Anda di halaman 1dari 13

Remaja dan bahasa: negosiasi budaya Arek melalui penggunaan bahasa oleh remaja

Ainurrahmah 070810067
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji konstruksi identitas virtual budaya Arek yang dilakukan oleh remaja anggota komunitas virtual dan interaksi-interaksi antar teks di situs jejaring sosial Facebook. Budaya Arek yang termediasi secara virtual menjadi menarik untuk diteliti karena keberadaan teknologi virtual telah merubah tatanan sosial dan budaya manusia, sehingga manusia tidak lagi membutuhkan pertemuan secara fisik untuk berbagi kebudayaan. Dimana, dari medium yang bersifat virtual tersebut pula identitas budaya Arek bisa hidup dan memiliki eksistensi. Facebook sebagai bagian dari new media, dimana walau gambar dan suara bisa dipertukarkan di dalamnya, mayoritas interaksi dalam Facebook merupakan interaksi tekstual. Dimana teksteks yang muncul merupakan hasil interaksi simbolik sebagai hasil dari interaksi sosial manusia di medium virtual. Remaja dipilih sebagai agen pengkonstruksi budaya Arek karena menurut Hurlock (1980, p.207), remaja merupakan salah satu kalangan yang terkena dampak cukup besar terhadap perkembangan teknologi internet. Dimana, pada masa inilah, individu remaja berada pada fase pencarian identitas diri melalui berbagai media termasuk internet. Maka menjadi menarik membahas tentang budaya Arek yang termediasi melalui komunitas virtual di situs jejaring sosial Facebook. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode virtual ethnography dan narrative analysis serta teori symbolic interactionism karena pisau analisis ini dianggap mampu mendekati pembacaan terhadap fenomena tersebut. Kesimpulan penelitian ini menghasilkan identifikasi mengenai budaya Arek secara virtual yang dihasilkan oleh remaja, antara lain budaya Arek yang muncul merupakan hasil modifikasi, karakteristik budaya Arek semakin diteguhkan melalui penggunaan artefakartefaknya, budaya Arek bisa didukung oleh siapapun tanpa dibatasi oleh letak geografis, kata Jancok merupakan kata khas budaya Arek, nama juga bisa menjadi media untuk memperlihatkan dukungan terhadap budaya Arek. Kata kunci: konstruksi identitas, budaya arek, remaja, komunitas virtual, Facebook

Pendahuluan
Penelitian ini berangkat dari fenomena yang muncul di masyarakat terkait dengan situs jejaring sosial Facebook yang berkembang pesat di Indonesia, sejak kemunculannya pada tahun 2005. Dalam perkembangannya tersebut Facebook berhasil membawa perubahan pada cara manusia berinteraksi dan membangun relasi dengan sesama. Salah satu fasilitas komunikasi yang disediakan oleh Facebook untuk penggunanya adalah Facebook group (kelompok)6. Melalui fasilitas ini, Facebook membebaskan para penggunanya untuk membentuk sebuah komunitas secara virtual, yang bisa digunakan untuk membahas berbagai macam hal. Komunitaskomunitas ini masuk ke dalam komunitas virtual karena menurut

pengertian Rheingold (2000 dalam Nocera, 2002) tentang komunitas virtual adalah sebagai berikut:
Virtual communities are social aggregates that emerge from Net when enough people carry on those public discussion long enough, with sufficient human feeling, to form webs of personal relationships in cyberspace.

Dalam pengertiannya tersebut, Rheingold menjelaskan bahwa komunitaskomunitas yang muncul melalui fasilitas dalam situs jejaring social Facebook dapat dikatakan sebagai komunitas virtual karena muncul dari kebutuhan sekelompok manusia yang memiliki kesamaan visi untuk bertukar pikiran melalui cyberspace. Komunitas-komunitas virtual yang tercipta di Facebook, banyak yang dibentuk untuk keperluan forum berdiskusi maupun sebagai representasi dukungan bagi budaya-budaya tertentu. Komunitas virtual tersebut merupakan bagian dari human society atau human group yang merupakan kumpulan dari berbagai individu yang saling terkait dalam sebuah aksi. Dimana aksi-aksi tersebut meliputi aktivitas yang sangat banyak yang ditampilkan dalam kehidupan masingmasing individunya sebagaimana mereka saling menghadapi satu sama lain dan sebagaimana mereka berurusan dengan situasi yang mereka hadapi7. Budaya sendiri pada awalnya terbentuk akibat persentuhan fisik manusia dengan sesamanya. Seperti yang diungkapkan oleh Olsen (1968, h.52), yakni:
As individuals interact with each other in recurrent social relationship to form patterns of social order, they generate ideas about these collective endeavors which they sahre with their fellow participants. As they communicate about common activities, exchange attitudes, values, and beliefs, they create a culture.

