Anda di halaman 1dari 13

PUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI) SEBAGAI ALAT BUKTI AWAL DALAM PENEGAKAN HUKUM KESEHATAN

DECISION INDONESIA MEDICAL DISCIPLINARY BOARD (MKDKI) AS EVIDENCE IN THE BEGINNING OF HEALTH LAW ENFORCEMENT

Nur Alim,1 Musakkir,2 Irwansyah,2


1

Bagian Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi: Nur Alim, SH Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 085260943459 Email: alim_hukum@yahoo.com

Abstrak
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia, akhirakhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, National Health Service (NHS) menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medic yang lain. Penlitian ini bertujuan untuk mengetahui Putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dapat dijadikan sebagai alat bukti awal dalam penegakan hukum kesehatan. Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian ini, baik data primer maupun data sekunder. Dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Setelah itu dideskripsikan dengan menelaah permasalahan yang ada. Menguraikan, hingga menjelaskan permasalahanpermasalahan yang ada. Hasil penelitian bahwa salah satu cara untuk membuktikan adanya dugaan malapraktek yaitu dengan menggunakan putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai penyelenggara peradilan disiplin untuk dijadikan sebagai alat bukti awal dalam peroses peradilan umumkeputusan sidang Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dapat dijadikan alat bukti awal di pengadilan, karena keduanya mempunyai proses pembuktian yang sama dan putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pula telah memenuhi syarat sebagai alat bukti surat. Kesimpulan putusan Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) layak dijadikan alat bukti sebagai alat bukti surat. Kata kunci: Putusan, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Bukti Awal

Abstract
Constitution of 1945 states that health is a human rights, recent lawsuits against doctors under charges of malpractice is increasing everywhere, the National Health Service (NHS) says that of the only reported medical negligence, is thought to have going another 25 neglect medic. The aim of this study to know the decision to discipline Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) can be used as evidence in law enforcement beginning of health. All data obtained in this study, both primary data and secondary data. Analyzed using qualitative analysis techniques. After that described by reviewing the existing problems. Elaborating, to explain the problems that exist. The results that one way to prove the alleged malpractice by using decision Indonesian Medical Disciplinary Board (MKDKI) as organizer of judicial discipline to be used as evidence earlier in the trial umumkeputusan peroses judicial disciplinary Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) can be used as evidence early in the trial, because both have the same verification process and the decision of the Honorary Panel of Indonesian medical disciplines (MKDKI) also has been qualified as documentary evidence. Conclusion disciplinary decision Indonesian Medical Honorary Assembly (MKDKI) worthy evidence as documentary evidence. Keywords: Decision, Indonesian Medical Disciplinary Board, Early Evidence

PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya mendapaatkan makanan, pakaian, perumahan, dan pelayanan sosial lain yang diperlukan. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Hubungan antara dokter dan pasien didasarakan kepada tiga aspek hubungan yaitu: hubungan medik, hubungan moral dan hubungan hukum. Dalam hubungan medik dasar dari hubungan anatara dokter dan pasien adalah atas dasar kepercayaan dari pasien atas kemapuannya doktrin untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan penyakit yang dideritnya. Dalam hubungan moral didasarkan pada kaidah-kaidah moral dalam pelaksanaan kewajiban dokter dan kewajiban pasien. Dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien didasarakan pada kewajiban pesien dan hak pasien menjadi kewajiban dokter, keadaan itu menempatkan kedudukan dokter dan pasien pada kedudukan yang sama dan sederajat. Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan. National Health Service (NHS) menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medic yang lain
(Chandawila S, 2001). Oleh karena itu instrumen hukum sebagai salah satu kekuatan

untuk melindungi hak-hak dasar pasien dapat ditegaskan kembali sesuai dengan ruang lingkup serta batasannya (Ali, 2009). Sebagai fenomena gunung es (iceberg

phenomenon), dugaan malpraktek kedokteran mendapatkan prioritas penanganan lebih

saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang serta sanksisanksi hukum yang tegas untuk memberikan efek jera. Betapa sulitnya menentukan/membuktikan malapraktek medik (medical

