Anda di halaman 1dari 8

HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOBA

PENDAHULUAN Hak asasi manusia, pada dasarnya merupakan hak yang melekat secara kodrati pada diri setiap manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Hak-hak yang dimiliki manusia tersebut, di Indonesia dituangkan dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: hak untuk hidup; hak untuk tidak disiksa; hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak beragama; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Dengan demikian negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta memberikan perlindungan secara hukum. Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia di Indonesia ini rupanya juga berpengaruh terhadap penegakan hukum di Indonesia, misalnya terhadap pemberian hukuman mati. Pemberian hukuman mati masih banyak diperdebatkan oleh banyak pihak dari aspek pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Satu sisi mengatakan bahwa hukuman mati merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia, karena telah dianggap merampas hak hidup manusia. Namun di sisi lain berpendapat bahwa hukuman mati dapat dilaksanakan karena telah dinyatakan sebagai salah satu jenis pidana dalam ketentuan KUHP. Pada tahun 2000 yang lalu, Pengadilan Negeri Tanggerang telah menjatuhkan putusan pidana mati bagi pengedar Narkoba yang berkebangsaan asing. Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang ini ternyata telah menimbulkan banyak perdebatan dari pihak-pihak yang berkompeten di dalamnya, karena vonis mati terhadap pengedar narkoba ini baru pertama kali di Pengadilan Negeri Tanggerang, bahkan di Indonesia. Ketentuan dalam KUHP sendiri juga memungkinkan adanya jenis hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana, sehingga pemberian hukuman mati, secara yuridis merupakan suatu kewenangan hakim untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan demi tegaknya hukum di Indonesia. dengan kata lain, vonis mati itu sudah dibenarkan oleh undang-undang. Selain itu secara eksplisit pula telah disebutkan dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Narkotika, mengenai dapatnya seseorang untuk di pidana mati. Sorotan terhadap hukuman mati biasanya dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia ini, tentunya mempunyai batas-batas tertentu apabila dihadapkan dengan suatu masalah yang menuntut adanya penempatan prioritas dalam penyelesaiannya. Hal ini berkaitan dengan tingkat kepentingan yang lebih luas (misalnya, kepentingan bangsa). Hukuman mati ini apabila dilihat dari UU No.39 Tahun 1999, jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena telah merampas hak untuk hidup seseorang. Namun jika dilihat dari sudut kepentingan bangsa, seorang pengedar Narkoba telah merenggut berjuta-juta hak asasi manusia khususnya kaum generasi

muda yang berarti juga sebagai penerus generasi bangsa. PERMASALAHAN Masalah inilah yang seringkali timbul dalam menegakkan hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap penjatuhan putusan Pengadilan terhadap pengedar Narkoba, dengan adanya pro dan kontra terhadap penerapan hukuman mati yang demikian itu sering pula menjadi pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan putusan yang akan menimbulkan kontroversi. Namun yang dapat dipertanyakan di sini, apakah benar pemberian hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi manusia ? PEMBAHASAN 1. Penegakan hukum Sebagaimana yang pernah saya utarakan dalam sebuah media massa tahun 2000 lalu, bahwa saya sadar, vonis hukuman mati itu dianggap teramat kejam. Tapi saya harus menjatuhkan hukuman tersebut pada para penyelundup itu demi menyelematkan generasi muda. Selama ini, wilayah Indonesia sudah dijadikan pasar Narkoba, yang disebabkan tidak adanya hukuman yang berat yang membuat para penyelundup itu takut ataupun jera. Kenapa para penyelundup memilih Indonesia ketimbang Malaysia? Itu disebabkan, hukum Malaysia tidak kenal kompromi dengan para penyelundup dan pemakai Narkoba. Saya bukan tidak peduli soal HAM, bagi saya, yang melanggar HAM itu justru para penyelundup yang sudah merusak generasi muda. Sehingga menghukum mati beberapa orang saya anggap lebih baik ketimbang membiarkan jutaan anak-anak kita terancam masa depannya, kalau generasi muda sudah dicekoki dengan Narkoba siapa lagi yang akan menjadi penerus bangsa nantinya? Dalam menjatuhkan hukuman mati tersebut, saya lakukan bukan untuk mencari sensasi ataupun popularitas karena sebelumnya belum pernah ada vonis mati untuk perkara serupa, namun yang saya lakukan adalah murni dari hati nurani saya yang paling dalam untuk menegakkan hukum di Indonesia serta melindungi anak-anak bangsa dari ancaman Narkoba. Penegakan hukum yang saya maksud di sini, bukan hanya dari sisi penegakan hukum pidana saja, melainkan juga dari penegakan hak asasi manusia. Dari sisi pidana, jelas bahwa pengedar Narkoba merupakan suatu tindak pidana yang tentunya akan berakibat hukum sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 81 maupun Pasal 82 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Narkotika. Sedangkan dari sisi hak asasi manusia, pengedar Narkoba dapat dikatakan telah merusak generasi muda karena dengan Narkoba hak asasi manusia yang dimiliki generasi muda akan terampas. Selama ini belum ada satupun jenis Narkoba yang berdampak positif pada pemakainya selain untuk tujuan pengobatan yang berada di bawah pengawasan dokter. Hukum yang berlaku mempunyai kaedah hukum yang sah terbentuk atau tersusun menurut tata cara tertentu sesuai dengan kaedah dasar yang lebih tinggi, karena hukum yang berlaku tidak cukup hanya

berisi kaedah yang sah saja tetapi juga harus effektif. Effektivitas hukum tergantung pada kondisi sosial pendukung hukum. Kesatuan susunan hirarchi kaedah hukum yang sah dan berlaku secara effektif akan merupakan suatu proses yang menuju ke arah pembentukan tertib hukum. Suasana tertib hukum menjadi landasan utama bagi hukum yang berlaku sah untuk diopersionalkan (ditegakkan) guna mencapai keadaan tertib masyarakat atau masyarakat yang damai dan teratur. Mekanisme penegakan hukum oleh petugas hukum harus berorientasi pada tujuan bahwa menyelenggarakan hukum sebagai suatu instrumen dari tertib sosial dan proses pelaksanaan perlindungan kepentingan individu harus dalam rangka suatu sistem tertib sosial, sehingga eksistensi hukum dan pelaksanaan hukum tidak bersifat otonomi dan tertutup dari kehidupan masyarakat. Penegakan hukum suatu istilah khas di Indonesia yang diterima sebagai konotasi penerapan undangundang. Suatu proses penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Dalam pengertian penegakan hukum terkandung makna kekuatan yaitu kekuasaan yang harus ada untuk dapat dijalankannya fungsi hukum, sehingga penegakan hukum mempunyai kaitan antara hukum dan kekuasaan. Secara positif, makna kekuasaan merupakan sumber kekuatan yang menggerakkan masyarakat berada dalam lingkungan tatanan hidup bersama. Kekuasaan dalam proses penegakan hukum dimaksudkan melaksanakan atau menerapkan hukum atas dasar kekuasaan yang diberikan oleh hukum dan kekuasaan yang disalurkan serta dibatasi oleh hukum. Pengertian kekuasaan yang diberikan oleh hukum, tidak lain adalah fungsi dan tugas yang dinyatakan dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap petugas penegak hukum. Oleh karena itu hakim sebagai salah satu petugas penegak hukum harus melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi maka hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakkan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi hidup dan berkembang dimasyarakat. Dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Hukum adalah untuk kehidupan bermasyarakat maka penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Selain itu dalam penegakan hukum perlu diperhatikan mengenai adanya keadilan secara obyektif dan hukum sendiri tidak identik dengan keadilan, karena hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang dan tidak membeda-bedakan, sedangkan keadilan bersifat obyektif, individualistis dan membeda-bedakan. Penegakan hukum harus memberi perhatian terhadap ketiga unsur itu secara proporsional, walaupun dalam prakteknya sulit dilaksanakan namun perlu diusahakan. Makna penegakan hukum sebagai suatu proses selain penyelenggaraan hukum juga sebagai penerapan hukum yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi menyangkut keputusan yang tidak diatur secara ketat oleh kaedah peraturan hukum, melainkan sebagai tindakan yang sah dengan unsur penilaian yang berada diantara hukum dan etika. Petugas penegak hukum yang profesional di bidang hukum, harus melakukan kewajiban berdasarkan kemampuan, ketrampilan dan pengalaman yang dicapai dari pendidikan tinggi berarti seorang profesi hukum bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan hukum yang berkembang sesuai dengan jamannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang menyatakan: kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam penjelasannya disebutkan, kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di ddalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang. Selain itu kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Ketentuan Pasal 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tersebut mengandung makna bahwa penegakan hukum oleh hakim secara khusus dilakukan apabila terjadi pelanggaran hukum oleh masyarakat yang dalam hal ini berupa perkara-perkara yang dihadapkan atau diajukan ke pengadilan. Perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan ini berarti sudah terdapat pelanggaran hukum atau setidak-tidaknya ada dugaan awal telah terjadi pelanggaran hukum. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pada dasarnya menetapkan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ini berarti bahwa hakim bersiap pasif menunggu sampai diajukan perkara kepadanya, baik yang berupa permohonan maupun berupa sengketa atau pelanggaran. Setelah menerima perkara hakim harus memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, yang dilakukan dengan merumuskan masalah-masalah hukumnya dari peristiwa konkrit yang diajukan kepadanya, memecahkannya, mengambil (menjatuhkan) putusan dan menyelesaikannya. Sejalan dengan hal tersebut dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 menyebutkan: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa hakim harus memeriksa dan mengadili semua perkara yang diajukan, walaupun tidak ditemukan hukum tertulisnya dan menjadi kewajiban hakim untuk mencari hukum yang tidak tertulis agar dapat memberi putusan terhadap perkara yang bersangkutan. Berkaitan dengan Pasal 14 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yaitu: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut, agar putusan yang ditetapkan oleh hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pembentuk undang-undang tidak berpendirian bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, oleh karena itu hukum bukanlah diciptakan tetapi harus digali, dicari atau diketemukan di dalam masyarakat. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hakim mempunyai tugas menegakkan hukum yang berfungsi untuk memberikan keadilan terhadap masyarakat yang membutuhkannya. Penegakan hukum oleh hakim dimulai pada tahap pemeriksaan di persidangan sejak mengajukan pertanyaan kepada terdakwa (pemeriksaan terdakwa), pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut digunakan untuk menemukan peristiwa yang relevan bagi hukum dari peristiwa konkrit yang diajukan di persidangan. Peristiwa yang relevan bagi hukum berarti peristiwa yang penting bagi hukum sehingga dapat dicakup oleh hukum dan dapat ditundukkan pada hukum, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi penyelesaian perkara. Dengan diketahuinya peristiwa yang relevan bagi hukum maka dapat diperoleh suatu peristiwa hukum dan dapat diterapkan peraturan hukumnya, karena peraturan hukum hanya dapat diterapkan pada peristiwa hukum saja. Kemampuan atau ketrampilan merumuskan masalah hukum, memecahkan masalah hukum dan mengambil keputusan harus dibekali dengan penguasaan kaedah-kaedah hukum, sistem hukum dan penemuan hukum. Penguasaan kaedah hukum tidak sekedar mengerti dan memahami bunyi peraturan,

tetapi hubungannya dengan peraturan-peraturan lain serta asas-asas hukum yang terdapat di dalamnya. Ketentuan hukum hanya akan berarti apabila terdapat dalam sistem hukumnya, sehingga penguasaan sistem hukum ini sangat menunjang untuk melaksanakan ketentuan hukum. Selanjutnya penguasaan penemuan hukum diperlukan dalam mengembangkan hukum, agar tidak terjadi kekosongan hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Setelah hakim menemukan peristiwa hukumnya kemudian melakukan pembuktian dengan menghadirkan saksi-saksi yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta meneliti barang bukti yang diajukan di persidangan hingga hakim memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum tersebut memang benar-benar terjadi. Setelah tahap pembuktian dianggap cukup maka hakim kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkara tersebut dan apabila dari sumber hukum yang berupa peraturan perundang-undangan tidak ditemukan yang relevan dengan perkara tersebut maka hakim harus mencari dari sumber-sumber hukum yang lain misalnya dari hukum kebiasaan, putusan pengadilan (yurisprudensi) dan doktrin. Apabila hakim telah menemukan peraturan hukum yang relevan dengan perkaranya, selanjutnya diterapkan pada peristiwa hukumnya. Kalau ada berbagai kemungkinan kualifikasi atau terjemahan yuridis dari peristiwa konkritnya maka pada penerapan peraturan hukumnya terdapat pula berbagai kemungkinan konstruksi yang harus dipertimbangkan untuk dapat dipilih salah satu. Penerapan hukumnya pada peristiwa hukum, digunakan hakim untuk mengambil atau menjatuhkan putusan. Dalam menjatuhkan putusan bukanlah sekedar menerapkan peraturan tetapi haruslah dipertimbangkan serta dievaluasi secara cermat alternatif putusan yang akan dijatuhkan. Dalam memilih putusan yang akan dijatuhkan, perlu diperhatikan bukan sekedar dipenuhi atau tidaknya prosedur tertentu menurut undang-undang melainkan setelah putusan itu dijatuhkan dapat atau tidak diterima oleh para pihak yang terkait dalam perkara dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pandangan pribadi hakim yang dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan hakim misalnya pendidikan, agama serta lingkungannya. Hakim harus mengadili menurut hukum, oleh karena itu putusannya harus berdasakan hukum serta harus mengandung atau menjamin kepastian hukum yang artinya ada jaminan bahwa hukum telah dijalankan sehingga putusannya dilaksanakan dan yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya, selain itu memberi jaminan pula bahwa perkara yang serupa harus diputus serupa. Putusan hakim harus bermanfaat baik bagi yang bersengketa maupun bagi masyarakat yang berkepentingan. Masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan kehidupan bermasyarakat, dengan adanya sengketa maka keseimbangan tatanan kehidupan bermasyarakat terganggu, oleh karena itu harus dipulihkan kembali melalui putusan hakim.

2. Hak asasi manusia Pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999, adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Batasan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia, telah memberi penjelasan bahwa pemberian hukuman mati merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia. Namun hendaknya penafsiran bunyi pasal tersebut dikaji dari tingkat kepentingan yang lebih luas serta bagaimana masyarakat menilai hukum tersebut. Karena kaedah-kaedah hukum hanya akan dapat hidup dan berkembang apabila selaras dengan tingkat perkembangan masyarakatnya. Sedangkan pada penerapan hukuman mati terhadap pengedar Narkoba secara yuridis telah memenuhi prosedur sebagaimana yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yaitu Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Terlebih lagi adanya tuntutan keadaan yang sudah sepantasnya hukuman mati itu diterapkan, maka walaupun menyalahi Undang-undang Hak Asasi Manusia, namun bukan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Apalagi jika dilihat dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pengedar narkoba mempunyai dampak yang cukup luas, banyak pecandu narkoba yang disembuhkan tetapi kambuh lagi. Kalau sudah ketagihan dan tak mempunyai uang bisa mendorong pecandunya untuk berbuat jahat, selain itu untuk para pelajar yang menjadi pecandu mengakibatkan turunnya semangat belajar secara drastis akibatnya pelajaran di sekolah menjadi terbengkalai. Akhirnya menjadi generasi yang loyo dan tak berguna serta sakit luar dan dalam. Bisa dibayangkan apabila dengan keadaan generasi muda yang demikian itu diharapkan menjadi tulang punggung penerus bangsa. Betapa bangsa ini akan berantakan dan pada akhirnya menjadi runtuh. Tidak termasuknya vonis mati sebagai pelanggaran hak asasi manusia, terbukti bahwa perbuatan yang dilakukan pengedar Narkoba dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat (kejahatan terhadap kemanusiaan) sesuai dengan ketentuan Pasal 7 dan diperjelas dalam ketentuan Pasal 9 huruf b UU No.26 Tahun 2000 (pada waktu saya menjatuhkan vonis belum diundangkan) dan akibatnya sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UU No.26 Tahun 2000, dapat dikenakan pidana yang salah satunya pidana mati. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa vonis mati terhadap pengedar Narkoba yang saya anggap telah melakukan pelanggaran HAM diakomodasikan secara jelas dalam undang-undang tersebut.

KESIMPULAN Uraian di atas telah membuktikan bahwa pemberian hukuman mati terhadap pengedar Narkoba tidak benar kalau dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia, justru para pengedar Narkoba itulah yang telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. PUSTAKA Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Kliping tentang vonis mati dari Pengadilan Negeri Tanggerang

Anda mungkin juga menyukai