Anda di halaman 1dari 5

AMARAH Oleh : Lilo Rohili Sengatan mulut Emak Basiyah tak membuat Ceu Janah keluar dari rumahnya

nan megah itu. Di mulut Emak air liur jadi mendidih. Alisnya mengkerut. Tangannya gemetaran mengangkat kain yang ia lilitkan di pinggang. Entah jin apa yang merasuki tubuh Emak Basiyah, sekonyong-konyong ia bersumpah serapah dengan kontrol emosi tak beraturan. Semakin membuat orang-orang kampung penasaran. Penasaran ingin menyaksikan Emak Basiyah marah sekaligus ingin mengetahui bagaimana reaksi dari Ceu Janah yang terkenal sering memamerkan kekayaannya itu. *** Mendung mulai nampak. Hamparan langit menebarkan warna kelabu berserakan di batas khatulistiwa. Tak berapa lama lagi malam akan menyuguhkan aroma kesenyapan bercampur dengan hembusan kegelapan. Alam pun lambat laun akan lari untuk bersembunyi, seolah penat berjibaku dengan letih. Lampu rumah Tuhan segera di matikan. Getaran sepi siap menyelinap ke setiap lubang udara. Perlahan namun pasti, udara dingin malam beterbangan menyebar ke segala penjuru arah menyelimuti segenap gelap. Malampun menampakkan wajahnya. Seorang perempuan tua duduk dengan kaki selonjoran di atas amben (tempat tidur yang terbuat dari anyaman bambu) di halaman rumah. Urat-urat kakinya menegang akibat aktivitas yang melelahkan seharian menggarap sawah milik tetangganya bernama Haji Dullah. Semua pekerjaaan yang membutuhkan kekuatan otot itu dilakukannya sendiri. Padahal, bila melihat postur tubuhnya, banyak orang sepertinya tidak akan mempercayai kalau memang dia yang melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik seperti itu. Keriputnya mulai nampak di wajah. Keriputnya mengisahkan tentang lelah yang menumpuk serupa tumpukan karung berisi padi yang di simpan di leuit (tempat menyimpan padi) belakang rumahnya. Bola matanya redup dan melemah. Bola matanya kini telah tua, sama persis tuanya dengan perjalanan pedih hidup yang menahun. Begitulah, bertahun-tahun sosok perempuan tua itu berkiprah. Sampai kinipun ia tetap melakoninya. Menjadi petani sekaligus ibu bagi anak-anaknya yang sekarang telah beranjak dewasa semua. Orang-orang kampung memanggilnya dengan sebutan Emak Basiyah, perempuan berusia hampir setengah abad. Satu dari sekian warga yang hidup di kampung bernama Kalapa Dua yang terletak di Desa Panimbang Kabupaten Pandeglang. Orang sekampung lebih sering memanggilnya dengan Emak Iyah. Anaknya empat orang. Kedua anaknya sudah berumah tangga. Sementara anak ketiga dan keempatnya masih duduk di bangku sekolah dan bangku kuliah. Suaminya bernama Pak Wahid. Seorang petani yang kebetulan disisi lain memiliki keahlian sebagai tukang bangunan. Pintar dalam mengaduk semen, mahir menyusun bata, sanggup membuat kaso, dan cerdas dalam merancang bangunan rumah. Perekonomian di rumahnyapun tergolong tidak kaya. Hari ke hari Emak Basiyah gali lubang tutup lubang. Sebisa mungkin Emak Basiyah tak mau terlilit pada orang lain dengan hutang. Selalu mencukupkan kebutuhan rumah tangganya dengan hasil panen padi dan borongan suaminya mengerjakan proyek bangunan rumah penduduk sekitar. Emak Basiyah harus memutar otak agar senantiasa bijak dalam mengelola keuangan keluarga. Hampir seluruh penduduk kampung Kalapa Dua setuju bahwa orang yang paling menyenangkan dan paling sabar di kampung mereka adalah Emak Basiyah. Pribadinya yang ramai, mampu menghangatkan suasana. Gaya bicaranya yang gambreng (ramai) menjadikan

obrolan ringan menjadi semakin hangat dan berlanjut bak sinetron di televisi yang terus sambung bersambung tak kunjung selesai. Apalagi Emak Basiyah terkenal dengan gehgerannya (latahnya). Jika sudah keluar latahnya secara spontan -apalagi latah yang jorok-, gerrkontan semua orang akan tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut dibuatnya. Sepanjang hayatnya, belum pernah penduduk kampung disana mendengar Emak Basiyah cekcok dengan tetangga. Selama hidupnya Emak Basiyah selalu berusaha menyenangkan orang sekitar. Ramah tamah, hangat dan bersahabat dengan siapapun. Tua maupun muda. Iapun tak ingin berbuat tercela terhadap siapapun. Itu pula yang sering dititipkan oleh suaminya untuk di terapkan dalam kehidupan bertetangga dan dicontohkan pada anak-anaknya. Emak Iyah mah jalmina pikareuseupeun! (Emak Iyah itu orangnya menyenangkan) begitulah orang-orang kampung berkomentar. Dari sekian banyak orang yang menyukai Emak Basiyah, tak sedikit pula yang memandang sebelah mata terhadap Emak Basiyah dan keluarganya. Sindiran dan iri hati pernah hinggap di keluarga Emak Basiyah. Si Taopik kok bisa kuliah, Mak? Biayanya dari mana? Kuliah itu mahal lho, Mak! sindir salah seorang tetangga yang meragukan pendapatan Emak Basiyah. Rezeki mah datangnya dari Allah, Teh! Kalau kita mau berusaha mencari, Insya Allah pasti diberikan jalan, jawab Emak Basiyah. Jawaban bijak seperti itulah biasanya ia jadikan sebagai senjata untuk menangkis pertanyaan-pertanyaan aneh para tetangga. Alhamdulillah, kebetulan Taopik selain kuliah, dia juga sambil ngajar di SD Negeri Tarajusari sana, Teh! Jadi, lumayan lah bisa memperingan biaya kuliah, lanjut Emak Basiyah. Emak Basiyah sangat berharap besar pada Taopik. Di pundak Taopiklah Emak Basiyah menggantungkan harapan. Karena dari semua anak yang dimiliki Emak Basiyah, Taopik adalah satu-satunya anak yang bisa kuliah. Sementara anaknya yang lain pendidikannya rendah. Malam kian menghias. Taburan bintang di langit menambah semarak indahnya kreasi Sang Illahi. Sangat lumayan untuk memanjakan mata Emak Basiyah yang sudah perih ulah lelah siang tadi berpanas-panas dengan sorot matahari. Seketika itu pula bayangan putranya sekelebat nampak di antara taburan bintang di langit. Emak Basiyah tergugu pada putranya bernama Khaerudin yang sekarang mengais hidup di kota baja. Semenjak putranya dipinang oleh perempuan Cilegon, putranya itu tinggal bersama istrinya. Dipinang? Bukankah posisi perempuan yang selayaknya di pinang? Ya, dipinang. Keluarga perempuan Cilegon itulah yang meminta Khaerudin untuk menikahi putrinya. Apalah yang bisa dilakukan keluarga Emak Basiyah selain menerima dengan senang hati lamaran tersebut. Jangankan memiliki uang banyak untuk meminang seorang gadis, untuk sehari-hari saja Emak Basiyah harus memeras otak agar senantiasa roda ekonomi keluarga tetap stabil. Paling tidak memastikan agar esok anak-anaknya tak kekurangan makan. Ditambah lagi melihat posisi Khaerudin yang tak memiliki penghasilan tetap. Maklumlah pendidikan terakhirnya hanya sebatas Sekolah Dasar. Semakin menambah kepiluan hati Emak Basiyah terhadap putranya. Kamu terima saja niat baik keluarga Pak Burhanudin itu, Din. Siapa tahu memang putrinya jodoh denganmu. Hanya saja Emak berpesan, agar kita tidak dipandang sebelah mata, kamu juga harus bekerja keras mencari uang untuk menambahi biaya hajat pernikahan kamu nanti. Tutur Emak Basiyah pada putranya kala itu. Bentangan selimut malam telah meredupkan wajah bumi. Detak jam dindingpun ikut melambat seperti kelelahan berputar putar setiap waktu. Angin berhembus lembut menyapu langit. Nyamuk-nyamuk nakal semakin liar menggigit kulit kerut Emak Basiyah. Emak

Basiyahpun lelah bertarung dengan gigil dan angkat tangan dengan serangan nyamuk-nyamuk liar. Maka, Emak Basiyah memutuskan untuk mengakhiri lamunannya. Emak, sudah malam! Kalebet (masuk). Di luar dingin banget. Nanti Emak sakit. Panggilan Taopik membuyarkan kekhusyukan khayalan Emak Basiyah. *** Hey, kaluar maneh. Kadieu, lawan aing lamun maneh wani mah ! (Hey, keluar kamu. Sini, lawan aku kalau kamu berani!) serbu Emak Basiyah. Kampung Kelapa dua tiba-tiba geger dengan teriakan Emak Basiyah. Orang-orang kampung, lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, tua serta muda berhamburan keluar rumah menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi pada Emak Basiyah. Sosok yang begitu ramah, hangat dan menyenangkan tiba-tiba menjadi berang dengan posisi berkacak pinggang berdiri di halaman menghadap rumah megah kediaman Ceu Nurjanah. Seorang perempuan yang dipandang oleh orang-orang kampung sebagai pribadi yang paling judes, pelit dan sombong di kampung Kalapa Dua. Terkadang Ceu Janah tak segan-segan mencibir bila ada orang yang dia anggap tak dia sukai. Hey, Ceu Janah! Ngomong naon maneh (ngomong apa kamu) sama orang-orang kampung tentang anakku? Katanya kamu bilang sama orang-orang kampung kalau anakku si Khaerudin itu laki-laki yang tidak punya harga diri dan tidak bermodal, hah? Kamu bilang kalau anakku mau saja menikahi dengan perempuan sembarangan karena sudah di modali, begitu kan? Ceracau Emak Basiyah seraya mengelintingkan lengan baju. Wajahnya penuh bara api. Napasnya naik turun tak beraturan. Asal kamu tahu ya, biarpun kami dari keluarga miskin, pantangan bagi kami untuk mengemis-ngemis pada orang lain. Memang dasarnya Anakku itu sudah berjodoh dengan menantuku. Anakku Khaerudin orangnya tau diri, tidak seperti kamu. Anakku bekerja keras mencari uang demi biaya pernikahannya sendiri, tahu! Sengatan mulut Emak Basiyah tak membuat Ceu Janah keluar dari rumahnya nan megah itu. Di mulut Emak air liur jadi mendidih. Alisnya mengkerut. Tangannya gemetaran mengangkat kain yang ia lilitkan di pinggang. Entah jin apa yang merasuki tubuh Emak Basiyah, sekonyong-konyong ia bersumpah serapah dengan kontrol emosi tak beraturan. Semakin membuat orang-orang kampung penasaran. Penasaran ingin menyaksikan Emak Basiyah marah sekaligus ingin mengetahui bagaimana reaksi dari Ceu Janah yang terkenal sering memamerkan kekayaannya itu. Seketika Emak Basiyah membalikan badan dan menatap orang-orang kampung yang sedari tadi melihat pertunjukan hebat tersebut. Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, orang sekampung sekalian. Coba kalian semua jawab pertanyaanku, apakah menurut kalian anakku Khaerudin adalah laki-laki yang tidak punya harga diri dan tidak bermodal? Apakah kalian pikir anak saya senista itu? Apakah kalian akan rela berdiam diri saja ketika anak kalian diremehkan? Apakah kalian juga tega ketika bagian dari keluarga kalian di tuduh yang tidak-tidak? Kembali Emak Basyiah berpaling. Dulu aku memang sempat meminjam uang padamu untuk biaya pernikahan anakku, tapi aku urungkan. Aku kembalikan lagi uang itu padamu, karena aku tahu anakku pasti bisa berikhtiar sendiri mencari uang untuk biaya pernikahannya sendiri. Apakah karena itu sehingga sekarang kamu ungkit-ungkit dan kamu sebarkan berita yang tidak-tidak pada orang-orang sekampung? Emak Basiyah mendelik.

Pintu pagar rumah Ceu Janah terbuka. Suami Ceu Janah muncul dari dalam, keluar untuk menghampiri Emak Basiyah dan meminta maaf atas segala perkataan istrinya. Suami Ceu Janah meminta agar sebaiknya Emak Basiyah kembali pulang kerumahnya. Mana pamajikan maneh? Aing hayang nempo beungeut pamajikan maneh , (mana istri kamu? Aku ingin melihat wajah istrimu) kata Emak Basiyah dengan logat daerahnya yang kasar. Padahal suami Ceu Janah orang terpandang di kampung dan Emak Basiyah tidah terbiasa mengatakan maneh (kamu) pada suami Ceu Janah. Suami Ceu Janah adalah ketua RT yang sangat bijaksana di kampung. Emak Basiyah selalu hormat dan segan pada suami Ceu Janah. Sungguh sikap yang begitu berbanding terbalik dengan istrinya. Meskipun istrimu paling judes sekalipun di kampung ini. Aku tidak peduli. Mana dia? Hey, keluar kamu! Suruh dia keluar, lawan aku kalau berani. Tiba-tiba Emak! Pulang, Mak! teriak seseorang dari kejauhan. Rupanya Taopik putra Emak Basiyah yang baru saja pulang kuliah datang menghampiri. Taopik yang diberi tahu oleh tetangga mengenai perang mulut emaknya itu, segera melerai emaknya. Sudahlah, Mak, ayo kita pulang. Tidak baik jadi tontonan orang sekampung, lerainya begitu berdiri di sebelah ibunya. Di usapnya keringat Emak Basiyah yang menempel di dahi. Aku tidak mau pulang. Biarkan saja aku jadi tontonan, balas Emak Basiyah. Aku rela jadi tontonan apalagi untuk menghadapi perempuan paling judes di kampung ini. Tapi Mak, apa manfaatnya bagi Emak? tangan Taopik seketika menunjuk pada orang sekampung yang sedang menatap Emak Basiyah. Lihat! Emak hanya jadi bahan tontonan orang-orang sekampung. Dua bola mata Emak Basiyah menatap satu persatu orang sekampung yang menontonnya. Dari dulu kita memang miskin, Mak. Kita sudah terbiasa dipandang sebelah mata dan di remehkan oleh lain. Ucap Taopik penuh kasih sayang, kali ini dengan nada lirih. Hilang kesabaranku. Salahkah aku marah, Nak? Dia sudah menghina anakku. Kakakkmu sendiri. Taopik tidak menjawab apapun. Dia hanya bereaksi dengan gelengan kepala dan di iringi mata yang berkaca-kaca. Di peluknya Emaknya itu. Dengan menundukkan kepala penuh penyesalan Emak Basiyah mengikuti saran anaknya untuk pulang dan meninggalkan halaman rumah Ceu Janah. Pipinya basah oleh lumeran air mata. Gusti nu Agung, nyuhunkeun panghampura abdi anu lepat, (Tuhan yang maha besar, ampuni aku yang sudah khilaf) bisik hatinya. Untuk apa aku berteriak-teriak seperti tadi? tangis hatinya. Bukankah semua tadi perilaku angkuh? Gusti hamba sudah di perbudak setan. Sepeninggal Emak Basiyah, orang-orang kampungpun tanpa komando langsung membubarkan diri. Satu persatu pulang kerumah masing-masing dan kembali dengan aktivitas masing-masing pula. Hingga sampai halaman rumah Ceu Janah sepipun, Ceu Janah tidak kunjung muncul. *** Amarah Emak Basiyah menoreh perubahan drastis pada perilaku Ceu Janah. Judesnya lenyap. Bahkan, Ceu Janah tampak sebagai pendiam. (*)

TENTANG PENULIS LILO ROHILI adalah nama pena dari Ahmad Rohili. Lulus dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa jurusan Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia. Sampai saat ini, aktivitasnya masih berhubungan dengan dunia pengajaran dan tulis menulis. Saat ini sedang mengajar di SMA Terpadu Al-Qudwah dan menjual suara di radio swasta di Rangkasbitung. Hobi menulisnya yang sudah lama tidak ditekuninya karena rutinitas kerja, mulai digali kembali sejak tahun 2010 dan menghasilkan cerpen yang tergabung dalam kumcer Gilalova 3 dan Gilalova 4 (Gong Publishing), Tulisan curcolnya juga masuk dalam buku Teror Married (Glitzy Book Publishing). Serta cerpennya pernah dimuat di harian umum Radar Banten. Penulis bisa dihubungi di 087771932595

Anda mungkin juga menyukai