Anda di halaman 1dari 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sampah Sampah perkotaan menurut SK SNI T-11-1991-03 adalah sampah non B2 (sampah berbahaya) dan non B3 (bahan berbahaya beracun). Sedangkan pengertian sampah menurut Depkes RI (1994) adalah bahan-bahan yang tidak berguna, tidak digunakan ataupun yang terbuang.

2.2

Karakteristik dan Komposisi Sampah Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi (Hadiwiyoto,1983) :

1. Sampah organik Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik dan tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Sampah organik memiliki sifat mudah didegradasi oleh mikroba contohnya : daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan, sayur, buah.

2. Sampah anorganik Sampah anorganik adalah sampah yang mengandung senyawa bukan organik dan tidak dapat didegradasi oleh mikroba. Contoh sampah jenis ini adalah kaleng, plastik, besi dan logam lainnya, gelas, mika, dan sebagainya

Berdasarkan jenisnya sampah dikelompokkan menjadi (Bahar, 1986) : 1. Garbage yaitu sampah yang berasal dari sisa pengolahan, sisa pemasakan, atau sisa makanan yang telah membusuk, tetapi masih dapat digunakan sebagai bahan makanan oleh organisme lainnya, seperti insekta. Binatang pengerat (rodentia) dan berbagai scavenger. Sampah jenis ini biasanya bersumber dari domestic refuse atau industri pengolahan makanan. 2. Rubbish yaitu sampah sisa pengolahan yang tidak mudah membusuk dan dapat pula dibagi atas dua golongan, yaitu :

a. Sampah yang tidak mudah membusuk, tetapi mudah terbakar, seperti kayu, bahan plastik, kain, bahan sistetik. b. Sampah yang tidak mudah membusuk dan tidak mudah terbakar, seperti keramik, dan tulang hewan. 3. Ashes dan Cinder, yaitu berbagai jenis abu dan arang yang berasal dari kegiatan pembakaran. 4. Dead Animal, yaitu sampah yang berasal dari bangkai hewan, dapat berupa bangkai hewan peliharaan (domestic animal) maupun hewan liar (wild animal). 5. Street sweeping, yaitu sampah atau kotoran yang berserakan di sepanjang jalan, seperti sisa-sisa pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun, kayu, dan sebagainya. 6. Industrial waste merupakan sampah yang berasal dari kegiatan industri, sampah jenis ini biasanya lebih homogen bila dibandingkan dengan sampah jenis lainnya Sedangkan komposisi sampah dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut. metal, kaca,

Tabel 2.1 Komposisi Sampah Rumah Tangga (hasil survey GTZ, Mei-Juni 1999) Komposisi Makro Organik Komposisi Mikro Organik dapat dikomposkan Sisa Komponen makanan, sampah

dapur, sampah daun Organik non compostable Plastik Plastik dapat didaur ulang Potongan kayu Bahan plastik : PE, PS, PP, HDPE, LDPE, PVC Plastik tak dapat didaur ulang Kertas Logam Kain Gelas/kaca Duplex Kaleng Potongan kain Gelas utuh Gelas pecah Lain-lain B3 Karet Plastik kemasan Kertas semi lusuh Kemasan kaleng Kain perca Botol gelas Pecahan Batu batre, bohlam bekas Sandal bekas

(Sumber : Tjahjo, 2001)

2.3

Sumber Dan Timbulan Sampah

2.3.1 Sumber Sampah Ada beberapa kategori sumber sampah yang dapat digunakan sebagai acuan, yaitu (Darmasetiawan, 2004) : 1. Sumber sampah dari daerah perumahan Sumber sampah dari daerah perumahan dibagi atas : a. Perumahan masyarakat berpenghasilan tinggi (High income) b. Perumahan masyarakat berpenghasilan menengah (Middle income) c. Perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (Low income) Secara fisik perumahan dapat diklasifikasikan menjadi : a. Rumah permanen (HI) b. Rumah semi permanen (MI) c. Rumah tidak permanen (LI) Berdasarkan daerahnya, perumahan dibagi menjadi : a. Daerah teratur (biasanya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan menengah) b. Daerah tidak teratur (biasanya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah) 2. Sumber sampah dari daerah komersil Daerah komersiil biasanya terdiri dari daerah perniagaan/ perdagangan. Yang termasuk daerah komersiil yaitu : a. Pasar b. Pertokoan c. Hotel d. Restoran e. Bioskop f. Industri dan lain-lain 3. Sumber sampah dari fasilitas umum Fasilitas umum yaitu sarana/ prasarana perkotaan yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Yang termasuk dalam kategori fasilitas umum yaitu :

a. Perkantoran b. Sekolah c. Rumah sakit d. Apotek e. Taman f. Jalan g. Saluran/ sungai dan lain-lain 4. Sumber sampah dari fasilitas sosial Fasilitas sosial yaitu sarana/ prasarana perkotaan yang digunakan untuk kepentingan sosial. Fasilitas sosial meliputi : a. Panti-panti sosial (panti asuhan dll) b. Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja dll) 5. Sumber-sumber lain Sumber-sumber lain merupakan pengembangan sumber sampah sesuai dengan kondisi kotanya atau peruntukan tata guna lahannya. Contoh : Kota yang mempunyai rumah pemotongan hewan maka RPH tersebut merupakan sumber sampah.

2.3.2 Timbulan Sampah Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume maupun berat per kapita per hari, atau per luas bangunan, atau per panjang jalan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Permukiman, 2000). Penentukan besaran timbulan sampah suatu kota harus berdasarkan sampling (pengambilan contoh sampah) dengan metode yang memadai baik jumlah sampel, lokasi pengambilan contoh, waktu dan lain-lain. Apabila tidak memungkinkan dilakukan pengambilan contoh sampah tersebut maka dilakukan pendekatan lain yaitu menggunakan data hasil penelitian yang ada.

