Anda di halaman 1dari 9

KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor gans kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinis paranasal (18 %), laring (16 %), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosetase rendah. Berdasarkan data Laboratoium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit. Diagnosis dini menetukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditmukan sebagai gejala pertama. Sangt mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup lima tahun) dari stadium awal dengan stadium lanjut, 76.9 % untuk stadium I, 56.0 % untuk stadium II, 38.4 % untuk stadium III dan hanya 16.4 % untuk stadium IV. Untuk dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitas perlu diketahui seleruh aspeknya, epidemiologi, etiollogi, diognostik, pemeriksaan serologi, histapologi, terapi dan pencegahan, seta perawatan paliatif pasien yang pengobatannya tidak berhasil baik.

Epiodemiplogi dan Etiologi Meskipun banyak di temukan di negra non-mongoloid, namun demikian dareh Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500 kasus pertahun untuk provinsi Guang-Dong (Kwantung) atau prevalensi 39. 84/100,000 penduduk. Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya kanker nsofaring, sehingga kekerapan cukuo tinggi terhada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia.

Di temukan pula cukup banyak kasus Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia pada orang Eskimo dan Alaska dan Tanah hijau yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawatkan dalam musim dingin dengan menggunkan pengawet nitrosamine. Di Indonesia frekuensi pasien ini hamper merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, ujung pandang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan,

Semarang, Surabay dan lain-lain menunjukan bahwa tumor ganas ini terdapat merataa di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengujung polikklinik tumot THT RSCM, pasien karisinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karisinoma nasofaring adalah Virus EpsteinBarr, karena oada semua pasien nasofaring di dapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. titer ini lebih tinggi dari pada orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun. Banyak penelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan satusatunya factor, karena banyak factor lain yang sngat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Letak geografis sudah disebutkan di atas, demikian pula factor rasial. Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Factor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas.Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini. Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina Selatan , satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien karsinoma

nasofaring dan 1 menderita tumor ganas payudara. secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain. Pengaruh genetic terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated immunity dari virus EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. Pengaruh infeksi dapat dilihat dengan menurunnya kejadian malaria akan diikuti oleh menurunnya pula Limfoma Burkitt, suatu keganasan yang disebabkan oleh virus yang sama.

Gejala dan Tanda Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor). Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relative jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. bila sudah mengenai seluruh saraf otakdisebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. Suatu kelainan nasofaring yang disebut dengan lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di Cina (RRC), yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring, seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistitis berat pada daerah nasofaring. kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.

Diagnosis Persoalan diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah

menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifisitsnya 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifisitasnya hanya 30,0% sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer 160. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berad dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topical dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

Histopatologi Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi. semua yang kita kenal selama ini dengan limfoepitelioma, sel transisional, sel spindle, sel clear, anaplastic dan lain-lain dimasukkan dalam kelompok tidak berdiferensiasi. Pada penelitian di Malaysia oleh Prathap dkk sering didapat kombinasi dari ketiga jenis karsinoma seperti karsinoma sel skuamosa dan karsinoma tidak berkeratinisasi karsinoma sel skuamosa dan karsinoma tidak berdiferensiasi karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdifernsiasi atau karsinoma sel skuamosa dan tidak berkeratinisasi serta karsinoma tidak berdiferensiasi.

Stadium Untuk penentuan stadium dipakai system TNM menurut UICC (2002) T = Tumor primer T0 - Tidak tampak tumor T1 - Tumor terbatas di nasofaring T2 Tumor meluas ke jaringan lunak T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring* T2b : Disertai perluasan ke parafaring T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal T4 Tumor dengan perluasan intracranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator Catatan : *perluasan ke parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kea rah postero-lateral melebihi fasia faringo-basilar. N = Pembesaran kelenjar getah bening regional NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0 Tidk ada pembesran N1 Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula N3a : Ukuran lebih dari 6 cm N3b : Di dalam fossa supraklavikula Catatan : kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral. M = Metastasis jauh MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 Tidak ada metastasis jauh M1 Terdapat metastasis jauh Stadium 0 Stadium I Stadium IIA Stadium IIb T1s T1 T2b T1 T2a T2b Stadium III T1 T2a,T2b T3 Stadium IVa T4 Stadium IVb semua T Stadium IVc semua T N2 N0,N1,N2 N3 semua N N0 N0 N0 N1 N1 N0,N1 N2 N2 M0 M0 M0 M1 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0

Penatalaksanaan Stadium I : Radioterapi : Kemoradiasi

Stadium II & III

Stadium IV dengan N<6 cm : Kemoradiasi Stadium IV dengan N>6 cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

Terapi

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, factor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan Cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan lebih baik. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radio-sensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring. Penobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemerikasaan radiologic dan serologi, serta tidak ditemukan adanya metastasis jauh. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.

Perawatan Paliatif Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebabkan karena kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut kerana jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut di atas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan Paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol gejala dan memperpanjang usia. Radiasi sangat efektif untuk mengurangi nyeri akibat metastasis tulang. Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.

Follow-Up Tidak seperti keganasan kepala yang lainnya, KNF mempunyai resiko terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi.

Pencegahan Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi. memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan factor penyebab. Melakukan tes serologic IgA-anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan dating bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

Daftar Pustaka 1. Van Hasselt CA, Gibb AG. Nasopharyngeal Carcinoma, 2nd Ed. The Chinese University Press. Hongkong, 1999. 2. Li ZQ, Chen JJ, Li WJ. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) and Nasopharyngeal Mucoal Hyperplastic Lesion (NPHL) with its Relationship to carcinoma

change. Nasopharyngeal carcinoma-current concepts. University of Malaysia, Kuala Lumpur, 1983: p.17-23. 3. Li Chen Chuan, NPC Epidemiology Risk Factors and Screening for Early Detection. Literature of Nasopharyngeal Carcinoma. WHO Collaborating Centre for Research No NPC. Cancer Institute / Tumor Hospital of Zhongsan College, Guangzhou, China, 1981 : p.1-35. 4. Adam GL, Boies LR and Paparella MM. Disease of the Nasopharynx. In : Boies Fundamentals of Otolaryngology. WB Saunders Co, Philadelphia, 1989 : p.335-7. 5. Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Dep.Kes.RI. Jenis Kanker yang dikumpulkan dari 17 bagian Patologi Anatomik di Indonesia (1977-1979), Jakarta, 1980.

Anda mungkin juga menyukai