Anda di halaman 1dari 17

Dilema Perkebunan Kelapa Sawit dan Lingkungan di Borneo

Sejarah Borneo
Borneo jarang ditinggali oleh manusia karena iklim yang tak bersahabat dan lebatnya hutan hujan membuat populasinya kecil dan menyebar. Pengaruh masuknya transmigran melipatgandakan populasi dan memunculkan besarnya kebutuhan kerja. Awalnya industri Karet dan Penebangan kayu menyediakan lapangan pekerjaan, tapi runtuh hingga akhir 1990an. Meningkatnya pengangguran adalah masalah yang serius pada akhir 1990an dan 2000an serta terjadinya konflik etnis.

Di tengah permasalahan kemiskinan dan penganguran di Indonesia, kelapa sawit muncul sebagai salah satu solusi terbaik bagi masalah-masalah tersebut. Hampir setiap bagian dari tanaman kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan. Inilah yang menjadi alasan kenapa kelapa sawit begitu dibutuhkan oleh dunia. Keberadaan perkebunan kelapa sawit dikatakan sebagai penyelamat perekonomian masyarakat sekitarnya. Bersama dengan program PIR, kelapa sawit menjadi pahlawan yang menyejatherakan rakyat, serta memberikan peluang kerja yang menjanjikan bagi para pendatang atau transmigran. Banyak janji ditawarkan kelapa sawit, termasuk kekayaan. Maka wajar ketika banyak orang yang menginvestasikan uangnya untuk perkebunan kelapa sawit. Namun sayangnya, kebaikan-kebaikan itu justru harus dibayar mahal. Kelapa sawit yang merupakan solusi, harus membawa masalah lain, yang mungkin sama banyak dengan kegunaannya. Rakyat yang katanya disejahterakan, alam, makhluk lain yang tak bersalah, hingga moral manusia justru menjadi korban dari kelapa sawit itu sendiri.

86

persen dari penggundulan hutan tahun 1995-2000 adalah untuk perkebunan kelapa sawit Studi telah menemukan penurunan jumlah (80 persen untuk tanaman dan 80-90 persen untuk mamalia, burung, dan reptilia) dalam keragaman hayati menyusul diubahnya hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Lebih jauh lagi, banyak hewan tak akan masuk ke perkebunan

Penggunaan herbisida dan pestisida dapat pula berdampak pada komposisi spesies dan menjadi polusi di aliran sungai lokal. Dibutuhkan sistem pengeringan yang dibutuhkan untuk perkebunan (perkebunan kelapa sawit di Borneo biasanya didirikan di hutan rawa) bisa menurunkan tingkat air di hutan-hutan sekitarnya. Perusakan lahan gambut meningkatkan resiko datangnya banjir dan kebakaran. Pembukaan hutan dengan api yang dinyalakan oleh pemilik perkebunan kelapa sawit besar adalah penyebab terbesar satu-satunya pada kebakaran di Borneo pada tahun 1997-1998.

Perkembangan Borneo dari Tahun ke Tahun

Walaupun perkebunan kelapa sawit memberikan

kesempatan kerja yang besar di Borneo, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan. Kelangkaan dari kayu di beberapa bagian Borneo, membuat para penduduknya saat ini hanya memiliki beberapa pilihan untuk mengatasi perekonomian. Kelapa sawit sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari menanam karet, menanam padi, dan menanam buahbuahan.

Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit. Karena mereka tak memiliki kepemilikan legal atas tanah mereka, kesepakatan biasanya dibuat sehingga mereka memiliki 2-3 hektar (508 are) lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Mereka biasanya meminjam 3.000-6.000 USD (dengan bunga 30 persen per tahun) dari perusahaan induknya untuk biaya bibit, pupuk, dan kelengkapan lain. Karena kelapa sawit membutuhkan sekitar 7 tahun untuk berbuah, mereka bekerja seperti buruh dengan bayaran 2,5 USD per hari di perkebunan besar. Sementara lahan mereka belum menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan kelapa sawit. Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2 hektar adalah 682-900 USD per bulan.

Rendahnya pendapatan digabung dengan tingginya modal dan bunga akan membuat pemilik kecil ini terus-menerus berhutang pada perusahaan kelapa sawit. Ketergantungan pada perusahaan yang tidak bisa mereka percaya , mempunyai dampak pisikologis pada masyarakat. konflik muncul bila masyarakat melawan tindakan perusahaan.

SOLUSI

Greenpeace menyerukan agar:

Hentikan deforestasi terutama agar tidak ada lagi konversi hutan alam menjadi perkebunan, konversi lahan gambut menjadi perkebunan atau lahan bukan hutan, tanpa membakar lahan. Restorasi lahan gambut kritis yang sudah ditebang dan integrasi pengelolaan lahan gambut di kawasan yang sudah ditebang. Pengembangan skema perbaikan pengelolaan petani sawit skala kecil (seperti desa dosan) di lahan yang sudah terdegradasi di seluruh Sumatera dan Indonesia. Dukung komunitas lokal untuk melestarikan dan melindungi hutan mereka, dan mengambil metode ekologi bercocok tanam untuk perbaikan pengelolaan lahan.

WWF menyerukan: Menerapkan Proyek Perkebunan Generasi Baru (New Generation Plantation Project) Perkebunan yang dirancang atau dikelola secara buruk dapat mengancam hak atau kehidupan penduduk setempat dan mendegradasi ekosistem yang berharga, namun dengan produksi yang bertanggungjawab dapat memberi sumbangan positif bagi pembangunan ekonomi dan sosial setempat. Perkebunan Generasi Baru adalah hutan tanaman yang: Mempertahankan integritas ekosistem; Melindungi area yang memiliki nilai konservasi tinggi; Dikembangkan melalui proses partisipasi pemangku kepentingan yang efektif; dan, Menyumbang dalam pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Melakukan reboisasi kembali

Hutan selalu menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, alasan kebutuhan dan prioritas melestarikan hutan menjadi sama pentingnya, karena hutan memberi mereka karet, rotan, makanan dan kayu. Dengan menerapkan solusi tersebut, mereka yang dahulunya pernah mengabaikan hutan, saat ini lebih bijaksana dalam mengelola perkebunan kelapa sawit dan mereka akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini telah dipraktekkan secara nyata oleh Desa Dosan Kabupaten Siak, saat ini siklus kehidupan mereka telah sempurna dan tidak ada lagi kemiskinan di desa mereka. Diharapkan kesuksesan ini juga mampu diterapkan di Borneo

Komentar
Menurut kami, dengan menggunakan Sniff test yang

ditemukan oleh Graham H. Tucker mengenai Kebijakan Etika dan Profesi yang disebut dengan Tucker Framework, kita dapat mengetahui apakah suatu kegiatan bisnis dapat dikatakan layak dari sisi apapun baik dari sisi financial hingga secara etika.

Test mengenai kelayakan ini berkenaan dengan

beberapa pertanyaan; apabila salahsatu dari kelima jawaban tidak terpenuhi (jawaban:tidak), berarti kegiatan bisnis itu dapat dikatakan tidak layak.

Tucker Framework
Apakah ini menguntungkan? Hal ini berkaitan dengan financial perusahaan dalam tetap mempertahankan hidupnya.

Apakah hal ini Dibenarkan? Hal ini berkaitan dengan peraturan pemerintah yang mengatur di Negara tersebut.
Apakah hal ini adil? Pertanyaan ini berkaitan dengan para stakeholder yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Apakah hal ini benar? Hal ini berkaitan dengan peraturan dan keputusan manajemen yang membuat keputusan didalam perusahaan tersebut. Apakah hal ini dapat bersifat berkelanjutan dan dilakukan terus menerus? Hal ini memperhatikan dampak terhadap lingkungan perusahaan secara langsung dalam jangka panjang.

Apakah ini menguntungkan? Ya. Secara Financial, bisnis kelapa sawit ini sangat menguntungkan bagi perusahaan. Apakah hal ini Dibenarkan? Ya. Pemerintah dalam hal ini sangat mendukung bisnis ini untuk membantu pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan untuk warga disekitar kegiatan bisnis kelapa sawit.

Apakah hal ini adil?

Mungkin, Bagi para stakeholder; investor, kreditor, penduduk yang menjadi pegawai, pemerintah, masyarakat. Apakah hal ini benar? Ya, Bagi manajemen perusahaan, jika keinginan para stakeholder telah terpenuhi, maka keputusan untuk membangun bisnis ini adalah hal yang benar. Apakah hal ini dapat bersifat berkelanjutan dan dilakukan terus menerus? Tidak, bagi lingkungan hal ini sangat bertentangan dengan keempat tes lainnya. Hutan dengan pergantian bisnis Agriculture dan Populasi Hewan Langka semakin terganggu. Dalam jangka panjang, kebutuhan manusia tentang peduli lingkungan hidup dapat menjadi masalah besar.

Hasil Tucker Framework


Sehingga menurut kelompok kami dengan menggunakan Tucker Test, bisnis ini sebenarnya bertentangan dengan etika dan profesi. Saran: seharusnya pemerintah membatasi bisnis ini dengan memberikan solusi penduduk sekitar borneo pekerjaan lainnya yang tidak mengakibatkan kerusakan keseimbangan lingkungan secara luas dan dalam jangka waktu yang singkat.

Anda mungkin juga menyukai