Puisi Puisi
Puisi Puisi
Mentari merekah memancarkan sinarnya Laksana raya menunjukkan tahta Relung ruang hampa radiasi jiwa Coba ku tatap namun tak tersentuh raga
Kujaga pagiku dengan pagar embun Berharap tutup rekahan jiwa itu Kuselimuti dan kujaga dengan tenun Berharap kau tak menghilang dari hariku
Apa daya seorang dara muda Diterpa cahya raja jagat raya Tak dapat mengelak dari pancaran Sinar keabadian
Setetes embun di ujung pagi Akan hilang ditelan bumi Kuambil dan kusimpan di cekung tanganku Setetes embun untuk sejukkan jiwamu ibu
Kau pikul pompa di pundakmu Saat ku tanya untuk apa Kau kata untuk basmi hama di ladangmu
Kau bawa sekarung pupuk di sepeda ontelmu Saat kutanya untuk apa Kau kata untuk menyuburkan tanah di ladangmu
Kau sorong potongan batang kembang sepatu Saat kutanya untuk apa Kau kata untuk memagari ladangmu
Kau basmi hama dengan pestisida, hau suburkan tanah dengan pupuk urea, dan kau pagari ladangmu dengan kembang raya Kau kata tanahmu makmur dan jaya, tanah gunung subur dan gembur, dan pagar sayur mayur dapat memenuhi dapur Kenepa kau rusak tanahmu dengan bahan mengerikan itu? Kenapa kau semprotkan racun untuk merusak ekosistem? Kenapa kau bunuh cacing dengan membah pupuk kimia?
Jeruk mati, kol busuk, markisah asam, tomat gosong, cabai keriting Kau kata Tuhan murka tak mau menolongmu Kau kata alam telah berubah menjadi harimau Dan kau kata pemerintah tidak memperhatikanmu Sadarlah petaniku Kita hidup dari alam Bersahabatlah dengannya Jangan kau rusak dengan bahan berbahaya!
Pelayan Altar
Kupelajari kitabMu sepenuh hati Kubaca dan kurenungkan dalam diri Kucoba bicara dan kuwartakan dengan
Akhir Jaman
Orang-orang zaman sekarang sudah edan Kalau tidak edan dikata ketinggalan zaman
Bangunan tinggi pencakar langit dibangun Bandar udara diperlebar Jalan raya dipermulus Semua serapan air ditutup konblok
Ku kira mendung, namun limbah pabrik dalam bentuk asap Kukira air gembur