Anda di halaman 1dari 17

ABU HAMID MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN METODE IJTIHADNYA DALAM AL-MUSTASHFA Oleh : H.

Hadi Mutamam Abstract: Al-Ghazali (1058 H/1111 M) is one of the prominent Islamic scholars who lived during the golden age. Due to his great contribution, al-Ghazalis thoughts have been studied for centuries and deemed to be an important Islamic legacy. Al-Ghazalis eminence in Islamic history can be seen from the title given to him, i.e. hujjatul Islam (the great defender of Islam) and the classical status of his work al-Mustasyfa, a book of Islamic juriprudence theory. He based his thought on three major Islamic sources: al-Quran, the Sunnah, and sound mind. This then have been employed in his discussion on the argumentation of ijma. Kata kunci : Ijtidah, Metode Ijtihad, Hujjah al-Islam, Ijma. Pendahuluan Ketika Nabi Saw., akan mengutus Muadz ibn Jabl (w. 18 H./629 M.) ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Muadz: Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?, Muadz menjawab: Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan yang - termaktub di dalam Kitab Allah (Al-Quran) Nabi bertanya lagi : Bagaimana jika di dalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?, Muadz menjawab: Dengan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw. Nabi bertanya lagi: Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula di dalam Sunnah Rasulullah Muadz menjawab Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara pun tanpa putusan, lalu Muadz mengatakan: Rasulullah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal yang melegakanku.1 Dari Hadis tersebut di atas, diperoleh kesimpulan,2 bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah al-Quran dan Sunnah, jika di
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Dakwah STAIN Samarinda. Lihat Hadis riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Daud, Juz III t.tp.: Dr al-Fikr, t.th., h. 303. Yaitu hadis tentang diutusnya Muad Bin Jabal oleh Rasulullah ke Yaman dan ketika ditanya oleh Rasulullah dengan apa ia memutuskan permasalahan, Muad menjawab dan dibenarkan oleh Rasulullah, yaitu dengan Kitabullah, Sunnatur Rasul dan Rayu. 2 Perlu penelitian lebih lanjut, apakah nash tersebut valid atau tidak valid, relevan atau tidak relevan, hampir semua buku yang membahas ijtihad menyebut hadis Muadz ibn Jabal -ketika Rasulullah Saw. memuji Muadz yang berijtihad dengan ray, bila tidak ada keterangan dalam al-Kitab dan aI-Sunnah, mereka lupa bahwa hadis ini sangat Iemah, karena tidak diriwayatkan kecuali lewat al-Harits ibn
1

10

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad. Karena itu dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad banyak digunakan. Hakikat ajaran al-Quran dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Ayat-ayat al-Quran yang jumlahnya lebih 6300, hanya lebih kurang 500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.3 Itulah Sebabnya, segera setelah perluasan kerajaan dimulai, kaum Muslim menyadari bahwa al-Quran dan hadis tidak akan mampu memecahkan semua persoalan-persoalan kontroversial, khususnya persoalan hukum perundang-undangan dan peribadatan. Karena dengan pemerintahan Islam yang terus-menerus meluaskan wilayah, di mana masing-masing wilayah baru memiliki kebiasaankebiasaan dan tradisi-tradisi yang sangat berbeda dengan orang-orang Arab pedalaman dan orang-orang yang menyaksikan pewahyuan, maka konflik-konflik dengan mudah muncul antara perintah lama dan yang baru.4 Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika seseorang (muslim) mampu memahami Islam secara .Jelas, benar dan menyeluruh, maka Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta, Islam menjadi jalan penyelamatan, pembebasan, perdamaian, ilmu dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tentu saja untuk sampai kepada tujuan seperti yang baru saja dikemukakan, tidak semudah membalik telapak tangan. Artinya merancang-bangun atau merumuskan suatu hukum dari al-Quran dan hadis, bukanlah pekerjaan mudah atau gampang. Tetapi ini tidak berarti bahwa ada detimasi bagi golongan tertentu dalam menginterpretasi sumber Islam, akan tetapi semua orang berhak untuk melakukan ijtihad, selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan ketat dan kecakapan tertentu. Kecakapan yang dimaksud adalah
Amr yang majhul. Lihat Jalaluddin Rahmat Ijtihad: Sulit Dilakukan, Tetapi Perlu Dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (Ed.) ljtihad Dalam Sorotan , Cet. I; Bandung Mizan, 1988, h. 179-180. Bahkan dalam versi Ibn Hazm sangat mencelah hadis ini, lihat misalnya lbn Hazm aI-ahkam Fi Ush ul Ahkam, juz V ; (Kairo: Al-Ashiniah, t. th.), h. 773-775 3 Harun Nasution, ljtihad, Sumber Ketiga Ajaran Islam dalam Ijtihad Dalam Sorotan, Op. Cit, h. 108. 4 Annemarie Schimel, Introduction to Islam, diterjemahkan oleh M. Chafrul Annam dengan judul Islam Interpretatif, Cet. I ; (t.tp. : Inisiasi Press, 2003), h. 73.

H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya

11

kemampuan untuk mengetahui seluk-beluk penetapan suatu nash syariy. Dalam konteks ini, sebagai upaya memahami dan maksud diturunkannya syariat (maqashid al-syariah), para ulama berbeda pandangan tentang metode dan sistem yang dijadikan acuan ijtihad di dalam menentukan suatu hukum. Ikhtilaf tersebut justru melahirkan aliran fiqh dalam Islam yang tidak sedikit melahirkan fanatisme yang pada gilirannya mengarah pada pengidologian mazhab. Para ahli Ushul (UshuI al-Fiqh) secara umum, telah konsensus bahwa tujuan pokok pensyariatan hukum Islam, adalah untuk kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan atau mafsadah bagi manusia5. Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syariah) telah dilakukan oleh para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syariah dalam menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan laranglaranganNya.6 Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazli7(450H./1058M.-505H./IIIIM.) dalam kitabnya Syif al-Ghazli ia menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas.8
5 Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad Dalam Perspektif Fikih Islam, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam ilmu Fikih/Ushul Fikih padi Fakultas Syaiah lAIN Alauddin, 31 Makassar, 2004., h. 43. 6 Lihat al-Juwaini, al-Nurhan Fi Ushul Al-Fiqh, Jilid. 1; (t.tp. :Dr al-Anshr, 1450 H.), h. 295. 7 Nama lengkapnya, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazli, berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450 H./1058M. di Thus (sekarang dekat Meshed) , sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran), di sini pula al-Ghazli wafat di Nazran pada tahun 505H./1111M. Tentang biografi alGhazli dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dinya, Al-Haqiqah Fi Nazhr Al-Ghazli, Cet. III; Mesir: Dar al-Maarif , 1971. Abd. Karim Utsman, Sarah al-Ghazli, Demaskus : Dar al-Fikr, t. th. Victor Said Basil, Manhaj al-Bahts an Marifah Ind al-Ghazli, Beirut Dar al-Kitab al-Lubnani, t.th. 8 Lihat Al-Ghazali, Syifa al-Ghazli Fi Bayani Al Syibb Wa al-Mukhil Wa Masalik Wa Masalik al-Talu, Bagdad : Mathbaat al-Irsyad, 1971, h. 159. Dalam konteks ini, kaurn Ushuliyyin menciptakan sendiri metodologi tersebut secara orisinil bersumber dan prinsip-prinsip penggalian dalil (ijtihad), karena itu tidak benar bahwa para Ulama di masa-masa awal mengaplikasikan logika Yunani di dalam ilmu Ushul Fiqh, paling tidak pada masa awal tidak menerima secara mutlak logika Yunani, tetapi mereka telah mengadakan perubahan terhadap logika Yunani menjadi sebuah logika baru mencakup seluruh esensi. al-Ghazli sendiri rnemasukkan unsur logika di dalarn rnuqaddimah. bukunya aI-Masthasf sekalipun pada akhirnya ia rneninggalkan logika, sebab dia tidak mampu mengantarkan seseorang pada suatu keyakinan. Hal ini dapat dilihat Abd. Halim Uways, aI-Fiqh

12

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Dalam konteks .ini, penulis akan ketengahkan pemikiranpenkiran al-Ghazli dalam bidang ushul fiqh, khususnya dalam alMustashfanya, tentu saja ia pada dasarnya menerima manhaj (metode) Imam as-Syafii (150H/767M.) sebagai pelanjut dan Imam as-Syafii, yakni kaedah-kaedah yang dipakainya dan membenarkan periwayatan-peniwayatannya, karena yang menetapkan kaedah dan yang meriwayatkan itu, adil dan siqah. AL-Ghazali dan Pemikirannya Biografi Al-Ghazli Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali,9 tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga di luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk-menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan Muslim, maupun dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan Islam.10 Sebagai pemikir besar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazli masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al-Ghazli tersebut dapat dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang disandangnya.11 Berbagai pujian dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan orang-orang yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali. Kondisi Sosial Pada Fase Al-Ghazali Dapat dikatakan bahwa kehidupan AI-Ghazali seperti layaknya seorang pengembara yang berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dari usianya kira-kira 50 tahun lebih, ia menghabiskan waktunya di beberapa tempat seperti : Khurasan, tempat ia dilahirkan dan mendapat pendidikan pertama, dan Bagdad adalah tempat mencapai
al-Islami bayn ath-Tathwwur Wa ats-Tsabit, terjernahan A. Zarkasy Chumaidy dengan judul, Fiqih Statis Dinamis, Cet. I; (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), h. 158. 9 Nama Iengkapnya Abu Hamid al-Ghazli Muhammad ibn Muhammad alGhazli al-Thusi, dia berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450H./1058M. di Thus (dekat Meshed) sebuah kota. kecil di Khurisan (sekarang Iran), di sini pula A1Ghazali wafat di Nazran tahun 505H./1111 M. Tentang biografinya, dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nazhr al-Ghazli, cet. III; Mesir Dar al-Maarif, 1971. Abd. Kadri Utsrnan, Sirah Al-Ghazli, Demaskus: Dar al-Fikr, t.th. Victor Said Bisil, Manhajal-Bahts an Marifah ind al-Ghazli, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnni, t.th.) 10 Harun Nasution, membagi puncak kemajuan Islam dalam modernisasi Islam, berakhir pada tahun 1000 M., lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h.13. 11 Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 34.

H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya

13

puncak karirnya di bidang intelektual. Sedangkan di Demaskus aIQuds, Mekkah, Madinah serta kota-kota lain merupakan tempat persinggahan dan pengembangan mencari kepuasan batin yang selalu menuntutnya. Tiga tahun sebelum A1-Ghazali lahir, Dinasti Saljuk,12 berkuasa di Bagdad (1055M.) dan mencapai puncak kejayaannya sejak pemerintahan Sultan Al-Arslan (1063-1092M.) dan Sultan Malik Syah (1072-1092M.) dengan perdana menterinya yang sangat terkenal yaitu : Nizhm al-Muluk (1063-1092M.). Setelah fase ini Dinasti Saljuk mengalami kemunduran-kemunduran akibat terjadinya perebutan kekuasaan dan gangguan keamanan dalam negeri yang dilancarkan oleh golongan Bithiniyah, pada fase tersebutlah A1-Ghazli hidup dan berprestasi, baru pada masa kejayaan maupun pada fase kemunduran Dinasti Saljuk.13 Pada masa al-Ghazli, tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga di bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan. Sebagai contoh, apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yang beraliran Mutazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya (seperti mazhab Syifii dan Asyari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban dan tokoh-tokolmya.14 Akibat dari fanatisme golongnan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul konflik antara golongan mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan aliran, masingrnasing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas penduduknya bermazhab Syfii, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.15
SaIjuk merupakan salah satu Dinasti yang didirikan oleli Tughul Bek (10371063M.) merupakan Dinasti dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sempat mengambil alih kekuasaan dan menguasai beberapa daerah seperti Khurasan,Rey, jabal, Iraq, al-Jazirah, Persia dan Ahwz selatan kurang lebih 40 tahun. Lihat Philip K Hitti, History of The Arabs, (London : The Macmilan Press Ltd, 1970), h. 474-476 13 Lihat Ibid., h. 25-26. 14 Mushtafa Jawwad, Ashr al-Ghazli dalam Mahrajan al-Ghazli bi Damsyiq Abu Hamid al-Ghazli bi Dzikra al-Miawwajah ai-Tasi.ah Li Miladih, (Kairo: AlMajlis al-Ala li Riyah al-Funun Wa al-Adab Wa al-Ulum al-Ijtimaiyyah, 1962), h. 495. 15 Terdapat korelasi umum yang telah terjadi antara aliran teologi dan mazhab fiqh. Pengikut Asyariyah cenderung bermazhab Syafii, penganut Salafiyyah pada
12

14

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Pendidikan dan Landasan Pemikiran Al-Ghazli Pendidikan formal Al-Ghazli diperolehnya di Madrasah setelah dianjurkan oleh sufi-sufi yang mengasuhnya, karena ia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya, ia belajar fiqh dari Ahmad Ibnu Muhammad ar-Razkan at-Thusi di Thus dan tasawwuf dari Yusuf anNasaj, kemudian hingg 470 H. Al-Ghazali, belajar ilmu-ilmu dasar yang lain, termasuk bahasa Persia dan Arab pada Nasr al-Ismil di Jurjin.16 Pada usia 20 tahun telah menguasai beberapa ilmu-ilmu dasar dan dua bahasa pokok yang lazim dipergunakan oleh masyarakat ilmiah ketika itu, sehingga dua bahasa ini mengantarkan dalam memahami buku-buku ilmiah secara otodidak. Tahun 473 H. AlGhazli pergi ke Naizabur untuk belajar di Madrasah an-Nizamiah, ketika itu Imam al-Haramain Diya ad-Din al-Juwaini (478 H.) bertindak sebagai kepala dan tenaga pengajar di sana.17 Kesungguhan dan keinginan Al-Ghazli dalam menuntut ilmu dan menggali ilmu pengetahuan secara mendalam dimulai di Madrasah ini. Di sinilah ia memperoleh dan mendalami fiqh dan ushul al-fiqh, mantiq (logika) dan ilmu Kalam dari aliran Asyariyah maupun selainnya yang berkembang pada waktu itu. Pada tahun 478 H. A1-Ghazali meninggalkan Naizabur menuju kota al-Maaskar. Latar belakang kepergiannya dari Naizabur ini diperselisilikan oleh penulis, kelihatannya kepergian ini ada hubungannya karena telah meninggalnya al-Juwaini pada tahun 478 H.18 Di Bagdad Al-Ghazli mulai menekuni kehidupan formal sebagai seorang tenaga pengajar di Universitas an-Nizdamiah,, Bagdad ketika itu merupakan pusat perkembangan ilmu pengetahuan sejak Dinasti Abbasiyah masih jaya, sehingga perkembangan dan budaya, serta aliran yang beraneka ragam, sangat pesat, sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Ghazali sendiri.19 Adapun landasan pemikiran Al-Ghazli, bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu juga ia mempergunakan akal (al-maquI) sebagai landasan berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Tawil, Al-Ghazli mengungkapkan

umumnya pengikuti mazhab Hambali, penganut Maturidisme bermazhab Hanafi dan orang-orang Syiah berteologi Mutazilah. 16 Sulaiman Dunya, al-Haqiqah F Nazhr Al-Ghazali, (Kairo: Dr al-Ma,arif, 1971),h. 19 17 Lihat Abd. Kazim Utsman, Op. Cit, h. 20. 18 Sulaiman Dunya, Op. Cit, h. 22. 19 Ibid, h. 31

H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya

15

kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengnan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.20 Ketika Al-Ghazli membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma ia menempuh 3 (tiga) jalan, sebagai berikut: 1. Berpegang pada Al-Quran 2. Berpegang pada pendapat Rasulullah Saw., bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan), 3. Berpegang teguh pada metode manawy.21 Karya-Karya A1-Ghazli Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazli, maka dia digolongkan cukup produktif dalam hal penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazli, menulis sejak umur 20 tahun.22 Dan keterangan yang diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan bahwa al-Ghazli merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yang tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan pertamanya mendapat pujian dari gurunya al-Juwaini.23 Tentang jumlah karangan al-Ghazli, sampai saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazli yang belum diterbitkan dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik di negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di antara karya-karyanya telah lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.24 Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai karya al-Ghazli, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazli, sebanyak 31 buah.25

20 A1-Ghazli, Qanun al-Tawil, (dihimpun bersama buku-buku lainnya oleh Ahmad Syamsuddin dalam Majmuah Rasail Al-Ghazli, selanjutnya disebut AIQanun, (Beirut Dar al-Kutub llmiyah, 1994), h. 126.

Lihat selengkapnya Al-Ghazli, al-Mustasfa Min Ilmi al UshuI Juz. 1; Dar al-Fikr Lithibati Wa an-Nashr Wa Tausi, t.th. h. 174-179. 22 Abd.Ghani Abud, Al-Fikr al-Tarbawi Ind AI-Ghazali, Cet. 1; (Dar alFikr al-ArabI, 1962), h. 29 23 Sulaiman Duny, Op. Cit., 20. 24 Ahmad Syafi Maarif, Peta Buni intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 57 25 Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 99.

21

16

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Karya-karya yang dikemukakan pada bagian ini, diklasifikasikan ke dalam bidang-bidang ilmu yang digeluti al-Ghazli, meliputi filsafat, akhlak, tasawuf, keagamaan, metafisika dan fiqh,26 karyakarya yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Al-Maarif al Aqliyyah Wa al-Hikmah al-Ilahiyyah, karya alGhazli ini hanya berupa naskah yang terdapat di dua perpustakaan yaitu Paris dan Oxpord.27 2. Maqashid al-Falsafah, buku ini dikarang oleh al-Ghazli sebagai pendahuluan buku al-Tahafut.28 3. Tahfut al-Falasifah, 4. Al-Munqidz min al-Dhalal, karya tulis al-Ghazli ditulis pada tahun 501-502 H.29 ketika dia menetap kedua kalinya di Naisabr. 5. Al-Madhnun bih ala Ghair Ahli, 6. Ftihah al-Ulum, karya ini berupa naskah tulisan tangan (naskhah khaththiyya). tersimpan di perpustakaan Paris.30 7. Haqaiq al-Ulum, karya dalam bentuk naskah yang juga tersimpan di perpustakaan paris.31 8. Maqsyifah al-Qulub al- Matrahbah ila Allam Ghuyub. 9. Miyr al- Ilm, 10. Minhaj aI-Nazhr, 11. Marij al-Quds fi Madrij Marifah al-Nafs. 12. Jam al-Haqaiq fi Tajrad al-alaiq, 13. Ihy Ulumu al-Din, karya terbesar al-Ghazli yang ditulis pada tahun 489 dan 495 H., buku ini memuat ide sentral A1Ghazili menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama - Islam, seperti logika, akhlak, tasawuf, dan sebagainya. Buku ini mempunyai syarah yang banyak antara lain : Ittahaf al-Sadat al-Muttawin (13 Jilid), Taj al-Qashidin (Ibn al-Jauzih) Ruj alIhya (Jbn. Yunus).32 14. Bidayah al-Hidayah, 15. Kitab Mizan al-Amal, karangan al-Ghazli ditulis di Bagdad, sebelum memasuki dunia tasawuf, buku itu merupakan

Klasifikasi ini menuruti klasifikasi yang ditawarkan oleh Muhammad Ghallab sebagaimana bidang-bidang ilmu pengetahuan tersebut di atas, dan disempurnakan seadanya (ditambah) berdasarkan keterangan-keterangan data yang diperoleh dari literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah tersebut. 27 Muhammad Ghallab, Op-Cit, h. 79. 28 Victor, Op-Cit., h. 79. 29 H.M. Zurkani Jahya, Teologi al-Ghazli, Pendekatan Metodologi, Cet. 1; (jakata: CV. Rajawali, 1998), h. 12. 30 Muhammad Ghallab, Op-Cit., h. 85. 31 Ibid 32 Muhammad Ghallb, Op-Cit., h. 85.

26

H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya

17

pelengkap untuk menjelaskan pengertian yang ada di dalam Ihya kurang jelas.33 16. A1-Qisthas al-Mustaqim, 17. Kitab al-Saadah, 18. Kitan Ayyuha al- Walad, 19. Kitab al-Madkhul Fi iImi Ushul, (kitab pilihan tentang Ushul Fiqh), 20. Kitab al-Mustashfa min Ilm al-Ushul (tempat pembersihan dan Ilmu Ushul Fiqh), merupakan kibab ushul A1-Ghazli yang pendahuluannya memuat tentang pembahasan logika, dia menegaskan bahwa barang siapa yang tidak menguasai logika, maka pengetahuannya belum terpercaya.34 Metode Ijtihad Al-Ghazali Dalam Kitab Al-Mustashfa Pengertian Ijtihad Secara etimologis, ijtihad berakar pada kata : ja ha da yang berarti: kesulitan atau kesusahan Kata ijtihad berasal dari kata al juhdu (dengan dhammah atau fathah huruf jiim berarti kemauan dan kesulitan masyaqqah; kata ini sepola dengan nafah. Misalnya ungkapan wajtahid fil amri yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang berupa tujuan akhir. Kata al-Juhdu tersebut tidak dapat digunakan kecuali dalam hal-hal yang mengandung unsur-unsur yang memberatkan atau menyulitkan. Misalnya kalimat ia berusaha keras untuk membawa batu besar, dan tidak tepat juga kata itu dipakai dalam kalimat ia berusaha keras untuk membawa biji-bijian.35 Secara terminologis, oleh ahli ushul, didefinisikan dengan beberapa definisi sebagai berikut: Defenisi yang dikemukakan oleh Baidhawi,36 Ijtihad itu adalah menggarahkan segala kemampuan dalam menggali hukum-hukum syariat. Kata, dalam kata definisi ini berarti mencurahkan kemampuannya dan daya sampai batas dimana orang mencurahkan kemampuannya tersebut merasa tak mampu lagi berbuat dari itu. Dengan demikian maka orang tak sepenuhnya mengarahkan kemampuannya dalam berijtihad dengan sendirinya tidak termasuk

Abd. Karim Utsman, Op-Cit., h. 203. A1-Ghazli, Al-Mustashfa, Juz. 1; Op-Cit., h. 10. 35 Lihat Al-Ghazli, Op. Cit , h. 350. Hal yang sama lihat Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II (t.tp. : Dr al-Fikr, t. th. ), h. 1037.
34 36

33

Al-Baidhwi, Minhaj al-Wushul, (td.), h. 27.

18

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

dalam cakupan definisi ini. Ijtihad dalam pengertian istilah, tidak dipandang sebgai ijtihad yang sah. Sementara itu oleh Imam Al-Ghazli mendefinisikan ijtihad, sebagai berikut : Ijtihad adalah mengarahkan segala kemampuan Mujtahid keluasan (kedalaman) dalam mencapai ilmu dengan hukum syariat.37 Pendapat sebahagian Fuqaha , bahwa Ijtihad adalah Qiyas.38 Dari definisi tersebut di atas, maka dapat difahami bahwa esensi ijtihad adalah mengarahkan daya nalar secara maksimal, di dalam dugaan yang kuat tentang hukum agama yang bersifat amaliyah dengan ditempuh dengan cara-cara istinbhath. Lebih jelas lagi bahwa Ijtihad merupakan upaya menafsirkan dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai-nilai yang terkandung di da1amnya.39 Rukun Ijtihad Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazli bahwa Ijtihad ialah menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam sebuah aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara menyeluruh. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa Ijtihad merupakan suatu usaha yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam memperoleh suatu ketetapan terhadap adanya ketetapan syariat, sebagai contoh: tidak disebutkan sesorang berijtihad memutarkan batu penggiling dan tidak dikatakan ber Ijtihad kalau seseorang memindahkan batu-batu kecil. Karena itu ulama memahami secara khusus bahwa Ijtihad mengerahkan seorang mujtahid secara luas dalam mencari ilmu yang terkait dengan hukum-hukum syariat.40 Orang yang berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama : mengetahui seluk-beluk syariat, mana yang didahulukan dan mana
37 Wahbah Zuhaili, Op. Cit., h. 1038. Bandingkan dengan Abd. Wahhab Khallaf, Mashadiru at-Tasyrii al-Islam, Cet. III (Kuwait: Dar al-Qalami, 1972), h. 7. 38 Dalam praktek Ushu fiqh, qiys dapat dirumuskan sebagai cara untuk rnenetapkan hukum yang kasusunya dak terdapat dalam nash dengan cara menyamakan dengan kasus hukum yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum, Lihat Abd. Wahhab Khallaf, Masdiru al-Tasyrii al-Islama Fima Ia Nassah Fih, (Kuwait, Dar al-Qalam, 1972), h. 19. 39 Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihd, Op. Cit., h. 3. 40 Lihat al-Ghazli, Al-Mustashfa, Op.Cit, h. 350.

H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya

19

yang wajib dikemudiankan.. Kedua : seseorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan dalam berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang berhubungan dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan. Adapun tentang hadis, harus mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma diharuskan menghafal semua kejadian ijma dan perbedaanperbedaannya, tetapi sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana tidak bertentangan dengan ijma.41 Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa semua hukum agama yang tidak mempunyai dalildalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan juga sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul dua masalah: terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua versi: Sekelompok yang melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh dalam hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan mengatakan dengan izin Rasulullah cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.42 Sumber-Sumber Hukum Islam Al-Quran Dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt; dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam Syafii dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mutazilah menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam Syafii dan pendapat-pendapat yang lain:

41 42

Ibid., h. 351. Ibid., h. 354.

20

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

bahwa membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya mandi yang berarti keseluruhan.43 Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangan dengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan.44 Contoh yang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary: Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan.45 Assunnah Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazli mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut: harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong.46 Kalau bertentangan alJarhu wa Tadil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harus adil maka itu dapat diterima.47 Ijma Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan di dalam ber-Ijma menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazli menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak boleh dijadikan hujjah.48 Untuk memperjelas masalah ini, oleh Imam al-Ghazli memberi definisi Ijma 49 sebagai berikut: Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad dan Sababat-Sahabatnya atas sesuatu urusam agama. Meskipun dalam istilah ini kepada Nabi Muhammad Saw., namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad Saw., atau umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazli ini mengikuti pandangan kaum Syafii , yang menetapknn ijma sebagai kesepakatan umat. Hal mi tampaknya di dasarkan pada keyakinan
43
44

Ibid, h. 36. Ibid, h. 46. 45 Ibid, h. 45.


46
47

Ibid, h. 115.

Ibid, h. 130. 48 Ibid, h. 218. 49 Ibid, h. 211.

H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya

21

bahwa yang terhindar dan kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafii mengalami perubahan dan perkembangan terus berlanjut dikemudian hati. Qiyas Al-Ghazli secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya.50 Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai berikut : Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazli, secara panjang dan rumit, demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan), ada juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan usaha atau mujtahid. Penggunaan kata malum, oleh Al-Ghazli adalah dimaksudkan untuk menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (madm), karena kalau dikatakan kata sesuatu menurut mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazli difinisinya menghubungkan antara ashal dan furu dengan kata (dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksunya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas aks yaitu menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang diketahui pada tempat lain karena keduanya berbeda dalam illat, hukum. Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya (menganologikan ) dengan kasus hukum yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.51 Meskipun sutu hukum dapat berubah karena perubahan illat, kondisi dan situasi, sejalan dengan qaidah: Salah sstu contoh qiyas, Ballo Beer, Brandy, Wisky, Vodka dan sebagainya yang termasuk minuman yang beralkohol, di-qiaskan dengan khamer yang disebut dalam QS. al-Maidah: 90:
50

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid; t.tp. : Logos t.th h. 144 Lihat Abd. Wahhad Khallaf, Op. Cit., h. 19

51

22

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya minuman, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan Khamar dalam ayat di atas adalah nama semua minuman keras yang memabukkan, dibuat dari bahan apapun,52 sebab atau illat keharamannya. Sementara minuman alkohol yang dibuat fermentasi dan berbagai jenis bahan baku yang mengandung karbohidrat, misalnya biji-bijian, buah-buahan dan sebagainya.53 Karena itu minuman beralkohol jangan diminum yang memabukkan sama dengan khamar, minuman khamar, sedikit atau banyak adalah haram, dalam hadis54 disebutkan: Penutup Ijtihad pasca imam mazhab, secara langsung mellui tangan para muridnya, para imam mazhab telah berhasil menyusun hasil Ijtihadnya dalam bentuk kitab fiqh sebagai panduan beramal dari pengikutnya. Salah satu syarat menjadi mujtahid dalam literatur Ushul al-Fiqh terlihat bahwa para ahli ushul memberikan rumusan tentang syaratsyarat mujtahid. Perbedaan rumusan itu banyak ditentukan oleh titik pandang yang berbeda tentang mujtahid. Kalau Al-Ghazli dalam AlMustashfanya sangat ditekankan dengan keadilannya. Dan rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesamaan di antara mereka dalam memandang dua titik pada seorang mujtahid, yaitu tentang kepribadiannya dan kemampuannya sebagai kreteria tertentu yang tanpa syarat dan kriteria itu seorang tidak akan dapat melakukan Ijtihad. Sesungguhnya Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problema yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dan yang akan datang, ia merupakan sumber ketiga ajaran Islam setelah Al-,Quran dan Hadis, inilah yang membuat Islam sesuai dengan tempat dan zaman (shalihun likulli zaman wa makan). Hal inilah yang dibuktikan oleh para Ulama dari berbagai bidang keilmuan pada zaman keemasan Islam; termasuk di dalamnya Imam Al-Ghazli dengan AlMustashfanya.

Muhammad Ali As-Shabuni, Rawaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min alQuran, Jilid 1; Suryah: Maktabah Al-Ghazli , 1980, h. 277 53 Lihat selengkapnya Minhajuddin, Op. Cit, h. 39. 54 Lihat AIi A1-As-Shabuni, Op Cit, h. 278.

52

H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya

23

DAFTAR PUSTAKA Abud, Abd. Ghani. Al-Fikr al-Tarbawi Ind Al-Ghazli, aI-Fikr al-Arabi, 1982. Cet. I; Dr

Ab Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz III t.tp.: Dr al-Fikr, t.th. Basil, Victor Said. Manhaj al-Bahts an Marifah ind Al-Ghazli, Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnari, t.th. Daudi, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Dunya, Sulaiman. Al-Haqiqah Fi Nazhr Al-Ghazli, Cet. III Mesir: Dr al-Marif, 1971. Al-Ghazli, al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul, Juz. I; t.tp. : Dar al-Fikr Lithibati Wa an-Nashr Wa Tausi, t.th. --------, Qanun al-Tawil (dikumpul bersama-sama buku-buku lainnya oleh Ahmad Syamsuddin dalam Majmuah Rasil Al-Ghazli, selanjutnya disebut AlQanun, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1994. --------,Syjfa al-Ghazli Fi Bayni Al Syibb Wa al-Mukhil Wa Masalik al-Talil, Bagdad : Mathbaat al-Irsyad, 1971. Hitti, Philip K. Histoly of The Arabs, London: The Macmilan Press Ltd, 1970. Ibn Hazm, al-Ahkam Fi Ushul al-Akhkam, juz V; Kairo: A1-Ashimah; t. th. Jahya, H.M. Zurkani. Teologi Al-Ghazli , Pendekatan Metodologi, Cet. I; Jakata: CV. Rajawali, 1998. Jawwad, Mushtafa. Ashr Al-Ghazli dalam Mahrajn Al-Ghazli bi Damsyiq Abu Hmid Al-Ghazli bi al-Dzikra alMiawwalah al-Tasi.ah li Mildih, Kairo: A1-Majlis al-Ala Li Riayah al-Funun Wa al-Adab Wa al-Ulum al-Ijtimaiyyah, 1962. Juwaini, al-Burhfin Fi Ushu1 al-Fiqh, Jilid. I; t.tp. :Dar al-Anshr, 1450 H. Khallaf, Abd. Wahhab.. Masdiru al-Tasyrii al-Islama Fima la Nassah Fih, Kuwait: Dar al-Qalam, 1972. A1-Khudari Bek, Muhammad. Ushul al-Fiqh, Mesir : Dar al-Fikr, 1969. Maarif, Ahmad Syafi. Peta Bumi intelektual Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1993. Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

24

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad Dalam Perspektif Fikili Islam, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Jirnu Fikih/Ushl Fikih pada Fakultas Syaiah lAIN Alauddin, 31 Makassar, 2004. Muhammad Ali As-Shabuni, Rawaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, Jilid 1; Suryah: Maktabah al-Ghazali, 1980. Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Schimel, Annemarie. Introduction to Islam, diterjemailkan oleh M. Chairul Annam dengan judul Islam Interpretatif , Cet. I; t.tp. : Inisiasi Press, 2003. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid I; t.tp.: Logos, t. th. Utsman, Abd. Karim. Sirah Al-Ghazli, Demaskus: Dar al-Fikr, t.th. Uways, Abd. Halim. al-Fiqh al-Islami bayn ath Tathwwur Wa atsTsabit, terjemahan A. Zarkasy Chumaidy dengan judul. Fiqih Statis Dinamis, Cet. I; Bandung. Pustaka Hidayah, 1998, h. 158. Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II t.tp: Dar al-Fikr, t. th..

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai