Anda di halaman 1dari 6

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indikasi reaktivasi sesar/patahan Watukosek yang diduga telah menyebabkan terjadinya deformasi rupa muka bumi di daerah Porong, Sidoarjo menjadi isu sentral di masyarakat, karena penyebab deformasi tersebut sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Mazzini dkk (2007) mengemukakan bahwa pasca gempa bumi Yogyakarta diduga telah memicu mengaktifkan kembali (reactivation) patahan Watukosek, sehingga diduga membentuk rekahan baru (new fracture) yang merupakan salah satu sarana keluarnya Lumpur Sidoarjo (LUSI) dari bawah permukaan ke permukaan, dimana awalnya ada lima sumber, sekarang tinggal Big Hole LUSI. Abidin dkk dalam Prasetyo (2008) berkesimpulan bahwa rekaman berkelanjutan dari GPS menunjukkan bahwa reaktivasi patahan Watukosek terjadi sekitar empat bulan dari saat semburan Lumpur Sidoarjo pertama terdeteksi pada 29 Mei 2006. Lebih lanjut menurut Sardjono (2007), bahwa semburan lumpur panas yang terjadi di sekitar sumur eksplorasi migas BJP-1 Porong Sidoarjo keluar dari suatu bidang lemah yang dalam hal ini adalah patahan/sesar Watukosek, sedangkan sesar dangkal yang bersifat konsentris di sekitar BJP-1 disebabkan oleh adanya amblesan akibat perubahan porositas di bawah permukaan karena keluarnya suatu massa batuan bawah permukaan. Pada umumnya, terjadinya penurunan dan retakan (fracture) permukaan tanah merupakan deformasi muka bumi yang nampak dipermukaan. Sedangkan deformasi yang terjadi didaerah Porong ini, dikontrol struktur bawah permukaan, yakni dalam hal ini sifat elastisitas batuan dan adanya patahan Watukosek yang bergerak dari tenggara ke timur laut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1. Keberadaan gunung Penanggungan juga memberi kontribusi bagi terbentuknya geomorfologi di daerah Porong yang merupakan faktor utama, karena dari pegunungan tersebut diindikasikan merupakan jalur sesar Watukosek yang membujur melewati sungai Porong dan LUSI seperti pada Gambar 1.2.

Gambar 1.1 Keberadaan Patahan/sesar Watukosek (Rovicky, 2006)

Gambar 1.2 Sesar Watukosek yang segaris dengan mudvolcano di Jawa Timur (Mazzini, 2007).

Lebih lanjut, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melalui team geologinya juga mengadakan pengamatan terhadap patahan Watukosek. Hasil pengamatan geologinya diperoleh bahwa telah terjadi pembelokan sungai pada terusan sungai Alo didekat perumtas. Orientasi belokan sungai tersebut berarah N50E dari pusat semburan lumpur terhadap gunung Penanggungan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.3 Orientasi belokan sungai sistem patahan Watukosek (BPLS)

Deformasi pada kerak, yang diamati saat ini adalah jejak deformasi yang telah terjadi pada beberapa ratus atau juta tahun yang lalu, termasuk dalam struktur geologi. Aktivitas tektonik secara kontinyu menyebabkan terjadinya pengangkatan, penurunan, pembengkokan, pelipatan, dan patahan terhadap batuan. Deformasi rupa muka bumi dapat berupa deformasi vertikal dan horizontal. Deformasi vertikal berupa kenaikan atau pengangkatan suatu lempeng (lapisan) yang sering disebut sebagai uplift maupun amblesan (subsidence) yang dapat terjadi secara tiba-tiba (dapat berupa patahan/sesar) maupun secara perlahan-lahan. Amblesan jenis ini disebabkan karena adanya suatu amblesan dengan tetap terbebani, dan bebannya melebihi batas elastisitas batuan. Sedangkan deformasi horisontal merupakan perpindahan atau pergeseran suatu titik dengan cara maju, mundur, kesamping kiri dan kesamping kanan. Deformasi horisontal ini dapat mengakibatkan subsidence, yakni saat terjadinya gaya tarik yang mengakibatkan patahnya batuan (fracture/fault). Deformasi ini karena adanya sesar aktif (gerakan lempeng) ataupun stress (gaya tarik, gaya dorong). Pengaruh stress atau tegangan terhadap batuan tergantung pada cara kerja atau sifatnya. Magetsari dkk (2004) mengemukakan bahwa stress uniform menekan dengan besar yang sama dari segala arah. Dalam batuan dinamakan confining stress

karena setiap tubuh batuan dalam litosfer dibatasi oleh batuan disekitarnya dan secara merata ditekan oleh berat batuan di atasnya. Differential stress menekan tidak dari semua jurusan. Biasanya stress ini yang mendeformasi batuan dan dikenal tiga jenis differential stress yaitu tensional stress menarik batuan, compressional stress menekan batuan sedangkan shear stress menyebabkan pergeseran dan translasi. Differential stress ini disebabkan oleh gaya-gaya tektonik. Batuan yang terkena stress akan mengalami perubahan bentuk dan atau volume dalam keadaan padat yang disebut strain. Oleh karena itu, dari uraian dan kerangka berfikir di atas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul Studi anomali geomagnetik di bawah permukaan daerah Watukosek. Metode geomagnet atau metode magnetik merupakan salah satu metode fisika untuk eksplorasi bawah permukaan bumi yang telah banyak digunakan dalam eksplorasi mineral dan batuan (Sharma, 1997). Metode geomagnet dapat digunakan untuk menentukan struktur geologi besar bawah permukaan seperti sesar, lipatan, intrusi batuan beku atau kubah garam dan reservoir geothermal. Dalam eksplorasi geofisika lingkungan metode magnetik hanya akan memberikan gambaran secara umum (Reynolds,1997). Burger dkk (1992), mengemukakan bahwa metode magnetik dapat digunakan untuk mengetahui kedalaman dan struktur permukaan, sehingga pengukuran dapat diperoleh dengan mudah untuk studi lokal dan regional. Metode geomagnet juga memiliki kesamaan latar belakang fisika dengan metode gravitasi dimana kedua metode tersebut sama-sama berdasar kepada teori medan potensial, sehingga keduanya sering disebut sebagai metode potensial. Namun demikian, ditinjau dari parameter besaran fisika yang terkait keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Dalam metode geomagnet harus dipertimbangkan variasi besar dan arah vektor magnetisasi. Sedangkan dalam metode gravitasi hanya ditinjau variasi besar vektor percepatan gravitasi. Metode geomagnet ini bekerja berdasarkan pada pengukuran variasi kecil intensitas medan magnetik di permukaan bumi. Variasi ini disebabkan oleh kontras sifat kemagnetan (suseptibilitas) antar batuan di dalam kerak bumi (termasuk di dalamnya kemagnetan induksi dan kemagnetan remanen), sehingga menimbulkan medan magnet bumi yang tidak homogen, bisa disebut juga sebagai suatu anomali
4

magnetik. Selain itu, variasi medan magnetik dapat disebabkan oleh adanya perubahan struktur geologi di bawah permukaan bumi. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu bagaimana menentukan struktur bawah permukaan di daerah Watukosek dengan metode geomagnetik ? 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah: 1. 2. Menentukan anomali medan magnetik untuk mengetahui struktur bawah permukaan daerah Watukosek. Memberikan informasi tentang struktur bawah permukaan di daerah Watukosek. 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. 2. 3. 4. Pengambilan data di daerah Watukosek. Pengolahan data digunakan perangkat lunak surfer 8.0. Interprertasi kualitatif dengan melakukan up ward continuation. Interpretasi pemodelan anomali magnetik menggunakan metode Talwani 2D dengan memanfaatkan perangkat lunak GRAVMAG. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. 2. Mendapatkan informasi tentang struktur bawah permukaan di daerah watukosek. Menambah wawasan tentang penggunaan metode geomagnetik sehingga dapat dijadikan referensi untuk penelitian berikutnya dalam bidang geofisika.

Halaman ini Sengaja Dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai