Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN Heart Failure (HF) merupakan masalah yang makin berkembang di seluruh dunia, dengan jumlah penderita

HF di seluruh dunia mencapai lebih dari 20 juta orang. Prevalensi keseluruhan HF dalam populasi orang dewasa di negara maju adalah 2%. Prevalensi HF mengikuti pola eksponensial, meningkat dengan usia, dan mempengaruhi 6-10% orang berusia di atas 65 tahun. Di Amerika Utara dan Eropa, resiko seseorang untuk terkena HF dalam hidupnya adalah satu dari lima untuk usia 40 tahun. Penyakit ini merupakan alasan utama dari 12-15 juta kunjungan ke dokter umum dan 6,5 juta kunjungan ke rumah sakit tiap tahunnya (Longo, et al., 2012). Menurut ACC/AHA Guideline Update for the Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult (2005), sejak tahun 1990 hingga 1999, jumlah orang yang dirawat di Rumah Sakit karena HF sebagai diagnosis primer meningkat dari 810.000 hingga lebih dari 1 juta orang, dan dari 2,4 juta menjadi 3,6 juta dengan HF sebagai diagnosis primer atau sekunder. Pada tahun 2001, hampir 53.000 pasien meninggal karena HF sebagai penyebab utama. Walaupun sekarang banyak perkembangan dalam evaluasi dan penanganan HF, perkembangan jumlah HF yang simtomatik tetap mempunyai prognosis buruk. Sebuah studi menunjukkan 30-40 % pasien meninggal setelah 1 tahun didiagnosa HF dan 60-70% meninggal setelah 5 tahun. Sebagian besar kematian berasal dari HF yang semakin buruk ataupun mati mendadak (mungkin dikarenakan ventricular arrhytmia). HF merupakan suatu kondisi patofisiologis dimana jantung gagal memompa darah sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan. HF kemungkinan disebabkan karena kegagalan myocard tapi juga dapat terjadi pada fungsi cardiac yang mendekati normal namun disertai dengan peningkatan kebutuhan jaringan. HF selalu menyebabkan kegagalan sirkulasi, namun ada juga beberapa kondisi seperti pada syok hipovolemik dan syok septic yang dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi pada keadaan fungsional jantung yang normal. Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda tanda klinis pada tahap awal penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup (Davis, et al., 2000) Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, penting untuk segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya pada pasien dengan HF. Tugas dokter pada umumnya dan khususnya untuk mengenali pasien yang menderita gagal jantung secara dini. Makin cepat diagnosis dapat ditegakkan, makin baik hasilnya untuk pasien, karena proses remodelling jantung dapat dikurangi sekecil mungkin sehingga angka morbiditas dan mortalitas dapat ditekan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka berikut disajikan kasus yang terkait tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan dari Heart Failure.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Heart Failure Heart failure (HF) merupakan sindrom klinis yg muncul dikarenakan ada abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi jantung, yang kemudian menimbulkan keluhan klinis (dyspneu dan fatigue) dan tanda (edema dan ronkhi) yang menimbulkan seringnya rawat inap dirumah sakit, kualitas hidup yang buruk dan ekspektansi hidup yang pendek (Longo, et al., 2012). 2.2 Klasifikasi Heart Failure Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis terkompensasi, serta gagal jantung kronis dekompensasi. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. The AHA/ACC Stages of Heart Failure The American Heart Association (AHA)/American College of Cardiology (ACC) (2001) membagi stadium gagal jantung berdasarkan progresi dan perburukan kondisi sepanjang waktu. AHA/ACC Heart Failure Stages Stage Description

A People at high risk for developing heart failure but who do not have heart failure or damage to the heart

B People with damage to the heart but who have never had symptoms of heart failure; for example, those who have had heart attack

C People with heart failure symptoms caused by damage to the heart, including shortness of breath, tiredness, inability to exercise

D People who have advanced heart failure and severe symptoms difficult to manage with standard treatment

The New York Heart Association (NYHA) Classification System NYHA classification (2001) digunakan untuk mengklasifikasikan gejala penyakit jantung termasuk gagal jantung. Gejala-gejala ini dibagi-bagi berdasarkan seberapa besar penyakit

jantung membatasi aktifitas seahri-hari. Tidak seperti AHA/ACC staging system, NYHA class seringkali dapat berubah dari satu level ke level lainnya, misalnya jika pasien berespon baik terhadap terapi dan keterbatasan aktifitas mulai berkurang maka levelnya dapat turun. Namun, jika tidak berespon terhadap terapi yang diberikan maka levelnya kelasnya dapat naik. NYHA Heart Failure Classification Class Description

1 (Mild) Penderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan dyspnoe atau kelelahan.

2 (Mild) Penderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari aktivitas fisik. Saat istirahat tidak ada keluhan. Aktivitas sehari-hari menimbulkan dyspnoe atau kelelahan

3 (Moderate) Penderita penyakit jantung disertai limitasi aktivitas fisik yang nyata. Saat istirahat tidak ada keluhan. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan dyspnoe atau kelelahan.

4 (Severe) Penderita penyakit jantung yang tak mampu melakukan setiap aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan. Gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin sudah nampak saat istirahat. Setiap aktivitas fisik akan menambah beratnya keluhan.

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu: Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm) Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm) Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold) Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold) 2.3 Etiologi Heart Failure Beberapa kondisi yang dapat membuat perubahan struktur dan fungsi ventrikel kiri dapat menjadi heart failure. Pada negara industri disebutkan bahwa coronary artery disease (CAD) merupakan faktor penyebab yang paling sering pada laki laki maupun wanita sekitar 60-75%. Hipertensi juga ikut berperan dalam perkembangan HF sebanyak 75% pasien. CAD bersamaan

dengan hipertensi meningkatkan resiko HF sama dengan diabetes mellitus (Longo, et al., 2012). Tabel 1.1 Etiologi Heart Failure Main causes Ischemic heart disease (35-40%) Cardiomyopathy (dilated) (30-34%) Hypertension (15-20%) Other causes Cardiomyopathy (undilated): hypertrophic/obstructive, restrictive (amyloidosis, sarcoidosis) Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid) Congenital heart disease (ASD, VSD) Alcohol and drugs (chemotherapy) Hyperdynamic circulation (anaemia, thyrotoxicosis, haemochromatosis, Paget's disease) Right heart failure (RV infarct, pulmonary hypertension, pulmonary embolism, cor pulmonale (COPD)) Tricuspid incompetence Arrhythmias (atrial fibrillation, bradycardia (complete heart block, the sick sinus syndrome)) Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion)

2.4 Patogenesis Heart Failure HF merupakan suatu kelainan progresif yang diawali setelah suatu index event yang merusak otot jantung, penurunan fungsi dari miosit, dan gangguan fungsi serta hilangnya kekuatan miokard, sehingga menyebabkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Index event ini memiliki onset yang bervariasi, seperti onset yang tiba-tiba pada miokard infark, atau gradual dan insidious onset, seperti pada volume overload, dapat juga herediter, seperti pada genetic cardiomyopathy. Apapun peristiwa pemicunya, persamaan dari masing-masing index events ini adalah seluruhnya menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung. Pasien dapat asimtomatik atau simtomatik seiring dengan semakin menurunnya fungsi pompa jantung, atau baru timbul gejala setelah adanya disfungsi selama beberapa waktu (Longo, et al., 2012). _ Meskipun belum ditemukan alasan yang pasti mengapa pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik, satu penjelasan yang pasti adalah adanya beberapa mekanisme kompensasi yang teraktivasi pada kondisi cardiac injury dan disfungsi ventrikel kiri, dan mekanisme ini memodulasi fungsi ventrikel kiri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Beberapa mekanisme kompensasi tersebut antara lain: 1)aktivasi dari renin-engiotensinaldosterone dan sistem syaraf adrenergic yang mempertahankan cardiac output melalui retensi air dan garam dan 2) peningkatan kontraktilitas miokard. Ditambah lagi, adanya aktivasi dari beberapa molekul vasodilator, termasuk diantaran atrial dan brain natriuretic peptide (ANP dan BNP), prostaglandins (PGE2 dan PGI1), dan nitric oxide (NO) yang mencegah vasokonstriksi vascular perifer yang berlebihan. Faktor genetik, jenis kelamin, umur, dan lingkungan juga turut

