com
Asia merupakan salah satu benua dengan pertumbuhan ekonomi yang termasuk
paling cepat di dunia dalam tiga dekade terakhir, dan memiliki prospek yang sangat
baik untuk melanjutkan pertumbuhan ekonominya dalam jangka panjang. 2 Dimulai
pada tahun 1996, negara-negara dengan perekonomian termakmur di Asia, yakni
Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang mengalami krisis
keuangan sangat parah dengan puncak keambrukan pada pasar saham Asia. Kebijakan
uang ketat, naiknya nilai tukar mata uang terhadap dolar Amerika (USD), dan
penurunan laju ekspor ikut menambah parah krisis keuangan itu. Betapa pun parahnya
pergeseran ekonomi waktu itu, prediksi International Monetary Fund/IMF yang
melaporkan pada tahun 1993, menyatakan bahwa perekonomian Asia menyumbang
29 persen produksi dunia pada tahun 2000, dan ternyata laporan itu sesuai dengan
kenyataannya. Sebagai sumber baru produk dan teknologi, dan sebagai pasar
konsumen yang sangat besar, negara-negara Asia, termasuk China sebagai salah satu
dari Empat Macan (atau Empat Naga) Asia 3 mulai mengalami kemajuan yang sangat
pesat.4
1
Joseph S. Nye, JR., Soft Power: The Means to Success in World Politics, (New York: Public Affairs,
2004), hlm. x.
2
Untuk informasi terbaru mengenai negara-negara di Asia lih. www.asiaweek.com
3
Terminologi “Empat Macan/Empat Naga” Asia mengacu pada Hongkong, Korea Selatan, Singapura,
dan Taiwan yang masing-masing mampu mengangkut statusnya dari negara berkembang menjadi
negara industri baru, dan menjadi pesaing-pesaing baru industri barat dalam bidang elektronik,
pembangunan kapal, mesin berat, dan beragam produk lainnya.
4
Salah satu literatur yang secara optimistis membahas kemajuan China ini lih. misalnya, Laurence J.
Brahm, China’s Century: The Awakening of the Next Economy Powerhouse, (Singapore: John
Wiley&Sons, 2001). Dalam buku ini dikatakan bahwa tidak lama lagi China akan menjelma menjadi
“economic powerhouse”, di samping beberapa kelemahan yang diakui masih dimiliki China.
Selama dua dekade terakhir, terutama sejak era Reformasi Pintu Terbuka
(gaige kaifang pada tahun 1978), China mengalami perkembangan yang sangat pesat.5
Kemajuan China tersebut juga dibarengi partisipasi aktif China ke dalam integrasi
masyarakat internasional (WTO, World Bank, ARF, Six Party Talk, ASEM, dll).
Dalam langkah-langkah strategisnya di kancah politik global, di satu sisi China terus
membenahi kekuatan militernya, sekaligus juga memfokuskan diri pada soft power-
nya.
Soft power, seperti yang dikemukakan oleh Joseph Nye, merupakan salah satu
cara selain kekerasan militer dalam usaha memengaruhi negara/aktor-aktor lain agar
tunduk/mengikuti kemauan si negara/aktor terkait. Dalam lingkup Asia-Pasifik,
pesona China sebagai ‘the emerging market’ dan jangkar regionalisme6 begitu terasa,
terutama untuk negara-negara ASEAN. Untuk pertama kalinya setelah era perang
dingin usai, negara-negara ASEAN akan menghadapi ‘bahaya kapitalisme China’,
bukan ‘bahaya komunisme China’ yang dulu sangat ditakuti itu.7 Apabila beberapa
dekade lalu China menggunakan politik luar negeri komunisme militan secara agresif
untuk menggalang solidaritas dunia ketiga melawan kapitalisme global, kini China
justru beralih dengan politik nasionalis pragmatisnya yang memfokuskan diri pada
perkembangan ekonominya. 8
Pilihan kata ‘bahaya kapitalisme’ China dalam tulisan singkat ini mengacu
pada perkembangan pesat China di bidang perekonomian dan implikasinya terhadap
negara-negara lain. China yang kita amati sekarang adalah ‘one of the giant market’9
yang memiliki pengaruh tidak kecil bagi politik global, terutama negara-negara
tetangga terdekatnya. Tulisan singkat ini secara khusus bermaksud untuk membahas
karakteristik utama soft power China dalam bidang perekonomian, beserta
karakteristik-karakteristik dasarnya.
5
Ada banyak literatur yang membahas ‘keajaiban’ perkembangan China pada era 1980-an hingga
1990-an, salah satunya yang cukup komperehensif dan akurat lih. William J. Overholt, The Rise of
China, (New York: Norton, 1993).
6
Kompas, 19 Desember 2005.
7
China sudah berubah menjadi kapitalis? lih. I. Wibowo, Belajar dari China, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2004), terutama bab III.
8
Partai Komunis China beralih menganut teori economic growth untuk mempertahankan legitimasinya
lih. I. Wibowo, ibid., hlm. 167-170, dan pembahasan lengkap tentang economic legitimation dalam
Juergen Habermas, Legitimation Crisis, (London: Heinemann, 1976).
9
Zaenudin Djafar, Indonesia, ASEAN, dan Dinamika Asia Timur, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2008), hlm.
111.
Dalam beberapa penelusuran pustaka seperti buku-buku dan berita dari media
cetak maupun website, “harga China” adalah salah satu apek yang sering kita dengar
terkait soft power China ini. 16 “Harga China” merujuk pada kenyataan bahwa
produsen barang China dapat secara besar-besaran mengalahkan harga yang
ditawarkan oleh para pesaing luar negeri untuk banyak jenis produk dan jasa yang
sangat beragam.17 Implikasinya dalam bidang bisnis, para investor dunia berlomba-
lomba menanamkan sahamnya ke China karena (sangat) rendahnya cost yang
dikeluarkan demi laba atau margin yang semaksimal mungkin dibanding wilayah-
wilayah bisnis lainnya di dunia. 18 Strategi ini juga ‘dipersenjatai’ dengan program
pembukaan daerah-daerah kantong bisnis China yang menawarkan beragam
kemudahan dan fasilitas terbaik.19 Kantong bisnis semacam ini dikenal dengan Zona
Ekonomi Khusus (SEZ). Dewasa ini, dengan strategi tersebut China memproduksi
lebih dari 70% DVD dan mainan dunia; lebih setengah produksi sepeda dunia, kamera,
sepatu, dan telepon. dan lebih dari sepertiga pendingin udara, TV berwarna, layar
komputer, koper, dan microwave dunia. China juga telah menetapkan posisi pasar
dominan dalam segala hal seperti mebel, kulkas mesin cuci, jins, hingga celana
dalam.20
Mengingat kemampuan China yang telah terbukti dalam menaklukkan pasar
ekspor dunia satu demi satu, ini kembali pada pertanyaan dasar kita: Bagaimana
pengaruh China sehingga bisa muncul sebagai “pusat pabrikan” (factory floor) dunia?
Jawabannya terletak dalam “harga China” tadi. Kesembilan “penggerak” utama harga
China adalah sebagai berikut:21
1. Pekerja/buruh berupah rendah dan berkualitas tinggi yang sangat disiplin,
berpendidikan cukup, dan tidak ada serikat buruh;
2. Peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang belum maksimal;
3. Penegakan dan (kesadaran hukum) lingkungan yang masih longgar;
4. Peran FDI;
5. “Gugus jaringan (network clustering) yang sangat efisien dalam proses
industri;
6. Kampanye melawan pembajakan yang masih rendah;
16
Untuk penjelasan lebih mendalam lih. Ted C. Fishman, China Inc., – (terjemahan), (Jakarta: Elex
Media Komputindo, cetakan ke-4 Januari 2007), bab VII, dan Peter Navarro, Letupan-letupan Perang
China Mendatang, - (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo, Januari 2008), bab I.
17
Peter Navarro, ibid., hlm. 2.
18
Ted C. Fishman, ibid., hlm. 231-232.
19
SEZ China tersebut antara lain mencakup Hongkong, Macau, daerah sepanjang delta sungai Yangzi,
dan kota-kota pesisir di daerah selatan dan timur China. Untuk lebih lengkapnya lih. Zaenudin Djafar,
op.cit., hlm. 100-105.
20
Peter Navarro, ibid.
21
Dirangkum dari Peter Navarro, ibid. hlm. 2-21.
II.II. Peraturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang Belum Maksimal, serta
Kesadaran Hukum Lingkungan yang Masih Rendah
Pemerintah China hanya memberlakukan beberapa peraturan kesehatan dan
keselamatan kerja terhadap BUMN-BUMN yang masih tersisa. Bahkan aturan-aturan
yang sudah dibuat hanya ditegakkan dengan lemah, dihindari, diabaikan, dan bersifat
26
simbolik semata (sekadar formalitas). Perlindungan hak buruh yang
diimplementasikan melalui produk hukum jumlahnya sudah cukup komperehensif,
22
Pete Engardio, Dexter Roberts, dan Brian Bremner di Beijing, dan laporan biro, “The China Price”,
Business Week, 6 Desember 2004 lih.
http://www.businessweek.com/magazine/content/04_49/b3911401.htm
23
Ted Fishman, op.cit., hlm. 251-254.
24
Angkatan kerja sipil AS jumlahnya sekitar 150 juta jiwa.