Tabel 2.2 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Jenis Sumber Sampah No 1. Sumber sampah Rumah permanen Satuan Per orang/hari Volume(ltr) Berat (kg) 2,25-2,50 0,350-0,400

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Rumah semi permanen Rumah non permanen Kantor Toko/ruko Sekolah Jalan arteri sekunder Jalan kolektor sekunder Jalan lokal Pasar

Per orang/hari Per orang/hari Perpegawai/hari Per petugas/hari Per murid/hari Per meter/hari Per meter/hari Per meter/hari Per meter2/hari

2,00-2,25 1,75-2,00 0,50-0,75 2,50-3,00 0,10-0,15 0,10-0,15 0,10-0,15 0,05-0,10 0,20-0,60

0,300-0,350 0,250-0,300 0,025-0,100 0,150-0,350 0,010-0,020 0,020-0,100 0,010-0,050 0,005-0,025 0,100-0,300

( Sumber : LPM ITB dan Puslitbang Pemukiman Dep. PU tahun 1991)

Tabel 2.3 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota Klasifikasi Kota Kota sedang Kota kecil (Sumber: SK SNI S-04-1993-03) Volume (L/orang/hari) 2.75 3.25 2.5 2.75 Berat (kg/orang/hari) 0.70 0.80 0.625 0.70

2.3.2.1 Timbulan Sampah Sampah yang timbul pada umumnya lebih sedikit jumlahnya dari pada jumlah sampah yang ada. Hal ini dikarenakan adanya pemulung dan lapak atau masih adanya tanah terbuka yang masih dapat menyerap dan tertinggal di tempat tersebut dengan keadaaan seimbang, kemudian mengurai secara alami.

2.3.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Timbulan Sampah

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulan sampah adalah (Ditjen Cipta Karya, 1999) :

1. Jenis bangunan yang ada Jenis bangunan yang ada akan menentukan macam jenis dan besar timbulan sampah. Misalnya kantor sering menghasilkan sampah kering. 2. Tingkat aktifitas

Jumlah sampah yang berhubungan langsung dengan tingkatan aktifitas orang-orang yang mempergunakannya, misalnya semakin besar kapasitas produksi pabrik tebu maka makin besar pula ampas tebunya. 3. Iklim Pada daerah penghujan mempunyai tumbuh-tumbuhan yang lebih lebat dari pada daerah beriklim kering. 4. Musim Setiap pergantian musim, akan berganti pula jenis sampah yang timbul dan berbeda pula volumenya, sehingga timbul fluktuasi sampah 5. Letak geografis Buah-buahan daerah tropis biasanya lebih berair dari pada buah-buahan subtropis. 6. Letak topografis Daerah berelevasi tinggi, mempunyai pohon dengan daun lebih kecil. 7. Kepadatan penduduk dan jumlah penduduk Di kota besar, makin padat penduduknya maka makin besar pula sampah yang timbul. Sebaliknya lahan untuk TPA akan makin menyempit. 8. Periode sosial ekonomi Negara dengan tingkat ekonomi baik, negara subur makmur, produksi meningkat, daya beli masyarakat bertambah, maka akan besar pula timbulan sampahnya, dan diikuti dengan sistem pengelolaan yang baik. 9. Tingkat teknologi Industri dengan teknologi maju, akan mencapai efisiensi maksimal, terutama penggunaan bahan baku. Bahkan sudah menerapkan sistem reuse dan recycle.

2.4

Metode Pembuangan Akhir

Pembuangan akhir sampah adalah merupakan rangkaian atau proses terakhir dalam sistem pengelolaan persampahan pada suatu tempat yang dipersiapkan, aman serta tidak mengganggu lingkungan. Pengolahan sampah seperti pembakaran atau lainnya diartikan juga sebagai pembuangan akhir, tetapi sebenarnya setiap pembuangan masih menghasilkan suatu sisa pengolahan (residu) yang masih tetap harus dibuang (Dinas Pekerjaan Umum, 1992).

Berdasarkan bentuknya, ada dua bentuk penanganan sampah kota, yaitu (Purwasasmita, 1989) : 1. Kriteria Penanganan Setempat (on site) : a. Mudah diatasi oleh masing-masing penghasil sampah secara perorangan dan berkelompok, karena kapasitas yang dihasilkan relatif kecil, misalnya dengan dibakar, ditimbun atau dibuat kompos. b. Dapat dilaksanakan di daerah yang tidak begitu padat (kepadatan relatif rendah) dan lahan yang tersedia masih cukup luas. 2. Kriteria Penanganan Sistem Pengelolaan Sampah (off site) : a. Modal, biaya operasi dan pemeliharaan relatif murah. b. Sistem yang direncanakan harus dapat meningkatkan kualitas lingkungan, meningkatkan estetika kota dan membuat lokasi tempat penimbunan akhir dapat memberi nilai tambah. c. Menciptakan lapangan kerja Teknik pengolahan sampah untuk daerah perkotaan dapat dilakukan dengan berbagai macam teknologi, yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi kota yang ada. Macam teknologi pengolahan sampah : a. Sistem insinerasi/pembakaran (insineration) b. Sistem Pengomposan (composting) c. Sistem Penimbunan (landfilling) Sistem pengolahan sampah yang tepat untuk suatu komunitas yang besar seperti daerah perkotaan adalah sistem penimbunan. Sistem penimbunan lebih mudah dilaksanakan karena mempunyai fleksibilitas penampungan sampah yang lebih tinggi dan tidak memerlukan pengkondisian atau pengolahan awal. Fleksibilitas penampungan di sini berkaitan dengan jumlah kapasitas penampungan dan berbagai jenis karakteristik sampah.
Teknologi pembuangan akhir sampah yang dianjurkan dan yang dilarang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.4 sebagai berikut :

Tabel 2.4 Teknologi Pembuangan Akhir Sampah di TPA No 1 2 Teknologi Pembuangan Akhir Open Dumping Controlled Land fill Keterangan Tidak dianjurkan Minimal untuk dilaksanakan

3 4

Sanitary Landfill Improved Sanitary Lanfill

Untuk kota besar/raya Untuk kota raya

(Sumber : Dinas Pemukiman dan Tata Ruang Jateng, 2003)

2.4.1 Sistem Open Dumping Sistem Open Dumping merupakan sistem yang tertua yang dikenal manusia dalam pembuangan sampah, dimana sampah hanya dibuang/ditimbun di suatu tempat tanpa dilakukan penutupan dengan tanah. Dengan sistem ini, TPA menjadi sumber pencemar dengan jangkauan lokal dan global. Di tingkat lokal TPA merupakan sumber lindi yang mencemari badan air dan air tanah serta menghasilkan sumber asap dan bau. Di tingkat global TPA menghasilkan gas yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim (Bebassari, 2004). Kelebihan dan kelemahan sistem open dumping menurut Bahar (1986) adalah sebagai berikut : A. Kebaikan Sistem Open Dumping : 1. Biaya penanganannya relatif murah. 2. Dapat menampung berbagai jenis sampah. 3. Memanfaatkan lahan yang tidak digunakan. 4. Dalam waktu lama dapat menyuburkan lahan tersebut. B. Kelemahan Sistem Open Dumping : 1. Mudahnya berkembang hama tikus, insekta, mikroorganisme. 2. Pencemaran air karena lindi yang dihasilkan. 3. Penurunan nilai estetika lingkungan, karena sampah dibiarkan begitu saja.

2.4.2 Sistem Controlled Landfill Prinsip pembuangan akhir dengan sistem ini yaitu penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh dengan timbulan sampah yang dipadatkan atau setelah mencapai tahap (periode) tertentu. Proses perataan dan pemadatan sampah tetap dilakukan untuk memudahkan pembongkaran sampah serta penggunaan TPA semaksimal mungkin. Sistem ini sebenarnya tidak termasuk sistem sanitary landfill, tapi merupakan perbaikan dari sistem open dumping. Untuk menghindari perkembangan vektor penyakit seperti lalat sebaiknya dilakukan penyemprotan dengan pestisida dan sedapat mungkin lokasinya jauh dari pemukiman.

Langkah yang dilaksanakan dalam pengelolaan akhir sampah sistem controlled landfill adalah : A. Penyiapan lahan Tempat Pembuangan Akhir. 1. 2. Pembuatan petak Tempat Pembuangan Akhir. Pekerjaan penggalian dan pengurugan tanah.

B. Pemusnahan Sampah 1. 2. 3. 4. Pembuangan sampah yang diturunkan dari truk sampah ke lahan yang telah disediakan. Penyebaran sampah dengan tenaga manusia atau alat lainnya. Pemadatan sampah dengan alat-alat berat. Pekerjaan pelapisan akhir sampah dengan tanah penutup. Menurut Bahar (1986), kebaikan dan kelemahan sistem controlled landfill adalah : A. Kebaikan Sistem Controlled Landfill : 1. Mudah dilaksanakan karena menggunakan metode yang sederhana 2. Lahan yang tersedia tidak memerlukan konstruksi. 3. Murah dalam operasi dan pemeliharaan karena sistem dan peralatan yang digunakan tidak terlalu kompleks. 4. Tidak menimbulkan dampak negatif bagi estetika kota karena sampah tidak tersebar sembarangan. 5. Tidak mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan lingkungan karena gangguan bau sampah dan penyebaran vektor penyakit dapat dihindari dengan adanya tanah penutup. B. Kelemahan Sistem Controlled Landfill : 1. Memerlukan luas lahan yang cukup besar untuk lokasi Tempat Pembuangan Akhir. 2. Memerlukan anggaran biaya khusus untuk pembayaran tenaga operasional serta operasi dan pemeliharaan peralatan. 3. Kurang memperhatikan segi perlindungan kualitas lingkungan karena air luruhan hasil dekomposisi sampah (lindi) tidak mengalami pengolahan karena belum adanya penanganan khusus untuk lindi dan gas hasil dekomposisi sampah.

2.4.3 Sistem Sanitary Landfill Pada sistem ini sampah ditutup dengan lapisan tanah pada setiap akhir hari operasi, sehingga setelah operasi berakhir tidak akan terlihat adanya timbunan sampah

Kelebihan dan kelemahan sistem sanitary landfill menurut Bahar (1986) adalah sebagai berikut :

A. Kebaikan Sanitary Landfill : 1. Sistem ini sangat fleksibel dalam penanganan saat terjadi fluktuasi dalam jumlah timbulan sampah. 2. Mampu menerima segala jenis sampah sehingga mengurangi pekerjaan pemisahan awal sampah. 3. Memberikan dampak positif bagi estetika kota, yang mungkin timbul akibat adanya sampah dapat dieliminasi. 4. Adanya penanganan khusus untuk lindi dan gas hasil dekomposisi sampah agar tidak mencemari lingkungan. 5. Luas lahan yang dibutuhkan untuk sistem sanitary landfill lebih kecil dari pada sistem open dumping karena pengurangan volume akibat pemadatan. B. Kekurangan Sistem Sanitary Landfill : 1. Metode yang diterapkan cukup komplek, sehingga memerlukan peralatan dan konstruksi khusus. 2. Biaya pembangunan awal cukup mahal.

Sanitary landfill dapat ditingkatkan lagi menjadi : 1. Improved Sanitary Landfill Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem sanitary landfill, dimana seluruh leachate yang dihasilkan akan dikumpulkan dan ditampung pada instalasi pengolahan lindi agar dapat dibuang dengan aman. Sebelum lokasi TPA digunakan, seluruh permukaannya dibuat kedap air dengan memberi lapisan tanah liat setebal 60 cm atau ditutup dengan lembaran karet atau plastik khusus. Pada bagian dasar dipasang sistem perpipaan untuk menampung dan menyalurkan lindi ke bangunan pengolahan air kotor atau lindi. 2. Semi Aerobic Sanitary Landfill Sistem ini merupakan pengembangan dari teknik Improved Sanitary Landfill, dimana dilakukan usaha untuk mempercepat proses dekomposisi (penguraian) sampah dengan menambahkan oksigen (udara) ke dalam timbunan sampah (Dinas Pekerjaan Umum, 1992).

2.5

Metode Pembungan Akhir

2.5.1 Metode Operasional Sanitary Landfill 2.5.1.1 Metode Pembuangan Metode pembuangan akhir sampah pada dasarnya harus memenuhi prinsip teknis berwawasan lingkungan sebagai berikut : 1) Di kota raya dan besar harus direncanakan sesuai metode lahan urug saniter (sanitary landfill). 2) Harus ada pengendalian lindi, yang terbentuk dari proses dekomposisi sampah tidak mencemari tanah, air tanah, ataupun badan air yang ada. 3) Harus ada pengendalian gas dan bau hasil dekomposisi sampah, agar tidak mencemari udara, menyebabkan kebakaran atau bahaya asap dan menyebabkan efek rumah kaca. 4) Harus ada pengendalian vektor penyakit.

2.5.1.2 Operasi Sanitary Landfill 1. Pembongkaran sampah. Pembongkaran sampah dari kendaraan pengangkut harus dilakukan pada lokasi yang ditentukan. Untuk kelancaran pembongkaran diperlukan pengaturan rute kendaraan dilokasi pembongkaran. Pembongkaran dilakukan secara efisien (Tchobagnoglous, 1993). 2. Perataan dan pemadatan sampah Sampah hasil pembongkaran segera diratakan untuk memperlancar pembongkaran sampah selanjutnya. Perataan dan pemadatan sampah dilakukan lapis demi lapis, dengan ketabalan perlapis antara 0,6-0,9 m. Tinggi sel biasanya sekitar 5 m atau lebih. Limbah ditempatkan pada sel awal diselingi pemadatan dengan alat berat standar, hingga ke permukaan. Penyimpanan sampah saat periode operasi akan membentuk sel individu. Penyimpanan sampah melalui pengumpulan dan transfer kendaraan akan menghasilkan 18-24 lapisan padatan. Ketinggian bervariasi antara 20-30 cm. Lama muka kerja tergantung pada kondisi lokasi dan ukuran operasi. Muka kerja adalah wilayah lahan urug dimana sampah dibongkar, diletakkan dan dipadatkan selama waktu operasi. Lebar sel bervariasi dari 3-9 m, tergantung pada desain dan kapasitas lahan urug. Semua permukaan sel ditutupi dengan lapisan tanah

tipis 0,2-0,3 m atau material lain yang sesuai pada setiap akhir operasi dipadatkan untuk mengisi seluruh rongga sel-sel tersebut (Tchobagnoglous, 1993). 3. Penutupan sampah dengan tanah. Pada akhir hari operasi timbunan sampah yang ada dan sudah dipadatkan, ditutup dengan lapisan tanah setebal +15 cm padat. Penimbunan sampah pada hari berikutnya dilakukan pada bagian lain, demikian seterusnya. Setelah lokasi penuh, bagian permukaan timbunan sampah yang sudah ditutup tanah secara harian, secara keseluruhan ditutup dengan lapisan tanah (penutup akhir) setebal +50 cm padat. Setelah satu persatu lift telah dipakai, recovery gas horizontal trench dapat digali pada permukaan. Galian trench dapat diisi dengan kerikil, pipa plastik berlubang yang dipasang pada trench. Gas lahan urug disalurkan melalui pipa dimana dihasilkan gas. Tumpukan lift di tempatkan diatas yang lain hingga tingkat desain akhir tercapai. Tergantung pada kedalaman lahan urug, fasilitas pengumpul lindi tambahan dapat di tumpukan lift. Penutup akhir didesain untuk mengontrol erosi. Sumur ekstraksi gas vertikal dipasang melalui permukaan lahan urug yang telah selesai. Sistem ekstraksi gas saling berhubungan, gas ekstraksi dapat menyala atau menjalar menuju fasilitas energi recovery (Tchobagnoglous, 1993). Pada sanitary landfill dibutuhkan pengontrolan terhadap bagian atas, bagian dasar, dan dinding dari emisi cemaran udara dan infiltrasi air. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya seperti (Darmasetiawan, 2004) : a. Pengurangan masuknya air eksternal pada area penimbunan, misalnya dengan pengaturan limpasan melalui drainase. b. Pengintegrasian antara tanah penutup dan penutup final. c. Pengendalian erosi permukaan. d. Pencegahan pengaliran air tanah dari sekitarnya menuju timbunan. e. Pengurangan atau pencegahan pencemaran air tanah, misalnya dengan pemasangan lapisan dasar yang terintegrasi. f. Pengumpulan dan pengolahan lindi. g. Pengontrolan emisi gas dengan perlengkapan penangkap gas, h. Pencegahan bau, kebakaran dan ledakan dengan pengadaan ventilasi dan aplikasi lahan penutup.

2.6

Fasilitas Tempat Pemrosesan Akhir

2.6.1 Fasilitas Umum

1. Jalan masuk

Jalan masuk dipergunakan untuk kelancaran angkutan sampah dari jalan kota menuju lokasi TPA. Untuk itu harus dibuat jalan yang sesuai dengan berat kendaraan serta frekuensi jumlah kendaraan yang ada. Jalan masuk TPA harus memenuhi kriteria sebagai berikut(Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004) : Dapat dilalui kendaraan truk sampah dari 2 arah. Lebar jalan 8 m, kemiringan permukaan jalan 2-3% kearah saluran drainase, tipe jalan kelas 3 dan mampu menahan beban perlintasan dengan tekanan gandar 10 ton dan kecepatan kendaraan 30 km/jam (sesuai dengan ketentuan Ditjen Bina Marga). Perkerasan jalan berupa aspal atau adukan beton. Panjang jalan masuk sekitar 2-3 km dari jalan besar atau jalan utama. Jalan dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas utnuk menjaga ketertiban lalu lintas kendaraan. 2. Jalan operasi Jalan ini diperuntukkan pengangkutan sampah dari pintu masuk area landfill menuju selsel sampah. Jalan ini sifatnya sementara dan sesudah selesai pembentukan suatu jalan ini akan menjadi sel baru berikutnya. Jalan operasi yang dibutuhkan dalam pengoperasian TPA terdiri dari 2 jenis, yaitu (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004) : Jalan operasi penimbunan sampah, jenis jalan bersifat temporer, setiap saat dapat ditimbun dengan sampah. Jalan penghubung antar fasilitas, yaitu kantor, pos jaga, bengkel, tempat parkir, tempat cuci kendaraan. Jenis jalan bersifat permanen. Ruangan atau landasan manuver.

3. Bangunan Penunjang

Bangunan penunjang ini adalah sebagai pusat pengendalian kegiatan di TPA baik teknis maupun administrasi, fasilitas menunjang keamanan pekerja ataupun fasilitas yang ada di dalam TPA. Luas bangunan kantor tergantung pada lahan yang tersedia dengan mempertimbangkan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain pencatatan sampah, tampilan rencana tapak dan rencana pengoperasian TPA, tempat cuci kendaraan, kamar mandi/WC, gudang, pos pemeriksaan atau pos jaga, ruang kerja pengendali dan ruang istirahat (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

4. Drainase Drainase TPA berfungsi untuk mengurangi volume air hujan yang jatuh pada area timbunan sampah sehingga juga mengurangi jumlah lindi yang terbentuk serta mencegah penyebarannya keluar lokasi TPA. Ketentuan teknis drainase TPA ini adalah sebagai berikut (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004) : Jenis drainase dapat berupa drainase permanen disekeliling TPA meliputi jalan utama, disekeliling timbunan terakhir, daerah kantor, gudang, bengkel, tempat cuci berfungsi mengalirkan air dari luar TPA agar tidak melintasi TPA. Selain itu saluran ini juga mengalirkan limpasan air hujan dari dari dalam TPA agar keluar dari TPA sebanyak mungkin sehingga mencegah peresapan ke bawah yang akan menimbulkan terjadinya lindi. Drainase sementara dibuat secara lokal pada zone yang akan dioperasikan yaitu saluran disekotar pembentukan sel-sel menuju ke arah saluran drainase tetap. Saluran ini hanya berfungsi selama pembentukan sel tersebut, selanjutnya setelah sel selesai tidak diperlukan lagi keberadaannya. Kapasitas saluran dihitung dengan persamaan manning.
2 1 Q 1 A R 3 S 2 n

(2-7)

Keterangan : Q = debit aliran air hujan (m3/detik) A = luas penampang basah saluran (m2) R = jari-jari hidrolis (m) S = kemiringan

N = konstanta Pengukuran besarnya debit dihitung dengan persamaan sebagai berikut D = 0,2785 C . I . A (m3/det) Keterangan : Q = debit aliran air hujan (m3/detik) C = angka pengaliran I = intensitas hujan maksimum (mm/jam) A = luas daerah aliran (km2) Gambar potongan melintang drainase dapat dilihat pada gambar 2.7. (2-8)

Gambar 2.6 Potongan Melintang Drainase (Sumber : Darmasetiawan, 2004)

5. Pagar Pagar berfungsi untuk menjaga keamanan TPA dapat berupa pagar tanaman sehingga sekaligus dapat juga berfungsi sebagai daerah penyangga setebal 5 m untuk mengurangi atau mencegah dampak negatif yang terjadi dalam TPA seperti keluarnya sampah dari TPA ataupun mencegah pemandangan yang kurang menyenangkan (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

6. Pagar Kerja

Pagar kerja merupakan pagar portabel yang dipasang disekitar pembuatan sel untuk mencegah atau mengurangi kecepatan angin yang dapat menyebarkan sampah ringan dalam lokasi atau bahkan keluar lokasi.

7. Papan nama Papan nama berisi nama TPA, pengelola, jenis sampah dan waktu kerja (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

2.6.1

Fasilitas Perlindungan Lingkungan

1. Pembentukan dasar TPA a) Lapisan dasar TPA harus kedap air sehingga lindi terhambat meresap kedalam tanah dan tidak tercemari air tanah. Koefisien permeabilitas lapisan dasar TPA harus lebih kecil dari 10-6 cm/detik. b) Pelapisan dasar kedap air dapat dilakukan dengan cara melapisi dasar TPA dengan tanah lempung yang dipadatkan (30 cm x 2) atau geomembrane setebal 5 mm. b) Dasar TPA harus dilengkapi saluran pipa pengumpul lindi dan kemiringan minimal 2% ke arah saluran pengumpul maupun penampung lindi. c) Pembentukan dasar TPA harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan urutan zona atau blok dengan urutan pertama sedekat mungkin ke kolam pengolah lindi. 2. Sel Ketebalan timbunan sampah padat pada sistem lahan urug, setiap lapisnya direkomendasikan ketebalannya 0,6 m. Ketebalan yang lebih kecil akan menyebabkan kebutuhan tanah untuk lapisan penutup menjadi lebih besar. Ketebalan lapisan yang lebih besar akan menyebabkan pemadatan dengan alat berat (compactor atau buldozer) menjadi kurang efektif, kecuali residu dari hasil pembakaran, tiap lapis dapat lebih tebal.

Ketebalan lapisan tanah penutup, ketebalan lapisan tanah penutup timbulan sampah +20 cm, sedangkan ketebalan lapisan tanah penutup terakhir pada bagian permukaan adalah +50 cm. Timbulan sampah berlapis, lapisan pertama sebaiknya dibiarkan selama 3 bulan, baru ditimbun dengan lapisan sampah berikutnya (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

3. Saluran pengumpul lindi Fasilitas ini dimaksudkan agar lindi yang dihasilkan oleh sanitary landfill tidak mencemari lingkungan disekitar TPA.

4. Ventilasi gas Ventilasi gas yang berfungsi untuk mengalirkan dan mengurangi akumulasi tekanan gas.

5. Tanah Penutup Tanah penutup dibutuhkan untuk mencegah sampah berserakan, bahaya kebakaran, timbulnya bau, berkembang biaknya lalat atau binatang pengerat dan mengurangi timbulan lindi (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004). a) Jenis tanah penutup adalah jenis tanah yang tidak kedap air. b) Periode penutupan tanah harus disesuaikan dengan metode pembuangannya, untuk lahan urug saniter penutupan tanah dilakukan setiap hari. c) Tahapan penutupan tanah untuk lahan urug saniter terdiri dari penutupan tanah harian (setebal 15-20 cm), penutupan antara (setebal 30-40 cm) dan penutupan tanah akhir (setebal 50-100 cm, tergantung rencana peruntukan bekas TPA nantinya) d) Kemiringan tanah penutup harian harus cukup untuk dapat mengalirkan air hujan keluar dari atas lapisan penutup tersebut. e) Kemiringan tanah penutup akhir hendaknya mempunyai grading dengan kemiringan tidak lebih dari 30 derajat (perbandingan 1:3) untuk menghindari terjadinya erosi. f) Diatas tanah penutup akhir harus dilapisi dengan tanah media tanam (top soil/vegetable earth)

g) Dalam kondisi sulit mendapatkan tanah penutup, dapat digunakan reruntukan bangunan, sampah lama atau kompos, debu sapuan jalan, hasil pembersihan saluran sebagai pengganti tanah penutup.

Gambar 2.7 Penutupan Lapisan Tanah (Sumber : Darmasetiawan, 2004)

6. Daerah penyangga/ Zone penyangga Daerah penyangga dapat berfungsi untuk mengurangi dampah negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pembuangan akhir sampah terhadap lingkungan sekitar. Daerah penyangga ini dapat berupa jalur hijau atau pagar tanaman disekeliling TPA, dengan ketentuan sebagai berikut (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004) : a) Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi dengan tanaman perdu yang mudah tumbuh dari rimbun. b) Kerapatan pohon adalah 2-5 m untuk tanaman keras. c) Lebar jalur hijau minimal.

7. Sumur uji Sumur uji ini berfungsi untuk memantau kemungkinan terjadinya pencemaran lindi terhadap air tanah disekitar TPA dengan ketentuan sebagai berikut : a) Lokasi sumur uji harus terletak pada area pos jaga (sebelum lokasi penimbunan sampah, dilokasi sekitar penimbunan dan pada lokasi setelah penimbunan. b) Penempatan lokasi harus tidak pada daerah yang akan tertimbun sampah.

c) Kedalaman sumur 20-25 m dengan luas 1 m2.

8. Alat besar Pemilihan alat besar harus mempertimbangkan kegiatan pembuangan akhir seperti pemindahan sampah, perataan, pemadatan sampah dan penggalian atau pemindahan tanah. Pilihan jenis alat berat adalah : a) Bulldozer, Merupakan peralatan yang sangat baik untuk operasi perataan, pengurugan dan pemadatan dengan berkekuatan 120-140 HP. b) Landfill compactor. Sangat baik digunakan untuk pemadatan timbunan sampah pada lokasi datar. c) Wheel atau track loader. Dapat digunakan untuk operasi penggalian, perataan, pengurugan dan pemadatan (terutama tipe crawl) d) Excavator. untuk mengambil tanah penutup. Dengan kekuatan 130 HP. e) Scrapper. Baik untuk lapisan pengurugan dengan tanah dan perataan. f) Dragline. Dapat digunakan untuk penggalian tanah dan pengurugan, memperbesar kapasitas lahan urug dengan penggalian, membuat saluran dan mengumpulkan tanah urugan. Peralatan ini efisien untuk lahan urug yang luas. Proses pembuangan atau penimbunan dan pemadatan sampah memerlukan berbagai peralatan sebagai berikut (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004) : a) Peralatan pengangkutan dalam lokasi. Biasanya untuk keperluan ini digunakan loader. Akan tetapi dapat juga dibuatkan peralatan khusus seperti halnya lori yang digunakan khusus mengarahkan sampah dari truk ke lokasi sel-sel sampah. b) Peralatan pemadatan. Peralataan pemadatan dapat digunakan compactor ataupun crawler dari dozer atau loader. c) Peralatan penyiapan tanah dan tanah penutup. Peralatan ini dapat menggunakan loader, dozer, atau dragline. Pertimbangan pemilihan peralatan utama menurut Tchobanoglous (1993), adalah kemampuan perataan, pemadatan sampah, penggalian, penarikan tanah penutup. Selain pertimbangan fungsi alat, kemampuan alat juga menjadi pertimbangan penting, hal ini sesuai dengan jumlah sampah yang akan ditangani, tentunya hal ini akan mempunyai hubungan dengan jumlah penduduk serta jumlah sampah yang dihasilkan tiap penduduk. Dengan demikian

pemilihan jumlah dan jenis alat yang digunakan mengikuti studi yang pernah ada seperti tertuang dalam tabel 2.5. Tabel 2.5 Kebutuhan Peralatan Rata-Rata untuk Sanitary Landfill Jumlah Penduduk Sampah harian Peralatan Perlengkapan Ton Jumlah Jenis Tractor, 0-15.000 0-40 1 Crawler atau Ukuran,lb 10.00030.000 Dozer blade front and loader (1to2 yr) Trash blade

Rubber-tired Scraper, dragline, water truck Tractor, 15.00050.000 40130 Crawler 1

atau 30.000Rubber-tired 60.000

Dozer blade front and loader (2to4 yr)

Bullclam Trash blade

Scraper, dragline, water truck Tractor, 50.000100.000 130260 Crawler 1-2 atau > 30.000 Dozer blade front and loader (2to5 yr)

Rubber-tired 1. Scraper, dragline, water truck

Bullclam Trash blade

>100.000

>260 >2

Tractor, Crawler atau

> 45.000

Dozer blade front and loader. Bullclam Trash

Rubber-tired Scraper, dragline, water truck (Sumber : Tchobanoglous, 1993) Tabel 2.6 Rekomendasi dan Pilihan Accesories Peralatan Dozers Perlengkaaan Crawler Wheel Dozer blade U-blade Landfill blade Hydraulic controls Rippers Engine screens Radiator hinged Oa O Rb R O O R R R R O O R R R R O R O R R O R R O R O R R O R R R O R R O R R O R R Track Wheel Loaders

blade

Landfill compactor

O O R R R R O R R R R R

guards-O R

Cab or helmet airR conditioning Ballast weights Multipurpose fan General-purpose bucket Reversible fan Steel-guarded tires O O R -

Lift-arm extentions Cleaner bars Roll bars Backing system R R warning

Tabel 2.7 Karakteristik Penampilan dari Peralatan Sanitary Landfill Sampah Peralatan Penyebaran Crawler dozer Crawler loader A Rubber-tired dozer Rubber-tired loader Landfill compactor Scraper Dragline (Sumber :.Tchobanoglous, 1993) 2. 3. 4. 5. A : Sempurna B : Bagus C : Cukup D : Jelek Ta : Tidak bisa (Tidak ada) B A B A Ta Ta B B B B A Ta Ta A A C C D B A A B B B B A C B B B B A Ta Ta Ta Ta Ta Ta Ta A Ta Pemadatan Penggalian Penyebaran Pemadatan Pengangkutan Tanah Penutup

2.6.1

Fasilitas Penunjang

1. Jembatan timbang Jembatan timbang berfungsi untuk menghitung berat sampah yang masuk ke TPA dengan ketentuan sebagai berikut :

Lokasi jembatan timbang harus dekat dengan kantor/pos jaga dan terletak pada jalan masuk TPA. Jembatan timbang harus dapat menahan beban minimal 5 ton. Lebar jembatan timbang minimal 3,5 m. Dengan mengetahui berat sampah yang dibuang maka bisa ditentukan dengan pasti

berapa rupiah pembuang sampah harus membayar biaya ke petugas TPA. Disamping itu jembatan timbang ini memiliki arti penting untuk penelitian dan pengembangan. Dengan adanya jembatan timbang bisa diketahui lebih pasti berapa jumlah sampah yang dibuang ke TPA tiap hari, dengan demikian bisa ditentukan berapa lama TPA tersebut bisa digunakan. Juga dapat mengetahui angka yang sebenarnya dari tingkat pelayanan sistem pengolahan sampah. Dari jembatan timbang ini pula bisa diikuti peningkatan volume timbulan sampah dari tahun ke tahun (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

2. Air bersih Fasilitas air bersih akan digunakan terutama untuk kebutuhan kantor, pencucian kendaraan (truk dan alat berat), maupun fasilitas TPA lainnya. Penyediaan air bersih ini dapat dilakukan dengan sumur bor dan pompa.

3. Tempat cuci kendaraan Fasilitas ini dimaksudkan agar mencegah terjadinya pengotoran jalan raya akibat keluarnya truk pengkutan sampah yang keluar dari TPA serta mencegah beroperasinya truk dalam keadaaan kotor yang menimbulkan pemandangan kurang baik. Tempat cuci ini terdiri dari penyediaan air pencuci, lantai kerja yang keras dan kedap dilengkapi dengan saluran pembuang.

4. Bengkel Bengkel berfungsi untuk menyimpan dan atau memperbaiki kendaraan atau alat berat yang rusak, luas bangunan yang akan direncanakan harus dapat menampung 3 kendaraan. Peralatan bengkel minimal yang harus ada di TPA adalah peralatan untuk pemeliharaan dan kerusakan ringan (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

5. Perlengkapan lainnya Jika dianggap perlu sehubungan dengan aktifitas yang ada dapat ditambahkan perlengkapan penunjang lainnya seperti halnya truk tangki, grader, penyediaan alat kebakaran, alat kantor, penerangan, telekomunikasi dan sebagainya. Penerapan metode operasi adalah untuk menyelaraskan kegiatan dalam lokasi TPA terhadap kondisi setempat, sehingga secara teknis dapat membantu menekan jumlah biaya yang diperlukan. Setiap pengoperasian alat ataupun pelaksanaan pekerjaan memerlukan metode yang tepat agar tercapai efisiensi yang maksimum serta tercipta kenyamanan dan keamanan kerja (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

1.

Metode Penimbunan Metode penimbunan sampah di dalam sanitary landfill dapat merupakan perataan,

penggundukan atau modifikasi keduanya terhadap lokasi TPA. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama lokasi TPA itu sendiri kemudian kapasitas yang diinginkan serta penggunaan bekas TPA setelah TPA tersebut penuh.

2.

Metode pembuatan sel Dalam pembuatan sel dapat digunakan metode luas (area method), metode parit (trech

method) atau modifikasi terhadap kedua metode tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi tanah dalam lokasi, topografi muka air tanah serta ketersediaan tanah penutup sel.

3.

Dimensi sel Kedalaman sel yang terpilih hendaknya mempermudah pengerjaan penutupan sel serta

pemadatannya. Hal ini dipertimbangkan terhadap efektifitas penggunaan alat (dozer, loader, ataupun dragline). Adapun panjang sel tergantung jumlah sampah harian.

4.

Tanah penutup Ketebalan tanah penutup adalah sebagai berikut:

Tabel 2.8 Ketebalan Tanah Penutup Jenis tanah penutup Harian Antara Akhir Ketebalan 15 cm 30 cm 60 cm Lamanya terbuka 0-7 hari 7-365 hari > 365 hari

Adapun jenis tanah penutup yang dipilih sesuai dengan kemampuannya dalam berbagai fungsi tanah penutup. Pemilihan bahan tanah penutup ini sesuai dengan kualitas bahan yang klasifikasinya seperti dituangkan dalam tabel 2.9. Tabel 2.9 Kesesuaian Jenis Tanah Sebagai Material Penutup Clean gravel Clayey silty gravel Clean sand Clayey

Function

Silt silty sand

Clay

Prevent rodent from borrowing or tunneling Keep flies from emerging Minimize moisture entering fill Minimize landfill gas venting G P P P E F-G F F-G F-G E G P P P E P G G-E G-E E P G G-E G-E E P Eb Eb Eb E

through cover Provide pleasing appeareance and control blowing paper Grow vegetation Be permeable for venting

P E

G P

P-F G

E P

E P

F-G P

decomposition gas (Sumber : D.R. Brummer and D.J Keller, Sanitary Landfill Design and Operation) Ea = sempurna; G = bagus F = cukup P = jelek
b

= kenali jika cracks melampaui seluruh tanah penutup

= hanya jika drainasenya baik

5.

Polusi Udara Polusi udara dalam bentuk debu pada waktu kemarau dapat diatasi dengan penyiraman air

pada rute harian kendaraan dalam lokasi. Jika jalan dalam lokasi digunakan cukup lama dapat digunakan perkerasan jalan dengan asphal atau beton. Didalam TPA dilarang melakukan pembakaran, jika hal ini terjadi dengan tidak sengaja dapat dipadamkan dengan penimbunan tanah penutup, penggunaan bahan kimia ataupun dengan penyiraman air. Adapun polusi udara akibat timbulnya gas-gas hasil dekomposisi sampah didalam sel dapat dicegah dengan gas controller dan gas burner yang dipasang pada lokasi-lokasi yang tepat. Adapun polusi udara dalam bentuk bau dapat dicegah dengan penggunaan lapisan penutup yang kedap udara dan menutupnya jika terjadi keretakan akibat menurunnya sel ataupun mengeringnya lapisan penutup. Selain itu juga dapat dibantu dengan disediakannya daerah penyangga. Komposisi gas yang dihasilkan oleh sel-sel sampah dalam TPA adalah seperti dituangkan dalam tabel 2.10.

Tabel 2.10 Komposisi Gas Dari Landfill Lapisan waktu setelah sampah Rata-rata persentase dalam volume N2 5,2 3,8 0,4 1,1 0,4 0,2 1,3 0,9 0,4 CO2 88 76 65 5253 52 46 50 51 CH4 5 21 29 40 47 48 51 47 48

ditimbun (bulan) 0-3 3-6 6-12 12-18 18-24 24-30 30-36 36-42 42-48 (Sumber : Tchobanoglous, 1993) 6. Polusi Air

Untuk menjaga tidak terjadinya polusi komponen kimiawi ataupun bakteri dalam air maka diperlukan pengoperasian pengolahan limbah ataupun memanipulasi lindi yang terjadi sehingga tidak menyebar keluar lokasi, jika terjadi penyebaran hal ini diharapkan kualitasnya telah turun

sesuai dengan baku mutu badan air penerimanya (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004). 7. Vektor kontrol. Untuk mengatasi pertumbuhan serangga merugikan yang tidak diinginkan dapat dilakukan pemberantasan dengan insektisida secara periodik. 8. Pengoperasian dimusim hujan Untuk kelancaran pengoperasian dimusim hujan perlu diadakan pengoperasian tambahan seperti pencucian roda truk agar tidak terjadi pengotoran jalan raya, penyediaan sirtu untuk penanggulangan jalan sementara serta genangan pada parit jika dipilih metode parit (Departemen Pekerjaan Umum dalam Hairunnisa, 2004).

Anda mungkin juga menyukai