Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Faring adalah suatu rongga anatomi saluran makanan yang letaknya setelah cavum oris atau rongga mulut. Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring, orofaring, dan laringofaring/hipofaring. Sepertiga bagian atas atau nasofaring adalah bagian pernafasan dari laring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah. Bagian tengah faring, disebut orofaring, meluas dari batas bawah palatum molle sampai permukaan lingual epiglottis. Pada bagian ini termasuk tonsila palatine dengan arkusnya dan tonsila lingualis yang terletak pada dasar lidah. Bagian bawah faring dikenal dengan laringofaring atau hipofaring, menunjukkan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas. Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Dinding posterior meluas ke arah kubah merupakan jaringan adenoid, terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus faringeus yang dikenal sebagai fosa rosenmuller, Torus tubarius adalah refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago saluran tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan ke dinding lateral nasofaring, struktur pembuluh darah yang penting letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabangcabang meningeal dari oksipital dan arteri faringeal ascenden, sedangkan saraf dilalui oleh Nervus hipoglosus, tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum terletak dekat dengan lateral atap nasofaring. Frekuensi keganasan kepala dan leher secara keseluruhan meningkat. Sekarang ini di kota-kota besar Negara barat, tumor ganas laring, faring, dan rongga mulut menduduki urutan ke enam dari seluruh insiden. Yang penting diperhatikan adalah meningkatnya insiden merokok pada wanita. Virus Epstein Barr dihubungkan dengan terjadinya kersinoma nasofaring dengan orang cina canton mempunyai insiden ca nasofaring yang tinggi, diduga ada predileksi suku bangsa. Meskipun insidens sangat tinggi pada orang cina yang tinggal di negaranya, insidens tetap tinggi pda orang cina yang lahir dan tinggal di Amerika. Nasofaring merupakan daerah utama untuk karsinoma sel skuamosa, karsinoma yang tidak berdiferensiasi, adenokarsinoma, dan limfoma primer. Limfoepitelioma, yang mengenai nasofaring pada individu yang lebih muda, menunjukkan karsinoma sel skuamosa digabung dengan elemen jaringan limfatik. Tumor- tumor ganas pada nasofaring dapat tetap tenang sampai tumor tersebut mengenai struktur di sekitarnya. Terkenanya N. V dapat menyebabkan nyeri local atau nyeri fasial sampai mati rasa. Jika tumor meluas ke atas dapat menyebabkan diplopia karena terkenanya N.III dan N.VI. metastase ke arah anterior dapat menyebabkan obstruksi hidung. Sedangkan metastase ke arah lateral dapat mengenai tuba eustachius menyebabkan otitis media serosa unilateral dan tuli konduksi. Metastase tumor ke retrofaring, vena jugularis profunda, dan KGB assesroius spinal. Pembesaran KGB yang soliter terletak di posterior dan atas pada leher seringkali merupakan petunjuk yang penting. Metastase ke arah cervical yang dapat dipalpasi tidak menunjukkan drainase KGB primer, karena biasanya yang pertama kali terkena adalah KGB retrofaring. Oleh karena itu pembedahan juga jarang dilakukan. Radioterapi menrupakan pengobatan utama baik untuk lesi primer maupun metastase cervical. Pembedahan radikal dilakukan jika lesi primer dan kelenjar Getah Bening retrofaring telah disterilisasi tapi tetap terjadi metastase ke arah cervical. I.2 Rumusan masalah I.2.1 Bagaimana etiologi dan histopatofisiologi Ca Nasofaring? I.2.2 Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan Ca Nasofaring? I.3 Tujuan I.3.1 Mengetahui etiologi dan histopatofisiologi Ca Nasofaring? I.3.2 Mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan Ca Nasofaring? I.4 Manfaat I.4.1 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu Telinga, Hidung

dan Tenggorokan pada khususnya I.4.2 Sebagai Proses Pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan kinik bagian Telinga, Hidung dan Tenggorokan BAB II PEMBAHASAN II.1. DEFINISI Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009) Jenis keganasan ini terletak pada nasofaring atau bagian faring yang letaknya paling atas sehingga tumor akan tersembunyi di belakang tabir langit- langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena nasofaring tidak mudah diperiksa, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastase ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. II.2. EPIDEMIOLOGI Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada, 75-90% menyerang usia 30-60 tahun. Proporsi pria dan wanita adalah 2-3, 8 : 1. Penyakit ini banyak ditemukan pada ras Cina terutama yang tinggal di daerah selatan. Ras mongloid merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring, sehingga sering timbul di negara-negara Asia bagian selatan. Penyakit ini juga ditemukan pada orang-orang yang hidup di daerah iklim dingin, hal ini diduga karena penggunaan pengawet nitrosamine pada makanan-makanan yang mereka simpan.8 Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring, sehinggga kecenderungannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.5 Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet Nitrosamin Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.5 II.3. ETIOLOGI Penyebab timbulnya karsinoma nasofaring masih belum jelas, namun banyak yang berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidemiologik dan eksperimental, ada tiga faktor yang berpengaruh4, yakni: Faktor genetik ( Ras Mongoloid ) Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring, sehinggga kecenderungannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.5 Faktor virus ( virus Eipstein Barr ) Sudah hamper dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumir ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasaofaring yang lain sekalipun.5 Fakor lingkungan ( Polusi asap kayu bakar, Bahan karsinogenik, dll ) Pengaruh iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan

bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan-makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain masih kurang jelas.5

II.4. ANATOMI NASOFARING Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, diatas palatum molle. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral _ Atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharingeal, terdapat didalam submukosa daerah ini. Dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang didasar nasofaring diantara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior faring kedepan Dinding anterior dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. M. Salphingoparyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk lipatan vertikal pada membrana mukosa yang disebut plica salphingoparyngeus. Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid didalam submukosa dibelakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.6 II.5. HISTOLOGI Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type . Setelah 10tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai,tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung. Karsinoma sel skuamosa timbul sebagai lesi ulseratif dengan ujung yang nekrotik, biasanya dikelilingi oleh reaksi radang. Jika tumor tetap sebagai lesi ulseratif, seringkali dikelilingi oleh daerah leukoplakia jenis pra maligna. Pada awalnya tumor menyebar sepanjang permukaan mukosa, akhirnya meluas ke dalam jaringan lunak di bawahnya. Secara patologi, tumor-tumor ini digolongkan berdasarkan gambaran histology yang dihubungkan dengan perjalanan klinis. Secara sederhana, semua klasifikasi berkisar dari berdiferensiasi baik (tingkat keganasan rendah) sampai diferensiasi buruk (tingkat keganasan tinggi).1 II.6. PATOFISIOLOGI Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbunya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada Fossa Rosenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis karsinoma lainnya. Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa : Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intracranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laseum, kemudian ke sinus kavernosus dan fossa kranii

anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N. I N VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale, dll) di mana di dalamnya terdapat nervus kranialis IX-XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII N. XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX N. XII disebut sindroma retroparotidean atau disebut juga sindrom Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yangtinggi dalam system anatomi tubuh. Gejala yang timbul umumnya anatar lain : Trismus Horner Syndrome (akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis) Afonia akibat paralisis pita suara Gangguan menelan Penyebaran ke kelenjar getah bening Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelanjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya cabang kelenjar betah bening pada lapisan submukosa faring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah benang diawali pada noduslimfatik yang terkenal di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karena itu hal ini sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi melekat kepada otot dan sulit untuk digerakkan. Keadaan ini biasanya didapatkan pada stadium yang lebih lanjut. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang membawa pasien datang ke dokter. Gejala akibat metastase jauh Sel-sel kanker dapat ikut bermetastase bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.9 II.7. DIAGNOSIS II.7.1. Anamnesa Gejala dan tanda dari karsinoma nasofaring tergantung dari jenis stadiumnya. Stadium karsinoma nasofaring terdiri atas dua yaitu stadium dini dan lanjut. Stadium dini biasanya terdiri dari gejala hidung dan telinga. Stadium lanjut terdiri dari gejala saraf mata dan KGB regional.5 Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu: Gejala hidung Gejala nasofaring dapat berupa ingus/lendir darah atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena seringkali gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor) Gejala telinga Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang muncul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (Fossa Rosenmuller). Gagguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman pada telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia) Gejala saraf pusat Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke nervus V, sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI,

XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Apabila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian bisanya prognosisnya buruk Gejala KGB regional/metastasis Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher dapat menjadi keluhan pasien datang berobat tanpa adnya keluhan lain sebelumnya. II.7.2. Pemeriksaan fisik Tes Neurologis Pemeriksaan neurologis seperti pemeriksaan sensorik dan motorik pada daerah kepala dan leher biasanya dilakukan untuk mengetahui apakah pertumbuhan kanker sudah mempengaruhi nervus kranialis. Tes Pendengaran Prosedur ini dilakukan bila dicurigai adanya akumulasi cairan pada telinga tengah. Pemeriksaan Nasofaring Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.7 II.7.3. Pemeriksaan penunjang Biopsi Nasofaring Diagnosis pasti dari kanker nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.3 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.5 Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan Karsinoma Nasofaring merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah7: Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya

tumor pada daerah nasofaring yaitu: Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerah nasofaring Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring C.T.Scan Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacammacam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahanperubahan pada tulang, dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan CT scan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial. MRI Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya.

Pemeriksaan histopatologi Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu : Keratinizing squamous cell carcinoma Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya.Dijumpai adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulaupulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls. _ GAMBAR 4 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol. _ GAMBAR 5 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma Undifferentiated Carcinoma Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular,dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih.Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang). _

GAMBAR 7 Undifferentiated Carcinoma Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipeRegauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle _ GAMBAR 8 Basaloid Squamous Cell Carcinoma II.7.4. STADIUM KLINIS ( STAGING ) Staging merupakan cara untuk menjelaskan kanker, seperti dimana lokasinya, kemana penyebarannya, dan pengaruhnya terhadap organ lain pada tubuh. Mengetahui stage dan tipe histologis dari kanker membantu dokter untuk menentukan jenis pengobatan yang akan diberikan dan memprediksi prognosa pasien. Salah satu cara yang digunakan yaitu menggunakan system TNM. Sistem ini menggunakan tiga kriteria untuk menentukan staging kanker atau tumor itu sendiri, nodus limfatikus sekitar tumor, dan penyebaran tumor ke bagian tubuh lainnya. Hasilnya dikombinasikan untuk menentukan stage kanker pada setiap penderita.5 TNM (Tumor, Nodul, Metastase) Seberapa besar tumor primer dan dimana lokasinya? (Tumor, T) Apakah tumor sudah menyebar ke nodus limfatikus? (Nodus, N) Apakah tumor sudah metastasis (menyebar) ke bagian lain dari tubuh? (Metastasis, M) Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002, EdisiVI), yaitu : Tumor TX: Mengindikasikan tumor primer tidak dapat dievaluasi. T0: Tumor tidak ditemukan. Tis: Menentukan stage yang disebut carcinoma (cancer) in situ. Merupakan kanker yang sangat awal dimana sel kanker ditemukan pada satu lapis jaringan. T1: Tumor terbatas pada satu lokasi saja di nasofaring. T2: Tumor meluas ke jaringan lunak T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring. T2b : Disertai perluasan ke parafaring T3: Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal T4: Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibata saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator Nodul. NX: Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dievaluasi. N0: Tidak ada pembesaran. N1: Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula N2: Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula N3: Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak didalam fossa supraklavikula N3a : Ukuran lebih dari 6 cm N3b : didalam fossa supraklavikula Metastasis MX: Metastase jauh tidak dapat dievaluasi M0: Tidak ada metastase jauh M1: Terdapat metastase jauh

Table 2. Pengelompokan staging pada Kanker nasofaring Stadium Tumor (T) Nodus (N) Metastase (M) 0 is 0 0 I 1 0 0 IIA 2a 0 0 IIB 1 1 0 2a 1 0 2b 0 0 2b 1 0 III 1 2 0 2a 2 0

2b 2 0 3 2 0 IVA 4 0 0 4 1 0 4 2 0 IVB Semua T 3 0 IVC Semua T Semua N 1 GAMBAR STAGE KANKER NASOFARING _ Gambar 3.1 Kanker Nasofaring Stage 0 _ Gambar 3.2. Kanker Nasofaring stage I _ Gambar 3.3 . Kanker Nasofaring stage II _ Gambar 3.3. Kanker Nasofaring stage IIB _ Gambar 3.5. Kanker Nasofaring Stage III C _ Gambar 3.6. Kanker Nasofaring Stage IVA _ Gambar 3.7 . Kanker Nasofaring Stage IV B _

Gambar 3.8 . Kanker Nasofaring Stage IV C II.8. DIAGNOSA BANDING Hiperplasia Adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa. Pada anak-anak hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma.9 Angiofibroma juvenilis Biasanya dietemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai karsinoma nasofaring. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya tidak infiltratif. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang melainkan hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambarnya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenilis dengan polip hidung pada foto polos. 9 Tumor sinus sphenoidalis Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan pertama. 9 Neurofibroma Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. Secara CT Scan, pendesakan ruang parafaring ke arah medial dapat membantu membedakan kelompok tumor ini dengan karsinoma nasofaring. 9 Tumor kelenjar parotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagaian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan CT scan. 9 Chordoma Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat karsinoma nasofaring pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar servikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan karsinoma nasofaring sering bermetastasis ke kelenjar getah bening daerah clivus. 9 Menigioma basis kranii Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarnya kadang-kadang menyerupai karsinoma nasofaring dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Gambaran CT scan meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteriografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini9. II.9. PENATALAKSANAAN Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.7

Definisi Terapi Radiasi : Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma. Persyaratan Terapi Radiasi Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi Tipe tumor yang radiosensitif Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya Dosis yang optimal. Jangka waktu radiasi tepat Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radiasi. Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt 60, megavoltageorthovoltage. Sifat Terapi Radiasi Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah : Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.. Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya. Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara general. Jenis Pemberian Terapi Radiasi Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai : Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi. Dapat digunakan sebagai : pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implan atau intracavitary barchytherapy. bisa digunakan untuk : Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi. Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor Pengobatan kasus kambuh. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.7 Definisi Kemoterapi Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun. Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk digunakan sebagai

terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher. Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk. Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ). Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M). Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut : Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis. Cara Pemberian Kemoterapi Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu : Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah

mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata : kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi : neoadjuvant atau induction chemotherapy concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy post definitive chemotherapy. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.2 Imunoterapi Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus EpsteinBarr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.7 Perawatan paliatif Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa makanan kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual. Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut di atas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan paliatif di indikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol gejala, dan memperpanjang usia. Radiasi sangat efektif untuk mengurangi nyeri akibat metastasis tulang. Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.5 Prosedur follow up tidak seperti keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai berikut5 Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup Pencegahan Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.5 II.10. PROGNOSIS Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006). II. 11. KOMPLIKASI Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).

BAB III KESIMPULAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher. Jenis keganasan ini terletak pada nasofaring atau bagian faring yang letaknya paling atas sehingga tumor akan tersembunyi di belakang tabir langit- langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada, 75-90% menyerang usia 30-60 tahun. Ras mongloid merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring, sehingga sering timbul di negara-negara Asia bagian selatan. Ada tiga faktor yang berpengaruh yaitu: faktor genetik ( Ras Mongoloid ), faktor virus ( virus Eipstein Barr ), fakor lingkungan ( Polusi asap kayu bakar, Bahan karsinogenik, dll ). Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis terbanyak dari karsinoma nasofaring (90%) keganasan. Non keratinizing squamous cell carcinoma adalah jenis yang lain memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sedangkan gambaran jenis Karsinoma Nasofaring yang lain adalah non keratinizing squamous cell carcinoma yang memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Karsinoma sel skuamosa timbul sebagai lesi ulseratif dengan ujung yang nekrotik, biasanya dikelilingi oleh reaksi radang. Jika tumor tetap sebagai lesi ulseratif, seringkali dikelilingi oleh daerah leukoplakia jenis pra maligna. Diagnosis ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa terdiri dari 4 gejala utama yaitu gejala hidung, telinga, saraf mata, dan pembesaran KGB regional. Sedangkan pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan antara lain tes neurologis, tes pendengaran, dan pemeriksaan nasofaring. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan Biopsi Nasofaring, Pemeriksaan Serologi, Pemeriksaan radiologi (Foto polos, C.T.Scan, MRI) dan Pemeriksaan histopatologi. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Kemoterapi terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh. Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologis. Namun bila pasca pengobatan

lengkap dimana tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif) atau timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan paliatif di indikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol gejala, dan memperpanjang usia. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain, Pemberian vaksinasi Epstein Barr, memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya, melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal, edukasi terhadap cara memasak atau mengolah makanan yang benar, dan lingkungan hidup yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA Adams, George, dkk. 1997. BOEIS BUKU AJAR PENYAKIT THT edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology. 1996. Head and Neck Surgery 15th. Philadelphia : Williams & Wilkins Faiz O, Moffat D. 2004. At a glance anatomi. Jakarta: Erlangga Mulyarjo, Kentjono Widodo Ario, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan Edisi III. Surabaya : RS Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga Roezin, averdi dan marlinda adham. 2010. Buku ajar ilmu kesehatan THT Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Snell, Richard S. 2006. Buku Anantomi Klinik Edisi VI. Jakarta: EGC Susworo, R. Kanker nasofaring : Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir. Tinjauan Pustaka Artikel, dalam : Cermin Dunia Kedokteran. No. 144,2004.h. 16-18 W. Desen. 2007. Tumor kepala dan leher Buku ajar onkologiklinis Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Permata, mega dkk. 2011. Makalah Karsinoma Nasofaring. Jakarta: RSUD Karawang FK Trisakti.

Anda mungkin juga menyukai