Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Kami mengambil topik ini sebagai judul karena dilatarbelakangi dengan dinamika perekonomian dan perpolitikan bangsa Indonesia pada zaman sebelum reformasi

tepatnya di akhir pemerintahan Orde Baru. Di mana zaman ini adalah zaman yang lama berkuasa, yaitu selama kurang lebih 32 tahun. Dan selama masa pemerintahan tersebut banyak masalah-masalah ekonomi yang terjadi pada rezim tersebut. Dan banyak kejadian-kejadian ekonomi yang terjadi, seperti stabilisasi, rehabilitasi, inflasi, dan lainlain. Masalah politik pada masa Orde Baru ini juga banyak seperti maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme di semua jenjang pemerintahan. Karena dengan latar belakang tersebut penulis mengambil topik ini.

Rumusan Masalah Dalam pembahasan rumusan masalah, kami bisa menyampaikan bebrapa pertanyaan, yaitu sbb; 1. bagaimana keadaan perekonomian Indonesia pada zaman Orde Baru sebelum reformasi ? 2. dampak kebijakn politik terhadap perekonomian Indonesia pada saat itu? 3. dampak kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah pada saat itu ? 4. bagaimana keadaan politik indonesia pada masa Orba sebelum reformasi?

Tujuan Penulisan Dimana dalam tujuan penulisan tugas ini adalah sebagai penunjang nilai dalam mata pelajaran Sejarah (IPA) kelas XII. Selain itu tujuan dalam penulisan makalah ini adalah ingin mengetahui bagaimana perkembangan dan kondisi ekonomi & politik Indonesia pada zaman ORBA sebelum reformasi.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perekonomian Indonesia Pada Zaman Orde Baru (Sebelum Reformasi)


Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur Administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan Aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Saat permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah.

Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat
2

kebijakan

mengacu

pada

Tap

MPRS

tersebut

adalah

sebagai

berikut.

1)Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti : 1. rendahnya penerimaan negara 2. tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara 3. terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank 4. terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri 5. penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana. 6. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian. 7. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara: A. Mengadakan operasi pajak B.Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Orde Baru merupakan zaman yang telah lama berkuasa di indonesia yaitu kurang lebih selama 32 tahun. Pada masa pemerintahan itu terdapat banyak permasalahan, terutama yang berkaitan dengan masalah perekonomian yang terjadi pada rezim tersebut. Seperti kejadian stabilisasi ,rehabilitasi,inflasi ,dan permasalahan lainnya. Pada masa demokrasi terpimpin ini, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi yang berakibat mematikan potensi dan kreasi unit-unit swasta. Sehingga pada permulaan orde baru pemerintah berorientasi untuk berusaha menyelamatkan ekonomi nasional terutama pada usaha pengendalian tingkat inflasi dan penyelamatan keuangan negara serta pengamanan kebutuhan rakyat. Maka dari itu pemerintah menempuh beberapa cara, antara lain: 1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (Stabilisasi yang berarti mengendaliakan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak secara terus menerus,Sedangkan Rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi) 2. Mengadakan kerjasama dengan Negara Lain / Kerja Sama Luar Negri (Pemerintah mengikuti perundingan dengan Negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 193

20 September 1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku) 3. Pembangunan Nasional (Pedoman pembangunan nasional adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil)

Adapun dari usaha pemerintah tersebut memberikan dampak positif dan negatifnya ,yaitu: Dampak Negatif Kebijakan Ekonomi Orde Baru 1. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan summer daya alam 2. Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) 3. Pembangunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata 4. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental

pembangunan ekonomi sangat rapuh. 5. Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan,

antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. 6. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial ) 7. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpadiimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. 8. Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlahwilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau,Kalimantan Timur, dan Irian.

Dampak Positif Kebijakan Ekonomi Orde Baru 1. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya pun dapat dilihat secara konkrit 2. Indonesia mengubah ststus dari Negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). 3. Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.

Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut: 1.Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yangmenyebabkan kemacetan, seperti : a. Rendahnya penerimaan Negara b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana. e. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian. f. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuhcara: a.Mengadakan operasi pajak b.Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaandengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menanganimasalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaranyang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan JangkaPanjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebutPelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dariUniversitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negaraBarat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilahyang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakanekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
5

1. Pelita I (1 April 1969 31 Maret 1974) Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yangmenjadi landasan awal pembangunan Orde Baru. Tujuan Pelita I :Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahapberikutnya Sasaran Pelita I :Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik Berat Pelita I :Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang

pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masihhidup dari hasil pertanian.Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari)terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengankedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa inimerupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntutJepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesiasebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia.Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatanJepang.

2. Pelita II (1 April 1974 31 Maret 1979) Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan,sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakanrakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasilmeningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7%setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadikenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan di bangun.

3.Pelita III (1 April 1979 31 Maret 1984) Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaanekonominya adalah pembangunan pada segala bidang.

Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
6

Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut. 1.Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepadaterciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2.Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. 3.Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

4.Pelita IV (1 April 1984 31 Maret 1989) Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menujuswasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapatmenghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai padaPelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan inimendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan danPertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV jugadilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.

5.Pelita V (1 April 1989 31 Maret 1994) Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian danindustri untuk memantapakan swasembada pangan danmeningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua,yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulaimemasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnyamasyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

6.Pelita VI (1 April 1994 31 Maret 1999) Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomiyang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunandan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yangmelanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karenakrisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri
7

yangmengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migasmeningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisadihitung sebagai kasus sukses pembangunan

ekonomi.Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesiamampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan pembenahandi bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggalditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai. Gayakepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru olehKwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomianIndonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yangsempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.

Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Akhir Masa Orde Baru Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999) Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas ditengah jalan.Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.. Kerusakan serta pencemaran lingkunganhidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok
8

dalam masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalahkelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanyamengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,ekonomi, dan sosial yang demokratis dan

berkeadilan.Pembagunan tidak merata. Tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, KalimantanTimur, dan Irian. Faktor inilah yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun1997. Membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.

Faktor Penyebab Kegagalan Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru Ketika krisis moneter melanda Indonesia, semua pihak tersentak melihat indikator ekonomi Indonesia. Hanya dalam beberapa bulan, krisis ekonomi telah

memporakporandakan keberhasilan pertumbuhan ekonomi Indonesia (rata-rata 7-8 persen) selama tiga dekade menjadi minus 13 persen. Ironisnya, dalam beberapa bulan kemudian, krisis justru semakin parah dan mengarah pada potret ekonomi Indonesia yang suram. Misalnya, selama dilanda krisis, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 80 juta, angka pengangguran meroket menjadi 20 juta jiwa, bahkan laju inflasi mendekati angka 100 persen (hiperinflasi). Sikap mental Orde Baru yang tak lagi menghargai supremasi hukum, hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup memang tak sejalan dengan gerakan reformasi. Orde Baru bukan menyangkut orang per orang, melainkan sikap mental dan pola pikir yang mempengaruhi seseorang. Tanpa perubahan terhadap sikap mental itu, apa pun gerakan reformasi yang dilakukan takkan berhasil. Karena itu, mentalitas Orde Baru harus diubah. Gerakan reformasi, lanjutnya, bisa berhasil walaupun dilaku-kan oleh mereka yang pernah menjadi pejabat Orde Baru. Asalkan, mereka sudah mengubur mentalitas Orde Baru serta mengubahnya menjadi sikap mental yang sesuai dengan gerakan reformasi. Sebaliknya, reformasi bisa gagal walaupun dilaksanakan oleh orang lain, yang bukan mantan pejabat Orde Baru, tetapi mereka memiliki mentalitas Orde Baru. Mentalitas Orde Baru, muncul karena penguasa mempunyai kedudukan lebih kuat dibanding rakyat. Akibatnya, aparat pun merasa harus dilayani oleh rakyat, dan
9

menempatkan rakyat bagai peminta-minta pelayanan. Padahal, aparat sesungguhnya harus berperan melayani masyarakat. Bahkan, dengan porsi kekuasaan pemerintah yang terlalu kuat, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kasus pertanahan misalnya, rakyat yang merasa haknya dirampas cuma bisa berunjuk rasa atau membangun tenda di atas tanahnya. Namun itu tidak akan bertahan lama. Rakyat pun pasti kalah, BPN tengah melakukan perubahan sikap mental aparatnya. Pelayanan kepada rakyat di bidang pertanahan kini semakin dipermudah. Orde Baru bagaikan seorang raksasa yang kini tengah menghadapi sakratul maut. Bahkan mungkin secara medis raksasa Orde Baru itu sudah mati. Tetapi seperti mahluk hidup, yang menghadapi ajalnya, raksasa Orde Baru kini sedang mengge-lepar-gelepar sekarat dan beberapa bagian tubuhnya bergerak tidak terkendali. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mengendalikan gerakan bagian tubuh Orde Baru yang tidak terkendali itu. Pemerintah dapat melakukan kekerasan untuk mempercepat kematian Orde Baru. Tetapi ini akan menghasilkan raksasa baru yang barangkali akan dihadapi rakyat, seperti menghadapi Orde Lama maupun Orde Baru, 10-20 tahun yang akan datang. Sebab itu, pemerintah dan ABRI memilih pendekatan persuasif, sekalipun butuh waktu dan kesabaran.

Pendekatan yang dilakukan pemerintah serta ABRI dalam menangani berbagai kerusuhan, memang bukan suatu yang populer. Akibatnya, ABRI dan pemerintah dianggap lemah. Banyak tokoh masyarakat yang menghujat pemerintah. Pemerintah saat ini selalu dalam posisi terpojok, kalah, dan selalu salah. Sebaliknya, kalangan humas pemerintah kurang mampu menghadapi pendapat masyarakat yang menyudutkan pemerintah. Keberhasilan pembangunan belumlah tentu sebuah keberhasilan. Bahkan, keberhasilan pembangunan-khususnya selama Orde Baru, bisa menjadi perusakan alam dan kerugian besar untuk masyarakat daerah. Ini terjadi, karena pelaksanaan pembangunan kurang memperhatikan analisis dampak sosial. Juga pengaruh banyaknya pejabat-pejabat yang menguasai sistem-sistem untuk kepentingan diri mereka masing-masing sebagaimana yang telah menjadi ciri dari pemerintahan dan masyarakat Orde Baru.

Suatu golongan yang tidak disenangi kemudian menjadi disenangi, akan ikut membantu memperlancar perubahan. Namun suatu golongan yang telah berada dalam situasi yang menyenangkan, menikmati banyak hak istimewa, kekuasaan dan duit, mereka akan
10

bertahan sekuat mungkin. Itulah keadaan yang terjadi sekarang, golongan status quo sangat kuat. Para pejabat Orde Baru selalu menyatakan penguasaan mereka atas sumbersumber ekonomi politik dan birokratik itu untuk kepentingan pembangunan bangsa, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta janji-janji pemerataan atas hasil-hasil pembangunan. Namun pada dasawarsa 1980-an, gerakan mahasiswa secara jitu menemukan fakta bahwa pembangunan telah memakan korban bagi warga masyarakat yang justru tergusur dari tanah mereka. Setiap upaya mempersoalkan nasib rakyat tak jarang diperhadapkan dengan tudingan mengganggu jalannya

pembangunan. Jika mempersoalkannya ke tingkat internasional, aparat Orde Baru menudingnya sebagai menjelek-jelekkan bangsa atau menjual bangsa ke pihak asing. Tujuan nasionalisme Orde Baru sangat jelas, yakni mempertahankan kepentingan KKN mereka dengan dua target. a. Pertama : Kekuatan-kekuatan rakyat tak dapat berkembang dan tetap lumpuh, sehingga rakyat tak bisa bersuara atas praktik KKN Orde Baru. b. Kedua : Mengobarkan nasionalisme untuk mencegah dan mengacaukan upaya aktivis hak asasi manusia untuk memperkarakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (human rights violation). Hasil yang diharapkan pemimpin Orde Baru yang mengobarkan nasionalisme sempit itu, ada dua hal. Pertama, mereka kebal dari hukum (impunity). Semua praktik KKN yang mereka jalankan, tidak dapat dihukum, sehingga kepentingan-kepentingannya tetap lestari. Mereka untouchable-tidak bisa dijangkau hukum. Kedua, mereka juga bebas bergentayangan melakukan penindasan hak asasi manusia, memangsa korban dari bangsanya sendiri. Nasionalisme yang digembor-gemborkan oleh Orde Baru jelas berusaha keras mematikan gerak aktivis hak asasi manusia dengan berbagai siasat dan intrik yang kotor. Dengan siasat dan intrik kotor itulah pengibar nasionalisme ini mengelabui kita semua, sehingga berbagai pelanggaran hak asasi manusia tidak diungkap dan tidak pula diperkarakan. Otoritarianisme Orde Baru telah berulang kali menuduh para aktivis hak asasi manusia sebagai agen asing atau agen Barat sambil terus menimbulkan korbankorban atas bangsanya sendiri. Kita semua terus-menerus berusaha dibenamkan dalam
11

perangkap kesadaran untuk melupakan kekejaman yang diperbuat Orde Baru atas bangsanya sendiri. Nasionalisme Orde Baru tak peduli jatuhnya korban dari bangsanya sendiri yang terhempas menemui ajalnya sejauh kepentingan KKN tidak digugat rakyat. Bahkan dengan praktik yang berkualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) kejahatan yang merupakan musuh seluruh umat manusia jika perlu dilakukannya. Untuk menutupinya pejabat Orde Baru dan pewarisnya sering menangkalnya dengan pernyataan angkuh: jangan campuri urusan dalam negeri Indonesia. Pembangunan yang terjadi di zaman Orde Baru pada awalnya bisa membuat pendapatan per kapita naik empat kali, dari sekitar US$ 250 sampai sekitar US$ 1.000 per kapita setahun. Namun kemudian Orde Baru ternyata hanya menyuburkan korupsi dan memperbesar kesenjangan sosial. Di lain pihak, secara statistik juga bisa dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan berkurang. Tingkat kesejahteraan, yang bisa diukur dengan konsumsi per kapita beras, gandum, BBM, listrik, fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan sebagainya, semua naik banyak. Kalau sekarang, lima tahun sesudah digempur krisis ekonomi yang dahsyat, tingkat konsumsi publik masih cukup dan sebagian terbesar masyarakat tidak lapar dan merana dibandingkan dengan tahun 1966 maka semuanya ini adalah hasil perbekalan dari zaman Orde Baru. Sedangkan penanaman modal asing sangat diperlukan karena divestasi perusahaanperusahaan yang karena krisis dikuasai oleh negara, dan juga akibat dari skema debtequity swap yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang besar beban utangnya kepada pihak luar negeri. Begitu juga kebijakan lalu lintas devisa sudah tidak baik dipadukan dengan sistem nilai tukar mata uang tetap, tanpa fundamental ekonomi yang kuat terhadap pengaruh globalisasi. Memang pemerintahan yang buruk (bad governance)tercermin dalam maraknya KKN -bukan penyebab utama masuknya Indonesia ke dalam krisis, tetapi hal itu jelas amat memperburuk keadaan. Setting kapitalisme global terhadap Indonesia bukanlah suartu hal yang baru dilakukan. Kenaikan rezim Soeharto dulu sedikit banyaknya mendapat dukungan dari negara-negara maju. Setting itu juga dimainkan untuk menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya karena praktek korupsi cukup parah, dukungan yang tadinya diberikan lambat laun dicabut sampai akhirnya Soeharto terjungkal. Pada masa krisis ekonomi
12

sebelum kejatuhannya, Soeharto tampak setengah hati menjalankan kebijakan Bank Dunia dan IMF. Tetapi karena Soeharto tidak mau membubarkan anak-anak dan kroninya, renacana peminjaman dana itu ditarik kembali. Padahal sebagaian besar Bankbank itu sudah dalam kedaan kacau. Kelemahan Soeharto adalah terlalu membela anak-anak keluarga dan kroninya. Sehingga Bank Duniapun ditentangnya. Sehingga Saoeharto tidak dapat dukungan dan jatuh. Bahkan pengusaha dan militer sebagai penopang utama kekuasaannyapun pada akhirnya tidak memberikan dukungan karena sudah tidak melihat ada prospek lagi dalam kekuasaannya. Setelah Soeharto jatuh, Bank Dunia tidak serta merta dapat langsung melakukan kontrol terhadap penguasa baru di Indonesia. Rezim pemerintahan Orde Baru yang pada waktu itu sudah memangalami banyak permasalahan tidak cepat-cepat membereskan masalahnya sehingga hanya mempersulit dan menambah beban bagi rakyat yang sudah lama merasa tidak puas. Ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan semakin di tambah dengan naiknya-harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, lauk-pauk, BBM, yang notabene merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi rakyat. Rezim Orde Baru Soeharto akhirnya punya banyak cacatnya yang menjadi fatal karena tidak terkoreksi secara dini. Seandainya Pak Harto mau mundur pada pertengahan 1980-an dan cengkeraman sosial-politiknya bisa dikendurkan, keadaan mungkin sekali tidak separah sekarang. Negara, dan para pemimpinnya, yang mampu membanting setir demikian adalah RRC, yang sistem politiknya masih dikendalikan Partai Komunis, akan tetapi ekonominya direformasikan berdasarkan sistem pasar terbuka yang cukup bebas. Proses otonomi daerah di RRC senantiasa bisa dikendalikan Beijing, karena semua gubernur dan bupati diangkat dan diberhentikan pemerintah pusat. Pembangunan politik dan ekonomi untuk negara besar seperti Indonesia selalu memerlukan pemerintah yang kuat. Ini hanya ada selama zaman Soeharto, tetapi dengan pengorbanan demokrasi politik dan sosial. Satu-satunya masa pendek yang mungkin bisa kita pelajari kembali, kalau mencari percontohan, adalah masa 1950-1957. Pada masa itu, pengaruh asing (kebanyakan memang Belanda) masih kuat. Orientasi kebijakan ekonomi masih rasional dan terbuka terhadap interaksi dengan dunia luar. Kehidupan politik masih cukup demokratis, dan partai opisisi ada. Beberapa tokoh yang pragmatik berpengaruh di bidang ekonomi, yakni Bung Hatta, Sjafruddin, Djuanda, Leimena,
13

Sumitro, Wilopo, dan sebagainya. Bung Karno masih ada dengan pengaruhnya yang karismatik dan menyatukan bangsa, akan tetapi ia belum menjadi penguasa utama. Tetapi, bibit-bibit perpecahan politik sudah ada, dan konflik dunia, demokrasi lawan komunisme, sudah mulai masuk ke negeri ini. Indonesia memang tidak pernah bisa mengasingkan diri dari pengaruh-pengaruh dunia, baik politik maupun ekonomi. Dalam membangun negara, kita harus membedakan antara state building dan nation building. Dalam tahap pertama, kita lebih berhasil dalam hal nation building, dan jasa Bung Karno tidak boleh dilupakan. Nation building selama 50 tahun dilakukan dan dilestarikan berdasarkan wacana melting pot, seperti di Amerika, di mana suku-suku bangsa kaum imigran yang menyusun Amerika harus melebur diri menjadi prototipe bangsa Amerika yang Anglosax dan Protestan. Ika-nya lebih penting daripada bhinnekanya. Setelah 50 tahun, model nation building ini harus kita tinggalkan. Kebinekaan harus lebih ditonjolkan, akan tetapi kesatuan bangsa dan negara harus dipelihara, kalau bisa secara alami, atas dasar keyakinan nasional bahwa hidup sebagai warga bangsa besar lebih sentosa daripada sebagai warga negara kecil. Tetapi, terutama elite politik di Jakarta dan di Jawa, lagi pula TNI, harus mengubah wacana-wacananya. Sampai sekarang, konsensus yang praktis masih dicari. State building rupanya jauh lebih sulit daripada nation building. Para peninjau asing yang kompeten (ahli ilmu politik) pada umumnya tidak terlalu menyangsikan bahwa Indonesia kelak pecah seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Semangat nasionalisme masih cukup kuat, walaupun sudah mengalami erosi. Yang membuat risiko besar perpecahan RI adalah bahwa pemerintahnya lemah. Indonesia is not a failed state but a weak state. Pemerintah di Jakarta lemah oleh karena terperangkap dalam proses demokratisasi. Lemahnya pemerintah dan negara dewasa ini oleh karena alat-alat penegak kekuasaan tidak berfungsi: tentara, polisi, jaksa, hakim, sistem peradilan, dan sebagainya. Moral serta perasaan tanggung jawabnya dirusak oleh KKN dan oleh karena negara tidak bisa menjamin gaji dan balas jasa yang wajar.

14

2.2 Kehidupan Politik Indonesia Pada Masa Orde Baru (Sebelum Reformasi)
Pemerintah Orde Baru berkehendak menyusun sistem ketatanegaraan berdasarkan asas demokrasi Pancasila. Salah satu wujud demokrasi Pancasila adalah penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Melalui pemilu, rakyat diharapkan dapat merasakan hak demokrasinya, yaitu memilih atau dipilih sebagai wakil-wakil yang dipercaya untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang terpilih nantinya harus membawa suara hati nurani rakyat pada lembaga itu. Penyelenggaraan pemilu di Indonesia didasarkan kepada asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Langsung maksudnya rakyat mempunyai hak secara langsung memberikan suaranyatanpa perantaraan orang lain.

Umum mempunyai arti semua warganegara yang memenuhi persyaratan berhak ikutserta memilih dalam pemilihan umum.

Bebas

berarti

setiap

pemilih

dijamin

keamanannya

untuk

melakukan

pemilihanterhadap salah satu peserta pemilu tanpa adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapa pun atau dengan cara apa pun.

Rahasia bermakna para pemilih dijamin kerahasiaannya dalam menyalurkan pilihannya pada salah satu peserta pemilu.

Pada awal Orde Baru, pemilihan umum direncanakan akan diselenggarakan selambatlambatnya pada 5 Juli 1968. Hal ini berdasarkan pada Ketetapan MPRS No.XI/MPRS/ 1966 tentang Pemilihan Umum yang dihasilkan Sidang Umum IV MPRS tahun 1966. Namun, pemilu kemudian tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena sulitnya menyelesaikan pembahasan mengenai undang-undang pemilu.

Pada tanggal 10 November 1969 DPR-GR menyetujui dua RUU Pemilu dan disahkan Presiden RI tanggal 17 Desember 1969, yaitu 1. Undang-undang No.15Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Daerah, dan 2. Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

15

Dengan berlandaskan kepada kedua undang-undang tersebut, pemerintah Orde Baru mgnyelenggarakan pemilihan umum yang pertama kali pada 3 Juli 1971. Pemilu tahun 1971 diikuti 10 kontestan, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pemilu pertama pada masa Orde Baru ini menghasilkan perolehan kursi DPR, yakni Golkar 236, NU 58, Parmusi 24, PNI 20, PSII 10, Partai Kristen Indonesia 7, Partai Katolik 3, Perti 2, Partai Murba dan IPKI tidak memperoleh kursi. Pemilu kedua diselenggarakan pada 2 Mei 1977. Pada pemilu tahun 1977 terjadi penyederhanaan kontestan, yaitu diikuti tiga peserta saja. 1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari NU, PSII, Parmusi,dan Perti. 2. Golongan Karya (Golkar). 3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mempakan fusi dari PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, dan IPKI. Pemilihan umum di masa pemerintahan Orde Baru dari waktu ke waktu, pada satu sisi memang membawa negara kepada suatu kehidupan yang lebih baik dari pada kondisi sebelumnya. Adapun kemajuan yang telah dicapai pemerintahan Orde Baru sebagai hasil pelaksanaan pembangunan sejak tahun 1969 - 1997 antara lain adalah 1. naiknya produksi dan jasa di segala bidang, 2. naiknya pendapatan dan kemakmuran sebagian rakyat Indonesia, 3. meningkatnya kemampuan negara dalam menghimpun dana, baik dari dalam maupun dari luar negeri, seperti pajak, cukai, ekspor migas dan non-migas, serta 4. semakin bertambahnya sarana-sarana pendidikan, kesehatan, olahraga, ibadah, ekonomi, perumahan, dan Iain-lain. Bahkan atas beberapa keberhasilan menjalankan pembangunan di Indonesia, MPR kemudian memberikan predikat kepada Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Namun, menjelang pertengahan tahun 1997 kemajuan di berbagai bidang itu seperti tidak bermakna apa-apa. Bangsa Indonesia dilanda krisis teramat berat yang bermula dari krisis moneter, berupa turunnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar. Krisis moneter ini kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi sehingga
16

mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Tatanan ekonomi, rusak berat, pengangguran meluas, dan kemiskinan merajalela. Dampak krisis ini berbuntut pada timbulnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Orde Baru. Dalam kondisi seperti itu, muncullah gerakan reformasi yang berawal dari rasa keprihatinan moral yang sangat mendalam atas berbagai krisis yang terjadi di Indonesia. Gerakan reformasi ini dipelopori oleh kalangan mahasiswa dan kaum cendekiawan. Mereka mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat yang bersimpati terhadap reformasi. Figur yang dianggap banyak mempengaruhi bergulirnya roda reformasi ialah Prof. Dr. Amien Rais M.A. la dengan berani memaparkan berbagai kelemahan dan penyelewengan elit birokrasi Orde Baru dan segelintir manusia yang memonopoli sumber daya alam dan sektor ekonomi Indonesia. la juga berhasil menyadarkan masyarakat akan pentingnya suksesi (pergantian kekuasaan) terhadap pemerintahan Soeharto yang telah bercokol selama 32 tahun.

Perkembangan Politik Pasca Pemilu 1997


Di tengah-tengah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara terjadilah ganjalan dalam kehidupan berpolitik menjelang Pemilu 1997 disebabkan adanya peristiwa 27 Juli 1996, yaitu adanya kerusuhan dan perusakan gedung DPP PDI yang membawa korban jiwa dan harta. Tekanan pemerintah Orba terhadap oposisi sangat besar dengan adanya tiga kekuatan politik yakni PPP, GOLKAR, PDI, dan dilarang mendirikan partai politik lain. Hal ini berkaitan dengan diberlakukan paket UU Politik, yaitu: 1. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, 2. UU No. 2 Tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 5 Tahun 1995, 3. UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, 4. UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pertikaian sosial dan kekerasan politik terus berlangsung dalam masyarakat sepanjang tahun 1996, kerusuhan meletus di Situbondo, Jawa Timur Oktober 1996. Kerusuhan serupa terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat Desember 1996, kemudian di
17

berbagai daerah di Indonesia. Pemilu 1997, dengan hasil Golkar sebagai pemenang mutlak. Hal ini berarti dukungan mutlak kepada Soeharto makin besar untuk menjadi presiden lagi di Indonesia dalam sidang MPR 1998. Pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden tidak dapat dipisahkan dengan komposisi anggota DPR/MPR yang mengandung nepotisme yang tinggi bahkan hampir semua putra-putrinya tampil dalam lembaga negara ini. Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI dan kemudian membentuk Kabinet Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi. Mahasiswa dan golongan intelektual mengadakan protes terhadap pelaksanaan pemerintahan ini. Di samping hal tersebut di atas sejak 1997 Indonesia terkena imbas krisis moneter di Asia Tenggara. Sistem ekonomi Indonesia yang lemah tidak mampu mengatasi krisis, bahkan kurs rupiah pada 1 Agustus 1997 dari Rp2.575; menjadi Rp5.000; per dolar Amerika. Ketika nilai tukar makin memburuk, krisis lain menyusul yakni pada akhir tahun 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank. Kemudian disusul membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas mengawasi 40 bank bermasalah. Kepercayaan dunia terhadap kepemimpinan Soeharto makin menurun. Pada April 1998, 7 bank dibekukan operasinya dan nilai rupiah terus melemah sampai Rp10.000 perdolar. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia. Pada awal tahun 1998 keadaan negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tak ditemukan titik terang penyelesaiannya. Akibatnya, aksi mahasiswa pun menjadi semakin marak yang menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Bentrokan dengan aparat tidak terhindarkan lagi sehingga muncul Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12Mei 1998. Tragedi Trisakti menimbulkan luapan kemarahan masyarakat. tidak terbendung lagi. Puncaknya, terjadilah kerusuhan di beberapa tempat di Jakarta. Aksi penjarahan, pembakaran, dan perusakan oleh massa terjadi secara tidak terkendali. Di lain pihak, ribuan mahasiswa segera berduyun-duyun mendatangi gedung DPR/MPR dan sekaligus mendudukinya. Menyikapi hal itu, para pimpinan MPR meminta agar presiden secara arif dan bijaksana mengundurkan diridari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Gedung Istana Merdeka Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan

demikian,berakhirlah masa kekuasaan Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.


18

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Kehidupan perekonomian pada zaman Orde Baru sudah berlalu sekitar 10 tahun lalu. Tapi pembahasannya masih cukup hangat sampai sekarang. Pada saat mulainya zaman Orde Baru, pemerintahan yang baru ini diwarisi dengan keadaan ekonomi yang parah. Yaitu dengan hutang luar negeri yang banyak sebesar 2,3 2,7 miliar, tingkat inflasi yang tinggi dan permasalahan ekonomi dan politik yang lain. Sehingga pada permulaan pemerintahan Orde Baru, pemerintah menempuh berbagai macam cara, seperti stabilitasi dan rehabilitasi ekonomi, membentuk sama denga luar negeri, dan pembangunan ekonomi. Dengan berorientasikan pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Dan berharap dengan cara tersebut permasalahan yang ditinggalkan oleh Orde Lama bisa diselesaikan. Dan terbukti dengan cara tersebut masalah-masalah itu mulai bisa diatasi dengan cepat. Itu teraplikasi dengan pemerintah mengeluarkan beberapa program pembangunan,yaitu PELITA (Pembangunan Lima Tahun), dan berjalan dengan lancar. Tapi dibalik keerhasilan pemerintah, ada juga dampak negatif dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah, seperti terjadinya otoritas,KKN,dwifungsi ABRI/Polri,pembangunan yang tidak merata,dan fundamental pembangunan ekonomi yang sangat rapuh. Pada awal tahun 1998 keadaan negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tak ditemukan titik terang penyelesaiannya. Akibatnya, aksi mahasiswa pun menjadi semakin marak yang menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Bentrokan dengan aparat tidak terhindarkan lagi sehingga muncul Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12Mei 1998. Tragedi Trisakti menimbulkan luapan kemarahan masyarakat. tidak terbendung lagi. Puncaknya, terjadilah kerusuhan di beberapa tempat di Jakarta. Aksi penjarahan, pembakaran, dan perusakan oleh massa terjadi secara tidak terkendali. Di lain pihak, ribuan mahasiswa segera berduyun-duyun mendatangi gedung DPR/MPR dan sekaligus mendudukinya. Menyikapi hal itu, para pimpinan MPR meminta agar presiden secara arif dan bijaksana mengundurkan diridari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Gedung Istana Merdeka Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan demikian,berakhirlah masa kekuasaan Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.

3.2 Saran
Adapun Saran yang dapat kami sampaikan setelah membuat makalah ini adalah: maju mundurnya suatu negara tergantung bagaimana pemimpinnya, kami menghimbau kepada setiap orang yang menjadi pemimpin janganlah cuma pentingkan kepentingan pribadi, tapi cobalah berfikir untuk mengambil tindakan yang sifatnya bisa mengubah dan membuat yang dipimpinnya maju dan sejahtera.

19

Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org http://e-dukasi.net Mustopo, Prof. Dr. M. Habib dkk. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas XII Program IPS. Jakarta: Yudhistira

20

Anda mungkin juga menyukai