Anda di halaman 1dari 3

Absurditas Pansus Century oleh : Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI Selasa, 02 Maret 2010 | 08:16

WIB TEMPO Interaktif, Absurd di dalam kamus berarti "tidak masuk akal". Namun yang absurd ini bukan hanya ditemui dalam kesenian, tapi juga pada kehidupan sehari-hari, seperti dalam arena politik di Senayan. Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket Kasus Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat didasari temuan bahwa otoritas moneter dan Departemen Keuangan tidak menyampaikan kepada parlemen jumlah uang talangan bank Century sebanyak Rp 6,7 triliun. Yang diketahui anggota DPR hanya angka yang lebih rendah, yakni jumlah pengucuran dana pada periode sebelumnya. Karena ini terjadi sebelum pemilihan umum, dicurigai arus dana itu mengalir ke Partai Demokrat atau tim kampanye pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Karena itu, DPR meminta BPK (yang diketuai Hadi Poernomo--belakangan diketahui pejabat yang paling beruntung dengan bermacam-macam hibah) melakukan audit. Sementara itu, Tim 9, yang merupakan inisiator Panitia, langsung menemui beberapa tokoh nasional, baik di Jakarta maupun di daerah, entah memakai dana dari mana. Tim ini, yang terdiri atas berbagai fraksi (kecuali Fraksi Demokrat), bukan melakukan lobi, melainkan sekadar meminta dukungan. BPK menyelesaikan audit mereka dengan temuan terdapat sembilan penyimpangan. Singkat kata, jumlah anggota Pansus Century yang terbentuk sebanyak 30 orang terdiri atas sembilan fraksi, termasuk Demokrat. Absurditas pertama, tim ini diketuai oleh anggota DPR bukan dari partai terbesar di parlemen, padahal keanggotaannya bersifat proporsional. Ada sembilan penyimpangan yang disampaikan BPK. Sebetulnya Pansus cukup memusatkan perhatian pada aliran dana sesuai dengan asumsi semula, karena waktu yang tersedia bagi mereka terbatas (dua bulan). Karena tidak semua anggota ahli dalam bidang keuangan-perbankan, seyogianya tim ini dapat bekerja sama dengan lembaga independen, seperti PricewaterhouseCoop ers. Namun ini tidak dilakukan. Absurditas kedua, mereka malah merambah pada aspek lain yang tidak berhubungan langsung dengan aliran dana, seperti merger/akuisisi. Peristiwa itu sudah lama, terjadi pada masa pemerintahan Megawati pada 2004. Kecuali kalau Panitia memang bertujuan menulis buku sejarah Bank Century.
1

Absurditas ketiga, sidang Pansus ini diadakan secara terbuka. Padahal keberadaan panitia ini berdasarkan Undang-Undang Angket Tahun 1954, yang menyatakan bahwa sidang tersebut dilakukan secara tertutup. Undang-Undang Susduk yang lebih baru memang menyatakan bahwa sidang DPR bisa terbuka, bisa tertutup. Tetapi undang-undang yang lebih khusus (UU Angket) seyogianya diutamakan daripada undang-undang yang bersifat umum. Terbukanya persidangan ini mengakibatkan dampak samping yang tidak diperkirakan sebelumnya. Liputan media massa secara langsung menyebabkan sebagian anggota Pansus itu overacting dengan bertengkar sesama mereka. Lebih serius, beberapa rahasia perbankan tersebar ke tengah masyarakat seperti dikeluhkan oleh PPATK. Yang paling parah, sebagian pejabat yang dipanggil oleh Pansus Century dipermalukan di depan umum. Absurditas keempat, pengajuan pertanyaan berdasarkan fraksi menyebabkan sidang-sidang molor sampai tengah malam. Ini sangat memboroskan waktu dan tenaga, karena pertanyaan yang diajukan masingmasing fraksi banyak yang diulang-ulang. Sebagai konsekuensi dari pembagian sembilan fraksi itu--ini menjadi absurditas kelima--laporan akhir Pansus Century sebetulnya kompilasi dari laporan sembilan fraksi, yang masing-masing berbeda latar belakang, definisi istilah, kerangka pemikiran, analisis data, dan kesimpulannya. Dari laporan yang sebagian bertolak belakang ini, JELAS sangat sulit bagi mereka untuk mengambil kesimpulan. Akan menjadi absurditas keenam bila Pansus Century meniru matriks yang digunakan koran-koran untuk memperlihatkan skor pendapat fraksi berkaitan dengan empat tema yang diselidiki Pansus, mana yang melanggar dan bukan. Tabel itu sangat sederhana dan bisa menyesatkan. Karena kriteria "pelanggaran", "penyimpangan", "penyelewengan", "kesalahan", "kejahatan", yang digunakan masing-masing fraksi, tidak disamakan terlebih dulu. Dalam kasus ini, seyogianya tidak digunakan berbagai istilah untuk merujuk satu hal yang sama. Kalau mau dibuat tabel, selain definisi dan jenis pelanggaran (manajemen perkantoran, administrasi negara, atau hukum?) masalah tingkat atau intensitas pelanggaran itu perlu diperinci (berat, sedang, ringan). Dalam rapat DPR pada 2-3 Maret 2010, apakah sembilan laporan fraksi itu yang diajukan secara keseluruhan kepada sidang paripurna? Pemirsa televisi telah menyaksikan dan mendengar pandangan akhir fraksi yang disampaikan pada Selasa, 23 Februari 2010. Terdapat berbagai kejanggalan logika atau pemaksaan kesimpulan pada beberapa fraksi. Namun ini merupakan dokumen yang dihasilkan parlemen
2

yang seyogianya segera ditampilkan pada situs DPR, sehingga bisa dinilai lebih lanjut oleh masyarakat Indonesia. Kalau diadakan voting, sebetulnya 560 orang anggota DPR itu dapat memilih satu dari sembilan laporan fraksi yang dianggap paling tepat dan benar. * Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI http://www.tempointeraktif.com/ hg/kolom/ 2010/03/02/ kol,20100302135,id.html

Anda mungkin juga menyukai