Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH AGAMA ISLAM HUKUM KORUPSI MENURUT ISLAM

Dosen Pembimbing : Nur Chanifah MPd.I Disusun oleh: Getty Amura Lafali Upakarti Dwi Mentari Sandra Rini Sulistyaningtyas Balqis Arum Amalia Sulthon Nurur Rizki Ahya Nur Afida Alfa ( 125130101111019 ) 2012 ( 125130101111031 ) 2012 ( 125130101111034 ) 2012 ( 125130101111036 ) 2012 (125130100111034 ) 2012 ( 125130107111012 ) 2012

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

BAB I

PENDAHULUAN Kata politik berasal dari bahasa Latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen (hubungan warga Negara ) , keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota . Dalam bahasa arab , politik biasa diterjemahkan dengan kata siyasah , kata ini diambil dari kata saasa-yasuusu yang diartikan mengemudi, mengendalikan dan mengatur (M. Quraish Shihab , 2000). Istilah politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia yang dikenal juga dengan Republik . Karya itulah yang kemudian dianggap sebagai pangkal pemikiran politik yang sampai saat ini terus berkembang . Dari karya itu pula dapat diketahui bahwa politik merupakan istilah yang digunakan untuk konse p pengaturan masyarakat , sebab yang dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai hal-hal yang berkenaan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat Negara yang baik. Jadi kata politik diartikan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan mengurus , mengatur kepentingan masyarakat. Pemikiran itu sendiri dapat berupa pedoman , keyakinan , hukum . Sedikitnya ada lima kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk memahami poltik. Ynag pertama , politik dimaknai sebagai usaha warga Negara dalam membicarakan dan mewujudkan kebauikan bersama . Kedua , politik sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintah . Ketiga , politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam maasyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politk sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumbersumber yang dianggap penting (Tobroni. 1994). Al-Quran sebagai sumber ajaran utama dan pertama Agam Islam mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan system politik Islam . Prinsip prinsip dasar tersebut adalah : 1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat . 2. Keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadnya . Seperti dalm surat As-Syura : 38 dan Ali Imran : 159 terkandung prinsip : a. Segala urusan diselesaikan dan diputuskan dengan jalan musyawarh di antara umat . b. Selalu bermusyawarah dalam setiap urusan itu .

Dalam kata al-Amr (urusan) tercakup urusan ekonomi , politik, social , budaya , dan sebagainya. 3. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum sacara adil. Prinsip ini mengandung kewajiban setiap orang yang beriman agar menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya , termasuk pertanggungjuawaban kekuasaan politik. Prinsip ini juga bermaksan bahwa setiap orang yang mepunyai kedudukan fungsional dalam kehidupan politik dituntut agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaikbaiknya dan kelalaian itu akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Di dalam Islam sendiri , kepemimpinan dipandang sebagai perjanjian ilahi yang melahirkan suatu tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan . 4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah dan ulil Amr . 5. Kemestian mendamaikan konflik antar keolmpok dalam masyarakat Islam . 6. Kemestian mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan invasi 7. Kemestian mementingkan perdamaian dalam permusuhan . 8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan. 9. Keharusan menepati janji. 10. Keharusan mengutamakan perdamaian di antara bangsa-bangsa . 11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat . 12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum , dalam hal : a. Menyidikitkan beban ( taqlil al-takalif ) b. Berangsur-angsur ( al-tadarruj ) c. Tidak menyulitkan (adam al-haraj ) Salah satu aspek terpenting dari politik adalah , politik luar negeri . Politik ini merupakan bagian yang dianggap sebagai komponen penting dari perpolitikan .Politik luar negeri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari politik , karena politik merupakn pemikiran

tentang pemeliharaan urusan dan kepentingan masyarakat di negeri sendiri serta kepentingan masyarakatdi negeri sendiri serta kepentingan Negara dan bangsa lain. Politik luar negeri bermakna mengatur hubungan Negara dan rakyatnya serta instansiinstansi yang ada di bawahnya , dengan Negara-negara lain dan organisasi-organisasi kenegaraan lainnya , yang secara umum politik luar negeri memiliki tujuan untuk menjaga kedaulatann Negara , keamanannya , serta menjaga kepentingan ekonominya. Secara global , politik luar negeri memiliki beberapa prinsip-prinsip terpenting yaitu yang pertama adalah pokok dalam hubungan antara Negara adalah perdamaian, dengan adanya perdamaian , maka akan memungkinkan Negara-negara untuk saling bertukar manfaat dan saling menolong. Kedua , tidak memutuskan hubunagn damai antara satu Negara dengan Negara lain , kecuali dalam keadaaan darurat yang paling tinggi . Ketiga , membuat kaidahkaidah hubungan luar negeri yang menjamin seluruh Negara dengan Negara lainnya berada dalam keadaan damai , dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi damai ini. Keempat , membuat kaidah-kaidah yang menjamin seluruh Negara yang berada dalam kondisi perang , dengan tujuan untuk mengurangi derita perang atau menghilangkan seluruh perselisihan . Kelima , membuat syarat-syarat bagi Negara yang ingin diakui oleh Negara-negara lain . Dan yang terakhir adalah ketika mengumumkan perang kepada Negara lain agar ridak melakukan khianat , tiak menggunakan senjata pemusnahan masal yang menambah derita manusia , serta memperlakukan orang yang terluka dan tawanan dengan baik. Dan jika berbicara tentang kontribusi umat islam dalam perpolitikan nasional ,umat Islam cukup memberikan kontribusi yang signifikan dalam perpolitikan di Indonesia. Meskipun demikian tentang Islam dan tata Negara belum sempat berklembang jauh . Sejak awal 1930-an sampai akhir 1960-an sebasgian pembicaraan politik di Indonesia berkenaan dengan pertentangan antara golongan agama dengan golongan nasionlis/sekuler, atau setidaknya golongan yang netral agama. Golongan agama sering dilihat sebagia golongan yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara , sementara golongan nasionalis adalah mereka yang ingin membedakan antara persoalan agama dan Negara dengan Pancasila sebagai dasar Negara. Namun demikian , Soekarno yang dianggap sebagai salah seorang pemimpin golongan nasionalis ternyata tidak sepenuhnya menghilangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan politik kenegaraannya. Seperti diketahui , Soekarno diketahui , Soekarno merupakan kepala Negara yang pertama kali melafalkan ayat-ayat Al-Quran dalam forum internasional seperti PBB . Demikian pula , ia yang memulai penyelenggaraan perayaan hari-hari besar Islam di Istana Negara. Dia pula yang mendirikan masjid di komplek Istana Negara (Effendy , 1999).

Hal itu pula dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru dengan mendirikan banyak masjid di beberapa daerah Indonesia melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Lebih dari itu , ditahun-tahun terakhir Orde Baru terdapat sikap akomodatif Negara terhadap aspirasi-aspirasi Islam. Kenyataan itu dapat dilihat dari eksistensi umat Islam Indonesia ini sebagai umat yang mayoritas , sehingga wajar bila nilai-nilai Islam turut membentuk dan mempengaruhi kehidupan politik nasional. Namun, kenyataannya sejarah juga membuktikan bahwa tahun 1973 pemerintah orde baru mengharuskan PPP yang merupakan basis Islamm saat itu , untuk megganti symbol Kabah dan asanya dengan symbol Bintang dan asas Pancasila . Walaupun demikian , kebijakan tersebut tidak menutup ruang gerak dan kegiatan politik Islam pada umumnya dan politik Islam tetap turut mewarnai kehidupan politik meliputi Golkar , birokrat dan bahkan dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU serta ICMI . Melalui institusi-institusi seperti itu , antara lain politik Islam bisa hidup. Sekarang pada masa reformasi , tepatnya sejak Mei 1998 , pemerintah orde baru runtuh . Keadaan demikian mendorong umat Islam untuk mengembangkan peran politiknya setelah selama orde baru terpuruk. Hal ini ditandai dengan semangat luar biasa dari para cendikiawan , tokoh-tokoh islam dan ulama dalam mendirikan partai-partai politik atau sekedar bergabung dengan suatu partai tertentu . Namun , menjamurnya partai-partai Islam atau partai yang berbasdis umat Islam dengan gelanggang perpolitikan nasional belum bisa dikatakan sebagai indicator kebangkitan peran politik umat Islam . Dibidik dari segi manapun politik umat islam masih lemah . Ditengah gejala perkembangan politik Islam terjebak oleh kekeliruan-kekeliruan lama. Mereka juga lebih suka marah dari pada melakukan politisasi , mereka masih terpesona pada ketokohan atau figure bukan pada nilai-nilai dan wacana yang diproduksinya, perilaku umat Islam banyak dilakukan sebagai reaksi daripada sebagai sebuah proaksi , kalangan umat Islam masih suka membuat kerumunan daripada sebuah barisan yang kokoh (Ridwan , 2000) Masing-masing kelompok umat Islam mengidolakan seorang tokoh yang kebetulan menjadi tokoh partainya . Mereka rela mati bukan semata-mata tentang politik , ideology , dan program partainya , melainkan karena melihat sosok , figure seseorang tadi . Kecintaan mereka pada sang tokoh jauh lebih melekat dari pada kecintaan mereka terhadap partai . Hal ini menunjukkan bahwa sebagian umat islam masih tertuju pada sosok/figure , bukan kepada nilai-nilai Islam itu sendiri . Kontribusi umat islam tidak bisa diukur hanya dengan banyaknya partai Islam , tetapiu yang lebih penting adalah rasa saling percaya yang dilakukan umat Islam , sehingga

kebangkitan umat Islam melalui partai-partai politik bukan merupakan ancaman bagi golongan lain . Kemenangan politik Islam adalah kemenangan politik Universal . Karena itu , pemberdayaan umat Islam harus tetap berpijak pada prinsip social yang bercorak pruralitas.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Korupsi Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Secara harfiah sendiri korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus-politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Bahkan secara harfiah lainnya korupsi diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kartini Kartono mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Dalam surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang bermakna khianat, maksudnya mengkhianati kepercayaan Allah Swt dan manusia terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghanimah. Lebih jelas Ibnu Katsir menyebutkan dari Aufy dari Ibnu Abbas bahwa ghulul adalah membagi sebagian hasil rampasan perang kepada sebagian orang sedangkan sebagian lagi tidak diberikan. Asbabunnuzul ayat ini adalah ketika sebuah harta rampasan perang setelah perang badar hilang, orang-orang munafiq menuduh bahwasanya Nabi Saw menggelapkan barang tersebut, sehingga turunlah ayat ini. Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam segala bentuk. Ibnu Arabi menyebutkan bahwa secara bahasa makna ghulul ada tiga, yaitu khianat, busuk hati, dan khianat terhadap amanat ghanimah. Ayat ini secara khusus ditujukan

kepada Nabi Saw tentang keadilan di dalam pembagian harta ghanimah yang berasal dari rampasan perang, tetapi maksud ayat ini ditujukan umum kepada seluruh umat Islam. Ketika Muadz diutus ke Yaman, Rasulullah Saw juga memberikan nasehat untuk tidak berlaku ghulul, sebagaimana disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi. Analog korupsi dengan ghulul menurut penulis adalah cukup dekat dengan alasanalasan sebagai berikut: 1. Korupsi adalah penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga merupakan penyalahgunaan harta negara, karena memang pemasukan harta negara pada zaman Nabi Saw. adalah ghanimah. Adapun saat ini permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghanimah, tetapi semua bentuk uang negara. 2. Korupsi dilakukan oleh pejabat yang terkait, demikian juga ghulul merupakan pengkhianatan. Dalam Surat Al-Maidah ayat 33 dan 38 disebutkan secara khusus tentang hirabah dan sariqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan yang kedua adalah pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diamdiam. Abd al-Qadir Awdah mendefinisikan hirabah sebagai perampokan (qath,u at-thuruq) atau pencurian besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian ( sariqah) memang tidak sama persis dengan hirabah. Hirabah mempunyai dampak lebih besar karena dilakukan dengan berlebihan. Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja tanpa pengambilan harta. Secara khusus korupsi adalah sesuatu yang identik dengan pencurian atau sariqah, akan tetapi pelaksanaan korupsi disertai dengan berbagai macam dalih yang lebih membutuhkan penelitian dan pembuktian. Korupsi memberikan dampak negatif yang sangat besar di masyarakat, tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. 2.2 Konsep-Konsep Korupsi Dalam Hukum Islam a. Ghulul Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi. (HR. Abu Dawud dari Buraidah) Ghulul juga meliputi pencurian dana (harta kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial. Contohnya adalah kasus pencurian barangbarang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban bencana alam. Bentuk lain dari penyalah gunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif , yaitu mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut. b. Sariqah Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan Orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut. Jadi syarat sariqah harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada barang ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut beliau bukan termasuk kategori sariqah. Menurut Syarbini al-Khatib yang disebut pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk memiliki yang dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat tertentu. Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang. Orang yang melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya, karena seorang yang beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Pencuri tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman (HR al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah) Dalam konteks Indonesia, umat Islam-lah yang paling banyak akan memanfaatkan uang tersebut karena mereka adalah mayoritas. Namun demikian umat non-Muslim juga berhak memanfaatkan uang negara tersebut karena Islam menyuruh supaya memenuhi hakhak mereka secara sempurna dengan tidak dikurangi dan supaya hidup damai berdampingan dengan mereka serta saling menjaga jiwa dan harta mereka. Namun yang menyebabkan suatu kondisi ekonomi suatu negara terlihat bobrok yaitu apabila pencurian tersebut dilakukan oleh

petugas atau pejabat negara yang memang bertugas untuk mengurus uang atau kekayaan negara tersebut. c. Khianat Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat khianat adalah salah satu sifat orang munafik sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa tandatanda orang munafik itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberi amanah berkhianat. Karenanya Allah SWT melarang dengan tegas umatnya berkhianat seperti firmannya sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS al-Anfl [8]: 27) Khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepada seseorang. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah muamalah. Jarimah khianat terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis dan harganya sedikit maupun banyak. Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka dikhianati Rasulullah SAW melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan pula, seperti sabda beliau: Sampaikan amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu (H.R. Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah). d. Risywah Secara harfiyah risywah atau suap adalah suatu tindakan dengan memberikan sesuatu sebagai balasan tutup mulut untuk menutupi sesuatu hal yang buruk. Beberapa ulama mendefinisikan suap yaitu, memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan mashlahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip. Sedangkan menurut terminologi fiqih, suap adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk kepentingannya atau agar ia mengikuti kemauannya. Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah SWT:

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (QS al-Midah [5]: 42) Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi, pertama yang disuap (al-Murtasyi), kedua, penyuap (al-Rasyi), dan ketiga, suap (al-Risywah). Suap dilarang dan sangat dibenci dalam Islam karena perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang bathil. Allah SWT berfirman: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 188) Baik yang menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW, sebagai bentuk kebencian beliau terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap. Riwayat yang lain, Ahmad ibn Hanbal dari Tsauban r.a. berkata: Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap dan si perantara. Artinya orang yang menjadi perantara suap bagi keduanya. Suap dengan segala bentuk haram hukumnya, diantara bentuk suap adalah hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah, bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait perkara atau urusan, telah membiasakan saling memberi hadiah jauh sebelum menjadi pejabat, namun setelah menduduki jabatan terjadi peningkatan volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya. Seorang pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya.

Umar bin Abdul Aziz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi hadiah kemudian berkata: Rasulullah pernah menerima hadiah. Lalu Umar menjawab, Hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah risywah (suap). Oleh karena itu setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan haram hukumnya. Karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah. Seorang pejabat boleh menerima hadiah dengan beberapa syarat: a. Pemberi hadiah bukan orang yang sedang terkait perkara dan urusan. b. Sudah terjadi semacam tradisi saling tukar-menukar hadiah antara pejabat tersebut dengan pemberi hadiah sebelum ia menduduki jabatannya, baik karena pertemanan atau saudara. c. Pemberian tersebut tidak melebihi kadar volume kebiasaan sebelum menjabat. Jika seseorang kehilangan haknya dan dia hanya bisa mendapatkan hak tersebut dengan cara menyuap seseorang tertindas, ia tidak mampu menolaknya kecuali dengan menyuap, maka lebih baik ia bersabar sampai Allah memudahkan baginya kepada jalan terbaik untuk menghilangkan ketertindasan tersebut dan bisa memperoleh haknya. Tetapi apabila tetap menggunakan suap dalam kondisi seperti itu, maka dosanya ditanggung orang yang menerima suap sedangkan orang yang menyuap tidak berdosa. Para ulama mendasarkan pendapat tersebut kepada hadis orang-orang yang menjilat yang meminta zakat kepada Nabi kemudian Nabi memberi kepada mereka padahal mereka tidak berhak. Diriwayatkan dari Abu Yala , Nabi bersabda: : , , , : Apabila salah satu di antara kamu mengeluarkan zakat dari sisiku dengan cara mengempitnyamembawa zakat tersebut di bawah ketiaknyasesungguhnya zakat itu baginya adalah api! Wahai Rasulullah bagaimana anda memberikan kepadanya padahal anda tahu bahwa zakat itu baginya adalah api? Rasulullah mejawab: apa yang harus aku lakukan? Mereka menolak kecuali masalahku dan Allah menolak kekikiran untukku. (HR Ahmad ibn Hanbal dari Abu Yala) 2.3 Hukum Korupsi Menurut Islam

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa tindak pidana korupsi menurut mayoritas ulama Syafiiyyah dikatagorikan dalam Al-Ghulul (pengkhianatan terhadap harta yang diamanahkan) dan Al-Ghasysy (penipuan) maka secara substansinya korupsi dikembalikan pada hukum Al-Ghulul dan Al-Ghasysy itu sendiri. a. Hukum Al-Ghulul Berkaitan dengan masalah al-ghulul, Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali Imran: 161) Menurut para mufassirin ayat ini turun pada perang Badar, disebabkan ada sebagian shahabat yang berkhianat dalam masalah harta perang. Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan masih banyak lainnya yang menjelaskan tentang keharaman ghulul dan ancaman yang berat bagi para pelakunya pada hari kiamat. Mengenai hukuman bagi pelaku Al-Ghull (berkhianat dengan mengambil harta ghanmah sebelum dibagikan), Imam Asy-Syfi pernah ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya. asy-Syfi menjawab: Tidak di hukum (`Iqb) seseorang pada hartanya, tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan Al-Hudd pada badan, demikian pula Al-`Uqbt (sanksi), adapun atas harta maka tidak ada `uqbah atasnya. Jenis-jenis hukum ta`zr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah, penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyb berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup). a. Hukum Al-Ghasysy

Berkaitan dengan masalah penipuan (al-ghasysy), Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang menipu maka dia bukanlah dari golongan umatku. (HR. Muslim dan yang lainnya). b. Hukum Koruptor. Dibagian depan telah diuraikan tindak korupsi yang dilakukan dengan alat kekuasaan maupun bukan , maka sangsi hukumnya juga disesuaikan dengan latar belakang tersebut . Dengan kekuatan apa dia melakukan korupsi tersebut. a. Dianalogikan dengan perampokan , yaitu korupsi dilakukan dengan kekuatan dan kekuasaan dan yang telah dikorupsi telah mencapai satu nishab / batas minimal maka dikenakan dengan hukum potong tangan secara bersilangan sebatas pergelangan tangan. ( Nishabnya seberat emas 93,6 gram, tahun 2011 emas 1 gram seharga Rp.400.000,00 maka nishabnya = Rp. 38.520.000,00). Apabila akibat perbuatan tersebut menyebabkan korbannya meninggal dunia dia dapat dikenakan hukuman mati. Sebagaimana firman Allah: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RosulNya dan membuat kerusakan di muka bumi , bagi pembunuh hendaknya dibunuh, bagi perampok yang membunuh korbannya hendaknya disalibkan , bagi perampok yang hanya merampas harta korbannya maka hukum mannya dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan sebatas pergelangannya .(Q.S Al Maaidah ayat 33) b. Dianalogikan dengan pencurian, maka hukumnya adalah potong tangan sebatas pergelangan apabila telah mencapai satu nishab ( 93,6 gram emas). c. Hukum Munafik Munafik sering diistilahkan orang yang bermuka dua atau ular kepala dua. Adapun arti istilah adalh seseorang berprilaku antar ucapan dan gerak hati berbeda/ bertentangan . Misalnya seseorang mengatakan beriman padahal hatinya menghina /mencibirkan terhadap aspek-aspek keimanan teresebut. Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai tanda-tanda orang munafik tersebut, yaitu ; , , : :

Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila dia benjanji dia mwengingkari, apabila dia dipercaya dia berkhianat ( HR. Bukhary Muslim ) Pada diri koruptor secara sempurna terdapat ciri-ciri di atas khusus masalah amanah. Pada zaman Rosulullah seseorang yang menggelapkan rampasan perang tidak boleh disholati, lebih-lebih seorang munafik dalam Al Qur-an surat Attaubah ayat 84, jelas-jelas haram disholati, didoakan, yaitu: Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan jenasah seseorang mati di antara mereka ( munafik) dan janganlah berdoah dikuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RosulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik. 2.4 Sanksi-Sanksi Korupsi Menurut Islam Sanksi merupakan sesuatu yang sangat penting kedudukannya dalam rangka penegakan supremasi hokum, karena sehebat apapun sebuah produk hukum tanpa adanya sanksi atau hukuman juga tidak memiliki kekuatan memaksa yang sangat kuat. Kadang ditaati atau tidaknya suatu hukum atau peraturan tergantung dari berat ringannya sanksi dan tergantung pada ditegakkannya sanksi tersebut atau tidak. Jenis sanksi ada empat, yaitu: Pertama, al-Uqubah al-Asliyyah yaitu hukuman yang telah ditentukan dan merupakan hukuman pokok seperti ketentuan qishas dan hudud. Kedua, al-Uqubah al-Badaliyyah yaitu hukuman pengganti. Hukuman ini bisa dikenakan sebagai pengganti apabila hukuman primer tidak diterapkan karena ada alasan hukum yang sah seperti diyat atau tazir. Ketiga, al-Uqubah al-Tabiyyah yaitu hukuman tambahan yang otomatis ada yang mengikuti hukuman pokok atau primer tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti hilangnya mewarisi karena membunuh. Keempat, al-Uqubah al-Takmiliyyah yaitu hukuman tambahan bagi hukuman pokok dengan keputusan hakim tersendiri seperti menambahkan hukuman kurungan atau diyat terhadap al-Uqubah al-Ashliyyah. Tujuan adanya sanksi atau hukuman ada tiga, yaitu:

Pertama, al-himayah (preventif), yaitu supaya seseorang berfikir dan menyadari akibat yang akan dialami bila suatu jarimah dilakukan. Kedua, al-Tarbiyyah, yaitu supaya seseorang memperbaiki diri atau menjauhkan dirinya dari jarimah dengan pertimbangan dijatuhi hukuman yang setara dengan perbuatannya.

Ketiga, al-Adalah, yaitu terciptanya rasa keadilan. Jadi hukuman harus ditegakkan tanpa pandang bulu sebagaimana hadis Rasulullah mengenai pemberlakuan potong tangan terhadap pencuri termasuk terhadap Fatimah sekalipun putri beliau seandainya ia mencuri. Adapun sanksi dari jenis jarimah yang telah disebutkan di atas (ghulul, sariqah,

khianat, dan risywah) sebagai berikut: Pertama, sanksi atau hukuman ghulul. Di dalam hadis-hadis Rasulullah disebutkan bahwa sanksi terhadap pelaku ghulul adalah membakar harta ghululnya dan memukul pelakunya. Hadis yang menjelaskan bentuk sanksi tersebut adalah hadis nomor 2598 dalam Kitab Sunan Abu Daud. Lengkapnya sebagai berikut: Dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah dia berkata, Aku pernah memasuki negeri Rumawi bersama Maslamah, lalu didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang melakukan ghulul. Maslamah menanyakan hal itu kepada Salim bin Abdillah bin Umar, lalu dia berkata, Aku mendengarkan ayah menuturkan hadis dari Umar bin Khattab r.a., Nabi SAW bersabda: Apabila kamu mendapatkan orang melakukan ghulul, maka bakarlah barangnya, dan pukullah diakata Shalih. Jika kami mendapatkan sebuah mushaf di dalam barang itu , lalu Maslamah bertanya tentang itu kepada Salim. Salim menjawab,Juallah barangnya, dan sedekahkanlah harganya. Pada hadis yang lain disebutkan bahwa sanksi ghulul adalah dengan membakar hartanya, mengarak keliling pelakunya dan tidak memberikan bagiannya. Diriwayatkan dari Shalih bin Muhammad dia berkata: pernah kami berperang bersama Walid bin Hisyam, sedang kami bersama Salim bin Abdillah bin Umar bin Abdil Aziz. Kemudian ada seorang laki-laki melakukan ghulul, maka Walid memerintahkan, agar barangnya dibakar. Setelah dibakar, orang itu diarak berkeliling, dan bagiannya tidak diberikan. Menurut Abu Dawud hadis ini yang paling sahih di antara hadis yang lainnya. Sanksi atau hukuman bagi penyalah gunaan wewenang atau jabatan bahkan bisa sampai hukuman mati. Al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain yang mengutip pendapat al-Muhib al-Thabary dari kitabnya Al-Tafqih menyatakan bahwa vonis mati boleh dijatuhkan pada seorang pejabat negara yang menyalahgunakan tugastugasnya untuk menindas rakyat, dan hal itu disamakan dengan lima macam kefasikan (membunuh, zina, mencuri, memutus persaudaraan dan keluar dari Islam), karena

kerugian (korban) yang diakibatkan dari kejahatan pejabat ini jauh lebih besar. Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa siapapun yang kalau kejahatannya hanya bisa dihentikan dengan vonis mati, maka ia harus divonis mati, meski itu masih bagian dari tazir. Ibn Taimiyyah menganalogikan kejahatan itu dengan kejahatan al-Soil. Kedua, sanksi atau hukuman sariqah adalah didasarkan pada firman Allah SWT. dalam QS al-Maidah [5]: 3 : Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangannya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana. Di dalam hadis disebutkan: Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu ialah mereka menegakkan had terhadap kaum lemah dan meninggalkan had terhadap kaum bangsawan. Saya bersumpah demi Allah seandainya Fatimah (mencuri) niscaya akan kupotong tangannya.(H.R. Ahmad, Muslim, Nasai dari Aisyah) Hukuman potong tangan bisa dilaksanakan apabila harta yang dicuri telah sampai senisab. Adapun nisab potong tangan adalah seperempat dinar ke atas sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Amrah dari Aisyah ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. biasa memotong tangan karena pencuriannya senilai seperempat dinar ke atas. Hadis tersebut begitu populer karena dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Turmudzi, Imam an-Nasai, dan Imam Ibnu Majah. Hadis dengan redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Urwah dan Amrah juga dikeluarkan oleh para Imam yang telah disebut di atas. Ada beberapa kasus pencurian yang tidak dipotong tangannya, yaitu pada pencurian buah-buahan dan umbat, mencuri untuk memakannya karena suatu hajat (di tempat itu) tanpa mengantonginya, kemudian orang gila, dan terakhir pencurian yang dilakukan dalam peperangan. Imam Abu Hanifah mengatakan tidak dipotong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang inti karena mereka diiperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Jadi kasus pencurian antara suami istri tidak dipotong tangan. Menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya ke bawah. Demikian pula sebaliknya,

anak tidak dapat dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas. Sedangkan menurut Muhammad Syahrur hukuman bagi pencurian tidak harus dipotong tangan. Hukuman tersebut bisa diganti dengan hukuman lain yang lebih rendah tetapi tidak boleh diganti dengan hukuman yang lebih tinggi. Teori Muhammad Syahrur mengenai hal ini terkenal dengan teori limit. Hukuman pengganti potong tangan dalam kasus pencurian menurut Ahmad Abu al-Rus bisa diganti dengan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang tidak lebih dari dua tahun, tetapi barang yang dicuri hanya terbatas pada barang-barang yang ketika dicuri tidak sangat berpengaruh terhadap korban pencurian. Namun apabila pencurian tersebut masih diulang hakim diperbolehkan menghukum lebih dari had yang lebih tinggi yang ditetapkan undang-undang untuk tindak pidana dengan syarat tidak melewati kelipatan had sebelumnya. Ketiga, sanksi atau hukuman bagi pengkhianatan. Orang yang berkhianat tidak dikenakan potong tangan sesuai dengan hadis Nabi: Tidak dikenakan hukuman potong tangan terhadap pengkhianat, orang yang merampas, dan atau mencopet. (HR Ahmad dari Jabir bin Abdullah) Namun demikian pengkhianatan yang sifatnya sariqah (pencurian) hukumannya bisa disamakan dengan sariqah (pencurian). dalam beberapa kasus, khianat dapat dijatuhi hukuman mati. Misalnya pengkhianatan terhadap agama (murtad) dan negara (bughat/pemberontakan), orang yang lari dari medan pertempuran melawan kaum musyrik. Keempat, sanksi atau hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan risywah (suap) bervariasi, sesuai dengan tingkat kejahatannya; mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Hal ini karena tidak ada nash qathi yang berkaitan dengan tindak pidana ini. Sanksi Material ( alTazir bi al-Mal) adalah bentuk hukuman material, yaitu dengan cara menyita harta yang dijadikan pelicin atau suap, kemudian dimasukkan ke dalam kas negara. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan sanksi ini, namun terlepas dari pro dan kontra, sanksi ini cukup efektif untuk membuat para pelakunya jera. Bentuk sanksi material bisa berupa

a) Al-Itlaf, perusakan atau penghancuran sebagaimana pemusnahan minuman keras dan penghancuran sarananya, b) Al-Taghyir (mengubah), sebagaimana merubah tempat maksiat menjadi tempat yang bermanfaat, c) Al-Tamlik (penguasaan/pemilikan) sebagaimana tindakan sahabat Umar ra. menyita dan kemudian memasukkan hadiah yang diberikan kepada Abu Hurairah ke dalam Baitul Mal. Sanksi Penahanan dalam terminologi fiqh yuridis penahanan (al- hubs) berarti menunda dan mencegah seseorang (terdakwa) dari kebebasan bertindak. Sanksi ini berpijak pada al-Quran: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaknya ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikan), kemudian apabila di antara mereka telah emmberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (QS an-Nis [4]: 15) Dalam lintasan sejarah Islam yakni pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau pernah membeli rumah dari Shafwan bin Umayyah seharga 4000 dirham kemudian ia jadikan sebagai penjara. Dari sinilah mulai ada rumah tahanan dalam Islam. Sanksi Pemecatan Jabatan. Yang dimaksud di sini adalah penghentian segala keterikatan kerja yang berkaitan dengan jabatan. Rasulullah pernah memecat jabatan komandan yang dipegang Saad bin Ubadah. Para ulama mazhab Hanafi dan Syafii menetapkan sanksi ini kepada para pejabat yang melakukan tindak kriminal suap. Selanjutnya adalah Sanksi Mengulangi Kejahatan. Orang yang telah pernah melakukan kejahatan kemudian mengulanginya lagi maka dia bisa dikenakan unsur pemberatan hukuman.

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak defenisi yang sesuai dengan pemahaman dari Al-Quran, Konsepsi hukum Islam tentang korupsi khususnya di Indonesia paling tidak ada empat, yaitu ghulul (penyalahgunaan wewenang), sariqah (pencurian atau penggelapan), khianat, dan risywah (suap atau sogok). Apabila korupsi uang Negara dilakukan oleh pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul. Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan pencurian dan ghulul. Kemudian apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau barang dan dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan ghulul dan pengkhianatan. Terakhir apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery) kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka kedua hal tersebut termasuk kategori risywah. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela, paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: Pertama, Memaksimalkan Hukuman. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Ketiga, Perubahan dan Perbaikan Sistem. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental). Perbuatan korupsi jelas-jelas mengarah kepada perusakan makro ekonomi dan sosial negara, maka hal tersebut layak untuk ditetapkan sebagai kategori hirabah. Hukuman bagi pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan sampai hukuman mati. Sebagai para generasi muda yang beriman kita sebagai mahasiswa muslim nantinya dituntut agar mau berperan dalam membangun bangsa yang lebih baik, mulai dari kesadaran dan kejujuran

dalam diri yang nantinya berkembang menjadi makhluk beragama yang mampu membangkitkan Negara bersih tanpa korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamid, Syekh Muhammad.1997. Rudud ala Abathil. Al-Maktabah al-Ashriyyah: Beirut. Al-Khatib, Syarbini. 1958. Mughni al-Muhtaj. Dar al-Bab al-Halabi wa Auladuhu: Mesir. Al-Qaradhawi, Yusuf. 1994. Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Al Maktab al-Islami: Beirut. Al-Qurtuby. 1993. Al-Jami li Ahkam al-Quran, Jilid 1. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut. Al-Rus, Ahmad Abu. 1997. Jarim al-Sariqt wa al-Nasbi wa Khiynt al-Amnah wa alSyai bi Dni Rasyd. Al-Maktabah al-Jamii al-Hadits: Iskandariyah. An-Naim, Abdullahi Ahmed. 1997. Dekonstruksi Syariah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia Dan Hubungan Internasional Dalam Islam, alihbahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arran. LKiS: Yogyakarta. Arabi, Ibnu. tt. Ahkam al-Quran, Jilid 1. Dar Kutub al-Ilmiyah: Beirut. As-Shabuny, Muhamad Ali. tt. Mukhtasar Ibnu Katsir, Jilid 1. Dar as-Shabuni: Kairo. As-Shabuny, Muhammad Ali. tt. Rawaiulbayan Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 1. Dar al-Fikr: Beirut. Awdah , Abd al-Qadir . 1997. At-Tasyri al-Jinai al-Islamy, Jilid 2. Muassah Risalah: Beirut. Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi. Raja Grafindo Perkasa: Jakarta. Kartono, Kartini. 1997. Patologi Sosial. Grafindo Persada : Jakarta. Katsir, Ibnu. 1992. Al-Quran al-Azdhim, Jilid 1. Dar al-Fikr: Beirut.

Luth, Tohir, dkk. 2005.Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya . Pusat Pembinaan agama Universitas Brawijaya Munajat, Makhrus.2001. Penegakan Supremasi Hukum dalam Sejarah Peradilan Islam dalam Asy-Syirah Nomor 8 Tahun 2001. Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta. Munajat, Makhrus. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Logung Pustaka: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai