Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kesehatan Jiwa adalah bagian internal dari upaya kesehatan yang bertujuan menciptakan perkembangan jiwa yang sehat secara optimal baik intelektual maupun emosional (Kusumawati & Hartono, 2011). Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik yang dapat menghambat produktifitas individu dalam kehidupannya. Gangguan jiwa memang bukan sebagai penyebab kematian secara langsung, Tetapi akibat yang ditimbulkan dapat menyebabkan penurunan kemampuan dan fungsi baik secara individu maupun kelompok. Selain itu dapat juga menghambat pembangunan karena gangguan jiwa dianggap tidak produktif dan tidak efesien, serta memiliki cost yang tinggi untuk perawatan dan pengobatannya (Hawari, 2001). Masalah gangguan jiwa terjadi hampir diseluruh Negara di dunia. World Health Organization (WHO) badan dunia PBB yang

menangani masalah kesehatan dunia, memandang serius maslah ini dengan menjadikan isu yag penting dan menjadi salah satu pokok program kerja WHO (Sosrosumihardjo, 2010). Gangguan jiwa terdiri dari berbagai masalah dengan gejala yang berbeda, mereka umumnya ditandai oleh bebrapa kombinasi dari pikiran yang tidak normal, emosi, perilaku dan hubungannya dengan orang lain. Contoh gangguan jiwa seperti skizofrenia, depresi, retardasi mental, dan gangguan akibat penyalahgunaan narkoba sebagai isu yang perlu mendapatkan perhatian dari dunia (WHO, 2012). Data yang diperoleh dari Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menunjukkan 10% dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan bidang kesehatan atau psikiatri. Diperkirakan bahwa 2- 3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan

Poltekkes Kemenkes Palembang

perawatan di rumah sakit dan jika penduduk Indonesia belumlah sebanyak 120 juta jiwa, maka ini berarti bahwa 120 ribu jiwa berat memerlukan perawatan di rurnah sakit (Yosep, 2007). Salah satu Negara di dunia yang memiliki angka kejadian gangguan jiwa yang relatif cukup tinggi adalah Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) pada tahun 1995 yang dilakukan terhadap penduduk di 11 kotamadya oleh jaringan Epidemiologi Pskiatri Indonesia, ditemukan 185 per 1000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan jiwa baik yang ringan maupun yang berat. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia meningkatkan kejadian gangguan kesehatan mental mulai dari gangguan kecemasan, depresi, panik hingga gangguan jiwa yang berat seperti skizofrenia hingga pada tindakan bunuh diri (Susrosumihardjo, 2010). Jumlah penderita gangguan jiwa berat di Indonesia cukup memprihatinkan, yaitu mencapai 6 juta orang atau sekitar 2.5 persen dari total penduduk (Susrosumihardjo, 2010). Angka prevalensi gangguan jiwa berat yaitu psikosis ada sekitar 0.46 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 1.065.000 jiwa (Teguh, 2011). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan kementrian kesehatan pada 2007, prevalensi terjadinya masalah mental emosional seperti depresi dan ansietas, sebanyak 11.60 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 204.708.000 jiwa (Teguh, 2011). Berbicara tentang gangguan kesehatan jiwa salah satu yang paling banyak di derita pasien gangguan kesehatan jiwa adalah skizofrenia. Schizophrenia berupa gangguan yang terjadi pada fungsi otak yang merusak dan menghancurkan emosi. Selain karena faktor genetik, penyakit ini juga bisa muncul akibat tekanan psikologis di sekelilingnya (Hawari, 2009). Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa-III (PPDGJIII) Skizofrenia merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh bermacam penyebab yang ditandai dengan penyimpangan pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar. Pasien

Poltekkes Kemenkes Palembang

dengan diagnosis Skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu pasien cenderung apatis, menghindari kegiatan dan mengalami gangguan dalam penampilan. Pasien Skizofrenia akan mengalami gangguan dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari seperti kebersihan diri (Stuart and Laraira, 2007). Di Amerika angka pasien skizofrenia cukup tinggi (lifetime prevalence rates) mencapai 1/100 penduduk. Sekitar 20 % penduduk di Indonesia saat ini menderita gangguan kesehatan jiwa, hampir 80 % pasien skizofrenia juga mengalami kekambuhan secara berulang, bahkan bisa lebih besar lagi (Yosep, 2008). Di Indonesia diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari 220 juta penduduk mengalami gangguan jiwa (Swaberita, 2008). Prevalensi penderita Skizofrenia di Indonesia adalah 0,3% sampai 1%, dan terbanyak pada usia sekitar 18-45 tahun, terdapat juga beberapa penderita yang mengalami pada umur 11-12 tahun. Apabila penduduk Indonesia 200 juta jiwa, maka sekitar 2 juta jiwa yang menderita Skizofrenia (Arif, 2006). Skizofrenia merupakan gangguan jiwa bersifat menahun yang memerlukan waktu cukup lama untuk proses penymbuhan, terapi pada skizofrenia bertujuan untuk menurunkan angka kekambuhan

