Anda di halaman 1dari 4

Aplikasi Klinis Obstruktif 1.

Fibrostik kistik Fibrosis kistik adalah kelainan genetik yang resesif heterogen dengan gambaran patobiologik yang mencermikan mutasi pada gen regulator transmembrana fibrosis kistik atau penyakit herediter yang ditandai perubahan fungsi kelenjar eksokrin di seluruh tubuh. Penyakit ini ditandai dengan infeksi saluran napas kronik yang akhirnya menimbulkan bronkiektaksis serta bronkiolektasis, insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas, disfungsi intestinal serta disfungsi urogenital. Fibrosis kistik ini merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen yang terletak pada kromosom 7. Gen ini menghasilkan protein yang disebut protein regulator transmembran fibrosis kistik (Cystic fibrosis transmembran conductance regulator = CFTR) (Alwinsyah, 2010) . Gen CFTR juga dapat merusak epitel yang memperlihatkan fungsi berbeda, misalnya bersifat volume absorbsi (epitel saluran napas dan usus distal), bersifat volume sekretori (pankreas) dan bersifat garam absorbsi tetapi tidak volume absorbsi contohnya saluran keringat dimana pada kelenjar keringat konsentrasi Na+ dan Cldisekresikan ke lumen kelenjar normal, tetapi epitel yang melapisi duktus kelenjar tidak permeabel terhadap Cl- . Keringat bergerak menuju ke permukaan, reabsorbsi normal Cl- melalui CFTR yang diikuti kation Na+ terjadi kegagalan. Sehingga inilah penyebab konsentrasi NaCl tinggi di keringat pasien fibrosis kistik (Alwinsyah, 2010). Fibrosis kistik juga menimbulkan efek pada beberapa organ di dalam tubuh kita contohnya efek fibrosis kistik pada paru yang menghasilkan mukus yang kental. Mukus tersebut menyumbat ventilasi alveolus sehingga terjadi atelektasis (pengempisan paru). Selain itu, reaksi inflamasi yang masif terhadap patogen ditandai dengan inflamasi jalan napas yang didominasi neutrofil sehingga terjadi edema di pertemuan antara kapiler dan alveolus yang dapat merusak bronkus. Daya regang paru menurun dan ventilasi terganggu. Fibrosis kistik juga berefek pada saluran cerna dimana terjadi akumulasi mukus kental sehingga pencernaan dan penyerapan zat gizi terhambat. Berikut ini beberapa gambaran klinis orang yang terkena fibrosis kistik (Corwin, 2009) : a. Abdomen menonjol yang tampak segera setelah lahir, akibat tidak bisa mengeluarkan mekonium pada defekasi pertama kali. b. Asin saat sewaktu dicium akibat penumpukan garam di kulit c. Serangan infeksi saluran napas yang berulang selama bayi dan masa kanak-kanak d. Rhinitis kronis dan batuk kronis serta produksi sputum e. Gagal tumbuh karena buruknya penyerapan gizi 2. Asma Asma merupakan penyakit pernapasan obstruktif yang mempunyai tanda inflamasi di saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus (Corwin, 2009). Sumbatan saluran napas pada asma disebabkan oleh menebalnya dinding saluran

napas yang ditimbulkan oleh peradangan dan edema yang dipicu oleh histamin. Selain itu, tersumbatnya saluran napas disebabkan oleh sekresi berlebihan mukus kental dan hiperesponsivitas saluran napas yang ditandai dengan terjadinya konstriksi di saluran napas kecil akibat spasme otot polos di dinding saluran napas. Semua ini dapat terjadi karena terdapat pemicu yang menyebabkan peradangan dan respons bronkokonstriksi yang berlebihan ini mencakup pajanan berulang ke alergen misalnya kutu debu rumah atau serbuk sari, lalu iritan misalnya pada asap rokok dan infeksi (Sherwood, 2011). Stimulasi psikologis juga dapat memperburuk serangan asmatik karena rangsangan parasimpatis menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus. Sistem parasimpatis diaktifkan oleh emosi rasa cemas dan kadang rasa takut. Berikut merupakan gambaran klinis orang yang terkena asma (Corwin, 2009) : a. Dispnea b. Batuk terutama malam hari c. Pernapasan yang dangkal dan cepat d. Suara wheezing yang terdengar saat ekspirasi e. Peningkatan usaha nafas ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan kondisi dan napas cuping hidung. Asma dapat dideteksi menggunakan spirometri, teknik pemeriksaan yang mengukur dan mengidentifikasi penurunan kapasitas vital dan penurunan aliran ekspirasi puncak. Pada pasien yang mengalami asma, volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) menurun, karena udara yang masuk dalam paru ketika akan dikeluarkan harus melalui sumbatan di saluran napas sehingga proses ekspirasi menjadi terganggu. Selain menggunakan spirometri, untuk mengevaluasi gejala asma di rumah bisa menggunakan alat peak flowmeter (Corwin, 2009). 3. Bronkitis Kronis Bronkitis kronis adalah suatu penyakit peradangan saluran napas bawah jangka panjang, umumnya dipicu oleh pajanan yang berulang seperti asap rokok, polutan udara, atau alergen. Tubuh akan merespon terhadap iritasi kronik terebut dengan penyempitan saluran napas karena penebalan edematosa kronik lapisan dalamnya disertai oleh pembentukan berlebihan mukus kental. Infeksi paru oleh bakteri sering terjadi, karena penumpukan mukus merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Sherwood, 2011). Gejala klinis yang terjadi pada pasien bronkitis kronis biasanya batu yang sangat produktif, purulen, dan mudah memburuk dengan inhalasi iritan, udara dingin, atau infeksi. Selain itu, produksi mukus yang berlebihan serta sesak napas dan dispnea. Penyakit ini dapat didiagnosis menggunakan spirometri, dimana hasil pemeriksaan menunjukkan terjadi penurunan FEV1 dan kapasitas vital. Hal ini hampir mirip dengan asma, dinding saluran napas menebal karena edema serta hipersekresi mukus sehingga membuat saluran napas jadi tersumbat. Ketika akan melakukan ekspirasi maksimal tidak langsung dapat mencapai puncak pada grafiknya. Berikut ini beberapa komplikasi penyakit bronkitis kronis (Corwin, 2009) : a. Hipertensi paru, terjadi akibat vasokonstriksi hipoksik paru yang kronis. b. Dapat terjadi jari tabuh di segmen ujung jari, indikasi stres hipoksik yang kronis

c. Polisitemia, terjadi akibat hipoksia kronis dan stimulasi sekresi eritropoietin disertai sianosis d. Kanker paru. Restruktif 1. Parenkimal a. Sarkoidosis Paru Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa sistemik yang bisa mengenai semua organ, terutama sarkoidosis paru dan kelenjar limfe intratoraks. Faktor genetik sering menjadi penyebab terjadinya penyakit ini karena sarkoidosis sering ditemukan pada kelompok keluarga. Faktor gangguan pengaturan sistem imun tampaknya berperan karena Antinuclear antibody (ANA), rheumatoid factor (RF), dan berbagai kompleks imun bisa ditemukan pada sarkoidosis. Faktor lingkungan juga diduga sebagai pencetus penyakit ini karena terdapat kecenderungan pengelompokan kejadian pada waktu atau musim yang sama. Ada uji kulit untuk penderita sarcoidosis yaitu KveimStilzbach. Pada uji ini disuntikkan suspensi jaringan sarkoid secara intradermal. Setelah 1- 14 minggu, bila positif akan terbentuk papul keras yang bila dibiopsi akan menunjukkan adanya granuloma (Pitoyo, 2010). Dua per tiga pasien sarcoidosis tidak bergejalan dan ditemukan secara tidak sengaja ketika foto rontgen toraks. Gejala tersering adalah batuk dan sesak napas. Batuk umumnya tidak produktif dan bisa berat sedangkan untuk sesak napas biasanya progresif perlahan-lahan. Sarkoidosis juga bisa terjadi keadaan akut dimana terjadi eritema nodosum, dan adenopati hilus yang disebut dengan sindrom Sjorgen. Sindrom Sjorgen ini disertai demam, poliartritis, dan uveitis. Terapi sarkoidosis masih mengandalkan kortikosteroid sampai sekarang. Pada sarkoidosis paru prednisone dapat diberikan 40 mg/hari selama 2 minggu lalu diturunkan 5 mg/hari setiap 2 minggu hingga mencapai 15 mg/hari. Dosis 15 mg/hari dipertahankan hingga 6-8 bulan, lalu diturunkan lagi 2,5 mg/hari tiap 2-4 minggu sampai obat dapat dihentikan. Selama dosis obat diturunkan bertahap, evaluasi terhadap kemungkinan kekambuhan harus selalu dilakukan (Pitoyo, 2010). b. Pneumoconiosis Pneumoconiosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan oleh inhalasi debu anorganik dan organik tertentu. Beberapa jenis debu jika terinhalasi dalam kadar yang cukup banyak ke dalam paru bisa menimbulkan reaksi jaringan fibrosis, sedangkan debu yang lain tidak mempengaruhi. Untuk menentukan apakah apakah suatu partikel debu dapat menimbulkan penyakit atau tidak bergantung pada (Price, 2005) : i. Ukuran partikel Ukuran partikel yang paling berbahaya adalah yang berukuran 1-5 m, karena partikel yang lebih besar tidak dapat mencapai alveolus. ii. Kadar dan lamanya terpajan

iii.

Kadar tinggi biasanya diperlukan untuk mengalahkan kerja eskalator silia dan juga waktu terpajan yang lama, misalnya pneumoconiosis pekerja tambang atau penyakit paru hitam biasanya membutuhkan 20 tahun masa terpajan sebelum terjadi fibrosis paru yang luas. Sifat dari debu Bahan-bahan tertentu terutama debu organik seperti serat kapas yang menimbulkan bisinosis; tebu (bagasosis), dan jerami yang berjamur (farmers lung) mempunyai efek antigenik yang tak lazim dan menyebabkan alveolitis alergika. Sifat kimia debu orgnaik juga berpengaruh dalam kapasitasnya menimbulkan penyakit.

Secara teori, partikel-partikel debu diduga secara teratur merusak makrofag yang memfagositosis debu-debu tersebut, mengakibatkan pembentukan nodula fibrotik. Fibrosis yang luas timbul akibat penyatuan nodula-nodula fibrotik (Price, 2005). Sumber : Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisologi : Buku Saku. Jakarta: EGC. Price, Slyvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Alwinsyah A, E.N. Keliat, Azhar Tanjung. 2010. Ilmu Penyakit Dalam: Buku Ajar. Jakarta: InternaPublishing. Pitoyo, Ceva Wicaksono. 2010. Ilmu Penyakit Dalam : Buku Ajar. Jakarta: InternaPublishing.

Anda mungkin juga menyukai