Anda di halaman 1dari 6

EFEK RADIASI NON PENGION Efek biologik radiasi non pengion akan dibedakan atas efek akibat radiasi

optik yang meliputi radiasi ultraviolet (100 400 nm), radiasi tampak/cahaya (400 770 nm) dan radiasi infra merah ( 770 nm - 1 mm) dan efek medan radiofrekuensi elektromagnetik yang meliputi gelombang mikro (1 mm 30 cm), gelombang frekuensi tinggi (30 cm 100 km) dan gelombang frekuensi rendah ( > 100 km). Radiasi UV pendek (< 220 nm) diserap oleh oksigen pada lapisan terluar atmosfer yang kemudian membentuk lapisan ozon yang berfungsi sebagai filter atau pelindung terhadap radiasi UV dengan panjang gelombang < 310 nm. Dengan demikian radiasi lainnya yang dapat menembus lapisan ozon yang akan menimbulkan efek bagi manusia. Tetapi semakin berkurangnya lapisan ozon sebagai akibat dari pelepasan chlorofluorocarbon ke atmosfer menyebabkan tingkat kerusakan akibat pajanan radiasi UV semakin besar. 1. Radiasi optik Berdasarkan panjang gelombang, radiasi UV dibagi atas UV-C (100 - 280 nm), UV-B (280 - 315 nm) dan UV-A (315 - 400 nm), sedangkan radiasi infra merah dibagi atas IR-A (770 nm -1,4m), IR-B (1,4 3 m) dan IR-C (3 m 1 mm). Efek yang ditimbulkan akibat pajanan radiasi optik pada tubuh sangat bergantung pada panjang gelombang yang berhubungan dengan daya tembus atau penetrasi radiasi optik pada jaringan tubuh. Sasaran utama dari pajanan pada tubuh adalah kulit dan mata. a. Efek radiasi optik pada kulit Mekanisme yang dominan dari efek pajanan radiasi pada kulit adalah reaksi fotokimia. Efek dari pajanan kronik radiasi UV lebih serius dari pada pajanan akut. Pajanan kronik pada kulit menyebabkan perubahan yang sangat bervariasi dalam struktur dan komposisi kulit, yang mengarah pada hilangnya sifat elastisitas (elastosis), dilasi pembuluh darah, dan penebalan kulit (keratosis). Efek kronik yang paling penting adalah risiko kanker kulit khususnya kanker kulit melanoma dan penuaan dini. Penetrasi energi radiasi UV-C dapat menembus strotum korneum, lapisan atas stratum malpighi dan menimbulkan efek tidak langsung pada lapisan hidup epidermis (sel melanosit dan sel keratinosit). Penyerapan radiasi UV-C

menginduksi produksi sitokin yang bertanggung jawab terhadap timbulnya eritema dan mempengaruhi fungsi imunitas sel langerhans dan terdapat kemungkinan terlibat dalam pembentukan kanker kulit. Radiasi UV-B dapat menembus semua lapisan epidermis dan hanya sekitar 10-15 % dapat menjangkau bagian atas lapisan dermis. Efek dari pajanan ini adalah eritema dan kanker kulit. Diketahui bahwa panjang gelombang yang dapat menimbulkan efek akut paling parah berupa induksi luka bakar/sunburn adalah 307

nm. Sunburn yang parah biasanya diikuti dengan peningkatan ketebalan epidermis dan deskuamasi sel epidermis yang mati dan diikuti dengan blister pada 48 jam kemudian. Ternyata radiasi UV-B juga memberikan dampak yang menguntungkan bagi kesehatan yaitu menginduksi terjadinya reaksi fotokimia untuk menkonversi senyawa 7-dehydro cholesterol menjadi vitamin D3 di lapisan epidermis. Intensitas radiasi UV-B yang dibutuhkan hanya sedikit dan kelebihan pajanan dapat mengakibatkan penghentian aksi vitamin D3 yang telah terbentuk. Bila telah sampai dalam organ ginjal, vitamin D akan dikonversi menjadi hormon yang berfungsi mengatur keseimbangan kalsium dan fosfat dalam darah, menstimulasi penyerapan kalsium dari makanan dalam usus halus, memobilisasi kalsium ke tulang, memacu differensiasi sel dan menghambat pembelahan beberapa jenis sel terutama sel kanker. Sedangkan radiasi UV-A yang diserap lapisan epidermis hanya sebanyak 50% dan sisanya mampu menembus lapisan dermis sampai kedalaman 2 mm. Efek yang ditimbulkan adalah kanker kulit, penuaan dini dan juga pigmentasi kulit sebagai akibat dari peningkatan produksi pigmen melanin. Radiasi UV juga mengganggu proses imunitas dengan merusak sel langerhans yang berada tepat di bawah stratum korneum dan dermis. Sel langerhans merupakan sel yang terlibat dalam sistem imunitas seluler yang dapat mendeteksi benda asing, mengisolasi dan membawa antigen tersebut keluar lapisan epidermis menuju pembuluh getah bening untuk kemudian diinaktivasi atau dihancurkan oleh sel limfosit T. Pajanan laser yang termasuk dalam kelompok radiasi cahaya tampak dan infra merah dapat menyebabkan sunburn yang parah, bergantung pada energi yang diserap. Radiasi pada 310 700 nm menyebabkan reaksi fotosensitif berupa eritema yang ringan dan tidak sakit dan 700 nm 1 mm menimbulkan kulit terbakar dan kering. b. Efek radiasi optik pada mata Pada mata, energi radiasi pada panjang gelombang < 280 nm (UV-C) dapat diserap seluruhnya oleh kornea. Energi radiasi UV-B ( 280 315 nm) sebagian besar diserap kornea dan dapat pula mencapai lensa. Sedangkan energi UV-A (315-400 nm) secara kuat diserap dalam lensa dan hanya sebagian kecil energi saja (< 1%) yang dapat mencapai retina. Untuk mata aphakic (mata yang telah mengalami operasi katarak), penetrasi radiasi UV pada 300 400 nm dapat mencapai retina. Paling tidak terdapat 3 jenis kerusakan akibat pajanan radiasi UV pada mata, yaitu:

1) Photokeratoconjunctivitis/welders flash/ snow blindness yaitu reaksi peradangan akut pada kornea dan conjunctiva mata sebagai akibat pajanan radiasi pada panjang gelombang 200 400 nm (UV-C, UV-B dan UV-A). Ini merupakan kerusakan akibat reaksi fotokimia pada kornea (fotokeratitis) dan konjunctiva (fotokonjunctiva) yang timbul beberapa jam setelah pajanan akut dan umumnya berlangsung hanya 24 48 jam. Simpton fotokeratitis berupa memerahnya bola mata yang disertai rasa sakit yang parah. Efek ini bersifat sementara karena kerusakan yang terjadi sangat ringan (bagian permukaannya saja) dan penggantian sel epitel permukaan kornea berlangsung dengan cepat (satu siklus 48 jam). 2) Pterygium dan droplet keratopathy adalah patologis pada kornea yang berhubungan dengan mata yang umum dijumpai pada lingkungan pulau yang kaya akan pajanan radiasi UV kronik (pajanan sepanjang hidup). Pterygium atau penebalan conjuctiva sebagai hasil dari pertumbuhan jaringan lemak diatas kornea, sedangkan droplet keratopathy adalah degenerasi lapisan ikat/fibrous pada kornea dengan droplet-shaped deposit. 3) Kataraktogenesis atau proses pembentukan katarak. Telah diduga radiasi UV pada panjang gelombang 290 320 nm menyebabkan katarak. Terdapat hubungan yang jelas antara katarak dengan pajanan UVB sepanjang hidup. Penetrasi radiasi cahaya tampak dan IR-A (400 1400 nm) dapat mencapai retina dan menimbulkan fotoretinitis, peradangan pada retina. Kerusakan pada retina timbul khususnya akibat pajanan cahaya tampak biru (400 550 nm) sehingga dikenal pula sebagai blue light retinal injury. Diketahui bahwa fotoretinitis yang biasanya disertai dengan scotoma (blind spot), terjadi akibat menatap sumber cahaya yang sangat tajam dan terang seperti matahari dalam waktu yang sangat singkat ataupun cahaya terang dari laser untuk waktu yang lebih lama. Peningkatan suhu pada retina yang hanya beberapa derajat lebih tinggi dari suhu yang terjadi ketika demam diyakini dapat menimbulkan kerusakan retina yang permanen. Pajanan IR-A juga memberikan kontribusi dalam pembentukan katarak pada lensa akibat panas.

Tabel 1. Rangkuman efek radiasi optik pada kulit dan mata. Radiasi () UV-C Efek pada kulit Eritema Kanker kulit UV-B Eritema Efek pada mata Fotokeratitis Pterigium Fotokeratitis

Luka Bakar Kanker kulit UV-A Pigmentasi Penuaan dini Kanker kulit Cahaya tampak IR-A Luka Bakar Luka Bakar

Pterigium Katarak Fotokeratitis Katarak

Fotoretinitis Fotoretinitis Katarak

IR-B

Luka Bakar

Katarak Luka Bakar pada kornea dan konjungtiva

IR-C

Luka Bakar

Luka Bakar pada Kornea dan Konjungtiva

Radiasi IR-B (1,4 3 m) dapat menembus lebih jauh dan diserap lensa dan memberikan kontribusi pembentukan katarak dan juga menimbulkan luka bakar pada kornea dan konjuctiva. Sedangkan energi radiasi IR-C (3 m 1 m) diserap kornea yang dapat menyebabkan terjadinya fotokeratitis atau yang lebih parah lagi luka bakar pada kornea dan juga konjuctiva. Dengan demikian, radiasi laser yang menggunakan radiasi cahaya tampak dan juga infrared dapat menyebabkan kerusakan pada kornea, lensa atau retina, bergantung pada panjang gelombang cahaya dan karakteristik penyerapan energi dari struktur mata. 2. Radiasi Radiofrekuensi Dalam membahas efek biologi dari medan radiasi radiofrekuensi

elektromagnetik pada manusia, radiasi non pengion kelompok ini dibedakan atas 2 sub kelompok yaitu gelombang mikro (microwave) yang didefinisikan sebagai radiasi elektromagnetik yang berada pada rentang frekuensi dari 30 MHz 300 GHz dan gelombang radiofrekuensi yang didefinisikan sebagai radiasi elektromagnetik dengan rentang frekuensi dari 0,3 30 MHz meliputi frekuensi tinggi (orde kHz 230 MHz) dan frekuensi rendah (orde Hz 1 MHz). Sedangkan ultrasonik yaitu gelombang suara dengan frekuensi sangat tinggi (> 20 kHz) dimasukkan pula ke dalam kategori radiasi non pengion. Berdasarkan studi epidemiologi diketahui belum ada bukti yang kuat mengenai risiko kanker baik pada anak-anak maupun dewasa dari tingkat normal radiasi gelombang mikro atau radiofrekuensi. Yang jelas perubahan medan magnit atau listrik

dapat menginduksi arus listrik internal ke tubuh yang menimbulkan panas dantingkat atau laju perubahan ini sebanding denganfrekuensi. a. Gelombang mikro Efek kesehatan pada umumnya sebagai akibat dari panas yang timbul pada saat terjadi interaksi antara energi gelombang mikro dengan materi biologik. Efek biologik yang terjadi karena pemanasan disebut efek termal dan yang terjadi bukan karena proses pemanasan disebut efek non termal. Efek yang berbahaya akibat pajanan microwave adalah efek termal atau hipertermia yang terutama merusak mata dan testis. Kedua jaringan relatif sangat sensitf terhadap kenaikan suhu jaringan. Lensa mata tidak berpembuluh darah dan terselubung dalam kapsul, sehingga mudah terbakar akibat penambahan/penimbunan panas yang

mengakibatkan peningkatan suhu dari pajanan radiasi intensitas yang tinggi. Selain itu melalui efek termal dan mungkin melalui efek non termal juga, gelombang ini dapat menginisiasi serangkaian perubahan pada permukaan posterior kapsul lensa yang mengarah pada pembentukan katarak. Kataraktogenesis ini sama halnya dengan akibat radiasi pengion. Sedangkan katarak akibat penuaan diawali pada bagian permukaan anterior lensa. Kondisi pajanan, waktu dan intensitas yang menyebabkan suhu pada jaringan mata mencapai 45oC atau lebih diyakini bersifat kataraktogenik. Bila dalam kondisi praktis, risiko tinggi pembentukan katarak berhubungan dengan pajanan pada satuan ratusan atau lebih mW/cm2. Fungsi testis sangat bergantung pada suhu. Secara normal, suhu testis 2oC lebih rendah dari suhu tubuh 37oC. Peningkatan suhu testis walaupun hanya sampai 37oC sudah dapat mengganggu spermatogenesis, proses pembentukan sperma. Dengan demikian pajanan radiasi gelombang mikro juga berisiko mengganggu spermatogenensis melalui mekanisme efek termal. Efek non termal yang ditemukan pada para pekerja yang secara kronik terpajan microwave adalah berupa peningkatan kelelahan, sakit kepala periodik dan konstan, iritasi parah, ketiduran selama bekerja, dan penurunan sensitivitas olfactory. Gejala klinik yang timbul antara lain bradycardia, hipotensi, hipertiroid dan peningkatan tingkat histamin darah. Pada kelompok pekerja yang berada di medan gelombang mikro dijumpai pula efek subyektif seperti sakit kepala, lelah, pusing, tidur tidak nyenyak, perasaan takut, tegang, depresi mental, daya ingat kurang baik, nyeri pada otot dan daerah jantung dan susah bernafas. b. Gelombang radiofrekuensi

Terdapat data yang konsisten dari suatu studi yang menunjukkan bahwa risiko leukemia lebih tinggi pada anak-anak yang tinggal dekat dengan jaringan listrik, tetapi dasar dari hubungan tersebut tidak diketahui. Ternyata tidak ada bukti yang didukung dengan penelitian di laboratorium yang menunjukkan adanya kerusakan DNA dan kromosom, mutasi, dan peningkatan frekuensi transformasi sebagai respon terhadap pajanan medan frekuensi rendah. Dengan demikian tidak diharapkan terjadinya efek mutasi dan transformasi neoplastik yang mengarah pada pembentukan kanker. Risiko pembentukan kanker akibat pajanan frekuensi listrik medan elektromagnetik diperkirakan dapat terjadi atau terlibat dalam satu atau semua tahapan utama pembentukan kanker yaitu inisiasi, promosi dan progresi. Pada tahap inisiasi, perubahan terjadi pada aspek sitogenetik sebuah sel normal yang menyebabkan terbentuknya sel yang termodifikasi atau abnormal. Proses transformasi sel normal ini akibat dari efek genotoksik dari suatu agen yang bersifat karsinogenik. Pada tahap promosi sebagai akibat dari efek epigenetik dari suatu agen, sel abnormal ini akan terinduksi untuk melakukan pembelahan atau proliferasi secara aktif dan membentuk suatu klone atau kumpulan sel yang tidak normal. Sedangkan tahap progresi adalah tahap terjadinya peningkatan tingkat keganasan. Studi laboratorium tidak berhasil membuktikan secara konklusif bahwa radiasi radiofrekuensi mempunyai aktivitas genotoksik dan epigenetik. Dan studi epidemiologi pada sekelompok pekerja industri yang terpajan radiasi radiofrekuensi elektromagnetik menunjukkan tidak adanya peningkatan risiko leukemia. Sebagian hasil studi epidemiologi mengenai hubungan antara radiasi radiofrekuensi dengan kanker menunjukkan adanya hubungan yang lemah dan tidak konsisten. Dengan demikian hasil penelitian baik epidemiologi maupun laboratorium secara in vivo dan in vitro ternyata belum konklusif karena belum ada bukti yang saling mendukung adanya hubungan dosis-respon dan belum ada mekanisme biologik yang diketahui tentang pengaruh radiasi radiofrekuensi dalam proses pembentukan kanker.

Anda mungkin juga menyukai