Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

Paru-paru adalah salah satu organ yang paling sering terlibat dalam berbagai komplikasi pada pasien dengan immunocompromised. Di antara komplikasi paru yang terjadi pada pasien tersebut, infeksi adalah yang paling umum terjadi dan berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Alasannya adalah bahwa pasien yang immunocompromised berpotensi rentan terhadap infeksi dari mikroorganisme yang berbeda. Pengalaman menunjukkan bahwa keadaan klinis tertentu menjadi predisposisi bagi pasien terhadap infeksi oleh patogen tertentu. Keadaan terdiri dari epidemiologi spesifik atau paparan lingkungan, jenis defek imun yang mendasarinya, durasi dan keparahan defisiensi imun, dan tingkat perkembangan dan pola kelainan radiologis. Keadaan immunocompromise yang menyebabkan risiko tinggi pneumonia, terkait dengan adanya faktor-faktor berikut: Keganasan, HIV, immunodefisiensi primer, Transplantasi imunosupresi, Kehamilan, Alkoholisme, fibrosis kistik, penyakit autoimmune, penyakit neuromuskular, disfungsi kognitif, cedera sumsum tulang belakang, luka bakar, leukemia, limfoma, kemoterapi akibat keganasan pada organ padat, penggunaan steroid lama, asplenia,dan diabetes. Banyak patogen paru yang dapat menyerang pasien yang mengalami disfungsi sistem imun. Patogen lainnya lebih sering ditemui dengan penyebab tertentu dari keadaan supresi imun. Oleh karena itu, patofisiologi dapat dijelaskan secara umum dan konteksnya lebih spesifik. Secara konseptual, kerentanan pneumonia karena imunosupresi berasal dari defek neutrofil, defek

imunoglobulin, atau defek T-sel. Alasan yang mendasari penekanan kekebalan mungkin menyarankan terjadinya patologi paru tertentu. Agen penyebab yang bertanggung jawab untuk pneumonia pada pasien immunocompromised sering berbeda dari yang ditemukan pada pasien yang imunokompeten.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT PERNAPASAN

Gambar 2.1 : Saluran Pernapasan2

Secara anatomi, fungsi pernapasan dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru. Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir dan jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan dead space. Akan tetapi fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilakukan pada bagian ini. Adapun yang termasuk ke dalam konduksi ini adalah rongga

hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.4 Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difus) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris. Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, bronkiolus nonrespiratorius. Sedangkan yang bertindak sebagai bagian respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis, duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.3 Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel yang halus akan terjaring dalam lapisan mukus. Gerakan silia akan mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung, dan ke superior di dalam sistem pernapasan bagian bawah menuju ke faring. Dari sini lapisan mukus akan tertelan atau dibatukkan keluar. Air untuk kelembaban diberikan oleh lapisan mukus sedangkan panas yang disuplai ke udara inspirasi berasal dari jaringan di bawahnya yang kaya akan pembuluh darah. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu tubuh, dan kelembabannya mencapai 100%.2 Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Di antara pita suara terdapat ruang berbentuk segi tiga yang bermuara di dalam trakea dinamakan glotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai pelindung jauh

lebih penting. Pada waktu menelan gerakan laring ke atas, penutupan glotis, dan fungsi sebagai penutupan pintu pada aditus laring, dari epiglotis yang berbentuk daun, berperanan untuk mengerahkan makanan dan cairan masuk ke dalam esofagus. Namun jika benda asing masih mampu masuk melampaui glotis, maka laring yang mempunyai fungsi batuk akan membantu mengeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernapasan bagian bawah.2 Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci. Permukaan posterior agak pipih (karena cincin tulang rawan di situ tidak sempurna), dan letaknya tepat di depan esofagus. Tempat di mana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.2 Paru-paru adalah dua organ yang berbentuk seperti bunga karang besar yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar. Paru-paru memanjang mulai dari dari akar leher menuju diagfragma dan secara kasar berbentuk kerucut dengan puncak di sebelah atas dan alas di sebelah bawah.3 Diantara paru-paru mediastinum, yang dengan sempurna memisahkan satu sisi rongga torasik sternum di sebelah depan. Di dalam mediastinum terdapat jantung, dan pembuluh darah besar, trakea dan esofagus, dustuk torasik dan kelenjar timus. Paru-paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru-paru sebelah kiri mempunyai dua lobus, yang dipisahkan oleh belahan yang miring. Lobus superior terletak di atas dan di depan lobus inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan mempunyai tiga lobus. Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan posisi yang sama terhadap lobus inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh suatu fisura horisontal menjadi lobus atas dan lobus tengah. Setiap lobus selanjutnya dibagi menjadi segmen-segmen yang disebut bronkopulmoner, mereka dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-masing satu arteri dan satu vena.2 Masing-masing segmen juga dibagi menjadi unit-unit yang disebut lobulus. Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus kanan lebih

pendek dan lebih lebar dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam. Benda asing yang terhirup lebih sering tersangkut pada percabangan bronkus kanan karena arahnya yang vertikal.2 Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi disusun oleh muskulus, fibrosa dan jaringan elastis yang dihubungkan dengan kuboit epitelium. Bronkiolus terminalis bercabang secara berulang untuk membentuk saluran yang disebut duktus alveolar. Di sinilah kantong alveolar dan alveoli terbuka. Alveoli dikelilingi suatu jaringan kapiler. Darah yang mengalami deoksigenasi memasuki jaringan kapiler arteri pulmoner dan darah yang mengandung oksigen meninggalkan alveoli untuk memasuki vena pulmoner. Di jaringan pipa kapiler ini berlangsung pertukaran gas antara udara di dalam alveoli dan darah di dalam pembuluh darah.3 Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus atau kadang-kadang disebut lobulus primer. Asinus terdiri dari: 1. bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya 2. duktus alveolaris, seluruhny adibatasi oleh alveolus 3. sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru-paru.2 Terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai dari trakea sampai sakus alveolaris terminalis. Alveolus (dalam kelompokan sakus alveolaris yang menyerupai anggur, yang membentuk sakus terminalis) dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding tipis atau septum. Lubang kecil pada dinding ini dinamakan pori-pori kohn. Lubang ini memungkinkan komunikasi antar sakus alveolaris terminalis. Alveolus hanya mempunyai satu lapis sel saja yang

diameternya lebih kecil dibandingkan dengan diameter sel darah merah. Dalam setiap paru-paru terdapat sekitar 300 juta alveolus dengan luas permukaan total seluas lapangan tenis.3 Alveolus merupakan gelembung gas yang dikelilingi oleh jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Alveolus dilapisi zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan waktu inspirasi dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel alveolus (tipe II) tergantung dari beberapa faktor, termasuk kematangan sel-sel alveolus dan sistem enzim biozintetiknya, kecepatan pergantian yang normal, ventilasi yang memadai dan aliran darah ke dinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor penting dan berperan sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada.2 Hilum adalah cekungan berbentuk segitiga pada permukaan medial cekung paru-paru. Struktur yang membentuk akar paru memasuki dan meninggalkan hilum, yang terletak sejajar vertebra torasik kelima sampai ketujuh. Struktur ini mencakup bronkus utama, arteri pulmoner, vena bronkiolus, dan pembuluh darah limfatik, yang meninggalkan akar paru-paru. Terdapat juga banyak nodus limfe di sekitar akar paru-paru.3 Pleura adalah suatu membran serosa yang mengelilingi paru-paru. Pleura disusun oleh sel-sel epitel datar pada dasar membran dan memiliki dua lapisan. Pleura viseral melekat kuat pada paru-paru, melapisi permukaan paruparu dan masuk ke dalam fisura inter-lobus. Pada akar paru, lapisan viseral direflekasikan kembali menjadi lapisan parietalis yang menghubungkan dinding dada dan membungkus lapisan diagfragma superior. Kedua lapisan pleura tersebut bersentuhan. Dinding yang satu dengan dinding lainnya hanya dipisahkan oleh satu film cair yang memungkinkan mereka menggelinding satu sama lain tanpa terjadi gesekan. Ruang yang terdapat di antara lapisan ini disebut rongga pleura.2 Fungsi utama paru adalah sebagai alat pernapasan yaitu melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari

atmosfer kedalam paru-paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara dari alveolar ke luar tubuh (ekspirasi). Fungsi pernapasan ada dua yaitu sebagai pertukaran gas dan. Pengaturan keseimbangan asam basa. Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen (O2) ke sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke atmosfer. Menurut Guyton proses ini terdiri dari 4 tahap yaitu: a) Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh, karena masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk mengaerasikan darah. b) Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah. c) Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-sel. d) Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.4

Untuk melakukan tugas pertukaran udara, organ pernapasan disusun oleh beberapa komponen penting antara lain: a) Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot dan saraf perifer b) Parenkim paru yang terdiri dari saluran nafas, alveoli dan pembuluh darah. c) Pleura viseralis dan pleura parietalis. d) Beberapa reseptor yang berada di pembuluh arteri utama. Sebagai organ pernapasan dalam melakukan tugasnya dibantu oleh sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai darah bagi paru (perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2 dan CO2 sistem saraf pusat berperan sebagai pengendali irama dan pola pernapasan.4

2.2 PENYAKIT PARU PADA PASIEN IMMUNOCOMPROMISED 2.2.1 Infeksi Paru pada Pasien Immunocompromised1,7,8 Istilah immunocompromised host menggambarkan seorang pasien yang berada pada peningkatan risiko infeksi yang mengancam kehidupan sebagai akibat dari kelainan sistem kekebalan tubuh bawaan atau diperoleh. Selama beberapa dekade terakhir, populasi pasien immunocompromised host telah berkembang sangat besar, yang mencerminkan peningkatan penggunaan agen imunosupresif untuk pengobatan tumor dan penyakit kolagen vaskular dan untuk mencegah penolakan pada prosedur transplantasi organ. Selain itu, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) telah mengakibatkan banyaknya pasien immunocompromised. Paru-paru adalah salah satu organ yang paling sering terlibat dalam berbagai komplikasi pada pasien immunocompromised. Di antara komplikasi paru yang terjadi pada pasien tersebut, infeksi adalah jenis yang paling umum: yang menyumbang sekitar 75% dari komplikasi paru dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis cepat dan akurat terhadap penyakit paru penting untuk dilakukan, tidak hanya karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi berhubungan dengan infeksi tetapi juga karena komplikasi yang sering dikaitkan dengan obat yang dipakai untuk mengobati infeksi. Paru-paru adalah salah satu organ yang paling sering terlibat dalam berbagai komplikasi pada pasien dengan immunocompromised. Di antara komplikasi paru yang terjadi pada pasien tersebut, infeksi adalah yang paling umum terjadi dan berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Alasannya adalah bahwa pasien yang immunocompromised berpotensi rentan terhadap infeksi dari mikroorganisme yang berbeda. Pengalaman menunjukkan bahwa keadaan klinis tertentu menjadi predisposisi bagi pasien terhadap infeksi oleh patogen tertentu. Keadaan tersebut terdiri dari epidemiologi spesifik atau paparan lingkungan, jenis defek imun yang mendasarinya, durasi dan keparahan defisiensi imun, dan tingkat perkembangan dan pola kelainan radiologis.

Infeksi tergantung pada interaksi antara kerentanan pasien dan organisme yang terkena. Faktor-faktor lingkungan dan epidemiologi yang penting mencakup paparan masyarakat, perjalanan, riwayat infeksi sebelumnya, terapi obat (yaitu, agen sitotoksik atau imunosupresif), splenektomi, dan paparan nosokomial.