(Kraepelin,1919 dalam Hawari, 2001). Terapi pada Skizofrenia meliputi terapi psikofarmaka (antipsikotik), psikoterapi, terapi psikoterapi dan terapi psikoreligius (Kusuma, 2007). Ada beberapa alasan yang mendasari klien skizofrenia

menghentikan pengobatan diluar pengawasan medis. Menurut Ashwin (2007 dalam Bustilo, 2008) kejenuhan klien skizofrenia minum obat setiap hari, menyebabkan tingkat kepatuhan klien untuk minum obat menjadi menurun. Adapun klien skizofrenia yang menghentikan terapi dengan berbagai alasan seperti : adanya efek smping obat, gangguan pikiran dan anggapan bahwa terapi adalah sesuatu yang percuma (Hawari, 2001). Menurut penelitian Wardani (2009) menguraikan efek samping obat

Poltekkes Kemenkes Palembang

terhadap fisik , seksualitas, aktivitas dan tingkat konsentrasi menjadi alasan pasien tidak patuh , bahkan sampai menghentikan minum obat. Tidak kuat berdiri lama, mual, kaku, bicara pelo, dan badan tidak enak adalah ungkapan-ungkapan yang menggambarkan efek samping obat terhadap fisik. Kepatuhan adalah perilaku klien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan (Niven, 2002). Kepatuhan dalam pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku klien yang mentaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis (Australian College of Pharmacy Practice, 2001). Hasil penelitian Wardani (2009) tolak ukur perilaku patuh minum obat yaitu adanya kerjasama keluarga dan pasien dalam pemberian obat, kesadaran diri akan kebutuhan obat, kemandirian minum obat, kedisiplinan minum obat dan kontrol rutin setelah dirawat di rumah sakit. Penyebab ketidakpatuhan minum obat pada klien skizofrenia juga ada hubungannya dengan hendaya perilaku yang dialami. Keliat (2004, dalam Parendrawati, 2008) menguraikan hendaya perilaku yang muncul pada klien skizofrenia , salah satunya adalah tidak teratur minum obat ada sekitar 40 persen. Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan klien dalam minum obat, yaitu keyakinan individu, sikap negatif dari keluarga besar dan sikap tenaga kesehatan. Keyakinan terhadap kesehatan berkontibusi terhadap ketidakpatuhan. Klien yang tidak patuh biasanya mengalami depresi, ansietas dengan kesehatannya, memiliki ego lemah dan terpusat perhatian pada diri sendiri (Niven 2002). Tindakan keperawatan dalam mengatasi skizofrenia itu terdiri dari lima tahapan yaitu dimulai dari membina hubungan saling percaya, mengenal skizofrenia, mengontrol perilaku skizofrenia, memanfaatkan obat sesuai dengan advis dokter, memotivasi keluarga agar memberi dukungan untuk membantu pasien dalam mengontrol skizofrenia (Yosep, 2009) Keluarga pasien perlu mempunyai sikap yang positif untuk mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia. Keluarga perlu

Poltekkes Kemenkes Palembang

memberikan dukungan (support) kepada pasien untuk meningkatkan motivasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan perawatan secara mandiri. Keluarga perlu mempunyai sikap menerima pasien, memberikan respon positif kepada pasien, menghargai pasien sebagai anggota keluarga dan menumbuhkan sikap tanggung jawab pada pasien. Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga terhadap pasien akan berpengaruh terhadap kekambuhan pasien. Dukungan keluarga sangat penting untuk membantu pasien bersosialisasi kembali,

menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien secara pribadi dan membantu pemecahan masalah pasien (Keliat, 1996). Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007, p. 142). Menurut Lauriello yang dikutip Purwanto dalam Yoga (2011) proses penyembuhan pasien tidak terlepas dari dukungan keluarga. Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien jiwa . Ketika penderita gangguan jiwa melakukan rawat jalan atau inap di rumah sakit jiwa, keluarga harus tetap memberikan dukungan sesuai dengan petunjuk tim medis rumah sakit. Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh penderita gangguan jiwa dalam memotivasi mereka selama perawatan dan pengobatan. Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menentukan bagaimana sikap yang sebaiknya di ambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang mempunyai pendapat bahwa pasien boleh berhenti minum obat atau berobat apabila gejala-gejala sudah menghilang atau berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi untuk dapat sembuh saat proses pemulihan di rumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan (Irma, 2010).

Poltekkes Kemenkes Palembang

Secara umum ketidakpatuhan terhadap program terapeutik adalah masalah substansial yang ahrus diatasi untuk membantu individu berpartisipasi dalam perawatan diri dan mencapai tingkat kesehatan potensial yang maksimal. resiko Ketidakpatuhan minum obat dapat atau

meningkatkan

berkembangnya

masalah

kesehatan

memperpanjang dan memperburuk kesakitan yang diderita. Ada 20 persen klien yang dirawat di rumah sakit diperkirakan merupakan akibat dari ketidakpatuhan klien terhadap pengobatan (Brunner & Suddart, 2002). Dampak atau akibat yang dirasakan pada klien karena perilaku ketidakpatuhan menyebabkan kekambuhan empat kali lebih tinggi , klien yang terlanjur kambuh karena tidak minum obat, membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk kembali secara intensif (Bustilo, 2008). Menurut hasil penelitian Wardani (2009) akibat yang ditimbulkan dari perilaku ketidakpatuhan minum obat adalah terjadinya kekambuhan dan over dosis. Dampak ketidakpatuhan bagi keluarga yaitu timbulnya beban subjektif dan objektif. Beban subjektif berupa beban emosional dan kecemasan, beban objektif yang dirasakan keluarga meliputi terjadinya gangguan hubungan keluarga dan keterbatasan klien dalam melakukan aktivitas. Hasil penelitian Wardani (2009) sikap negatif keluarga besar terhadap pengobatan seperti sikap mendukung ketidakpatuhan dan ungkapan yang dapat menurunkan motivasi minum obat. Selain itu penyebab yang bersumber dari perilaku tenaga kesehatan adalah informasi yang tidak jelas dan ungkapan yang mematahkan semangat dari tenaga kesehatan secara tidak langsung menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh Kandar pada bulan Oktober 2011 mengenai penyebab kekambuhan klien skizofrenia dirawat ulang di RSJD dr. AGH Semarang, menunjukkan ada peningkatan angka kekambuhan klien skizofrenia karena ketidakpatuhan minum obat. Pada tahun 2011 ada 63 klien skizofrenia yang dirawat ulang kurang dari 1 bulan dan ada 121

Poltekkes Kemenkes Palembang

klien yang dirawat ulang lebih dari 1 bulan setelah mendapatkan perawatan dari rumah sakit. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan, pada tahun 2009 jumlah pasien gangguan kesehatan jiwa seluruhnya 29.781 orang dengan penderita skizofrenia yang dirawat inap selama tahun 2009 adalah sebanyak 4.313 orang dan untuk tahun 2010 jumlah seluruh pasien gangguan jiwa 30.196 orang dengan pasin rawat jlan berjumlah 26.698 orang, dan pasin rawat inap berjumlh 3.495 orang. Tahun 2011jumlah seluruh pasien gangguan jiwa 27.395 orang dengan pasien rawat jalan berjumlah 24.380 orang dan pasien rawat inap berjumlah 3015 orang. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan terjadi peningkatan kasus pasien skizofrenia setiap tahunnya, maka peneliti tertarik meneliti dan mengetahui tentang Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di poliklinik rawat jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013.

1.1.1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penilitian ini adalah belum diketahuinya dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013.

1.1.2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka timbul suatu

pertanyaan penelitian adalah apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013 ?

Poltekkes Kemenkes Palembang

1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013. 1.2.2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya distribusi frekuensi dukungan keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013. b. Diketahuinya distribusi frekuensi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013. c. Diketahuinya hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013.

1.3. Manfaat Penelitian 1.3.1. Teoritis Hasil penelitian ini berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya tentang dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. 1.3.2 Aplikatif 1.3.2.1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan RS dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan Sebagai sumber data untuk pengambilan kebijakan dalam menetapkan program-program kesehatan jiwa baik untu pembinaan kesehatan dikeluarga maupun masyarkat. 1.3.2.2. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan menjadi memberikan informasi, menjadi sumber referensi serta dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan mahasiswa tentang hubungan dukungan keluarga

Poltekkes Kemenkes Palembang

dengan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia bagi perkembangan ilmu keperawatan khususnya di Poltekkes Kemenkes Jurusan Keperawatan Palembang. 1.3.2.3. Bagi Peneliti Diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian mengenai hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah keperawatan jiwa. Meneliti hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan tahun 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey analitik dengan desain penelitian cross sectional. Teknik sampel menggunakan metode non random sampling, dengan pendekatan purposive sampling. Populasi pada penelitian ini adalah semua keluarga yang mengantar pasien skizofrenia di poliklinik rawat jalan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar. Sampel penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang dirawat jalan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar. Penelitian ini dilakukan antara bulan Mei Juni 2013 dan pengumpulan data dilakukan dengan cara pengisian kuisioner oleh responden.

Poltekkes Kemenkes Palembang

Anda mungkin juga menyukai