Dalam ungkapannya tersebut, Olsen menjelaskan bahwa budaya timbul dari relasi antar individu secara fisik yang kemudian dianut secara bersama. Sehingga ketika sebuah budaya kemudian termediasi ke dalam cyberspace dimana tidak ada interaksi manusia secara fisik, maka menjadi menarik untuk melihat mekanisme perpindahan budaya tersebut dari yang semula bersifat fisik menjadi sesuatu yang bersifat virtual. Seperti yang diungkapkan oleh Mead (1927 dalam Nocera, 2002), This situation accentuates the symbolic and cultural dimension along which humans differ from the rest of the organism in the world. Dalam ungkapannya tersebut Mead menjelaskan sebuah proses interaksi, yang semula bersifat fisik kemudian beralih menjadi virtual dapat mengakibatkan munculnya situasi simbolik serta

dimensi budaya yang membuat manusia berbeda dengan organisme lainnya. Yang kemudian diperkuat dengan pernyataan Blumer (1969, h.83) yang mengatakan bahwa, ... the behavior of people as member of a society is an expression of the play on them of these kind of factors and forces. Dari pernyataannya tersebut Blumer menjelaskan bahwa perilaku dari anggota sebuah masyarakat merupakan ekspresi dari dorongan-dorongan dan faktor yang mempengaruhi mereka, salah satunya adalah budaya. Dimana dorongan untuk bergabung atau membentuk sebuah komunitas virtual pun menjadi salah satu ekspresi yang ditunjukkan oleh seorang individu. Sehingga kemudian komunitas virtual yang terbentuk di Facebook itu sendiri merupakan bagian dari identitas budaya yang juga didukungnya. Dari komunitas-komunitas virtual yang terbentuk di Facebook, muncul beberapa komunitas virtual yang bertema budaya Arek atau Surabaya. Dimana komunitas-komunitas tersebut banyak membahas mengenai sejarah kota Surabaya, tim sepak bola Surabaya, info-info terbaru mengenai Surabaya, serta budaya Arek. Dalam komunitas virtual ini, identitas akan kota Surabaya muncul dari penggunaan simbolsimbol mengenai kota Surabaya, bahasa, maupun artefak-artefak khas Surabaya. Salah satunya adalah komunitas virtual yang bernama Grammar Suroboyo Cokk!!!!!!!!!. Komunitas virtual ini dipilih karena komunitas virtual ini bertujuan untuk melestarikan bahasa Surabaya, yang mana bahasa sendiri merupakan salah satu artefak yang berhubungan sangat erat dengan identitas budaya Arek. Melalui group info (lingkaran merah di bagian kanan gambar)8, kita bisa mengetahui bahwa kemunculan komunitas virtual ini ditujukan untuk melestarikan bahasa Surabaya dan mengajak seluruh anggotanya untuk menggunakan bahasa Surabaya ketika berinteraksi. Pada gambar di bawah, identitas Surabaya diperlihatkan melalui pemakaian nama yang menggunakan kata Suroboyo dan Cok. Kata-kata tersebut merupakan bagian dari bahasa Surabaya yang kemudian digolongkan ke dalam budaya Arek. Remaja dan bahasa: negosiasi budaya Arek melalui penggunaan bahasa oleh remaja Dalam subbab turunan ini akan dibahas mengenai bagaimana remaja menggunakan bahasa dalam berinteraksi di dalam komunitas virtual maupun di akun pribadinya. Apakah terdapat perbedaan? Apakah bahasa yang digunakan merupakan bahasa Arek atau yang lain? Hal ini karena penggunaan bahasa juga bisa membawa dampak usia, letak geografis, gender, dan lain-lain. Dimana bahasa sendiri juga memiliki muatan agency di dalamnya. Untuk itu dalam 3

pembahasan ini, peneliti akan menggunakan teks-teks yang diproduksi oleh remaja serta remaja yang dilakukan etnografi. Teks-teks yang akan digunakan untuk mendiskusikan topik ini dapat berupa status, komentar-komentar, nama profil yang digunakan diproduksi oleh remaja anggota komunitas virtual. Bahasa menjadi fokus utama dalam pembahasan ini karena bahasa merupakan kendaraan utama bagi seseorang untuk membentuk pribadi online serta menerima keberadaan pribadi online yang lainnya (Wood & Smith, 2005, h.60). Dimana melalui penggunaan bahasa pula usia, jenis kelamin, kelas sosial dan pekerjaan seseorang dapat diketahui (Thomas et al, 2004, h.114). Pada medium seperti Facebook yang interaksi utamanya adalah teks, pribadi seseorang dikenali tidak melalui penampilan secara fisik Language allows us as speaker to locate ourselves in a multidimensional society. Sehingga bahasa kemudian menjadi penting untuk menentukan identitas budaya yang didukung oleh seorang individu. Dalam subbab ini akan dibahas mengenai bagaimana penggunaan bahasa Arek tertampil secara virtual dan diproduksi oleh remaja. Dimana bahasa Arek yang ideal yang diidentifikasi oleh Adipitoyo (200-), secara fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis berbeda dengan bahasa Jawa dialek yang lain, juga memiliki tingkat tutur (ngoko, krama, krama inggil) yang berbeda pula. Adipitoyo juga menyebutkan bahwa asal usul bahasa Arek merupakan sisa-sisa bahasa Jawa Pertengahan (masa Majapahit) dan gerakan Jawa Dwipa. Dialek bahasa Arek sendiri terkesan lebih kasar dan lugas dibandingkan dialek bahasa Jawa lainnya. Remaja sendiri merupakan kategori usia yang sangat ekspresif dalam berbahasa, baik secara tertulis maupun lisan. Dimana penggunaan sebuah kata mampu merefleksikan cara berpikir seseorang (Turkle dalam Thomas et al, 2004, h.118). Sehingga akan menarik untuk melihat bagaimana teksteks yang diproduksi oleh remaja memiliki muatan berpikir yang mampu mengasosiasikan dirinya kepada sebuah budaya tertentu. Untuk membuka bahasan mengenai bagaimana remaja menggunakan bahasa untuk mengkonstruksi budaya Arek, maka peneliti akan menggunakan teks yang diproduksi oleh remaja, yang muncul pada komunitas virtual GRS: Generation Remaja Surabaya. Pada gambar di atas terdapat percakapan yang berasal dari komunitas virtual GRS, sesuai namanya komunitas tersebut beranggotakan remaja-remaja yang berasal dari Surabaya. Dimana kebanyakan remaja yang lahir dan tinggal di Surabaya, akan menggunakan bahasa Arek ketika berkomunikasi dengan orang lain, sebagai bagian dari bahasa sehari-hari yang 4

digunakan. Tetapi pada teks di atas yang diproduksi Nurdean Andrea dan Hariz John tidak demikian, seperti yang terlihat di bawah:
Nurdean Andrea :add facebook gue dong sobat :D Hariz John :Bentar Sobat Gue Add...

Dari percakapan di atas, baik Nurdean maupun Hariz tidak menggunakan bahasa Arek, tetapi menggunakan kata-kata yang berasal dari berbagai macam bahasa. Mulai dari kata add yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti tambahkan. Kemudian kata gue yang berasal dari bahasa Betawi yang berarti aku. Serta kata sobat yang berasal dari kata sahabat dalam bahasa Indonesia. Hal ini memperlihatkan bahwa mekanisme dalam Facebook menawarkan kebebasan bagi penggunanya untuk menggunakan bahasa sesuai dengan keinginannya masing-masing. Seperti yang diargumentasikan oleh Foucault (1972 dalam Barker & Galasiski, 2001, h.12) terhadap pembacaan bahasa yang ditawarkan oleh para teoris strukturalis, dimana bahasa memiliki aturan yang ketat dalam penggunaannya. Sehingga ketika bahasa tidak digunakan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka apakah bahasa tersebut kemudian tidak bisa dimaknai oleh komunikan? Tetapi pada kenyataannya, walaupun bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan aturan yang ada, tetapi jika terdapat kesepakatan makna antara komunikan dan komunikator, maka pencapaian makna pun dapat terjadi. Hal ini senada dengan penyataan Saussure dan Levi-Strauss (1960 dalam Barker & Galasiski, 2001, h.4), yang menyatakan bahwa, ...meaning is generated through the rules and conventions which organize language. Sehingga kemudian bahasa dapat dilihat tidak lagi sebagai refleksi terhadap sebuah obyek di dunia, tetapi sebuah alat untuk mencapai tujuan kita (Rorty dalam Barker & Galasiski,2001, h.29). Karena bahasa memberikan manusia kontrol terhadap fenomena yang dialaminya dan mampu membuat manusia mengidentifikasi sesuatu secara mendalam (Wood & Smith, 2005, h.17). Selanjutnya peneliti akan membahas mengenai bagaimana penggunaan bahasa kemudian menimbulkan kontradiksi terhadap identitas budaya Arek yang ingin ditampilkan oleh sebuah komunitas virtual. Untuk itu pertama-tama peneliti akan menggunakan teks yang dihasilkan oleh remaja pada komunitas virtual GRS: Generation Remaja Surabaya, Penggunaan Bahasa untuk Berkomunikasi pada Komunitas Virtual GRS: Generation Remaja Surabaya menggunakan bahasa Arek. Dimana berdasarkan hasil virtual participant observation hingga 31 Mei 2012, bahasa Arek yang muncul dalam komunitas virtual ini hanya berasal dari anggota komunitas yang bernama Gdr-Screamolovetodeath. Kenyataan tersebut memperlihatkan sedikitnya produksi bahasa 5

Arek dalam komunitas virtual yang menamakan dirinya Generation Remaja Surabaya, sehingga aspek-aspek identitas budaya mengenai Surabaya tidak muncul dalam komunitas ini. Kontradiksi tersebut, ternyata tidak hanya muncul pada komunitas GRS saja, tetapi juga pada komunitas Grammar Suroboyo Cokk!!!!!!!!!, pada percakapan tersebut muncul sebuah kontradiksi penggunaan bahasa di dalam sebuah komunitas virtual yang secara eksplisit mengajak anggotanya untuk melestarikan bahasa Arek. Dimana kebanyakan dari komunikasi yang terjalin antar anggota dengan menggunakan bahasa Arek. Seperti yang terlihat pada percakapan berikut:
Prajurit Expec, 2 Desember 2011: ojok ngaku arek suroboyo lek gak tau ngomong jancok, matamu, raimu, ambek gatel cok Ririd Krystal, 3 Desember 2011: ada yg maen naruto ps 2 gak? (naruto shipuden 2). Cara dapetin sasuke yg kecil sma yondaime gmn yo?

Dari fakta di atas, terlihat bahwa pada tanggal 2 Desember Prajurit Expec sudah memproduksi teks yang mengingatkan orang yang merasa sebagai orang Surabaya untuk tidak tabu menggunakan bahasanya sendiri, yakni bahasa Arek. Tetapi kemudian pada tanggal 3 Desember, Ririd Krystal yang tergolong remaja memproduksi pesan dengan menggunakan bahasa Indonesia pada komunitas virtual yang memang berfokus untuk melestarikan bahasa Arek. Padahal setelah ditelusuri, Ririd ternyata mengakui bahwa dirinya berasal dan tinggal di Surabaya. Tentu kemudian hal ini menimbulkan kontradiksi dan ketidakcocokan minat antara Ririd dan anggota kelompok lainnya serta tujuan dari didirikannya komunitas virtual ini. Hal ini memperlihatkan bahwa bahasa sebagai bagian dari identitas budaya memiliki sifatsifat yang sangat cair karena penggunaannya tidak memiliki batasan geografis. Barker & Galasiski (2009, h.30), ... language does not mirror an independent object of world, but construct and constitute it. Dimana bahasa bukanlah cerminan dari sebuah obyek di dunia tapi melalui bahasalah obyek tersebut dikonstruksi. Dimana didalam bahasa dan proses simbolik pulalah, sebuah ideology atau budaya mampu dikonstruksi dan pada tahapan material bahasa mampu menyatukan banyak orang (Denzin, 1991, h.29). Jenis teks menarik lainnya yang kemudian muncul yang berkaitan dengan penggunaan sebuah bahasa adalah penulisannya. Teks ini ditemukan peneliti pada komunitas virtual GRS: Generation Remaja Surabaya. Dimana menurut kadiah dan tata aturan berbahasa Indonesia yang benar, penulisan huruf haruslah menggunakn huruf kecil, kecuali untuk awalan kalimat yang diharuskan untuk 6

menggunakan huruf besar. Tetapi pada gambar III.6. di bawah ini, ditemukan fakta yang menarik, dimana seorang remaja menuliskan kalimat berbahasa Indonesia dengan menggunakan ukuran huruf-huruf yang bercampur pada tiap katanya. Cara Remaja dalam Menuliskan Kata-kata yang Ditemukan pada Komunitas Virtual GRS: Generation Remaja Surabaya Jenis-jenis penulisan kata-kata seperti yang terlihat pada gambar di atas sangat banyak sekali ditemukan di kalangan remaja. Hal ini bisa dikatakan sebagai bagian dari sifat ekspresif yang dimiliki oleh golongan usia remaja. Dimana medium yang digunakan (Facebook), mampu memberikan kebebasan bagi remaja untuk mengeluarkan ekspresinya. Hal ini karena terkadang medium itu sendiri memberikan ruang bagi penggunanya untuk memperlihatkan detil-detil tertentu yang secara sosial tabu untuk diperlihatkan (Bargh dalam Wood & Smith, 2005, h.60). Sebagai contoh, medium seperti majalah dan surat kabar tentunya tidak akan memuat artikel yang ditulis tidak sesuai dengan kaidah penulisan Bahasa Indonesia, tetapi Facebook sebagai new media memberikan keleluasaan itu kepada penggunanya. Hal itulah yang dimaksudkan oleh Bargh. Selain itu, pada medium yang berbasis tekstual, penanda identitas seseorang akan semakin terlihat melalui penulisan. Dalam social media seperti Facebook yang berbasis tekstual, saat ini orang belum bisa menampilkan tulisan tangan untuk berkomunikasi, oleh karena itu jenisjenis huruf banyak diciptakan untuk menggantikan perbedaan yang dihasilkan dari tulisan tangan manusia. Masing-masing jenis huruf tersebut memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda-beda. Tetapi dalam Facebook, jenis huruf yang digunakan adalah sama. Sehingga kreatifitas untuk menampilkan diri berbeda dengan orang lain pun muncul, yakni dengan memanfaatkan ukuran huruf yang digunakan dalam sebuah kata. Penggunaan jenis penulisan yang menggunakan berbagai ukuran huruf, memperlihatkan suatu ketidakaturan dan perbedaan yang tidak biasa. Dimana kemampuan untuk menyeleksi teks yang tidak biasa untuk lebih ditampilkan sebagai hubungan dari identitas dan cyberspace, menunjukkan bahwa medium itu sendiri secara alamiah tidak biasa (Wood & Smith, 2005, h.60). Penggunaan jenis penulisan yang besar-kecil dan tidak sesuai dengan kaidah penulisan Bahasa Indonesia, digolongkan sebagai orang yang bersifat informal, yakni orang yang kreatif dan tidak terlalu suka dikekang oleh aturan, dimana sifat-sifat tersebut banyak ditemukan pada anak-anak hingga dewasa awal. Sedangkan bagi orang yang menggunakan kaidah Bahasa Indonesia yang baik, digolongkan sebagai yang bersifat formal, dimana orang tersebut menyukai keteraturan dan tidak suka akan hal-hal yang melanggar aturan, dimana sifat-sifat 7

tersebut banyak ditemukan pada orang-orang yang mulai menganjak dewasa hingga dewasa akhir. Hal tersebut dapat diketahui karena penggunaan bentuk tulisan yang dihasilkan mampu memperlihatkan kualitas yang dimiliki seseorang daripada isi tulisan itu sendiri (Wood & Smith, 2005, h.60). Kesimpulan Reproduksi identitas virtual budaya Arek yang terjadi di dalam tiga komunitas virtual serta 3 akun personal di Facebook, menunjukkan beberapa temuan sehubungan dengan bagaimana identitas ini direproduksi di dalam medium virtual. Melalui metode virtual participant observation serta narrative analysis, peneliti menemukan temuan-temuan kesimpulan sebagai berikut: 1. Remaja melalui caranya sendiri, melakukan reproduksi identitas virtual budaya Arek melalui bahasa, produk visual dan profil pribadi. a. bahasa, penggunaan bahasa oleh remaja lebih sangat disesuaikan dengan lingkungan dimana mereka berinteraksi. Pada komunitas virtual Generation Remaja Surabaya (GRS) yang mayoritas anggotanya adalah remaja, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang sudah dimodifikasi. Sedangkan pada dua komunitas lainnya yakni Grammar Suroboyo Cok!!!!!!!! dan arek suroboyo, remajanya menggunakan bahasa Arek. Lingkungan berbahasa tersebut masing-masingnya menjadi berbeda karena disesuaikan dengan tujuan awal dari terbentuknya komunitas virtual tersebut . b. bahasa Arek yang direproduksi atau digunakan di dalam komunitas virtual tersebut, tidak memberikan batasan geografis kepada para penggunanya. Hal ini karena, beberapa anggota dari ketiga komunitas virtual tersebut ternyata tidak berasal dari Surabaya dan bahkan berasal dari luar pulau Jawa. Hal tersebut salah satunya ditemukan dalam komunitas virtual Grammar Suroboyo Cok!!!!!!!! dimana salah satu anggotanya yang bernama Johan Kalpirtanata ternyata berasal dari Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, tetapi walau demikian ketika Johan berinteraksi dengan anggota komunitas vritual lainnya, Johan menggunakan bahasa Arek sebagai bahasa pengantar. c. produk visual yang merupakan salah satu artefak dari budaya Arek, dikomodifikasi oleh para remaja menjadi sebuah produk visual yang mengandung unsur kekinian. Dimana unsur kekinian tersebut terlihat dari bercampurnya budaya lain ke dalam budaya Arek. Hal tersebut salah satunya terlihat dari gambar I Love Surabaya yang diunggah ke dalam komunitas virtual Generation Remaja Surabaya (GRS). Dalam produk visual tersebut budaya Arek memperlihatkan bagaimana kecintaan terhadap kota Surabaya direproduksi melalui bahasa 8

Inggris dan bukannya bahasa Arek, tetapi tetap saja teks Surabaya menjadi asosiasi utama dalam pemaknaan produk visual tersebut. Produk visual tersebut merupakan artefak budaya Arek yang telah dimodifikasi dan dicampur dengan unsur-unsur dari budaya lain. Hal tersebut memperlihatkan bahwa untuk menciptakan kesan kekinian, budaya Arek harus dinegosiasikan dengan budaya lain yang dirasa lebih moderen, salah satunya adalah budaya barat. Modifikasi terhadap artefak-artefak budaya Arek menunjukkan bahwa pendukung budaya Arek pun turut berkembang seiring dengan perkembangan zaman, sehingga budaya Arek bisa tetap diterima walau dalam bentuk baru karena unsur utama dari budaya Arek tidak serta merta dihilangkan. d. profil pribadi, dalam profil pribadinya para remaja tidak memperlihatkan reproduksi budaya Arek secara nyata. Hanya beberapa anggota saja yang memperlihatkan dukungan secara nyata terhadap budaya Arek, salah satunya melalui penggunaan username yang dilakukan oleh anggota komunitas virtual Grammar Suroboyo Cok!!!!!!!!!, yakni Rikky Arek Suroboyopuuooll. Melalui penggunaan nama akun yang memuat unsur budaya Arek, Rikky secara langsung memperlihatkan dukungannya terhadap budaya Arek. Sehingga orang akan langsung mengasosiasikan Rikky dengan budaya Arek. 2. Komunitas virtual budaya Arek merupakan salah satu hasil reproduksi budaya Arek secara virtual. Hal ini karena kemunculan sebuah komunitas mampu menghadirkan eksistensi dan memberikan dukungan terhadap sebuah budaya. Dimana komunitas tersebut lahir dari individuindividu yang memiliki komitmen dan tujuan yang sama. Masingmasing komunitas virtual tersebut memberikan dukungan yang berbedabeda sesuai dengan isu yang diangkat. Isu-isu yang berbeda tersebut mampu memunculkan karakteristik budaya Arek yang berbedabeda pula, antara lain: a. pada komunitas virtual Grammar Suroboyo Cok!!!!!!!!!, memunculkan karakteristik budaya Arek yang berani, kaku, kasar, dan kukuh pada pendirian. Karakteristik tersebut diperlihatkan dari penggunaan bahasa Arek oleh para anggotanya yang dalam tataran bahasa Jawa memiliki arti yang kasar dan lugas. Selain itu anggota komunitas virtual ini sering mengunggah foto-foto yang seronok. Dan sifat kukuh pada pendiriannya diperlihatkan dari kata-kata yang dilontarkan oleh salah satu anggotanya yang bernama Prajurit Expec pada tanggal 2 Desember 2011, yang mengatakan bahwa, ojok ngaku arek suroboyo lek gak tau ngomong jancok, matamu, raimu, ambek gatel cok. Kalimat tersebut menunjukkan sifat kukuh pada pendirian yang dimiliki oleh anggota dari komunitas virtual ini dimana sebagai orang yang mengaku orang Surabaya, tidak perlu malu untuk melontarkan kata-kata tersebut, karena kata-kata tersebut merupakan jati diri warga Surabaya. 9

b. pada komunitas virtual arek suroboyo, lebih diperlihatkan karakteristik budaya Arek yang lugas, apa adanya, egaliter, dan guyub. Kemunculan karakteristik tersebut diperlihatkan melalui sapaan yang digunakan oleh masing-masing anggotanya untuk saling berinteraksi. Sapaan tersebut berupa kata dulur yang berarti saudara, dimana semua orang di dalam komunitas virtual tersebut adalah saudara satu budaya sehingga tidak ada orang yang dianggap orang asing ketika masuk menjadi anggota di dalam komunitas virtual tersebut. Sifat egaliter diperlihatkan melalui sikap pengelola komunitas virtual ini yang memperlakukan masing-masing anggotanya dengan sama, hal tersebut terlihat melalui cara pengelola komunitas virtual dalam menyambut peneliti sebagai anggota baru di dalam komunitas virtual tersebut. Sambutan yang dilontarkan pengelola tidak membuat peneliti yang bukan berasal dari Surabaya merasa terintimidasi dan terasing. c. pada komunitas virtual Generation Remaja Surabaya (GRS), karakteristik yang diperlihatkan adalah sifat berani dan kukuh pada pendirian. Keberanian tersebut seringkali diperlihatkan melalui cara para anggotanya dalam menghadapi sebuah isu yang timbul di dalam komunitas virtual tersebut. Salah satu isu yang pernah muncul dalam komunitas virtual ini adalah ketika salah satu anggotanya yang bernama Bleedingfornoreason BsC-thenlink Suicideinquiet diketahui tidak berasal dari Surabaya. Hal tersebut menimbulkan reaksi negatif dari anggota lainnya, yang salah satunya bernama Bcs-Rahellanak Setaniblis BerhatiMalaikat. Anggota ini memperlihatkan reaksi negatifnya dengan melontarkan komentar, keluar sendiri, SONGONG. Komentar tersebut memperlihatkan sifat berani yang dimiliki oleh para pendukung budaya Arek. Serta sifat mempertahakankan pendirian karena menurut dia keberadaan orang dari luar kota Surabaya sebagai anggota komunitas virtual ini adalah salah. Sehingga dia berani untuk mengambil reaksi yang keras. 3. Selain kedua hal di atas, temuan lain mengenai reproduksi budaya Arek dalam ranah virtual adalah penggunaan kata Jancok. Kata ini merupakan kata yang sangat melekat dengan budaya Arek baik secara virtual maupun secara aktual. Selama masa observasi, kata yang paling banyak diproduksi di dalam ketiga komunitas virtual terpilih adalah kata Jancok. Dimana para pengguna kata ini mayoritas adalah lakilaki. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kata Jancok sebagai bagian dari budaya Arek membawa muatan gender di dalamnya. Sifatsifat maskulinitas sangat dilekatkan dalam kata-kata ini, karena arti dari kata ini menurut masyarakat umum dirasa buruk dan tidak sopan. Walau demikian ternyata penggunaan kata ini dalam berinteraksi oleh sesama anggota komunitas virtual tidak dimaknai secara buruk. Kata ini lebih sering digunakan sebagai kata sapaan di dalam interaksi mereka.

10

DAFTAR PUSTAKA Buku: DeVito, Joseph A., 2007. Interpersonal Communication, 11th edn, New York: Longman Inc. Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Nakamura, Lisa. 2002. Cybertypes: Race, Ethnicity, and Identity on the Internet. New York and London: Routledge. Turkle, Sherry, 1995. Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet. New York: Simon & Schuster. Wood, Julia T., 2007. Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture, 7th edn. USA: Thomson Wadsworth Buku On-line: Aarseth, Espen, 1997. Cybertext: Perspectives on Ergodic Literature. [book online]. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, accessed 15 Desember 2011; Available at: http//library.nu/ Awl, Dave, 2011. Facebook Me! A Guide to Socializing, Sharing, and Promoting on Facebook. 2nd Ed. [book on-line]. Berkeley: Peachpit Press, accessed 4 Maret 2011; Available at: http://library.nu/ Barker, Chris & Galasiski, Dariusz, 2001. Cultural Studies and Discourse Analysis: A Dialogue on Language and Identity. [book on-line]. London: SAGE Publications, accessed 17 Februari 2011; Available at: http://library.nu/ Bell, David, 2001. An Introduction to Cyberculture. [book on-line]. London: Routledge, accessed 4 Maret 2011; Available at: http://library.nu/
xxi

Bell, Daniel A. & de-Shalit, Avner, 2011. The Spirit of Cities: Why the Identity of a City Matters in a Global Age. [book on-line]. New Jersey: Princeton University Press, accessed 18 Februari 2012; Available at: http://library.nu/ Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas, 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. [book on-line]. USA: Penguin Book. Accessed 23 Maret 2012; Available at: http://en.bookfi.org Blumer, Herbert, 1969. Symbolic Interactionism: Perspective and Method. [book on-line]. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., accessed 4 Maret 2012; Available at: http://library.nu/ Burke, Kenneth, 1966. Language as Symbolic Action. [book on-line]. Univ. of California Press, accessed 5 April 2012; Available at: http://library.nu/ Denzin, Norman K., 1992. Symbolic Interactionism and Cultural Studies: The Politics of Interpretation. [book on-line]. Cambridge, USA: Blackwell, accessed 12 Juli 2012; Available at: http://en.bookfi.org Dijk, Jan V., 2006. The Network Society. [book on-line]. London: Sage Publications, accessed 18 Februari 2012; Available at: http://library.nu/ Garrod, Andrew & Smulyan, Lisa & Powers, Sally I. & Kilkenny, Robert, 2008. Adolescent Portraits: identity, relationships, and challenges, 6th edn. [book on-line]. America: Pearson Education Inc., accessed 20 Juni 2012; Available at: http://library.nu/ Hine, Christine, 2000. Virtual Ethnography. [book on-line]. London: Sage Publications, accessed 30 Mei 2012; Available at: http://en.bookfi.org Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., Kelly, K., 2009. New Media: A 11

Critical Introduction, 2nd edn. [book on-line]. London and New York: Routledge, accessed 4 Maret 2011; Available at: http://library.nu/ McLuhan, Marshall, 198-. Understanding Media: The Extension of Man. [book on-line]. London and New York, accessed 10 September 2010; Available at: http://library.nu/ Olsen, Marvin E., 1968. The Procesi of Social Organization. [book on-line]. New Delhi: Oxford IBY/Publishing Co., accessed 23 Maret 2012; Available at: http://library.nu/
xxii

Ryan, Marie-Laure, 1999. Cyberspace Textuality: Computer technology and Literary Theory. [book on-line]. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, accessed 18 Februari 2012; Available at: http//library.nu/ Samovar, Larry A., Porter, Richard E. , & McDaniel, Edwin R., 2009. Communication Between Culture, 7th edn. [book on-line]. Canada: Wadsworth Cengage Learning, acccessed 4 Maret 2012; Available at: http//books.google.co.id Subrahmanyam, Kaveri & mahel, David, 2010. Digital Youth: The Role of Media in Development. [book on-line]. New York: Springer, accessed 4 Maret 2011; Available at: http://library.nu/ Thomas, L., Wareing, S., Singh, I., Peccei, J.S., Thornborrow, J., & Jones, J., 2004. Language, Society, and Power: An Introduction, 2nd edn. [book online]. New York: Taylor and Francis e-Library, accessed 4 Maret 2011; Available at: http://library.nu/ Wood, Andrew F., & Smith, Matthew J., 2005. Online Communication: Linking Technology, Identity, & Culture, 2nd edn. [book on-line]. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, accessed 4 Maret 2011; Available at: http://library.nu/ Jurnal: Aarseth, Espen, 2003. We All Want to Change the World: The Ideology of Innovation in Digital Media. hh.415-439. Cambridge, MA, USA: MIT Press. Ahearn, Laura M., 2001. Language and Agency. Annu. Rev. Anthropology (30), hh.109-137. Annual review. Airlangga, Universitas, 2003. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial: Surabaya dan Permasalahannya, 4 (1), hh.1-14 Andrea, D. C., Shaw, A. S., & Levine, T. R., 2010. Online Language: The Role of Culture in Self-Expression and Self-Construal on Facebook. [journal online]. 29 (4), hh.425-442, accessed 21 Mei 2012; Available at: http://jls.sagepub.com/ Basundoro, Purnawan. (2010?). Sumbangan Budaya Arek Bagi Ke-Indonesia-an: Perspektif Sejarah Masyarakat Kota Surabaya. _______
xxiii

Bcke, Maria, 2002. De-Colonizing Cyberspace: Post-Colonial Strategies in Cyberfiction, 56 (2), hh.189-196 Carr, C.T., Shrock, D. B., & Dauterman, P., 2012. Speech Acts Within Facebook Status Messages. [journal on-line]. 31 (2), hh.176-196, accessed 21 Mei 2012; Available at: http://jls.sagepub.com/ Dijck, Jose V., 2012. Facebook as a Tool for Producing Sociality and Connectivity. [journal on-line]. 13 (2), hh.160-176, accessed 21 Mei 2012; Available at: http://jls.sagepub.com/ 12

Florack, Yves & Vos, Gerrit-Willem, 2008. Participant Observation: Avatar watching in the virtual world. [journal on-line]. TU/e ID 2008, hh.1-3, Eindhoven, The Netherlands, accessed 15 Agustus 2012; Available at: http://www.google.com Jones, Q., 1997. Virtual Communities, Virtual Settlements and Cyber-archeology: A Theoritical Outline. [journal on-line]. Journal of Computer Mediated Communication, 3 (3), accessed 15 Juli 2012; Available at: http://jcmc.indiana.edu/ Nocera, Jos L. A., 2002. Ethnography and Hermeneutics in Cybercultural Research Accessing IRS Virtual Communities. [journal on-line]. Journal of Computer Mediated Communication, 7 (2), accessed 3 Desember 2012; Available at: http://jcmc.indiana.edu/ Pimenta, Sherline & Poovaiah, Ravi, 2010. On Defining Visual Narratives. [journal on-line]. Design Thought, hh.25-46, accessed 16 April 2012; Available at: http://www.idc.iitb.ac.in/ Silver, David, 2000. Introducing Cybercultures: Looking Backwards, Looking Forward (Cyberculture Studies 1990-2000). [article on-line], accessed 3 Desember 2012; Available at: http://rccs.usfca.edu/intro.asp Wilson, R. E., Gosling, S. D., & Graham, L. T., 2012. A Review of Facebook Research in the Social Sciences. [journal on-line]. 7 (3), accessed 21 Mei 2012; Available at: http://jls.sagepub.com/ Website: Badan Pusat Statistik, 2011. Jumlah Populasi Surabaya. [Online] (Diperbarui 23 April 2011), accessed 4 Mei 2011; Available at: http://www.bps.go.id
xxiv

Gonzales, Nick, 2011. Global Audience of Facebook. [Online] (Diperbarui 5 Juni 2011), accessed 5 Juni 2011; Available at: http://www.checkfacebook.com Karib, Abu, 2010. Adanya Jejaring Sosial. [Online] (Diperbarui 23 Mei 2010), accessed 4 Mei 2011; Available at: http://media.kompasiana.com/newmedia/ Zuckenberg, Mark. Facebook. [Online]. (n.d.), accessed 1 Juni 2011 31 Mei 2012; Available at: http://www.facebook.com

13

Anda mungkin juga menyukai