Paparan dan Riwayat terjadinya Infeksi Adanya riwayat menderita TB, tes tuberkulin kulit positif, atau tinggal di daerah endemik menimbulkan akan kecurigaan tuberkulosis primer atau reaktivasi TB. Demikian pula, melakukan perjalanan atau tinggal di daerah yang terdapat histoplasmosis, coccidioidomycosis, atau strongyloidiasis endemik akan

menyarankan hal tersebut sebagai kemungkinan diagnostik. Pasien penderita AIDS dapat tertular infeksi jamur tertentu, seperti histoplasmosis dan coccidioidomycosis di luar daerah endemis. Bahkan di daerah nonendemik, infeksi jamur dapat menyebabkan reaktivasi infeksi laten. Riwayat infeksi ini penting diketahui, karena infeksi paru yang disebabkan oleh organisme seperti Mycobacterium tuberculosis, Pneumocystis carinii, Toxoplasma gondii, dan virus varicellazoster lebih sering disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi baru. Namun, banyak kasus atau sebagian besar dari tuberkulosis primer dan pada dasarnya semua kasus infeksi primer dengan P. carinii tidak didapatkan pada orang yang imunokompeten. Dengan demikian, mungkin sulit untuk mendapatkan riwayat infeksi pada pasien yang kemudian menjadi immunocompromised.

Akhirnya, terjadinya satu infeksi oportunistik mungkin menandakan kerentanan terhadap infeksi oportunistik lain yang spesifik. Misalnya, pasien dengan AIDS yang telah menderita pneumonia akibat P. carinii terjadi peningkatan risiko terinfeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus serta tingkat risiko yang sedikit meningkat untuk terjadinya mikosis sistemik.

Terapi Obat yang Menjadi Predisposisi terhadap Infeksi Kebanyakan obat sitotoksik yang digunakan untuk pengobatan keganasan atau penyakit autoimun dapat menyebabkan terjadinya neutropenia dan monositopenia. Obat tersebut juga dapat menyebabkan mucositis dari usus, yang 9

dapat menyebabkan bakteri gram negatif enterik menyerang dinding usus dan masuk ke dalam sirkulasi. Dengan demikian, obat sitotoksik memberikan kerentanan kepada pasien terhadap infeksi yang sama yang menyulitkan keadaan neutropenia. Kortikosteroid, yang banyak digunakan untuk imunosupresi, memiliki efek kualitatif dan kuantitatif pada sel-sel kekebalan tubuh. Obat tersebut menekan jumlah sirkulasi limfosit dan monosit dan menghambat fagositosis dan aktivitas limfosit, terutama sel T. Dengan demikian, kortikosteroid dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang terkait dengan defek pada imunitas yang diperantarai sel dan fagositosis.

Paparan Nosokomial Pasien immunocompromised yang dirawat di rumah sakit beresiko untuk mengalami pneumonia nosokomial, setengah dari kejadian tersebut disebabkan oleh basil anaerob gram negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, spesies Enterobacter, spesies Klebsiella, Escherichia coli, dan spesies Acinetobacter. Kolonisasi orofaringeal terjadi setelah adanya aspirasi ke dalam saluran napas bagian bawah adalah jalur utama untuk infeksi paru akibat bakteri ini. Kolonisasi orofaring yang disebabkan oleh intubasi endotrakeal, penggunaan antibiotik, terapi imunosupresif akut, dan keasaman lambung yang berkurang (akibat penggunaan antasida atau H2 blocker). Tingkat keasaman yang rendah memungkinkan bakteri untuk berkembang biak di perut; dari sanalah bakteri ini berkoloni pada orofaring dan terhisap ke dalam paru-paru. Ketika pasien immunocompromised mengalami ulkus (akibat virus herpes simpleks atau infeksi spesies Candida) di rongga mulut, faring, atau oesophagus, mereka sangat rentan untuk mengaspirasi sekret yang infeksius. Kelembaban pada peralatan rumah sakit dan pada saluran ventilasi dapat menyediakan media untuk spesies Legionella dan bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia. Pasien yang diberikan di ventilator mekanik sangat rentan terhadap infeksi tersebut. Kateter intravena yang digunakan dalam waktu yang lama dapat meningkatkan risiko septikemia. Kateter yang terinfeksi dengan Staphylococcus aureus, P aeruginosa, atau spesies Candida dapat menyebabkan

10

emboli paru septik, seperti penyalahgunaan obat intravena. Insiden pneumonia yang disebabkan oleh beberapa organisme bervariasi di setiap tempat. 2.2.2 Pneumonia Pada Pasien Immunocompromised5,6 Penyakit pneumonia pada pasien immunocompromised melibatkan infeksi dan radang pada saluran pernapasan bagian bawah. Terlepas dari alasan yang menyebabkan berubahnya fungsi kekebalan tubuh, pneumonia membawa tingkat kematian tinggi pada pasien immunocompromised. Keadaan immunocompromise yang menyebabkan risiko tinggi pneumonia, terkait dengan adanya faktor-faktor berikut: Keganasan, HIV, immunodefisiensi primer, Transplantasi imunosupresi, Kehamilan, Alkoholisme, fibrosis kistik, penyakit autoimmune, penyakit neuromuskular, disfungsi kognitif, cedera sumsum tulang belakang, luka bakar, leukemia, limfoma, kemoterapi akibat keganasan pada organ padat, penggunaan steroid lama, asplenia,dan diabetes. Banyak patogen paru yang dapat menyerang pasien yang mengalami disfungsi sistem imun. Patogen lainnya lebih sering ditemui dengan penyebab tertentu dari keadaan supresi imun. Oleh karena itu, patofisiologi dapat dijelaskan secara umum dan konteksnya lebih spesifik. Secara konseptual, kerentanan pneumonia karena imunosupresi berasal dari defek neutrofil, defek

imunoglobulin, atau defek T-sel. Alasan yang mendasari penekanan kekebalan mungkin menyarankan terjadinya patologi paru tertentu. Agen penyebab yang bertanggung jawab untuk pneumonia pada pasien immunocompromised sering berbeda dari yang ditemukan pada pasien yang imunokompeten. Penyebab infeksi pneumonia pada pasien immunocompromised dapat meliputi: organisme bakteri, spesies Coccidioides, Cytomegalovirus (CMV), Tuberkulosis (TB), spesies Histoplasma, spesies Aspergillus, Mycobacterium avium complex (MAC), pneumonia (carinii) jiroveci (PCP), Influenza , herpes simplex virus (HSV), varicella-zoster virus (VZV), spesies Legionella, spesies Nocardia, Cryptococcus neoformans, spesies Mucoraceae, spesies Strongyloides, spesies Toxoplasma, dan spesies Capnocytophaga.

11

Penyebab pneumonia non-infeksi pada pasien immunocompromised meliputi: perdarahan paru, pneumonitis, gagal jantung kongestif, emboli paru, infark miokard, pneumotoraks, cedera akibat drug-induced, dan cedera akibat Radiasi x-ray. Sebuah studi di Kanada menemukan angka kematian sebesar 13,7% pada pasien immunocompromised yang menderita infeksi pneumonia komuniti. Tingkat kematian berkorelasi dengan etiologi imunosupresi. Tingkat kejadian kasus pada pasien dengan TB lebih tinggi pada pasien yang mengalami koinfeksi dengan HIV. Pada infeksi pneumonia komuniti, angka kematian rawat inap adalah sebesar 9,1%. Sistem stadium klinis yang dapat memprediksi kematian: gejala neurologis, frekuensi napas meningkat, dan kreatinin meningkat. Pneumonia adalah penyebab utama infeksi yang berhubungan dengan kematian pada orang tua. Pasien yang berusia lebih tua dari 90 tahun memiliki dua kali tingkat kematian akibat pneumonia daripada pasien yang berusia 65-69 tahun. Kematian dari influenza dan RSV tidak proporsional mempengaruhi orang tua. 2.2.3 Mikosis Paru Pada Pasien Immunocompromised9 Mikosis paru pada pasien Immunocompromised kemungkinan merupakan suatu progresi infeksi primer atau reaktivasi dari kondisi laten yang akhirnya bermanifestasi karena kondisi imun yang menurun. Saat ini, di era penggunaan HAART, belum diketahui pengaruhnya terhadap insiden mikosis paru, karena diagnosis mikosis paru masih merupakan problem tersendiri. Beberapa spesies jamur yang sering menjadi etiologi mikosis paru pada pasien

immunocompromised terutama penderita infeksi HIV/AIDS adalah Cryptococcus neoformans, Apergillus fumigatus, Histoplasma capsulatum dan Nocardia asteroides. Diantara spesies jamur tersebut, C. neoformans yang paling sering menyebabkan pneumonia (sekitar 15% episode) dibandingkan yang lainnya dan biasanya terjadi pada fase lanjut infeksi HIV. Infeksi yang terjadi diduga setelah terhirup udara yang mengandung yeast yang tidak berkapsul, namun mekanisme sesungguhnya masih belum jelas.

12

Tanda dan gejala pneumonia tidak spesifik, umumnya berupa demam, berkeringat, rasa lelah dan sakit kepala, 20 sampai 30% penderita mengeluh batuk dan sesak, 40% mengeluh nyeri dada. Gambaran radiologis thoraks umumnya berupa pneumonia interstisial yang difus dengan infiltrat interstisial, namun gambaran lain seperti konsolidasi fokal atau keseluruhan paru, bayangan ground-glass, nodul-nodul milier, cavitas, efusi pleura dan limfadenopati hilus dapat pula ditemukan. Karena gejala dan tanda serta gambaran radiologis thoraks yang tidak spesifik tersebut, diagnosis infeksi kriptokokal pada paru sangat sulit dibuat. Diagnosis pasti dibuat berdasarkan hasil biopsi, dan secara mikroskopis ditemukan adanya kriptokokus pada jaringan atau granuloma. Namun secara klinis dan laboratoris, diagnosis dapat ditentukan dengan crytococcal antigen tes yang sensitif dan spesifik. Terapi antijamur pada pasien immunocompromised dengan kriptokokis adalah amfoterisin B intravena dengan dosis 0,7 mg/kgBB/hari selama minimal 2 minggu dan kondisi klinisnya stabil, kemudian diikuti pemberian flukonazol per oral 400 mg/hari. Setelah infeksi terkontrol, dilanjutkan dengan terapi maintenance dengan flukonazol 200 mg/hari. Penghentian terapi maintenance ini dapat dipertimbangkan jika penderita tetap asimptomatis, dengan CD4 >100 . 200 sel/L selama 6 bulan. 2.2.4 Tuberkulosis Paru Pada Pasien Immunocompromised9,10 Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kirakira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya imunosupresi yang terjadi. Suseptibilitas terhadap tuberkulosis, baik untuk terjadinya tuberkulosis primer, reaktivasi ataupun reinfeksi berhubungan dengan pola sitokin yang diproduksi oleh limfosit T, dalam hal ini limfosit T1 melalui produksi interferon- yang berperan defensif terhadap mikobakterium. Pada infeksi HIV, deplesi

13

limfosit inilah yang menyebabkan suseptibilitas terhadap tuberkulosis meningkat. Di lain pihak, infeksi M. tuberculosis itu sendiri merangsang makrofag memproduksi TNF-, IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan peningkatan replikasi virus HIV. Jadi antara infeksi HIV dan tuberkulosis terjadi interaksi patogenik 2 arah (bidirectional pathogenic interactions) yang memperburuk prognosis penderita. Pada umumnya presentasi klinis dan radiologis TB paru pada penderita infeksi HIV dengan CD4 > 350 sel/L sama dengan penderita tanpa infeksi HIV, dimana tuberkulosis terbatas pada paru saja dan gambaran radiologis umumnya menunjukkan adanya fibroinfiltrat pada lobus atas paru dengan atau tanpa kavitas. Penurunan CD4 < 50 sel/L sering disertai tuberkulosis ekstrapulmoner. Gambaran radiologis pada kondisi infeksi HIV yang berat sangat berbeda, dimana infiltrat dapat terlihat di lobus tengah atau bawah paru, dapat berupa infiltrat milier (TB milier), namun kavitas lebih jarang didapatkan. Derajat

imunodefisiensi ini juga berpengaruh pada gambaran laboratoris (BTA pada sputum) dan histopatologis. Pada penderita dengan fungsi imun yang masih intact lebih mudah didapatkan adanya BTA pada sputum dan gambaran granulomatus secara histopatologi. Seiring dengan menurunnya sistem imun maka kemungkinan untuk didapatkan BTA pada sputum semakin kecil dan secara histopatologi gambaran granuloma juga sulit ditemukan karena semakin sulit terbentuk atau bahkan tidak terbentuk sama sekali. Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (tabel 1).30 Namun pada beberapa studi mendapatkan tingginya angka kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9 sampai 12 bulan.

14

BAB III KESIMPULAN

Paru-paru adalah salah satu organ yang paling sering terlibat dalam berbagai komplikasi pada pasien dengan immunocompromised. Di antara komplikasi paru yang terjadi pada pasien tersebut, infeksi adalah yang paling umum terjadi dan berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyakit pneumonia pada pasien immunocompromised melibatkan infeksi dan radang pada saluran pernapasan bagian bawah. Terlepas dari alasan yang menyebabkan berubahnya fungsi kekebalan tubuh, pneumonia membawa tingkat kematian tinggi pada pasien immunocompromised. Keadaan immunocompromise yang menyebabkan risiko tinggi pneumonia, terkait dengan adanya faktor-faktor berikut: Keganasan, HIV, immunodefisiensi primer, Transplantasi imunosupresi, Kehamilan, Alkoholisme, fibrosis kistik, penyakit autoimmune, penyakit neuromuskular, disfungsi kognitif, cedera sumsum tulang belakang, luka bakar, leukemia, limfoma, kemoterapi akibat keganasan pada organ padat, penggunaan steroid lama, asplenia,dan diabetes.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Yu Whan Oh. Pulmonary Infections in Immunocompromised Hosts: The Importance of Correlating the Conventional Radiologic Appearance with the Clinical Setting. Radiology 2000; 217:647656. 2. Price.S.A, Wilson.L.M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Bagian 2 edisi 5. Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2002. 3. Tabrani. R. H. Prinsip Gawat Paru. Buku Kedokteran ECG. Jakarta, 2003. 4. Guyton.A.C. Text Book of Medical Physiology, 6th ed, W.B.Sauders Company. Toronto, 2001. 5. Wallace, David J. Pneumonia in Immunocompromised Patients. Medscape Reference. Available at URL: http://emedicine.medscape.com/article /807846. Accessed on July 2012 6. Rano A, Agusti C, Sibila O, Torres A. Pulmonary infections in non-HIVimmunocompromised patients. Curr Opin Pulm Med. May 2005; 11(3): 213-7. 7. Hughes WT. Pneumonia in the immunocompromised child. Semin Respir Infect 1987; 2:177183. 8. Rubin RH, Peterson PK. Overview of pneumonia in the compromised host. Semin Respir Infect 1986; 1:131132. 9. Agustriadi, Ommy. Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik Pada Infeksi HIV/AIDS. Jurnal FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar, Vol. 9 No. 3 2008. 10. Harries A, Maher D, Graham S. TB/HIV: a clinical manual. 2nd ed. Geneva: World Health Organization; 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai