Anda di halaman 1dari 4

KEBIJAKAN SMK 70%

Oleh Drs. Fatkhu Rohman Guru SMK 1 Wonosobo Rupanya Departemen Pendidikan Nasional benar-benar serius untuk menempatkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada posisi 70% berbanding 30% untuk SMA. Arah ke sana bukan hanya legal formal, tapi bisa dilihat dari usaha memasarkan SMK agar diminati lulusan SLTP dilakukan secara gencar di berbagai media. Depdiknas juga mencanangkan adanya provinsi Vokasi dan Jawa Tengah menjadi the first dalam program ini. Komposisi yang lebih besar untuk SMK tentu tidak dimaksudkan menempatkan SMK pada posisi yang lebih penting dari SMA, tapi berangkat dari tingginya angka pengangguran khususnya lulusan SLTA. Dengan asumsi SMK sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan tenaga kerja tingkat menengah, maka melalui jenis pendidikan ini diharapkan tenaga kerja yang siap memasuki lapangan kerja akan banyak dilahirkan. Sehingga diharapkan penganguran bisa dikurangi atau setidaknya tidak menambah angka pengangguran. Hal yang menjadi pertanyaan adalah bisakah harapan ini menjadi kenyataan? Kondisi saat ini belum ada data yang benar-benar valid yang dapat menginformasikan besarnya angka keterserapan lulusan SMK di Indonesia pada dunia kerja, meskipun sejak awal 90an telah digalakkan sistem Cobber di SMK sebagai metode untuk menelusuri nasib siswa yang telah lulus, namun belum berjalan efektif di semua SMK. Sekedar gambaran pada sebuah SMK dengan prestasi cukup menonjol dalam berbagai kejuaraaan Provinsi bahkan Nasional, sekolah tersebut telah menerapkan SMM ISO 9001:2000 dan menjadi rintisan sekolah bertaraf Interternasional angka keterserapan lulusannya kurang lebih 30%, sementara dari angka keterserapan itu hanya 20% yang bekerja relevan dengan program keahliannya (jurusannya).

ARTIKEL KEBIJAKAN SMK 70% Hal 1 dari 4

Di luar sekolah tersebut sangat sedikit SMK yang kondisinya lebih baik dari itu, bahkan yang terjadi kemungkinan besar keadaannya lebih buruk. Jika dugaan ini benar dan tanpa ada usaha untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih progresif rasanya Depdiknas terlalu banyak berharap kepada SMK sebagai alternatif jenis pendidikan untuk mengatasi pengangguran. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang lebih nyata, antara lain: Pertama, untuk SMK yang sudah ada sebaiknya segera dilakukan pengkajian mendalam terhadap program keahlian (jurusan) yang ada, dengan membentuk Tim Verifikasi Program Keahlian. Dari tim tersebut diharapkan Depdiknas mempunyai data yang valid program-program keahlian unggulan dan program keahlian yang tidak boleh dibuka karena sudah jenuh atau tidak dibutuhkan di dunia kerja. Mengingat pendidikan menjadi kewenangan kabupaten/kota hendaknya data tersebut juga dimiliki atau bisa diakses tiap kabupaten/kota, sehingga bisa menjadi pijakan bagi kabupaten/kota dalam menentukan kebijakan buka tutup program keahlian. Kebijakan buka tutup program keahlian sebaiknya jangan diserahkan kepada sekolah, karena sekolah cenderung tidak mau dibuat sulit dengan kebijaka ini. Kedua, berkaitan dengan kebijakan buka tutup program keahlian, maka diklat alih fungsi guru harus dilakukan. Jika dana yang tersedia terbatas, program Depdiknas yang belum mendesak seperti sekolah bertaraf Internasional bisa ditunda terlebih dahulu, dialihkan untuk mengirim guru ke pusat-pusat penataran guru atau magang ke dunia kerja/industri. Ketiga, verifikasi terhadap pengajuan berdirinya SMK baru baik negeri maupun swasta hendaknya benar-benar ketat, modus yang sering terjadi program keahlian yang akan dibuka pada proposal tidak sama dengan yang benar-benar dibuka. Karena para pendiri umumnya masih berorientasi yang penting berdiri dan ada peminatnya. Jika ternyata program keahlian yang dibuka tidak sesuai dengan proposal yang diajukan maka dana bantuan pusat seharusnya tidak diturunkan. Keempat, program keahlian yang ada dan dibuka hendaknya berorientasi produk nyata yang dibutuhkan pasar dan bidang jasa perbaikan dan pemasaran (penjualan) serta siswa
ARTIKEL KEBIJAKAN SMK 70% Hal 2 dari 4

dibekali kompetensi kewirausahaan yang implementatif dengan cara melibatkan nara sumber dari luar (guru tamu) yang bisa menjadi model dan menginspirasi siswa untuk meniru kesuksesannya, sehingga diharapkan akan melahirkan lulusan yang bukan hanya siap kerja tapi juga siap mandiri. Kelima, kompetensi lulusan sangat dipengaruhi ketersediaan sarana prasana yang ada, oleh karena itu kurang bijaksana jika pemenuhannya banyak dibebankan kepada orang tua siswa, mengingat lebih dari 75% orang tua siswa SMK dari golongan bawah. Demikian juga kebijakan pendirian SMK baru dengan sistem bertahap perlu ditinjau lagi, pengalaman yang terjadi sakarang ini lulusan dari SMK Unit Sekolah Baru (USB) setidaknya 3 kali tamatan menghasilkan tak lebih dari SMK Sastra. Keenam, mengingat kebutuhan program keahlian tertentu di dunia kerja tidak selalu sebanding dengan jumlah peminat, diperlukan kebijakan untuk memberikan bantuan yang lebih besar kepada SMK-SMK yang membuka program keahlian miskin peminat tapi sangat dibutuhkan di dunia kerja, seperti pertanian, peternakan, busana, boga dan sebagainya, jika perlu pembebasan biaya pendidikan untuk para siswanya. Ketujuh, selama ini dunia kerja pada umumnya masih menempatkan lulusan SMK sama dengan lulusan SMA, mereka mengikuti seleksi kerja bersama dan ditempatkan pada bagian yang sama pula. Ironisnya apapun program keahliannya mereka akan bekerja di bagian produksi. Untuk itu menjadi tugas sekolah melalui Bursa Kerja Khusus (BKK) yang ada dengan didukung pendanaan yang memadai untuk proaktif memasarkan lulusannya, selain itu Depdiknas juga kompetensi yang dimiliki lulusan SMK. Kedelapan, untuk memantau tingkat keterserapan lulusan, semua SMK hendaknya benarbenar menjalankan kegiatan penelusuran lulusan dan memiliki data yang akurat tentang keberadaan lulusannya. harus gencar memasarkan dan memberikan pemahaman kepada dunia kerja/industri tentang program keahlian yang ada dan

ARTIKEL KEBIJAKAN SMK 70% Hal 3 dari 4

Sebagian dari saran di atas sebenarnya telah menjadi kebijakan Depdiknas yang berkaitan dengan pembinaan SMK, namun penajaman implementasi yang harus segera dilakukan. Untuk itu monitoring menjadi sangat penting agar kebijakan tentang SMK bisa dilaksanakan dengan baik. Kegiatan monitoring ini menjadi tugas Pengawas, oleh karena itu keberadaan Pengawas SMK di tiap kabupaten/kota harus ada, bahkan untuk keperluan koordinasi kegiatan serta penyelarasan mutu pendidikan peran Pengawas Provinsi keberadaanya sangat dibutuhkan. Jika tidak ada pembenahan nyata terhadap SMK yang sudah ada dan usaha yang lebih selektif terhadap pendirian SMK baru, maka ketercapaian komposisi 70% untuk jumlah siswa SMK mudah dicapai, tapi substansi tujuan kebijakan tersebut untuk mengatasi pengangguran akan sangat sulit direalisir.

Drs. Fatkhu Rohman Guru SMK 1 Wonosobo Jl. Bhayangkara No. 12 Wonosobo 56311 HP 085643045912

ARTIKEL KEBIJAKAN SMK 70% Hal 4 dari 4

Anda mungkin juga menyukai