mempengaruhi mekanisme kompensasi ini yang dapat memodulasi fungsi ventrikel kiri sehingga kapasitas fungsional pasien tetap baik atau hanya sedikit menurun, sehingga pasien dapat tetap asimtomatik selama bertahun-tahun. Namun, pada suatu titik, akan menjadi simtomatik dan menyebabkan terjadinya morbiditas dan mortalitas. Walaupun mekanisme yang menyebabkan perubahan ini belum diketahui secara pasti, namun perubahan HF menjadi simtomatik diduga diakibatkan karena aktivasi neurohormonal, adrenergic, dan sistem sitokin yang menyebabkan perubahan adaptive pada miokard, yang disebut remodeling (Longo, et al., 2012). _ 2.4.1 Aktivasi Sistem Neurohormonal pada HF Penurunan CO pada HF menyebabkan unloading baroceptor pada ventrikel kiri, sinus carotid, dan arcus aorta. Unloading ini menyebabkan terangsangnya sinyal aferen menuju CNS yang menstimulasi pusat cardioregulatory di otak yang menstimulasi release dari arginine vasopressin dari posterior pituitary. AVP adalah vasokontriktor kuat yang meningkatkan permeabilitas dari tubulus kolektivus di ginjal, yang menyebabkan reabsorpsi dari air. Sinyal ini juga mengaktifkan sistem saraf simpatis yang menginervasi jantung, ginjal, vascular perifer, dan otot rangka. Stimulasi simpatis pada ginjal mengakibatkan pelepasan renin, sehingga terjadi peningkatan angiotensin II dan aldosterone. Aktivasi RAA sistem menyebabkan retensi garam dan air dan menyebabkan vasokonstriksi dari vascular perifer, hipertrofi miosit, myocyte cell death, dan fibrosis miokard (Cotran, et al, 2004). 2.5 Mekanisme Dasar Terjadinya Heart Failure Remodelling ventrikel kiri terjadi sebagai respons dari beberapa proses yang terjadi di tingkat selular dan molekuler. Perubahan ini meliputi 1) hipertrofi miosit, 2) perubahan dari substansi kontraktil dari miosit 3) kerusakan progresif dari miosit akibat nekrosis, apoptosis, dan autophagic cell death 4) desensitisasi adrenergic, 5) metabolisme miokard yang abnormal, 6) reorganisasi dari matriks ekstraseluler dengan matriks kolagen interstitial yang tidak memberikan support struktural terhadap miosit. Stimulasi biologis yang dapat menyebabkan perubahan ini antara lain peregangan mekanis dari miosit, neurohormon (norephinephrine, angiotensin II), sitokin inflamasi (TNF), peptide dan growth factor (endothelin) dan Reactive Oxygen Species (superoxide, NO) (Cotran, et al., 2004). 2.5.1 Systolic Dysfunction Disfungsi sistolik ventrikel kiri diakibatkan oleh aktivasi neurohormonal yang menyebabkan perubahan transkripsional dan posttanskripsional pada gen dan protein yang meregulasi excitation-contraction coupling dan cross-bridge interaction. Perubahan-perubahan ini menyebabkan ketidakseimbangan dari kemampuan miosit untuk berkontraksi dan menyebabkan penurunan fungsi sistolik dari ventrikel kiri (Longo, et al., 2012).. 2.5.2 Diastolic Dysfunction Relaksasi miokard merupakan suatu proses ATP dependent yang diregulasi oleh uptake dari cytoplasmic calcium kedalam reticulum sarcoplasma dan ekstrusi kalsium oleh pompa sarkolemma. Penurunan konsentrasi ATP seperti yang terjadi pada iskemia dapat mengganggu proses ini dan menyebabkan relaksasi miokard menjadi lebih lambat. Bila pengisian ventrikel melambat diakibatkan komplians ventrikel kiri menurun (contohnya akibat hipertrofi atau fibrosis), tekanan pengisian ventrikel kiri akan meningkat pada end diastole. Peningkatan heart rate akan memendekkan waktu pengisian diastole, yang mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian LV, terutama pada noncompliant ventricle.peningkatan LVEDP menyebabkan peningkatan tekanan kapiler pulmonal, sehingga terjadi dyspnea pada pasien dengan diastolic dysfunction. Disfungsi diastolic dapat terjadi secara tunggal atau dengan kombinasi dengan disfungsi sistolik pada HF (Longo, et al., 2012). 2.5.3 Remodelling Ventrikel Kiri Remodelling Ventrikel mengacu pada perubahan massa ventrikel kiri, volume, bentuk, dan komposisi jantung yang terjadi mengikuti suatu cardiac injury atau kondisi hemodinamik yang abnormal. Remodelling LV dapat berkontribusi secara independen terhadap progresi dari HF melalui adanya suatu beban mekanik akibat perubahan dari geometri LV yang telah mengalami

remodeling. Sebagai contoh, perubahan bentuk LV dari prolate ellipsoid menjadi lebih spherical selama terjadinya remodeling dapat mengakibatkan peningkatan meridional wall stress pada LV. Sebanding dengan adanya peningkatan LVEDV, penipisan dinding LV juga terjadi saat LV mulai berdilatasi. Peningkatan penipisan dinding bersamaan dengan peningkatan afterload akibat dilatasi LV mengakibatkan suatu afterload mismatch yang berakibat lebih jauh pada penurunan stroke volume. Lebih jauh lagi, tingginya end-diastolic wall stress dapat mengakibatkan: 1) hipoperfusi dari subendokardium, dengan perburukan dari fungsi LV, 2) peningkatan stress oksidatif, dengan aktivasi dari gen-gen yang sensitif terhadap free radical generation (TNF dan interleukin-1) dan 3) ekspresi dari stretch activated genes (angiotensin II, endothelin, dan TNF) dan atau stretch activation dari hypertrophic signaling pathways. Masalah lain yang timbul akibat peningkatan sphericity dari ventrikel adalah tertariknya papillary muscle, mengakibatkan inkompetensi dari katub mitral dan perkebangan dari regurgitasi mitral fungsional. Semua kelainan yang timbul ini menurunkan cardiac output, meningkatkan dilatasi LV, dan meningkatkan overloading hemodinamik, yang seluruhnya berkontribusi terhadap progresi dari HF Diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada Heart Failure antara lain: Gejala dan tanda sesak nafas Edema paru Peningkatan JVP Edema tungkai _ Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50% pada foto thorak standar PA), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan (Davis, et al., 2000) Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hamper seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya (Davis, et al., 2000). Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli (Davis, et al., 2000). Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. 2.7 Terapi Heart Failure Terapi bertujuan untuk memperbaiki gejala, pencegahan dan control terhadap penyakit yang

memicu terjadinya disfungsi jantung, memperlambat progresi penyakit dan meningkatkan kualitas hidupdan memperpanjang usia (Cotran, 2004).

2.7.1 Terapi non farmakologis - Edukasi Konseling yang efektif terhadap keluarga pasien akan monitor berat badan dan pengeturan dosis diuretik mungkin mencegah kejadian rawat inap Obesity control Modifikasi diet Makan dalam jumlah banyak seharusnya dihindari dan jika perlu dilakukan pengurangan berat badan. Restriksi garam dibutuhkan dan makanan kaya garam atau penambahan garam pada makanan seharusnya dihindari. Alkohol mempunyai efek inotropik negatif dan pasien dengan heart failure harus mengurangi konsumsi alkohol. Kurangi merokok Kegiatan fisik, latihan olahraga dan rehabilitasi Pada pasien dengan eksaserbasi gagal jantung kongestif, bed rest dapat mengurangi kebutuhan dari jantung dan berguna untuk beberapa hari. Perpindahan cairan dari intersisial dilakukan oleh dieresis, dengan begitu heart failure dapat dikurangi. Prolonged bed rest dapat memicu perkembangan dari deep vein thrombosis; hal ini dapat dihindari dengan daily leg exercise(2030 menit berjalan 3-5kali perminggu,atau 20 menit sepeda pada 70-80% maximum heart rate 5x perminggu) kegiatan ini dapat secara aktif dilakukan pada gagal jantung terkompensasi yang bertujuan untuk mengembalikan metabolisme otot perifer (Longo, et al., 2012). 2.7.2 Terapi Farmakologis __

2.7.2.1 Diuretik Diuretik adalah satu-satunya terapi farmakologis yang bisa mengontrol retensi cairan secara adekuat pada HF yang sudah lanjut, dan diuretik digunakan untuk mengembalikan dan mempertahankan status volume normal pada pasien dengan gejala kongestif (dyspnea,

orthopnea, edema) atau tanda-tanda elevated filling pressure ( rhonki, peningkatan JVP, edema perifer). Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop of henle (loop diuretic) dengan menghambat reabsorpsi NA, K dan Cl pada thick ascending limb loop of Henle secara reversible, thiazide dan metolazone menurunkan reabsorpsi Na dan Cl pada separuh awal dari tubulus kontortus distal. Potassium sparring diuretic seperti spironolactone bekerja pada duktus kolektivus. 2.7.2.2 ACE-inhibitor ACE inhibitor bekerja pada sistem renin-angiotensin dengan menghambat enzim yang mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Namun, karena ACE inhibitor juga menghambat kininase II, dan menyebabkan upregulasi dari bradykinin, sehingga mempercepat efek menguntungkan dari supresi angiotensin. ACE inhibitor menstabilkan remodeling LV, menurunkan gejala, mengurangi tingkat perawatan di rumah sakit, dan memperpanjang usia harapan hidup. Sebagian besar efek samping yang ditimbulkan berasal dari supresi sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan yang terjadi selama inisiasi terapi umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak membutuhkan penurunan dosis ACE inhibitor. Efek samping dari ACE inhibitor yang berkaitan dengan potensiasi kinin termasuk batuk yang nonproduktif (10-15%pasien) dan angioedema (1% pasien). Pada pasien yang intoleran terhadap ACE karena batuk dan angioedema, ARB dapat diberikan sebagai terapi first line. Pasien yang intoleran terhadap ACE inhibitor karena hiperkalemia atau insufisiensi renal akan mengalami efek samping yang sama dengan penggunaan ARB. 2.7.2.3 Angiotensin Receptor Blocker Obat ini dapat diterima dengan baik pada pasien yang intoleran terhadap ACE inhibitor karena batuk, skin rash, dan angioedema. ARB baik digunakan pada pasien simtomatik dan asimtomatik dengan EF<40% yang intoleran terhadap efek samping ACE selain hiperkalemia atau insufisiensi renal. Walaupun ACE inhibitor dan ARB menghambat sistem renin angiotensin, mereka bekerja dengan mekanisme yang berbeda. Jika ACE-inh mengeblok enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, ARB mengeblok efek angiotensin II terhadap reseptor angiotensin I. 2.7.2.4 Beta adrenergic Receptor Blocker Terapi beta bloker merepresentasikan kemajuan pesat dalam pengobatan pasien dengan penurunan EF. Obat-obatan ini menyebabkan gangguan pada efek-efek merugikan yang ditimbulkan karena aktivasi sistem syaraf adrenergic dengan bekerja sebagai antagonis kompetitif beberapa reseptor adrenergic. Prognosis Walaupun sekarang banyak perkembangan dalam evaluasi dan penanganan HF, perkembangan jumlah symptomatic HF tetap mempunyai prognosis buruk, sebuah studi menunjukkan 30-40 % pasien meninggal setelah 1tahun didiagnosa HF dan 60-70% meninggal setelah 5 tahun sebagian besar kematian berasal dari HF yang semakin buruk ataupun mati mendadak (mungkin dikarenakan ventricular arrhytmia). Walaupun begitu sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorag, pasien dengan gejala pada saaat istirahat (NYHA class IV) mempunyai 30-70% angka kematian pertahun, dan pasien dengan gejala yang timbul saat aktivitas sedang (NYHA class II) mempunyai angka kematian pertahun 5-10% hal ini menunjukkan status fungsional penting sebagai predictor outcome pasien (Cotran, et al., 2004).

Anda mungkin juga menyukai