Anda di halaman 1dari 2

Demokrasi Pendidikan untuk Warga Jakarta

Apa cita-cita mu, kalau sudah besar? demikian pertanyaan yang sering diajukan lingkungan kita dimasa kecil. Biasanya, beragam profesi seperti Dokter, Insinyur atau Tentara dengan penuh semangat kita beri sebagai jawaban. Kemudian nasehat untuk rajin bersekolah plus doa, akan kita terima sebagai jawaban balik. Dari dialog ini dapat kita candra, betapa lewat pendidikan harapan akan perubahan nasib, begitu besar digantungkan. Melalui jenjang pendidikan, cakrawala pembuka gerbang kesejahteraan seolah menjadi dimungkinkan. Situasi dialog ini dimungkinkan terjadi, pada lingkungan yang relatif telah terpenuhi standar minimum kesejahteraannya. Berbeda dengan mereka yang miskin, membayangkan sekolah menjadi hantu tersendiri. Mulai dari kerumitan birokrasinya sampai beragam iuran yang wajib dipenuhi. Belum lagi urusan uang jajan harian yang bikin kepala tambah puyeng. Walhasil bukan perkara cita-cita yang kerap terlontar, malah pesimisme sudah mahal, paling ujung-ujungnya nganggur. Sedari awal Pendiri Bangsa telah menetapkan bahwa, salah satu tujuan pendirian negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Cerdas yang dimaksud tentu dapat dimaknai upaya melepaskan bangsa ini dari keterjajahan, keterbelakangan dan kebodohan, kemudian mampu membangun kemandirian bangsa lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berlaku untuk seluruh anak negeri tanpa terkecuali. Tanpa memandang suku, agama, ras dan status sosial. Pasalnya, penguasa kolonial saat itu telah mempraktekan diskriminasi pendidikan. Akses pendidikan dibatasi hanya untuk golongan tertentu dengan kurikulum serta pembentukan watak intelektual tukang yang mengabdi untuk kelangsungan penjajahan. Kesetaraan terhadap akses pendidikan menjadi kunci dalam upaya memajukan kesejahteraan umum. Semua dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 31, Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan) serta seperangkat undang-undang pendukung dibawahnya. Pertanyaan yang patut diajukan kemudian adalah betulkah sekarang ini akses pendidikan telah dibuka tanpa diskriminasi? Dibawah ini coba mengurai situasi tersebut dalam konteks yang dialami warga kota Jakarta. Demokrasi Pendidikan Sebagai Kota yang serba pusat, baik pusat pemerintahan, pusat bisnis maupun pusat pendidikan, Jakarta tentu memiliki kompleksitas permasalahan tersendiri dibanding kota-kota lainnya. Kemajuan pendidikan warganya menjadi tolok ukur kemajuan Indonesia, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks pendidikan, problem pokok Jakarta (menurut hemat penulis) adalah bagaimana akses terhadap pendidikan yang berkualitas mampu dinikmati oleh seluruh warganya. Tanpa diskriminasi. Merespon hal ini Pemerintah Provinsi DKI dalam APBD 2009 telah melakukan peng-alokasian 23,29 persen anggaran atau sekitar Rp 5,191 triliun untuk pendidikan. Komponen anggarannya diprioritaskan untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dan membangun semua sekolah yang rusak dalam mempertahankan program pendidikan gratis dari SD sampai SMP. Sepintas jika menilik dari besaran anggaran yang dialokasikan seharusnya keluhan warga tentang sulitnya akses pendidikan berkualitas tentu tak lagi terdengar. Namun faktanya banyak mereka dari warga miskin belum benar-benar merasakan manfaatnya. Perkara sekolah gratis misalnya, apa yang dipariwarakan oleh pemerintah ternyata jauh berbeda yang

dirasakan oleh warga. Persepsi gratis dalam benak masyarakat tentu sekolah berjalan tanpa pungutan apapun. Persis seperti iklan komersial, info yang disajikan selalu bombastik dan tidak utuh. Celakanya perbedaan presepsi ini dianggap sebagai kesalahan warga yang kurang menggali informasi. Hal lain yang menghambat proses demokrasi pendidikan kita adalah lingkaran setan mafia pendidikan.Kultur proyekisme yang coba dibendung dalam semangat reformasi pendidikan telah terbelokan arahnya. Peningkatan anggaran yang secara prosedur harusnya mampu mendongkrak kualitas pendidikan kita, terbajak pada orientasi bisnis alias mengedepankan laba semata dalam pelaksanaan program tersebut. Kualitas pelaksanaan program pendidikan baik secara fisik maupun non fisik patut dipertanyakan kualitasnya. Bisa jadi secara teknis administratif kualifikasi transparansi sudah terpenuhi, yang terang dari hari ke hari peningkatan alokasi dana pendidikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan akses pendidikan bagi warga miskin. Pertanyaan yang patut kita ajukan disini adalah, siapa yang diuntungkan dengan peningkatan besaran alokasi dana pendidikan? Warga miskin atau para mafia pendidikan kah? Prasyarat berikutnya agar Demokrasi Pendidikan terbangun adalah paradigma peraturan yang berpihak pada warga miskin. Perda Pendidikan yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pendidikan bagi warga kota, harus memiliki semangat keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan. Meski niat luhur tersebut telah dimaktubkan dalam konsideran perda, kedepan keberpihakan kepada warga miskin harus menjiwai semangat pelaksanaan perda tersebut. misalnya cara pandang bahwa diluar kategori warga kota, tanggung jawab pendidikan bukanlah kewajiban pemerintah sudah harus ditanggalkan. Siapapun dia sebagai warga Indonesia memiliki hak untuk pendidikan yang berkualitas. Kemudian anggapan bahwa warga miskin hanya menjadi beban pemerintah juga harus dihilangkan. Karena pada hakikatnya adanya sebuah pemerintahan dimaksudkan untuk melayani warganya. Program-program alternatif bagi mereka yang termarjinalkan seperti SMP terbuka, SMK terbuka yang seharusnya secara konseptual mampu menjadi pilihan rasional obyektif bagi warga miskin, harus dikawal agar tidak berhenti menjadi proyekisme. Perjuangan membangun Demokrasi Pendidikan memang tidak semudah yang dibayangkan. Sekian tantangan akan saling membelit proses tersebut. Keberpihakan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan, memfasilitasi proses transformasi pendidikan, membuka akses seluasluasnya untuk mengaplikasi ilmu pengetahuan yang dimiliki serta melindungi kepentingan warga miskin (mayoritas lapisan masyarakat) seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam program pendidikan. Sekaligus menjadi agenda pembahasan utama dalam lingkup legislatif. Jika arah kebijakan pendidikan Jakarta mengarah kesana bukan tidak mungkin pesimisme berubah menjadi tekad. Dan tekad adalah modal dasar perubahan.

Anda mungkin juga menyukai