Anda di halaman 1dari 6

Evaluasi Keamanan MSG Sebelum ditetapkan status keamanannya untuk dikonsumsi setiap hari, setiap bahan makanan harus

lulus dari evaluasi keamanan yang menyeluruh. Bahan tambahan pangan seperti MSG harus melalui proses evaluasi yang sangat ilmiah yang mencakup toksisitas, karsinogenisitas, reproduksi, absorpsi, distribusi, metabolisme, eliminasi dan lain lain. Evaluasi menjadi lebih mudah bagi banyak negara karena mereka dapat mengacu kepada evaluasi yang sudah dilakukan oleh beberapa badan dunia yang terkenal karena reputasi mereka yang disegani. USFDA atau badan pengawasan makanan dan obat Amerika Serikat setelah mengevaluasi pada tahun 1958 memberikan status GRAS (Generally recognized As Safe) bagi MSG. Status aman ini sama dengan yang diberikan kepada garam, cuka dan soda kue.

Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) adalah badan ilmiah internasional yang paling disegani yang berfungsi sebagai badan penasehat ilmiah dalam hal bahan tambahan pangan kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu World Health Organization (WHO) dan Food and Agricultural Organization. Hasil evaluasi yang ketiga yang dilakukan pada tahun 1987, JECFA memutuskan status Acceptable Daily Intake (ADI) not specified untuk MSG. Ini artinya kemanan MSG sangat meyakinkan sehingga tidak perlu menetapkan batasan asupan hariannya. Status ini paling aman dibandingkan bahan-bahan tambahan pangan lainnya. Status keamanan MSG dari JECFA ini diadopsi oleh banyak negara di dunia. Komite Ilmiah untuk pangan dari masyarakat Eropa juga melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap MSG pada tahun 1991 yang juga memutuskan status Acceptable Daily Intake (ADI) not specified. Sehubungan dengan banyaknya klaim gejala kesehatan yang dikaitkan dengan MSG, badan-badan internasional tersebut hanya mengevaluasi penelitian-penelitian terhadap MSG yang memiliki kredibilitas ilmiah yang baik. Salah satu tolok ukur penting bagi penelitian yang berkredibiltas baik adalah adanya placebo-control dan dilakukan dengan cara double-blind. Adanya placebo (bahan netral) dan control (MSG) sangat penting untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh placebo dan control. Double-blind artinya baik peneliti maupun yang diteliti tidak tahu mana yang placebo dan mana yang control, sehingga gejala kesehatan yang mereka laporkan bebas dari pengaruh pendapat mereka sendiri.

Penelitian-penelitian yang dilakukan dengan metode yang tidak wajar juga tidak dapat mempengaruhi keputusan badan-badan internasional tersebut, karena mereka mengevaluasi makanan yang dikonsumsi secara normal. Jadi, penelitian dimana MSG disimpulkan menyebabkan kerusakan otak pada tikus yang diberikan MSG dalam dosis yang ekstrim tinggi dengan cara suntikan tidak dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi keamanan MSG sebagai makanan. Konsumen tidak perlu khawatir menkonsumsi MSG karena badan-badan ilmiah internasional telah memastikan keamanannya. Glutamat Dalam Makanan dan Tubuh Glutamat adalah salah satu dari 20 asam amino penyusun protein. Sebagai asam amino, glutamat termasuk dalam kelompok non esensial, yang artinya tubuh mampu memproduksi sendiri. Glutamat ada di setiap mahluk hidup baik dalam bentuk terikat maupun bebas. Glutamat ini pertama kali ditemukan pada tahun 1866 oleh seorang ilmuwan Jerman bernama Prof Ritthausen yang berhasil mengisolasinya dari gluten (protein gandum). Glutamat yang masih terikat dengan asam amino lain sebagai protein tidak memiliki rasa, namun glutamat dalam bentuk bebas memiliki rasa Umami (gurih). Dengan demikian, semakin tinggi kandungan glutamat bebas dalam suatu makanan, semakin kuat rasa Umaminya. Glutamat bebas dalam makanan sehari-hari umumnya rendah, sehingga kita perlu menambahkan bumbu-bumbu agar kita bisa menikmati rasa umami/gurih dari makanan kita. Bumbu-bumbu yang kaya akan glutamat bebas misalnya Kecap Ikan Vietnam 1370mg/100g, Kecap Asin 926mg/100g, Saos Tiram 950mg/100g, Terasi Indonesia 1199mg/100g, Keju Parmegiana Regiano 1680mg/100g dan MSG/Vetsin 78%. Kadar glutamat dalam makanan bervariasi tergantung dari macam makanan, kondisi makanan (mentah atau matang) dan proses pengolahannya.Tomat mentah hanya mengandung 20mg/100g glutamat bebas namun setelah matang mengandung 246mg/100g. Sementara itu susu sapi mengandung 1mg/100g glutamat bebas namun setelah diproses menjadi Keju Parmegiana Regiano, kandungan glutamatnya sebesar 1680mg/100. Melalui studi radioisotope/bioassay terhadap seseorang berberat badan 70 kg, tubuh manusia menyimpan 1400 g glutamate baik bebas maupun terikat yang tersimpan dalam berbagai organ tubuh. Dari studi yang sama ternyata tubuh juga harus memproduksi 41 g glutamate bebas setiap hari untuk berbagai proses metabolisme. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari total glutamat yang dikonsumsi oleh manusia (survey terhadap orang Jepang) sebesar 16g orang per hari.

Di dalam tubuh kita, glutamat dari makanan sebagian besar akan dimetabolisme dan digunakan sebagai sumber energi usus halus. Glutamat ini juga berfungsi untuk pembentukan asam amino lain seperti gluthation, arginin dan proline (Peter J. Reeds et.al.,2000). Jadi tidak beralasan jika sebagian orang beranggapan konsumsi glutamat setiap hari akan menyebabkan terakumulasi.

Melalui reseptor yang terdapat pada lidah dan lambung, glutamat dari makanan akan menstimulasi otak untuk mendorong lambung dan pankreas memproduksi cairan pencernaan. Akibatnya pencernaan menjadi lebih baik. (A.M. San Gabriel, T. Maekawa, H. Uneyama, S. Yoshie and K. Torii, 2007). Tidak hanya bagi pencernaan, glutamat juga merupakan unsur penting dalam fungsi otak, yaitu sebagai Neurotransmiter. Neurotransmiter berfungsi sebagai penghubung otak ke seluruh jaringan syaraf dan pengendali fungsi tubuh. Otak membutuhkan glutamat dalam jumlah besar dan melalui siklus kreb, otak memproduksi sendiri glutamatnya. Glutamat dalam makanan tidak dapat diserap otak karena adanya sistem perlindungan otak yang disebut dengan Blood Brain Barrier (Quentin R. Smith, 2000). Manfaat Penggunaan MSG dalam Makanan Hampir semua orang tahu bahwa penambahan MSG pada makanan menyebabkan rasa makanan menjadi sedap. Rasa sedap ini sebenarnya bukan hanya sekedar kenikmatan cita rasa pada lidah kita saja. Rasa sedap dari MSG yaitu rasa umami ternyata secara fisiolois berkaitan erat dengan pencernaan makanan yang pada akhirnya juga mempengaruhi kesehatan tubuh kita. Adanya umami dalam makanan menyebabkan otak mendapatkan sinyal dari reseptor dilidah dan lambung yang memicu produksi kelenjar pencernaan yang lebih baik bagi kelancaran proses pencernaan makanan. Rasa umami dari MSG dapat menyedapkan berbagai makanan, baik makanan Indonesia maupun makanan internasional. MSG efektif dalam menyedapkan makanan yang secara total memiliki rasa asin dan rasa asam, seperti bakso kuah dan sayur asam. Namun, penambahan MSG pada sirop manis dan obat yang pahit tidak akan menyedapkan kedua bahan yang memiliki rasa manis dan pahit ini. Meskipun MSG mengandung natrium,namun MSG bukanlah penyumbang utama natrium dalam makanan yang perlu dihindari oleh penderita darah tinggi atau penyakit jantung.Penyumbang utama natrium dalam makanan pada umumnya adalah garam. Kandungan natrium dalam MSG hanya sepertiga dari natrium dalam garam. Pengurangan garam dalam makanan menyebabkan berkurangnya rasa enak makanan yang akhirnya menimbulkan resiko kekurangan asupan gizi.

Namun demikian, penambahan sedikit MSG pada makanan yang dikurangi garamnya dapat menurunkan kadar natrium dalam makanan hingga 40% tanpa mengurangi rasa enak makanan.Makanan yang kurang garam ini tidak saja baik bagi penderita darah tinggi dan penyakit jantung, tapi juga bermanfaat bagi orang yang sehat karena dengan menkonsumsi makanan ini mereka dapat mencegah timbulnya penyakit-penyakit tersebut. Ada yang menganggap bahwa jalan pintas untuk mendapatkan makanan yang sedap adalah dengan menambahkan MSG dan semakin banyak ditambahkan rasa makanan akan semakin enak. Ini bukanlah hal yang benar. MSG tidak dapat memperbaiki makanan yang tidak dimasak dengan baik atau bercita rasa buruk. Demikian pula, sama seperti halnya pemakaian garam yang terlalu banyak, penambahan MSG yang terlalu banyak juga tidak menyedapkan rasa. Dosis optimum MSG sebenarnya tergantung dari kandungan glutamat dalam bahanbahan makanan yang digunakan. Dosis tersebut berada pada kisaran 0.2% - 0.8% dari volume makanan yag dimakan. Jika makanan memakai bahan-bahan yang kaya glutamat seperti kecap, terasi dan saos tomat, maka lebih sedikit MSG diperlukan dibandingkan dengan tidak digunakannya bahan-bahan tersebut. Penggunaan berdasarkan dosis inilah yang dimaksudkan oleh pedoman makanan internasional sebagai Acceptable Daily Intake Not Specified atau Secukupnyamenurut BPOM. Penggunaan MSG yang melebihi dosis optimum, walaupun tidak membahayakan kesehatan, tetapi ini tidak realistis karena tidak wajar orang senang memakan makanan yang tidak sedap akibat penggunaan seperti ini.

MSG dan Isu Kesehatan MSG merupakan bumbu masak berbasis asam amino pertama yang di pasarkan di dunia pada tahun 1909 di Jepang. Produk MSG pertama tersebut bermerek AJI-NO-MOTO yang diproduksi oleh perusahaan Ajinomoto Jepang.
Rasa Umami temuan Prof. Ikeda ini sungguh disukai oleh masyarakat Jepang dan dunia. Karena tersusun dari glutamat, natrium dan air; para ilmuwan dan ahli kesehatan mempercayai keamanan MSG untuk digunakan dalam makanan sehari-hari. Pada tahun 1958, USFDA memberikan status GRAS (Generally Recognized As Safe) bagi MSG seperti halnya dengan status garam, cuka dan soda kue. Perjalanan penggunaan MSG yang mulus selama 60 tahun pertama mulai mendapat tantangan ketika isu Chinese Restaurant Syndrom (CRS) mulai merebak di tahun 1968. CRS adalah gejala-gejala yang dirasakan tubuh setelah memakan makanan Cina, yaitu antara lain haus, pusing, rasa kaku, lesu, mual dan jantung berdebar-debar. Isu CRS ini bermula hanya dari sebuah surat tentang pengalaman pribadi yang diterbitkan dalam kolom pembaca di sebuah jurnal ilmiah. Meskipun isu CRS dalam surat tersebut bukanlah hasil sebuah penelitian ilmiah, namun hingga sekarang cukup banyak orang yang masih percaya bahwa MSG menyebabkan CRS. Berbagai penelitian dengan metode ilmiah yang baik telah membuktikan MSG tidak ada kaitannya dengan CRS. MSG kemudian juga dikaitkan dengan masalah-masalah kesehatan lain, yaitu antara lain kerusakan otak dan kanker. Apakah benar MSG berkaitan dengan masalah-masalah ini?

Penelitian John W. Olney yang dilaporkan pada 1969 menyimpulkan MSG sebagai penyebab kerusakan otak pada bayi tikus. Penelitian ini dilakukan pada bayi tikus dengan menyuntikkan dan memasukkan secara paksa MSG dengan dosis sangat tinggi 0.5-4.0 g/kg berat badan atau setara degan 30-240 g pada manusia berberat badan 60 kg. Metode penelitian ini tidak relevan dengan praktek penggunaan MSG sehari-hari, yaitu dalam dosis rendah dan melalui proses pencernaan yang wajar. Pada 1977, sebuah penelitian melaporkan glutamate yang dibakar pada suhu 500600 oC menyebabkan terbentuknya karsinogen. Suhu memasak yang sangat tinggi ini tidak mungkin kita terapkan dalam memasak makanan sehari-hari atau dalam proses memasak di industri makanan. Sehingga kita tidak perlu khawatir MSG yang kita masak pada suhu yang wajar akan memicu kanker. Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, akibat berbagai tuduhan negatif terhadap MSG, ratusan penelitian diberbagai penjuru dunia telah membuktikan keamanan MSG dari berbagai aspek kesehatan. Bukti-bukti yang kuat ini menyebabkan lembaga internasional yang menilai keamanan makanan yaitu JECFA (Join Expert Committee on Food Additives) pada 1987 memberikan status ADI (Acceptable Daily Intake) not specified bagi MSG. Ini artinya penggunaan MSG tidak memiliki batasan maksimum karena ia aman digunakan sehari-hari untuk menyedapkan makanan.

Sejarah MSG
Penemuan MSG oleh Dr. Ikeda (1908) diawali oleh keprihatinannya terhadap kondisi fisik rakyat Jepang di kala itu. Sewaktu belajar ilmu Kimia modern di Jerman, dia membandingkan tubuh orang Jerman yang lebih tinggi dari pada orang Jepang. Namun dia juga mendapati bahwa makanan Jerman memiliki satu rasa unik yang juga terdapat dalam makanan Jepang. Setelah kembali ke Jepang, Dr. Ikeda memusatkan penelitiannya pada masakan tradisionil Jepang, yaitu kaldu yang terbuat dari rumput laut (Konbu). Kaldu ini umum digunakan masyarakat Jepang karena citarasanya yang kuat. Dia berhasil mengisolasi sumber rasa unik tersebut, yaitu asam Glutamat. Rasa ini kemudian diperkenalkannya dalam bahasa Jepang sebagai rasa "Umami". Penemuan Glutamat sebagai sumber rasa "Umami" mengukuhkan ambisi Ikeda untuk memperbaiki kondisi fisik bangsanya, melalui bumbu masak yang menambah kelezatan makanan Jepang. Masih di tahun yang sama, Dr. Ikeda mendapatkan paten atas metode produksi MSG.

Meski demikian, asam Glutamat murni yang dihasilkannya belum bisa diproduksi secara komersial karena sifat fisik dan kimianya. Hingga akhirnya Dr. Ikeda berhasil mensenyawakan glutamat dengan sodium menjadi Monosodium Glutamat (MSG).

Dengan membagi hak patennya dengan seorang pemilik pabrik Iodine, Saburousuke Suzuki, Dr Ikeda kemudian berhasil mewujudkan hasratnya memproduksi dan memasarkan MSG secara massal. Demikianlah, AJI-NO-MOTO (MSG) mulai dipasarkan di Jepang pada tahun 1909. Pada waktu itu MSG diproduksi melalui proses ekstraksi gluten hingga tahun 1960-an. Proses produksi ini tidak dapat memenuhi permintaan yang meningkat dengan cepat dari pasar Jepang dan dunia. Inovasi teknologi fermentasi pada tahun 1956 kemudian membantu usaha meningkatkan produksi MSG yang terus diterapkan hingga sekarang. MSG sekarang umumnya diproduksi dengan menggunakan bahan baku yang kaya glukosa seperti tetes tebu, singkong, jagung, gandum, sagu dan beras. Proses fermentasi merupakan proses pengolahan makanan traditional yang juga digunakan untuk membuat tape, tempe, kecap dan lain lain. Meskipun MSG baru ditemukan oleh Dr Ikeda 100 tahun yang lalu, namun sejatinya bumbu masak yang kaya rasa "Umami" sudah digunakan di zaman kuno dulu.

Kecap ikan yang menjadi bumbu wajib di Asia tenggara ternyata sudah dipakai untuk melezatkan makanan oleh orang-orang Yunani dan Romawi 2500 tahun yang lalu. Di sepanjang Teluk Mediterania dan Laut Hitam ditemukan gerabah-gerabah kuno yang dipakai untuk membuat dan menyimpan kecap ikan oleh penduduk Yunani dan Romawi kuno. Pada masa Yunani kuno kecap ikan dinamakan Garon, sementara pada masa Romawi kuno dinamakan Garum atau Liquamen. Tidak hanya di Yunani & Romawi kuno, penduduk Italia juga telah mendapatkan rasa unik "Umami" dari keju Parmigiano Reggiano yang konon sudah dibuat sejak 1000 tahun lalu. Nama Parmagiano Reggiano sendiri merujuk pada daerah penghasilnya yaitu Parma Itali.

Anda mungkin juga menyukai