Anda di halaman 1dari 2

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun (Depkes, 2008). Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun. Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang, yaitu sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang sedangkan insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%. Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi pada sistem genitourinarius (Frieden, 2003). Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun 1779. Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus (Hidalgo, 2005). Dahulu, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif (Vitriani, 2002).

Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia nontraumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada decade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini (Lee,2004). Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris (Batra, 2005). Dari data yang diperoleh, maka spondilitis tuberkolosa merupakan TB ekstra pulmonary terbanyak yang menyebabkan komplikasi dan kecacatan pada masyarakat, sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis yang baik untuk mengetahui gambaran kelainan yang ditemukan dalam penegakan diagnosis dan pemantauan terapi (Vitriani, 2002).

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14 2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C. Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99.

Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http://


www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.

Batra V. Tuberculosis. Didapat dari http:// www.emedicine.com/ped/topic2321.htm.


Diakses tanggal 9 Maret 2005;1

Anda mungkin juga menyukai