Anda di halaman 1dari 15

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

Penerapan Model Kooperatif Jigsaw pada Pembelajaran Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Aplikatif Mahasiswa Oleh I Gede Nurjaya (Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, UNDIKSHA) Abstrak Penelitian tindakan kelas ini dirancang menemukan strategi pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan aplikatif mahasiswa dalam matakuliah Metode PBSI. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa kelas A, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang memprogram mata kuliah Metode PBSI pada semester genap tahun ajaran 2008/2009. Data dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, dan tes, sedangkan analisis datanya menggunakan teknik deskriptif-kualitatif. Dengan prosedur seperti di atas, dihasilkan temuan-temuan berikut. (1) Terjadi peningkatan prestasi mahasiswa dalam (a) kemampuan pemahaman konsep dari 66,53 menjadi 82,86, dan (b) kemampuan aplikatif dari 62,38 menjadi 77,70. Dalam hal tingkat ketuntasan dicapai angka 85,71% untuk pemahaman dan 78,57% untuk kemampuan aplikatif. (2) Model penataan diskusi yang efektif adalah dengan teknik otorita-heterogenitas. (3) Strategi dalam penerapan model kooperatif jigsaw adalah dengan memanfaatkan peer assesment. Dengan temuan ini, disarankan kepada pengasuh mata kuliah Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya, maupun pengasuh mata kuliah sejenisnya agar memikirkan alternatif strategi ini untuk dicobakan. Kata Kunci assesment : kooperatif jigsaw, teknik otorita-heterogenitas, strategi peer

Abstract This classroom action research was designed to find out an effective learning strategy to improve students understanding and applicative ability in the teaching of Language and Literature Learning Methods. The subjects were the Class A students, Department of Indonesian Language and Literature who took up the course in the academic year 2008/2009. The data were collected by observation, interview, and test while the data were analyzed by descriptive-qualitative technique. By using the procedures above, the following findings were obtained. (1) there was an improvement in the students achievement in (a) ability to understand concepts from 66.53 to 82.86, and (b) the applicative ability , from 62.38 to 77.70. Concerning the level of mastery , the level of mastery in the students understanding was 85.71% and that for their applicative ability

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

was 78.57%. (2) the effective discussion organization model was authorityheterogeneity . (3) the strategy in applying the jigsaw type of cooperative learning model involved the use of peer assessment. With these findings, it is suggested to the lecturer who teaches this course , particularly, and the lecturers who teach similar courses to consider using this alternative strategy. Key words: jigsaw type of cooperative learning, authority-heterogeneity, peer assessment strategy

Pendahuluan Mata kuliah Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (MPBSI) adalah salah satu mata kuliah yang diharapkan dapat membentuk mahasiswa menjadi seorang guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Target kompetensi yang diharapkan dikuasai mahasiswa setelah mempelajari mata kuliah ini adalah pemahaman berbagai konsep pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dari berbagai model, metode, ataupun strategi pembelajaran, dan kemampuan mengaplikasikannya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dengan demikian, mata kuliah ini seyogyanya membekali peserta didik berbagai konsep dan keterampilan mengajar yang dibutuhkan untuk menjadi seorang guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain itu, mata kuliah ini semestinya menjadi mata kuliah yang bersifat aplikatif bukan sekadar teoretis belaka. Hanya saja, untuk menjadikan mata kuliah ini sebagai bidang yang aplikatif tampaknya masih merupakan kendala yang perlu dipecahkan. Dari pengalaman membimbing mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pengajaran Mikro dan pada saat mereka praktik mengajar di sekolah, kentara sekali bahwa mahasiswa lebih banyak mengetahui hal ihwal metode pengajaran bahasa secara verbalistis (teoretis).Pengetahuan mereka itupun sering kurang disertai pemahaman yang bersifat analitis apalagi praktis. Keadaan yang demikian ini menyebabkan mereka, umumnya, kurang memiliki keterampilan untuk mengaplikasikan konsep-konsep Metode PBSI dalam pembelajaran. Pemahaman konsep mereka pun ternyata kurang memadai juga. Kemampuan aplikatif mahasiswa berupa kegiatan menyusun skenario pembelajaran juga kurang. Penyebab munculnya permasalahan itu antara lain penggunaan model pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk, selain mampu memahami konsep metodelogi, juga mampu mengaplikasikannya untuk kegiatan pembelajaran. Akibat model pembelajaran 2

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

yang belum tepat itu menimbulkan adanya keengganan mahasiswa untuk secara aktif terlibat dalam pembelajaran. Kurangnya keterlibatan mahasiswa, baik secara mental maupun secara fisik, dalam pembelajaran mengakibatkan rendahnya pemahaman dan kemampuan aplikatifnya. Dengan demikian, permasalahan utama yang harus dipecahkan adalah bagaimana meningkatkan pemahaman dan kemampuan aplikatif mahasiswa dalam mata kuliah Metode PBSI? Untuk menanggulangi permasalahan itu, digunakanlah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Dalam model pembelajaran kooperatif Jigsaw, pebelajar dikelompokkan menjadi empat atau lima orang dalam satu kelompok. Dalam pembagian tugas yang harus dikerjakan oleh pebelajar, terdapat dua jenis kelompok, yaitu kelompok asal dan kelompok ahli. Dalam pola jigsaw ini tidak ada alasan bagi mahasiswa tidak aktif dalam diskusi karena mereka semua mendapat beban tugas yang berbeda. Tidak bisa tugas-tugas kelompok hanya dibebankan kepada satu dua orang seperti diskusi yang lazim dilaksanakan. Pola ini juga dapat menambah rasa percaya diri mahasiswa. Di lain pihak, pola ini juga menumbuhkan sikap menghargai teman karena setiap orang memiliki pengatahuan yang berbeda yang sangat diperlukan oleh semua peserta. Secara teoretis, model ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman teoretis dan kemampuan aplikatif mahasiswa dalam mata kuliah tersebut. Hal ini dimungkinkan karena model ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memahami konsep metode PBSI tersebut secara berkelompok. Pemahaman secara berkelompok diharapkan mampu menjadi solusi pemecahan permasalahan yang muncul ketika mereka belajar individual, apalagi pada saat pemahaman konsep secara kelompok ini mereka dibimbing oleh dosen pembimbingnya. Setelah terjadi pemahaman konsep, secara individu, mereka harus bertanggung jawab terhadap pemahamannya karena mereka akan menyampaikan pemahamannya kepada teman lain pada kelompok lain. Kegiatan menyajikan pemahaman kelompok oleh individu kepada teman dari kelompok lain ini mengharuskan mereka untuk memiliki pemahaman yang betul-betul baik agar kelompok lain juga memiliki pemahaman yang sama dengan yang dimiliki oleh kelompoknya sendiri. Selain pemahaman yang baik terhadap konsep yang menjadi tugasnya, mahasiswa secara individu juga harus mempersiapkan teknik penyajian yang baik sehingga memudahkan teman dari kelompok lain memahami konsep yang disajikan. Pada tahap menyajikan konsep pada kelompok lain inilah

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

berbagai strategi harus diterapkan dan berbagai perlengkapan harus disiapkan. Model pembelajaran kooperatif ini sejalan juga dengan pendekatan maupun metodepembelajaran bahasa seperti diungkapkan oleh Marton (1988), Johnson & Morrow (1987), maupun Nunan (1991) Model pembelajaran koopertif Jigsaw seperti tercermin dalam karya Jacob, dkk (1996), Kessler (1992), Slavin (1995), Muslimin (2005), Lie (2005) adalah produk perspektif psikologi sosial. Konsep kunci pendekatan tersebut adalah ketergantungan positif, yang memperhatikan persepsi tentang bagaimana mempengaruhi dan dipengaruhi. Ide ini bermula dari pikiran Deutsch yang menemukan bahwa ketergantungan positif mengarahkan penampilan superior. Johnson telah memperluas pendekatan ini dengan: (1) mengembangkan cara-cara mendorong positif interdependent, (2) mengusut struktur-struktur pembelajaran kooperatif dalam beberapa seting, (3) mendiseminasikan konsep-konsep tersebut pada para guru. Sistem Johnson memiliki lima unsur kunci, yakni: (1) positif interdependent, (2) individual accountability, (3) face-to-face interaction, (4) teaching collaborative skills, dan (5) processing group interaction. Langkah pembelajaran kooperatif dapat dilihat pada http://www.jigsaw.org/ Dalam kaitannya dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk menemukan strategi yang tepat dalam pembelajaran mata kuliah Metode PBSI dengan menerapkan model kooperatif jigsaw, maka permasalahan yang perlu dijawab untuk mengetahui keefektifan penerapan model ini adalah (1) Bagaimanakah pemahaman dan kemampuan aplikatif mahasiswa terhadap mata kuliah Metode PBSI?, (2) Bagaimanakah penataan jigsaw yang cocok untuk membelajarkan mahasiswa dalam pembelajaran mata kuliah Metode PBSI?, dan (3) Bagaimanakah strategi yang tepat untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan aplikatif mahasiswa pada mata kuliah Metode PBSI menggunakan model kooperatif jigsaw? Metode Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research) karena arahnya adalah untuk memperoleh tindakan yang tepat untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan aplikatif mahasiswa pada matakuliah Metode PBSI. Penemuan tindakan yang tepat sangat menguntungkan jika dilakukan dalam rangkaian tindakan yang berulang dalam suasana kolaboratif ilmiah. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa kelas A pada

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang memprogram mata kuliah Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada semester genap tahun ajaran 2008/2009. Prosedur penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahapan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi dan refleksi (Kemmis & McTaggart,1988; Lewin, 1946; McNiff, 1982, maupun Kasbollah, 1994). Pada tahap perencanaan dilakukan kegiatan berupa penentuan skenario pembelajaran yang akan diterapkan pada pelaksanaan tindakan, menyusun satuan acara perkuliahan beserta kelengkapannya, menyusun bahan ajar yang sesuai dengan skenario yang telah ditetapkan, menyusun instrumen penelitian (pedoman observasi dan pedoman tes) serta menyiapkan alat yang digunakan untuk membuat catatan lapangan. Pada tahap pelaksanaan yang digabungkan dengan observasi/evaluasi, dilakukan kegiatan pelaksanaan pembelajaran, mengobservasi pelaksanaan tindakan, melaksanakan tes, dan wawancara. Pada tahap refleksi, dilakukan analisis dan pengambilan keputusan berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah (a) observasi dan wawancara untuk mengumpulkan data tentang strategi pembelajaran dan model diskusi yang tepat, dan (b) tes dan unjuk kerja untuk menggali data pemahaman dan kemampuan aplikatif mahasiswa. Selanjutnya, data yang terkumpul diolah dengan analisis deskriptif. Hasil Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2008/2009, tepatnya minggu keempat bulan April dan minggu pertama bulan Mei 2009. Deskripsi proses pelaksanaan tindakan dan hasil belajar yang ditemukan pada penelitian ini akan dikemukan dengan pola pembahasan persiklus lengkap dengan refleksinya. Deskripsi Proses dan Hasil pembelajaran pada siklus I Proses pelaksanaan tindakan pada siklus I ini mengacu pada skenario yang dibuat sejak awal perencanaan penelitian. Pada pelaksanaan siklus ini, materi pokok yang dibahas adalah metode langsung dalam pembelajaran bahasa. Garis besar langkah-langkah pembelajaran pada siklus ini adalah (1) setelah membuka pembelajaran, dosen memulai dengan menjelaskan prosedur pelaksanaan pembelajaran pada hari tersebut; (2) membentuk kelompok dengan teknik

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

menghitung; (3) membagikan materi yang berbeda untuk tiap kelompok; (4) menegaskan sekali lagi tugas yang harus dikerjakan dalam kelompok; (5) masuk ke kelompok jigsaw untuk menjelaskan materi yang menjadi tanggung jawabnya; (6) membuat rangkuman materi secara keseluruhan; (7) tanya jawab kelas dengan difasilitasi oleh dosen pembimbing; (8) mengerjakan soal kuis; (9) membuat skenariountuk mengaplikasikan metode langsung. Dari pengamatan terhadap proses pelaksanaan tindakan tersebut dan juga wawancara terhadap beberapa mahasiswa, ada beberapa temuan yang dapat dilaporkan. Temuan-temuan itu adalah (1) Mahasiswa merasa teknik diskusi ini lebih baik dibandingkan teknik diskusi konvensional yang biasa dilakukan. Mereka mengatakan merasakan ada perubahan yang menantang untuk bekerja. (2) Sebagian mahasiswa terlibat secara intens dalam kegiatan pembelajaran, walaupun masih ada 1-2 orang yang kurang intens melakukan diskusi. Mereka ini masih suka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan topik diskusi. Mereka kadang-kadang berlebihan dalam bermain-main maupun mengobrol yang di luar topik diskusi. Tidak jarang mereka yang berperilaku seperti ini mengganggu temannya yang bermaksud serius. (3) Masih ada kesan bagi sebagian kecil mahasiswa, bahwa diskusi hanyalah menyelesaikan tugas secara berkelompok sehingga mereka cukup mempercayakan tugas tersebut hanya kepada beberapa temannya yang sering dianggap mampu. (4) Masih banyak mahasiswa yang belum sadar kalau mereka akan bertugas menyajikan secara individu hasil diskusi berupa materi yang menjadi bagiannya kepada kelompok lain secara individual. (5) Banyak mahasiswa masih kagok ketika harus menyajikan materi secara individu. Beberapa pertanyaan dari peserta sering juga tidak mampu diselesaikan. Hal ini tampaknya disebabkanoleh kurang siapnya mereka, baik dalam hal pemahaman konsep maupun untuk menjadi penyaji materi yang menjadi bagiannya. (6) Ada juga kesan dari sebagaian mahasiswa bahwa kegiatan diskusi ini seolah-olah hanya formalitas belaka sehingga sebatas hanya mengikuti saja. (7) Mahasiswa sepertinya merasa tidak menghadapitantangan ketika mereka menyajikan materi kepada kelompok pendengarnya, sehingga belum sempurna mempersiapkan diri. (8). Masih ada kelompok-kelompok yang kurang hiterogen sehingga masih ada kelompok yang anggotanya kumpulan mahasiswa kurang, sementara kelompok lain berkumpul mahasiswa yang memiliki kemampuan lebih.

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

Dalam hal pemahaman mahasiswa terhadap konsep metode PBSI, ditemukan rata-rata kelas sebesar 76,43. Capaian ini lebih tinggi jika dibandingkan capaian rata-rata kelas sebelum pelaksanaan penelitian ini yang hanya sebesar 66,53. Sementara itu, ketuntasan klasikal mencapai 67,86%. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif jigsaw mampu meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep metode PBSI. Hanya saja, tingkat capaian rata-rata kelas ini belum mencapai kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan yaitu 80 untuk rata-rata kelas dan minimal 80% untuk ketuntasan klasikal. Dalam hal kemampuan aplikatif ditemukan rata-rata kelas sebesar 69,98. Capaian ini lebih tinggi jika dibandingkan capaian rata-rata kelas sebelum pelaksanaan penelitian ini, yang hanya mencapai 62,38. Sementara itu, ketuntasan klasikal mencapai 64,28%. Jika dibandingkan dengan hasil sebelum pelaksanaan penelitian, hasil ini penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif jigsaw mampu meningkatkan kemampuan aplikasitf mahasiswa Hanya saja, tingkat capaian rata-rata kelas ini belum mencapai kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan yaitu 75 untuk rata-rata kelas dan minimal 75% untuk ketuntasan klasikal.

Refleksi siklus I Dari refleksi terhadap siklus I, disepakati bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif jigsaw dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa, baik pemahamannya maupun kemampuan aplikatifnya. Mahasiswa juga dianggap menyukai model ini. Hal ini terbukti dari hasil wawancara terhadap beberapa mahasiswa. Mereka mengaku model ini cukup baik untuk diteruskan, tidak mombosankan, dan menantang. Terlepas dari itu, siklus I masih menyisakan kelemahan yang harus dicarikan jalan keluarnya. Kelemahan-kelemahan itu adalah (1) kelompok yang dibentuk sebaiknya lebih memperhatikan hiterogenitas, walaupun harus melalui campur tangan maupun otoritas dosen, (2) ada mahasiswa yang perlu diberi pemahaman tugas secara lebih jelas dan pasti karena hal ini dapat menimbulkan tidak intensnya mereka mengikuti diskusi, (3) perlu diberi tantangan yang lebih untuk meningkatkan partisipasi dan keseriusan mereka dalam pembelajaran, (4) motivasi masih sangat diperlukan bahkan juga komentar-

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

komentar yang mampu mengurangi ketegangan tetapi meningkatkan pemahaman terhadap hakikat dirinya. Dengan memperhatikan hal-hal yang diperoleh selama pelaksanaan dan juga hasil tes maupun unjuk kerja mahasiswa, maka refleksi I memutuskan melakukan tindakan II dengan perbaikan terhadap proses pelaksanaan siklus I. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk siklus II adalah (1) lebih mengintensifkan paparan tugas kepada mahasiswa sehingga mereka meliki pemahaman tentang tugas secara lebih baik dan lebih jelas. Kejelasan tugas ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mereka terhadap kepastian kegiatan yang harus dilakukan baik secara individu maupun kelompok; (2) membentuk kelompok dengan sistem nominasi untuk mereka yang memiliki kemampuan lebih sehingga setiap kelompok hiterogen dari segi kemampuan. Dalam hal ini, dosen menominasikan dulu atau mendata mahasiswa yang memiliki kemampuan lebih. Mereka ini kemudian dibagi menjadi lima kelompok. Setelah setiap kelompok ada mahasiswa yang kemampuannya lebih barulah ditentukan anggota lainnya. Dalam hal ini, dosen langsung mengumumkan nama-nama untuk setiap kelompok. (3) memberi motivasi (dosen menjadi motivator) sebelum dan selama siswa berdiskusi pada kelompok ahli; (4) melakukan peer assesment untuk meningkatkan keseriusan dalam penyajian. Peer assesment ini diharapkan mampu memicu keseriusan dan memberi tantangan tersendiri kepada mahasiswa pada saat mereka akan tampil menjelaskan materi yang menjadi tanggung jawabnya.

Deskripsi Proses dan Hasil Pembelajaran pada Siklus II Proses pelaksanaan tindakan pada siklus II ini mengacu pada hasil refleksi pada siklus I. Pada refleksi siklus I ditetapkan ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan untuk pelaksanaan siklus II. Perbaikan tersebut antari lain : memberikan penjelasan awal mengenai tahapan pelaksanaan pembelajaran beserta tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa, dalam hal pembentukan kelompok yang lebih menunjukkan keheterogenan, pemberlakuan peer assesment pada saat penyajian hasil diskusi kepada kelompok jigsaw, dan pemberian motivasi. Materi pokok yang dibahas pada siklus II adalah pendekatan, metode, strategi komunikatif pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Garis besar langkah-langkah pembelajaran pada siklus ini adalah sebagai berikut ini. (1) Setelah membuka perkuliahan, dosen memulai dengan menjelaskan prosedur

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

pelaksanaan pembelajaran pada hari tersebut, antara lain menjelaskan tahapan kegiatan yang harus dilakukan dan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa; (2) Dosen mengumumkan pembagi an kelompok dengan teknik otoritas dan heterogenis. Dalam hal ini, pengajar sudah membentuk kelompok mahasiswa dengan mempertimbangkan kemampuan masing-masing mahasiswa setelah mendapat masukan dari mahasiswa. Jumlah kelompok tetap lima kelompok, dengan anggota kelompok 1 dan 3 sebanyak 5 orang, sedangkan sisanya 6 orang; (3) Dosen membagikan materi yang berbeda untuk tiap kelompok; (4) Kembali dosen menegaskan sekali lagi tugas yang harus dikerjakan dalam kelompok; (5) Mahasiswa memahami dan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk penyajian dalam kelompok ahlinya; (6) Mahasiswa masuk ke kelompok jigsaw untuk menjelaskan materi yang menjadi tanggung jawabnya, selanjutnya dosen mengumumkan pasangan peer assesmentnya. Misalnya Si A dinilai oleh siapa; (7) Mahasiswa kembali kelompoknya yang semula dan membuat rangkuman materi secara keseluruhan; (8) Tanya jawab kelas yang difasilitasi oleh dosen pembimbing; (9) Mengerjakan soal kuis; (10) Membuat skenario dengan mengaplikasikan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dari pengamatan terhadap proses pelaksanaan tindakan pada siklus II dan juga wawancara terhadap beberapa mahasiswa, ada beberapa temuan yang dapat dilaporkan. Temuan-temuan itu adalah (1) Sebagaian besar mahasiswa responden mengaku teknik diskusi ini lebih baik dibandingkan teknik sebelumnya karena tugasnya dan langkah-langkah kegiatan lebih jelas dan rinci. Mereka mengatakan merasakan ada perubahan yang menantang untuk bekerja; (2) Hampir semua mahasiswa terlibat secara intens dalam kegiatan pembelajaran. Mareka yang pada siklus I kurang intens melakukan diskusi kini sudah terlihat ikut terlibat secara fungsional dalam kelompoknya. Mereka ini sudah mulai tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan topik diskusi. Ngobrol yang di luar kegiatan pembelajaran sudah berkurang secara drastis; (3) Mahasiswa tampaknya sudah merasa bahwa diskusi ini bukan hanya sekadar menyelesaikan tugas secara berkelompok. Hal ini terlihat dari perilakunya yang tidak lagi hanya cukup mempercayakan tugas tersebut hanya kepada beberapa temannya yang sering dianggap mampu. Mereka sudah mulai merasakan bahwa mereka sendiri yang harus bertanggung jawab terhadap tugasnya. (4) Dengan adanya peer assesment, tanggung jawab mereka menjadi semakin besar. Mereka sadar kalau mereka akan

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

bertugas menyajikan secara individu hasil diskusi berupa materi yang menjadi bagiannya kepada kelompok sampai kelompok pendengarnya itu paham dengan materi yang disajikan. Mereka tampaknya harus mengeluarkan segala kemampuannya agar mendapat nilai yang baik dari temannya. (5) Muncul secara tidak sadar keinginan mereka untuk berkompetisi dalam penyajian, (6) Kagok yang terjadi ketika harus menyajikan materi secara individu pada kelompok jigsaw, apalagi mereka hanya sendiri yang bertugas menyajikan, sudah tidak tampak lagi. Mereka tampak lebih siap untuk membagi pengetahuannya dengan temannya tentu saja dengan harapan teman jigsawnya juga demikian adanya. Pertanyaan dari peserta sudah sering muncul dan dijawab sesuai dengan bagiannya walaupun masih ada jawabannya belum sempurna. Jawaban yang agak jauh dari pertanyaan sering mendapat sorotan dari teman jigsawnya. Umumnya, pertanyaan yang tidak terselesaikan dipecahkan secara berkelompok atau dibawa ke kegiatan tanya jawab kelas. (7) Kesan diskusi sebagai formalitas belaka sudah tidak tampak lagi. Mahasiswa tampak asyik baik ketika di kelompok ahli maupun di kelompok jigsaw. (7) Peer assesment lagi -lagi menjadi alat ampuh untuk memberi tantangan pada mahasiswa untuk tampil dan terlibat dalam kegiatan pembelajaran secara maksimal. Hal ini tampak dari persiapan yang dilakukan sebelum tampil. (8). Heterogenitas kelompok yang terbentuk tampak juga berpengarug positif dalam pemahaman konsep. Tidak jarang mahasiswa yang dianggap memliki kemampuan lebih menjadi narasumber di kelompoknya. Dalam hal pemahaman terhadap konsep metode PBSI, temuannya rata-rata kelas sebesar 82,86. Capaian ini lebih tinggi jika dibandingkan capaian rata-rata kelas sebelum pelaksanaan penelitian ini, yaitu sebesar 66,53 maupun capaian rata-rata kelas pada siklus I yang sebesar 76,43. Sementara itu, ketuntasan klasikal mencapai 85,71%. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif jigsaw dengan teknik penataan kelompok beru pa teknik otorita heterogenitas dipadu dengan peer assesment mampu meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap pemahaman konsep metode PBSI. Tingkat capaian rata-rata kelas ini jauh lebih tinggi dari sebelum penggunaan model kooperatif jigsaw. Berdasarkan kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan yaitu 80 untuk rata-rata kelas dan 80% untuk ketuntasan klasikal maka model dengan teknik penataan diskusi otorita heterogenitas dan strategi peer assesment sudah mencapai ketuntasan dalam hal pemahaman.

10

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

Dalam hal kemampuan aplikatif, rata-rata kelasnya sebesar 77,7. Capaian ini lebih tinggi jika dibandingkan capaian rata-rata kelas sebelum pelaksanaan penelitian ini, yang hanya sebesar 62,38, maupun capaian pada siklus I yang hanya sebesar 69,98. Ini berarti terjadi peningkatan rata-rata kelas sebesar 15,32 poin dari sebelum pelaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif jigsaw ini. Sementara itu, ketuntasan klasikal mencapai 78,57%. Jika dibandingkan dengan hasil sebelum pelaksanaan penelitian, hasil ini penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif jigsaw mampu meningkatkan kemampuan aplikasitf mahasiswa dalam pengaplikasian konsepkonsep metode PBSI. Tingkat capaian rata-rata kelas ini sudah mencapai kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan yaitu 75 untuk rata-rata kelas dan 75% untuk ketuntasan klasikal. Jika dibandingkan perbedaan antara rata-rata kelas kemampuan pemahaman konsep dengan kemampuan aplikatif mahasiswa pada siklus II ini tampak ada perbedaan poin sebesar 5,16. Keadaan ini lebih kecil dibandingkan dengan perbedaan poin rata-rata kelas pada siklus I yang sebesar 6,45 poin. Sementara itu, jika dilihat dari ketuntasan klasikal antara pemahaman mahasiswa dengan kemampuan aplikatifnya maka ada perbedaan sebesar 7,14 poin. Hasil ini menunjukkan bahwa keadaan yang terjadi pada siklus I tampaknya terjadi pada siklus II. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa kemampuan aplikatif mahasiswa kecenderungan lebih rendah dibandingkan dengan pemahaman konsepnya. Kenyataan ini tampaknya sudah menjadi kesan yang umum, bahwa penerapan lebih sulit dibandingkan dengan pemahaman konsep. Refleksi siklus II Refleksi yang telah dilakukan menyepakati bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif jigsaw dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa, baik pemahamannya maupun kemampuan aplikatifnya. Lebih dari itu, penerapan skenario yang direvisi sesuai dengan hasil refleksi siklus I, sudah mampu mengantar capain prestasi mahasiswa mencapai ketuntasan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kelemahan-kelemahan yang masih tampak pada siklus I seperti masalah heterogenitas kelompok, kekurang jelasan kegiatan yang harus dilakukan serta tugas yang harus dikerjakan, kurang tertantangnya mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya, serta lemahnya motivasi baik dari dosen maupun dari dalam diri mahasiswa, sudah dapat diatasi.

11

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

Pembahasan Hal-hal yang manarik untuk dibahas pada kesempatan ini adalah temuantemuan berupa peningkatan prestasi mahasiswa, perbedaan prestasi mahasiswa dalam hal pemahaman dan aplikasi konsep, strategi kooperatif jigsaw dengan peer assesment, dan penataan kelompok diskusi dengan teknik otorita heterogenitas. Prestasi mahasiswa, baik dalam hal pemahaman konsep maupun kemampuan aplikatif yang berkaitan dengan metode pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, tampak mengalami peningkatan setelah diajarkan dengan model kooperatif jigsaw ini. Peningkatan rata-rata kelas untuk pemahaman konsep dari 66,53 menjadi 82,86, dan untuk kemampuan aplikatif dari 62,38 menjadi 77,7, tentu saja merupakan peningkatan yang cukup tinggi. Peningkatan prestasi ini memang sudah diprediksi secara teoretis. Saling ketergantungan yang positif dan rasa percaya kepada teman turut berperan dalam peningkatan prestasi ini. Hal ini sejalan dengan konsep pembelajaran kooperatif yang bercirikan 1) saling ketergantungan secara positif, (2) tanggung jawab individu, (3) pengelompokan secara hiterogen, (4) keterampilan-keterampilan kolaboratif, dan (5) pemrosesan interaksi kelompok. Sebelum penelitian ini dilakukan memang ada juga mahasiswa yang prestasinya tinggi, tetapi jumlahnya sangat terbatas, yaitu hanya mereka yang memiliki kemampuan lebih. Pada penilitian ini, tampak sebagaian besar mahasiswa (tidak hanya yang pintar) sudah mampu mencapai prestasi yang melewati batas ketuntasan. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran kooperatif bahwa pembelajaran kooperatif cukup memberi manfaat juga kepada pelajar (mahasiswa) yang berkemampuan kurang. Untuk pebelajar yang memiliki kemampuan akademik rendah, manfaat belajar kooperatif adalah: (1) meningkatkan pencurahan waktu pada tugas, (2) meningkatkan harga diri, (3) memperbaiki sikap pebelajar terhadap IPA karena terbiasa debat seperti ilmuwan, (4) meningkatkan frekuensi kehadiran, (5) mengurangi angka putus sekolah, (6) penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar, (7) mengurangi prilakuprilaku mengganggu, (8) mengurangi konflik antar pribadi, (9) mengurangi sikap apatis, (10) meningkatkan pemahaman, (11) meningkatkan motivasi, (12) meningkatkan hasil belajar, (13) retensi atau penyimpanan lebih lama, (14) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi. Pernyataan ini menguatkan

12

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

predikasi semula bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkat prestasi jika diaplikasikan secara efektif dengan penataan kelompok dan strategi yang tepat. Hal lain yang menarik untuk dibahas dalam kaitannya dengan prestasi adalah adanya perbedaan antara pemahaman dan kemampuan aplikatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi dalam hal kemampuan aplikatif selalu lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan pemahaman. Baik pada siklus I maupun pada siklus II, kejadian itu tetap terjadi. Hal ini tampaknya sesuai dengan pendapat Bloom dalam taksonomi yang dibuatnya. Bloom menempatkan aplikasi sebagai ranah yang lebih sulit dibandingkan pemahaman. Pemahaman ditempatkan pada tingkatan kedua sedangkan aplikasi satu tingkat di atasnya. Fenomena menjadi menarik jika kita berpikir bagaimana caranya agar dalam hal kemampuan aplikatif, mahasiswa bisa memperoleh prestasi yang hampir sama sehingga tingkat ketuntasan bisa disamakan. Kajian ini perlu mendapat perhatian dalam penelitian-penelitian berikutnya. Apakah ada strategi yang tepat untuk mengejawahtahkan idealisme tersebut. Terlepas dari masalah itu, kemampuan aplikatif pada tingkat ketuntasan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini tampaknya memberi harapan dalam hal praktik mengajar mahasiswa pada saat mereka mengikuti perkuliahan Pengajaran Mikro dan PPL nantinya. Dengan kemampuan aplikatif dalam menyusun skenario pembelajaran yang sesuai dengan model yang dipakai diharapkan penampilannya saat praktik mengajar akan lebih baik. Kembali kepada prestasi mahasiswa, ketuntasan, baik dalam pemahaman maupuan kemampuan aplikatif, tidak terlepas dari penerapan model pembelajaran kooperatif dengan penataan kelompok diskusi dengan teknik yang peneliti istilahkan dengan teknik otorita-heterogenitas dan strategi pembelajaran yang menerapkan strategi peer assesment. Teknik otorita-heterogenitas dalam pembentukan kelompok ini ternyata efektif menghasilkan kelompok yang heterogen sehingga diskusi dalam kelompok ahli berjalan dengan sangat kondusif. Berbeda dengan teknik hitung random yang masih memungkinkan terbentuknya kelompok yang homogen. Teknikotorita-heterogenitas yang diterapkan pada penelitian memiliki tahapan berikut (1) menentukan nominasi mahasiswa yang berkemampuan lebih, (2) menyebar mahasiswa yang berkemampuan lebih itu ke dalam kelompok, (3) setelah dalam setiap kelompok memiliki anggota yang berkemampuan lebih, barulah ditentukan anggota dari kelompok tersebut. Pada langkah ini, terlihat otoritas dosen dalam menentukan mahasiswa berkemampuan

13

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

lebih yang harus masuk ke kelompok yang telah ditentukan. Setelah kelompok terbentuk, dalam pembelajarannya menggunakan strategi peer assesment, yaitu penilaian oleh teman sejawat. Strategi ini digunakan pada siklus II dengan sistem penilaian gilir satu, yaitu setiap mahasiswa dinilai oleh satu orang, dan penilai tidak dinilai oleh yang dinilainya tetapi oleh orang lain. Teknik ini ternyata juga cukup efektif yang berjalan dengan objektif. Anggapan yang mengatakan bahwa kalau mahasiswa disuruh menilai temannya maka akan ada kecendrungan mereka menilai secara tidak objektif, ternyata tidak ditemukan pada penelitian ini. Keobjektifan dalam hala penilaian ini tampaknya disebabkan oleh strategi jigsawnya. Dalam jigsaw, semua peserta membutuhkan informasi dari teman lainnya. Jika teman lainnya tidak memberikan informasi yang akurat tentu penerima informasi akan rugi. Inilah tampaknya pendorong mereka untuk berlaku objek. Simpulan Dari temuan dan bahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran pembelajaran kooperatif jigsaw dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan aplikatif mahasiswa dalam perkuliahan Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Peningkatan itu dibuktikan dengan meningkatnya rata-rata kelas dan ketuntasan klasikal. Rata-rata kelas untuk pemahaman konsep meningkat dari 66,53 (refleksi awal) menjadi 82,86 (siklus II). Rata-rata kelas untuk kemampuan aplikatif juga meningkat dari 62,38 (refleksi awal) menjadi 77,7 (siklus II). Sementara itu, dalam hal ketuntasan klasikal juga sudah tuntas berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Angka yang dicapai adalah 85,71% dari kriteria 80% yang telah ditetapkan untuk pemahaman konsep dan 78,57 % dari kriteri 75% yang telah ditetapkan untuk kemampuan aplikatif. Model penataan kelompok yang efektif untuk digunakan dalam penerapan model pembelajaran kooperatif jigsaw adalah teknik orotira heterogenitas, yang dalam hal ini memperhitungkan kemampuan mahasiswa dan kehetorgenan kelompok. Sementara itu, strategi peer assesment dalam penerapan kooperatif jigsaw juga efektif untuk meningkatkan partisipasi, semangat kompetensi, dan akhirnya mempengaruhi prestasi mahasiswa. Dari temuan ini, tampak bahwa jika ingin meningkatkan prestasi mahasiswa dalam hal pemahaman dan kemampuan aplikatif disarankan untuk menggunakan model kooperatif jigsaw dengan

14

Stilistetika Tahun I Volume 1, Nopember 2012 ISSN 2089-8460

pengelompokan menggunakan teknik otorita heterogenitas pembelajarannya menerapkan teknik peer assesment.

dan

strategi

Daftar Rujukan Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach. Boston: Allyn and Bacon. Jacobs, G.M., Lee, G.S, & Ball, J. 1996. Learning Cooperative Learning via Cooperative Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Education on Cooperative Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Center. Jigsaw. http://www.jigsaw.org/ Johnson, Keith & Morrow, Keith. 1987. Communication in the Classroom : Aplications and Methods for a Communicative Approach. England : Longman Group Ltd. Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Kasbollah, Kasihani. 1994. Penyusunan Usulan Penelitian Tindakan. Jakarta : Dikti (makalah) Kemmis, S and McTaggart, R. 1988. The Action Research Planner : Deakin University. Deakin. Kessler, Carolyn. 1992. Cooperating Language Learning : A Teachers Resource Book. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall Regents. Lewin. 1946. Action Research and Minority Problems. Journal of Social Issues. Vol 2. Lie Anita, 2005. Coopertive Learning( mempraktikkan cooperative learning di ruang-ruang kelas). Jakarta : Grasindo. Marton, Waldemar. 1988. Methods in English Teaching : Framework and Options. New York : Prentice Hall. McNiff, Jean. 1982. Action Research: principles and Practice . Macmillan Education Ltd. Macmillan. Muslimin,dkk. 2000.Model Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Nunan, David. 1991. Language Teaching Methodelogy : A Texbook for Teachers. New York : Printice Hall. Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon.

15

Anda mungkin juga menyukai