Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Pola penyebaran penyakit infeksi virus Dengue sejak 1780 1949 memiliki kecenderungan epidemic dan lebih banyak di daerah tropis. (1,2,3,4,5,6) Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka kematian berkisar 24.000. Sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. (1,2,3,4.5) Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue ( dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawatdaruratan DBD dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan global.
(1,2,3)

BAB II SINDROM SYOK DENGUE


Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik Dengue (SSD). (1,2,3) 1. DEFINISI Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. (1,2,3) 2. ETIOLOGI Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. keempatnya ditemukan di Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat. (1,2,3) Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes aegypti dan A.albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok

nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. (1,2) 3. EPIDEMIOLOGI Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2% tahun 1999. (1,2,3,4,5)

Gambar 1. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun. (2) 4. PATOGENESIS Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. (1,2,3) Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik) (1,2,3) Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigenantibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. (1,2,3)

Gambar 2. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. (1,2)

Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD

Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit

mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP ( fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.(2,3)

Gambar 4. Patogenesis Perdarahan pada DBD

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. (2,3)

5. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus sehingga dapat bsifat asimptomatik, atau berupa demam yang tidak khas ( undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD). (1,2,3) Masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari) timbul gejala prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang, dan merasa lemas. (1)

Gambar 5. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue


Demam Dengue Gejala klasik ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari ) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekie. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. (1,2,3,4) Demam Berdarah Dengue Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah

sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena. Kebanyakan kasus, petekie halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. (1,2,3,4) Sindrom Syok Dengue Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, hipotensi, pengisian kapiler terlambat dan produksi urin yang berkurang. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna. infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. (1,2,3,4) 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk screening dengan periksa kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), trombosit, leukosit. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi menunjukkan limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Kadar leukosit dapat normal atau menurun Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% jumlah leukosit total) disertai limfosit plasma biru (LPB >15% total leukosit) yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit umumnya menurun pada hari ke-3 hingga ke-8. Pemeriksaan hematokrit untuk menentukan kebocoran plasma dengan peningkatan kadar hematokrit >20% kadar hematokrit awal. (1,2)

Diagnosis pasti dapat tegak bila didapatkan hasil isolasi virus dengue (cell culture) atau deteksi antigen virus RNA dgn teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction namun teknik ini rumit. Pemeriksaan lain yaitu tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue. Berupa antibodi total, IgM yang terdeteksi mulai hari ke-3 sampai ke-5, meningkat smpai minggu 3, dan menghilang setelah 60-90 hari. IgG terbentuk pada hari ke-14 pada infeksi primer, dan terdeteksi pada hari ke-2 pada infeksi sekunder. (1) Pemeriksaan lain menunjukkan SGOT dan SGPT dapat meningkat. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. aPTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. (1,2) Pada pemeriksaan radiologis pada posisi lateral dekubitus kanan bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan beratringannya penyakit. Pada pasien syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral. (1,2) 7. DIAGNOSIS DAN PENENTUAN DERAJAT PENYAKIT Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 (1,2,4) Demam Dengue 1. Probable Demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection. 2. Corfirmed Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus. Demam Berdarah Dengue Diagnosis tegak bila semua hal dipenuhi : 1. Demam akut 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik. 2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa : uji tourniquet positif petekie, ekimosis, atau purpura

perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi), saluran cerna, tempat bekas suntikan hematemesis atau melena 3. Trombositopenia < 100.00/ul 4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan nilai hematrokrit > 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin. penurunan nilai hematokrit > 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat efusi pleura, asites, hipoproteinemi Sindrom Syok Dengue Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu : Penurunan kesadaran, gelisah Nadi cepat, lemah Hipotensi Tekanan nadi < 20 mmHg Perfusi perifer menurun Kulit dingin-lembab.

PENENTUAN DERAJAT PENYAKIT Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.(2,4)

Gambar 6. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue 10

Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :
DERAJAT DD GEJALA & TANDA Demam 2-7 hari Disertai > 2 tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia Gejala di atas (+) Disertai uji bendung positif Gejala di atas (+) Disertai perdarahan spontan Gejala di atas (+) Disertai tanda kegagalan sirkulasi Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi yang tidak terukur LABORATORIUM Leukopenia Trombositopeni Kebocoran Plasma (-) Trombositopeni (<100.000/ul) Kebocoran Plasma (+) : Peningkatan Ht > 20 % Penurunan Ht > 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat.

DBD

DBD DBD DSS DBD DSS

II

Serologi Dengue Positif

III

IV

8. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan dibedakan berdasarkan proses yang mendasari yaitu kebocoran plasma. Pedoman tatalaksana DD dan DBD, SSD berbeda dari segi resusitasi cairan dan indikasi perawatan di RS. Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi (SSD) diperlukan perawatan intensif.(1,2,3)

Demam Dengue Pada fase demam pasien dianjurkan : Tirah baring, selama masih demam. Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, dll

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). (1,2,3,4) Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue Tidak ada terapi spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi suportif yaitu pemeliharaan volume cairan sirkulasi akibat kebocoran plasma.

11

Protokol 1. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok Petunjuk dalam memberi pertolongan pertama pada penderita atau tersangka DBD di Unit Gawat Darurat serta dalam memutuskan indikasi rawat. Tersangka DBD di UGD dilakukan pemeriksaaan darah lengkap, minimal Hb, Ht dan trombosit. Bila hasil trombosit normal atau turun sedikit (100.000 150.000) pasien dipulangkan, wajib kontrol 24 jam berikut atau bila memburuk segera harus kembali ke UGD. Bila hasil Hb dan Ht normal, trombosit <100.000, pasien dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat, trombosit normal atau turun, pasien dirawat. (1,4)

Gambar 7. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok

Protokol 2. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok, diberi cairan infuse kristaloid dengan rumus volume cairan yang diperlukan per hari : 1500 + (20 x (BB dalam kg 20) Monitor Hb, Ht, trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-20% dan trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan monitor per 12 jam. Bila hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan pemberian cairan sesuai Protokol 3. (1)

Gambar 8. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

12

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20% Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Terapi awal pemberian cairan, infuse kristaloid dengan dosis 6-7ml/kg/jam. Monitor dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter nilai perbaikan adalah kadar Ht, frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila didapatkan tanda perbaikan maka dosis cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila 2 jam kemudian keadaan tetap dan ada perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap membaik dalam 24-48 jam kemudian, pemberian cairan infuse dapat dihentikan. Bila keadaan tidak membaik setelah terapi awal maka dosis cairan infus naik menjadi 10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan membaik, cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15 ml/kgBB/jam.Bila tanda syok (+) masuk ke protokol syok. (1)

Gambar 9. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

13

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah epistaksis, perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena atau hematoskesia), saluran kencing (hematuria), perdarahan otak, dan yang tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda vital, Hb, Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta pemeriksaan trombosis dan hemostasis. Heparin diberi bila tanda KID (+). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi bila Hb <10 g/dl. Trombosit hanya diberi pad pasien perdarahan spontan masif dengan kadar trombosit <100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang). (1)

Gambar 10. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok hipovolemia pada SSD. Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu evaluasi 15-30 menit kemudian. Bila renjatan telah teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 120 menit kemudian tetap stabil, dosis menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila stabil selama 24-48 jam, hentikan infus karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi terjadi (ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi hipervolemi, edema paru dan gagal jantung.
(1)

14

Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan darah perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin. Harus dilakukan pengawasan dini terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48 jam. Karena proses patogenesis penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid hanya menetap 20% dalam pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.(1) Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatikan nilai Ht. Bila ht meningkat, perembesan plasma masih berlangsung, maka pilihan cairan koloid. Bila Ht menurun kemungkinan perdarahan dalam (internal bleeding) maka dapat diberikan transfuse darah segar 10 cc/kgBB (dpt diulang sesuai kebutuhan). Tanda hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30/o dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.(1,2) Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB, evaluasi setelah 1030 menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang tidak menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. (1,2) Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan, Sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatian dan koreksi ganggguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID dan infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral sudah sesuai dengan target namun renjatan belum teratasi, maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor (dopamin, dobutamin, atau epinephrine). (1,2,4) Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dandilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahansebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.(2) Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.(2)

15

Gambar 11. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

16

Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)(2) 1. Kristaloid Larutan ringer laktat (RL) Larutan ringer asetat (RA) Larutan garam faali (GF) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA) Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF) (Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstran) 1. Koloid Dekstran 40, Plasma, Albumin Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl starch (HES).(2) Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan KID.(2) Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. (2) Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.(2)

17

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.(2) Kriteria Memulangkan Pasien(2) Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini 1. Tampak perbaikan secara klinis 2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik 3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) 4. Hematokrit stabil 5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul 6. Tiga hari setelah syok teratasi 7. Nafsu makan membaik

18

BAB III KESIMPULAN

Infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka kematian berkisar 24.000. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawatdaruratan DBD dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan global. (1,2,3,4,5) Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Keadaan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi,namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.(2,3,5,6) Pengobatan SSD bersifat suportif. Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting. Tatalaksana berdasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Pemilihan jenis cairan danjumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Penegakkan diagnosis DBD secara dini dan pengobatan yang tepat dancepat akan menurunkan angka kematian DBD. (1,2,3,4,5,6)

19

DAFTAR PUSTAKA

(1) Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006 (2) Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2005 (3) Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology Reviews. 1998.Vol 11, No 3 ;480-496 (4) Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Edition II. Geneva : World Health Organization. 1997. Available from htttp://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication Accessed December 1, 2009. (5) Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009

(6) Cook GC. Manson's Tropical Diseases. 22th Edition. United Kingdom : Elsevier Health
Sciences. 2008.

20

Anda mungkin juga menyukai