malpractice) itu di pengadilan, karena tidak adanya aturan berupa Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, MKDKI ini hanya menitik beratkan kepada tindakan disiplin dengan sanksi administrative yang dalam peroses pembuktian terikat 2 alat bukti yang sama dengan pembuktian dalam perkara pidana. Walaupun di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 Ayat 3 menyatakan, setiap orang tidak menghilangkan haknya untuk melapor adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Pasien lebih cenderung berdiam diri karena pembuktian malapraktek yang sangat susah. Tujuan Penelitian untuk mengetahui Putusan MKDKI dapat dijadikan sebagai alat bukti awal dalam penegakan hukum kesehatan. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di kantor pusat Majelis Kehormatan Disiplin Indinesia (MKDKI), Kantor Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dan Markas Besar Polri (MABES POLRI) Jakarta. jenis penelitian yang digunakan adalah Normatif dan Empiris dengan menggunakan metode kualitatif. Populasi Dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas, kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditentukan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Oleh karena itu penulis menentukan yang dianggap memenuhi kriteria yang menjadi populasi adalah Hakim MKDKI, Kepolisian dan parktisi hukum kesehatan. Sampel adalah keputusan yang diambil oleh peneliti tentang siapa yang perlu diwawancarai, kapan melakukan observasi, atau dokumen apa atau sebanyak apa dokumen yang perlu dikaji. Penulis mengambil sampel yang akan diwawancarai yaitu

dengan berdasarkan Keanggotaan MKDKI terdiri dari 3 orang dokter, 3 orang dokter gigi, dari profesi masing-masing, seorang dokter dan dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit dan 3 orang sarjana hukum. Maka penulis mengambil sampel 1 orang dari dokter, 1 orang dokter gigi dan 1 orang dokter yang mewakili asosiasi rumah sakit, sedangkan dari kepolisian yaitu kepolisian yang pernah menangani kasus malpractic medic. Dan 3 orang praktisi hukum kesehatan. HASIL Tabel 1 memperlihatkan, tingkat pengaduan yang tercatat di KKI/MKDKI dari tahun 2006 berjumlah 9 pengaduan, 2007 berjumlah 11 pengaduan, 2008 berjumlah 20 pengaduan, 2009 berjumlah 36 pengaduan, 2010 berjumlah 49 pengaduan, tahun 2011 berjumlah 35 pengaduan dan tahun 2012 berjumalah 23 pengaduan, dan jumlah keseluruhan mencapai mencapai 183 pengaduan, berdasarkan data diatas mulai dari tahun 2006 sampai tahun 2012, pengaduan mencapai angka tertinggi pada tahun 2010 dan mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2012, walaupun pengaduan dari tahun 2011 dan 2012 mengalami penurunan, namun isu yang berkembang di masyarakat tentang dugaan malapraktek semakin meningkat. Tabel 2 memperlihatkan sumber pengaduan yang masuk di MKDKI yaitu dari masyarakat sekitar 171 orang, dari instusi 7 orang dan 5 orang dari tenaga kesehatan lainnya, dan berjumlah 183 pengaduan, Tabel 3 memperlihatkan dari permasalahan yang diadukan merupakan masalah kompetensi yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat, penelantaran, komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien, Tabel 4 memperlihatkan pengaduan yang masuk pada YPKKI, mulai dari Tahun 2005 data permasalah yang diadukan yaitu cacat berjumalah 2 oaranag dan meninggal 3 orang, pada tahun 2006 yaitu cacat 6 orang, tahun 2007 meninggal 3 orang, tahun 2008 cacat 2 orang, tahun 2009 meninggal 2 orang, tahun 2010 cacat 1 orang, tahun 2011 meninggal 1 orang dan pada tahun 2012 mengalami cacat 3 oranga, jumlah keseluruhan mencatat 13 orang yang mengalamai kecatatan dan 8 orang megngalamai kematian. Pada Tabel 5 memperlihatkan persamaan pembuktikan yang dianut oleh MKDKI dan peradilan umum memiliki kesamaan yang sangat urgen dalam proses pembuktian dan hampir tidak ada perbedaan.

PEMBAHASAN Penelitian ini memperlihatkan apabila dikaji secara umum pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Menurut Van Bemmelen (Sasangka H,dkk, 2003), membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang : (a) Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi, (b) Apa sebabnya demikian hal. Menurut pendapat penulis, walaupun bunyi pasal 66 ayat 3 membuka peluang cukup luas untuk memasuki wilayah hukum, namun masyarakat masih berdiam diri dan tidak mengadukan kepada pihak yang berwenang apabila mengalami dugaan malapraktek. Karena dugaan malapraktek hingga hari ini sangat sulit dibuktikan, karena di Indonesia tidak adanya aturan tentang Standar Profesi Medik (SPM), yang menjadi dasar ukuran untuk menetukan telah terjadinya malapraktek atau tidak, jadi para penegak hukum hanya bisa menduga-duga., walaupun pengaduan dari tahun 2011 dan 2012 mengalami penurunan, namun isu yang berkembang di masyarakat tentang dugaan malapraktek semakin meningkat. Berdasarkan data wawancara yang penulis dapatkan oleh (Marius Widjajarta, ketua YPKKI, jumat 18 januari 2013 jakarta selatan), mengatakan tingkat dugaan malapraktek hingga hari ini sangat tinggi, namun masyarakat tidak megetahui jalur apa yang akan ditempuh apabila mendapatkan masalah kesehatan, hanya pasrah terhadap nasib yang diterima. Kejadian seperti ini menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat,

kemungkinan menurunannya tingkat pengaduan yang masuk di MKDKI, menandakan kejenuhan masyarakat melaporkan adanya dugaan pelanggaran malapraktek, karena tidak adanya tindak lanjut apalagi efek jera yang dihasilkan MKDKI dalam pencegahan malapraktek, hal seperti ini menandakan keadaan yang buruk dalam pembangunan kesehatan (Kolamalawati V, 1989) Besaranya laporan yang bersumber dari masyarakat, berjumlah 183 pengaduan ini menandakan tidak adanya kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan, masyarakat yang menjadi korban tidak professional tenaga kesehatan dalam penerapan disiplin keilmuannya. Menurut penulis, untuk membuktikan dugaan malapraktek tersebut tanpa menggunakan Standar Pelayanan Medik (SPM), yaitu dengan cara menggunakan Putusan

MKDKI yang mengadili khusus disiplin profesi kedokteran, karena pelanggaran disiplin kedokteran yang diatur dalam buku pedoman Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (PERKONSIL), jelas tertuang 28 jenis pelanggaran dan pelanggaran tersebut menitik beratkan pada sebab terjadinya suatu pelanggaran bukan akibat, jadi apabila dokter dan dokter gigi dalam menerapakan keilmuannya, ternyata terjadi akibat yang merugikan terhadap diri pasien, dan kemudian ditemukan pelanggaran disiplin dari tindakan tersebut, maka jelas pula ditemukan pelanggaran hukum, khusus pidananya, Karena hukum pidana menitik beratkan pada akibatnya bukan sebabnya (Andi, 1984) Dari beberapa permasalahan yang diadukan merupakan yaitu masalah kompetensi yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat, penelantaran, komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien, Oleh karena itu, berdasarka data akibat yang ditimbulakan kelalaian tenaga kesehatan dokter dan doktergigi dalam menerapkan keilmuannya, pada tabel 3 dan 4 sangat meresahkan masyarakat, dan hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlansung secara terus menerus tanpa ada perhatian dari pemerintah atau tanpa ada upaya pemberian efek jera tarhadap dokter dan dokter gigi (Chirisdiono M, 2004) karena akibat yang ditimbulkan pada kematian dan kecacatan yang sangat merugikan masyarakat. Pembangunan pelayanan kesehatan hingga hari ini sangat buruk (Rinanto S, 2011). Oleh karena itu untuk membuktikan dugaan malapraktek di pengadilan, yang menjadi kekhawatiran dimasyarakat karena tidak adanya SPM, maka putusan MKDKI dapat dijadikan alat bukti awal karena memiliki kedunya mempunyai persamaan dalam proses pembuktian. Persamaan pembuktikan yang dianut oleh MKDKI dan peradilan umum memiliki kesamaan yang sangat urgen dalam proses pembuktian dan hampir tidak ada perbedaan. Oleh kararena itu untuk membuktikan dokter dan dokter gigi di hadapan pengadilan bahwa telah terjadi tindak pidana dalam penerapan ilmunya maka putusan MKDKI sangat dapat dijadikan alat bukti dalam proses paradilan pidana karena memiliki parsamaan proses pembuktian. Berdasarkan hasil Wawancara: Wakil Ketua MKDKI Sabir Alwi. (Jakarta, 15/1/2013). Mengatakan, Putusan MKDKI sangat dapat digunakan sebagai alat bukti awal dalam proses pengaduan pada tingkat pengadilan khususnya pidana, karena sudah

melalui rangkaian proses dan merupakan hasil dari sebuah proses penanganan disiplin, yang memang kami mengetahui ada adanya dugaan pelanggaran pidana. Dalam hal ini adapun yang menjadi alat-alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP , adalah sebagai berikut: (a). Keterangan saksi: adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Subekti, 2001) (b). Keterangan ahli/verklaringen van een deskundige/expect testimony adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Sidik, 2004) (c). Surat : surat adalah yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. Sudikno Metrokusumo (Sasangka H, dkk, 2003 ) (d). Petunjuk : adalah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinnya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. (Harahap, 2000) (e). Keterangan terdakwa: adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (Andi, 1984) Menurut penulis yang menjadi dasar pula bahwa putusan MKDKI layak dijadikan alat bukti pertama karena telah memenuhi unsur sebagai alat bukti surat sebagai salah satu alat bukti yang diakui dalam proses pembuktian KUHAP dalam karena dalam putusan tersebut terkandung hal-hal: (a). Dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang/ lembaga resmi. (b). Karena dilakukan melalui suatu proses yang sah bedasarkan UndangUndang dan prosesnya sama dengan proses beracara pada hukum pidana. (c). Prosesnya Dilakukan secara mendalam karena dilakukan oleh orang yang professional

KESIMPULAN DAN SARAN Dugaan malapraktek hingga hari ini sangat sulit dibuktikan, karena di Indonesia tidak adanya aturan tentang Standar Pelayanan Medik (SPM), yang menjadi dasar ukuran untuk menetukan telah terjadinya malapraktek atau tidak, jadi para penegak hukum hanya bisa menduga duga. Oleh karena itu keputusan sidang Mejelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia atau MKDKI dapat dijadikan alat bukti awal di pengadilan, karena keduanya mempunyai proses pembuktian yang sama dan putusan MKDKI pula telah memenuhi syarat sebagai alat bukti surat karena putusan MKDKI yaitu dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang/lembaga resmi, dilakukan melalui suatu proses yang sah berdasarakan Undang-Undang dan prosesnya sama dengan proses beracara pada hukum pidana, prosesnya Dilakukan secara mendalam karena dilakukan oleh orang yang professional. seyogianya masyarakat menggunakan putusan MKDKI sebagai dasar laporan ke pengadilan dan untuk menciptakan ketertiban umum, menciptakan pelayanan kesehatan yang baik tanpa ada rasa kekhawatiran, agar menimbulkan efek jera terhadap dokter untuk meningkatkan profesionalitasnya sebagai tenaga kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA Achadiat Chirisdiono M, (2004), Dinamika dan Etika kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Buku Kedokteran EGC, Jakarta Achmad Ali, (2009), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hamzah Andi, (1984), Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakartap Harahap, M. Yahya, (2000), Pembahaasan permasalahan dan penerapan KUHAP (penyidikan dan penuntutan). Sinar garfika, Jakarta Rinanto S, (2011), Hukum Malapraktek Kedokteran, Total Media, Yogyakarta. Sasangka, Hari dan Lili Rosita, (2003), Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi, Madar Maju, Bandung Subekti, R, (2001), Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta Sunanto Sidik, (2004), Kapita Selekta Sisitem Peradilan Pidana, Unismuh Malang, Malang Veronica Kolamawati, (1989), Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Traupeutik, Citra aditya Bakti, Bandung. Wila Chandawila S, (2001), Hukum Kedokteran, Bandar maju, Bandung.

Tabel 1. Jumlah pengaduan yang masuk di MKDKI dari tahun 2006-2012 Tahun Pengaduan 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah
Sumber data: MKDKI Pusat, Jakarta

Jumlah Pengaduan 9 11 20 36 49 35 23 183

Tabel 2. Data sumber pengaduan di MKDKI Sumber pengaduan Masyarakat Institusi Tenaga Kesehatan Jumlah
Sumber Data: MKDKI Pusat, Jakarta

Jumlah pengaduan 171 7 5 183

Tabel 3 Data akibat yang ditimbulkan

Permasalahan yang diadukan Kompetensi Ingkar janji Penelantaran Komunikasi Pembiayaan


Sumber Data: MKDKI Pusat, Jakarta

Akibat yang ditimbulkan Meninggal dunia Cacat Kerugian Kerugian Kerugian

Tabel 4. Data permasalahan yang diadukan di YPKKI Permasalahan yang diadukan Cacat 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah 2 6 2 1 3 1 Meninggal 3 2 2 1 8

Tahun

Sumber data: Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia(YPKKI) Jakarta

Tabel 5 Persamaan peroses penyelesaian sengketa melalui MKDKI dan Peradilan umum Peroses penyelesaian sengkata Melalui Proses penyelesaian sengketa melalui

MKDKI Melalui pengaduan

peradilan umum (pidana) Melalui pengaduan (delik aduan) oleh lembaga yang

Dilakukan oleh lembaga yang berkompeten Dilakukan

yang diamanatkan oleh undang-undang (UU berkompeten yang diamanatkan oleh no.24 tahun 2004 tentang kesehatan) undang undang (KUHAP) Pembuktian (pasal 184

Proses Pembuktian dengan menggunakan Proses (pasal 39 Perkonsil No.2/per/KKI/VII/2011 1. Alat bukti yang dapat diajukan pada sidang pemeriksaan disiplin berupa: a. surat-surat dokumen; b. keterangan saksi-saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan teradu; dan/atau e. barang bukti. 2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (asas res ispa dan/atau dokumenKUHAP)

1. Alat bukti bukti yang sah :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

Liquitoir). 2 alat bukti yang cukup Putusan Sanksi yang bersifat mengikat 2 alat bukti yang cukup Putusan Sanksi yang bersifat mengikat

Anda mungkin juga menyukai