenomena semakin panasnya suhu kota Malang ini tidak hanya dirasakan oleh para mahasiswa tadi, tetapi juga menjadi perhatian umum. Lihat saja laporan berikut ini. Kota Malang beberapa dekade yang lalu masih terkenal dengan julukannya sebagai kota apel yang dingin, sejuk, bahkan kota wisata atau kota bunga. Di salah satu sudut perumahan Joyo Grand misalnya, tertulis sogan Malang Kota Bunga. Secara geografis, Kota Malang terletak pada ketinggian di antara 440 sampai 667 mdpl. yang memberikan hawa cukup sejuk dengan suhu rata-rata 24,5 derajat Celcius (2001).[1] Pada tahun 2008, suhu kota Malang mengalami peningkatan.

Dari blogPemerintah Kota Malang, suhu yang tercatat pada tahun 2008 mencapai rata-rata 22,7 deraja Celcius hingga 25,1 derajat Celcius.[2] Hal ini berarti sepanjang tahun 2001 hingga 2008, suhu kota Malang mengalami peningkatan 0,6 derajat Celcius. Pada tahun 2011 peningkatan suhu kota Malang semakin besar. Berdasarkan

data yang dicatat oleh BMKG Karang Ploso, pada tanggal 30 Agustus hingga 7 September, suhu kota Malang mencapai maksimal 29 derajat Celcius.[3] Hal ini memerlihatkan bahwa dalam kurun waktu 2008 hingga 2011, suhu kota Malang mencapai peningkatan hingga 3,9 derajat Celcius. Dari data sementara tersebut kita dapat memerkirakan bahwa suhu Kota Malang ke depan akan semakin meningkat. Peningkatan suhu di Kota Malang ini merupakan salah satu dari sekian banyak fenomena pemanasan global yang terjadi di seluruh dunia. Penumpukan sampah menyumbang dampak cukup besar pada Pemanasan Global.Sampah berkontribusi kuat terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca. Pembuangan sampah terbuka di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

mengakibatkan sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik, dan proses itu menghasilkan gas CH4 (metana). Metana sendiri mempunyai kekuatan merusak hingga 20-30 kali lebih besar daripada CO2. Sampah menghasilkan gas metana (CH4) dengan komposisi rata-rata tiap satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana.[4] Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat di kota Malang, dapat diperkirakan semakin meningkat pula gas metana yang dihasilkannya. Fenomena peningkatan suhu global ini jika kita kembalikan kepada masalah lokal, memiliki kaitan erat. Peningkatan volume sampah di TPA Supit Urang menjadi salah satu penyumbangnya.

Sampah dan Masyarakat Tradisional Sampah pertama kali dihasilkan oleh manusia dan ditemukan pada zaman pra sejarah yang biasa kita kenal sebagai Kjokkenmoddiger[8], merupakan parit yang dibuat oleh sekelompok orang yang menetap dalam jangka waktu sementara atau lama sebagai tempat pembuangan khusus yang digunakan untuk menumpuk produk sampah sehari-hari.Kjokkenmoddiger ini digunakan sampai beberapa generasi. Sampah yang dihasilkan oleh manusia pra sejah biasanya berupa kulit kerang yang menumpuk dan membentuk bukit. Pada masa itu manusia sudah membuat semacam bak sampah sendiri untuk mengumpulkan sampahnya. Di sini kita tahu bahwa pada dasarnya manusia punya kebiasaan membuang sampah pada tempatnya. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan kebiasaan membersihkan sampah dalam masyarakat tradisional di Indonesia.

Masyarakat tradisional menghasilkan sampah yang masih sederhana dan berkaitan erat dengan produk yang mengambil bahan-bahan dari alam. Masyarakat tradisional biasa menyebut sampah pada daun-daun kering yang berguguran di halaman, kulit-kulit buah atau daun-daun pembungkus makanan. Masyarakat tradisioal juga memiliki kebiasaan membersihkan sampah-sampah itu dari lingkungannya. Masyarakat Jawa Tengah yang tinggal di sekitar Candi Borobudur misalnya, punya kebiasaan menyapu halaman setiap pagi. Kebiasaan ini juga masih dapat kita lihat di perkampungan orang Jawa umumnya. Setiap pagi mereka akan menyapu halaman, mengumpulkan sampah pada satu tempat dan menjadikannya pupuk kompos. Pada masyarakat tradisioal, menyapu sampah ini masih menjadi kegiatan penting yang dilakukan oleh kaum ibu di pagi hari. Sampah plastik yang kemudian mereka kenal pun masih dapat dikontrol, disapu dan dikumpulkan untuk dibakar. Tentu saja kebiasaan ini masih ditemukan pada masyarakat pedesaan. Mayarakat pedesaan, meskipun menghasilkan sampah, tidak mengalami kesulitan dalam menghadapi sampahnya. Sampah dalam masyarakat modern memiliki arti yang lain. Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembuatan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembuatan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan (Kamus Istilah Lingkungan, 1994).[9] Kata Waste memiliki arti lebih luas yakni setiap bahan padat, cair atau gas yang tidak berguna bagi organisme atau ekosistem yang menghasilkannya dan karenanya diperlukan pemikiran mengenai cara

pembuangannya.[10] Sampah dapat digolongkan dari sifatnya yaitu organik,sampah yang mudah membusuk. Anorganik atau sampah sintetik (plastik, kertas, karet, kaca, logam, dan benda keras lainnya) yang butuh ratusan tahun untuk hancur. Sampahdebu atau abu (sisa pembakaran) dan limbah B3 (bahan beracun dan

berbahaya). Bagaimana dengan masyarakat perkotaan yang jenis sampahnya begitu kompleks dan bermacam-macam seperti di atas?

Sampah dan Kota Malang Sampah sebenarnya adalah problem umum masyarakat perkotaan. Warga Kota malang sendiri menghasilkan sampah 400 ton per hari. Sampah tersebut sebagian

besar adalah sampah rumah tangga, sampah pasar dan industri yang dikumpulkan dari 75 TPS yang tersebar di Kota Malang.[11] Meledaknya volume sampah ini salah satunya terlihat dalam hari-hari menjelang Lebaran kemarin. Jumlah tumpukan sampah yang tertampung di lima TPA yang ada mengalami peningkatan 10% dari biasanya. Gambaran peningkatan sampah paling nampak ketika pada Hari-H Lebaran. Koran-koran bekas alas Solat Id berserakan di depan masjid-masjid besar. Hal ini segera menjadi pekerjaan Dinas Kebersihan setempat yang menurunkan 28 truk sampah dan 200 petugas kebersihan.[12] Di atas fenomena-fenomena itu muncul pertanyaan dari manakah asal sampahsampah kota Malang itu? Sampah yang masuk ke TPA Supit Urang misalnya, merupakan sampah yang terkumpul dari perumahan-perumahan yang telah memiliki tong sampah tersendiri di depan rumah masing-masing. Perumahan-perumahan yang dibangun oleh kontraktor-kontaktor tententu ini dilengkapi dengan satu tong sampah. Hal ini dilakukan untuk memudahkan petugas sampah atau yang biasa disebut pasukan kuning memungut dan mengumpulkannya ke truk sampah setiap hari. Akibatnya sudah dapat kita lihat. Kebersihan di perumahan-perumahan yang telah lama dihuni itu cukup terjaga karena petugas kebersihan bekerja setiap hari di dalamnya. Pemandangan yang cukup bersih juga akan kita lihat di pusat-pusat kota seperti Alun-alun kota Malang, gereja-gereja, Balai Kota, serta jalan-jalan yang melewatinya. Pusat-pusat kota seperti ini menjadi area penting bagi para petugas kebersihan. Bagaimana dengan sampah-sampah di luar pusat kota atau pinggir kota? Bagian muka memang bersih, tetapi bagian dalam belum tentu. Coba kita lihat sampah-sampah yang bertumpuk di pinggir-pinggir jalan daerah pingggir kota, di pinggir bantaran-bantaran sungai, parit-parit kecil atau sudut-sudut sempit di balik pertokoan daerah-daerah pinggiran. Dapat dikatakan bahwa itu tidak tersentuh oleh petugas kebersihan. Berjalanlah di jalan Joyo Agung yang menuju Villa Bukit Tidar. Kita dapat menyaksikan parit di sepanjang jalan itu yang pada musim hujan biasa dialiri air saat ini menjadi bak sampah berbagai macam plastik, karet, botol, besi, dan sebagainya (lihat gambar 1, 8-11). Ketika kita melewati jembatan Dieng, kita juga dapat melihat tumpukan sampah plastik dipingir jalan itu dan dibawah jembatan di bibir sungai (lihat gambar 2, 12-13). Pemandangan serupa masih dapat kita saksikan di Kali Metro (lihat gambar 3-5) dan banyak tempat lain. Hal ini memerlihatkan

bahwa warga kota Malang, khususnya warga piggiran kota, masih cenderung gemar membuang sampah di tempat-tempat umum atau sembarangan. Sebuah

kecenderungan yang masih kampungan atau katro.

Sumber: http://opoiyo-opoiyo.blogspot.com/2012/03/sampah-dan-kesadaran-ekologiskota.html

Anda mungkin juga menyukai