25
Sesuai dengan keputusan pemerintah China, serikat buruh satu-satunya yang boleh ada di China
adalah Partai Komunis China. Ini sesuai dengan prinsip dasar politik China di mana PKC adalah
penguasa tunggal atas hajat hidup rakyatnya.
26
Peter Navarro, op.cit., hlm 12.
akan tetapi sangat kontras dengan praktik konkretnya. Buruh di China cenderung pasif
terhadap politik (politically passive), dan tunduk pada “hegemoni pasar”.27
Maka, tidaklah mengherankan jika minimnya penegakan sistem peraturan dan
hukum dasar seperti ini dipandang sebagai keuntungan besar oleh MNC dunia yang
selama ini tunduk pada aturan hukum yang sangat ketat di negeri asalnya. Kepakan
sayap laissez faire China yang dalam konteks ini cenderung berkarakteristik negatif,
menarik modal asing datang berbondong-bondong ke pesisir pantai China. Dengan
cara ini, negara-negara tetangganya seperti Korea, Jepang, dan Taiwan hingga AS
bisa “mengekspor” polusi dan risiko di tempat kerjanya menuju China.
27
Topik mengenai buruh ini dibahas secara komperehensif dlm I. Wibowo, op.cit., bab XII, “Buruh di
China: Tercengkeram dalam Hegemoni Pasar”, hlm. 187-203.
28
Diolah dari Peter Navarro, op.cit., hlm. 14, dan Wu Jinglian, Understanding and Interpreting
Chinese Economic Reform, (Singapore: Textere Publisher, 2005), hlm. 301.
gambar yang dikutip dari buku Regional Powerhouse untuk menggambarkan gugus
jaringan tersebut:
Mainan komponen
elektronik
kain&hiasan
produk yang
isi berbahan dikendalikan radio
lembut
Sumber: Michael Enright, Edith Scott, dan Ka-Mun Chang, Regional Powerhouse:
The Greater Pearl River Delta and the Rise of China, (Singapore: John Wiley&Sons,
2005), hlm. 57.
Dengan model seperti ini, banyak daerah, kota, dan puluhan ribu hektar tanah
di China yang disulap menjadi tempat-tempat produksi industri. Terjadi penghematan
yang sangat besar dalam biaya transportasi, dan sekaligus mempercepat penyebaran
pengetahuan dan informasi.
29
Untuk pembahasan lebih lanjut lih. “The One-Two Punch”, Far Eastern Economic Review (2
Oktober 2003), hlm. 26-28.
30
Menurut pakar ekonomi klasik, konsep “memegang kepemilikan hal-hal lain secara terus-menerus”
berpengaruh terhadap fluktuasi harga dan permintaan.
31
Praktik ini terus berlangsung hingga sekarang.
32
Peter Navarro, op.cit., hlm. 19.
33
Peter Navarro, ibid., hlm. 19-21.
III. Kesimpulan
“Harga China” merupakan salah satu soft power China dalam bidang perekonomian.
Di satu sisi, kekuatannya menarik para investor dunia sehingga mereka berlomba-
lomba menginvestasikan modalnya ke China. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
China melesat pesat. Ketika China semakin terintegrasi dalam dunia internasional,
implikasinya pun semakin ‘internasional’ juga. Ini mengantarkan kita pada sisi
lainnya, soft power China dengan segala daya pikatnya juga mengandung
karakteristik-karakteristik yang boleh dibilang “tidak selalu positif”.
Daya pikat soft power China, terutama dalam perekonomian ini membutuhkan
pemahaman yang lebih mendalam dan kritis: Apakah kerja sama yang hendak kita
langsungkan dengan China setidaknya akan menguntungkan kedua belah pihak atau
tidak? Ini berpulang pada masing-masing pihak untuk mengenali segala macam
karakteristik daya pikat China ini, lalu mempertimbangkannya secara rasional.
Dalam jangka panjangnya, China masih memiliki potensi yang lebih besar
dibandingkan perekonomian AS atau pun Jepang karena China diuntungkan oleh
besarnya entitas pasar domestik yang dapat terus memacu pertumbuhan
ekonominya, 35 apalagi ketika ekonomi global sedang lesu karena krisis finansial
global yang terjadi baru-baru ini. Jadi, apakah Anda tertarik dengan “harga China”?
Atau “harga China” malah memenangkan persaingan sengit dengan usaha Anda
ataupun competition among states itu sendiri?
34
Ada beberapa literatur yang membahas tentang keanggotaan China dalam WTO. Salah satunya yang
komperehensif lih. misalnya, Laurence J. Brahm - (ed), China After WTO, (Beijing: China
Intercontinental Press, 2002).
35
N. Mark Lam dan John L. Graham, China Now – (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2007), hlm. 69.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, Ian. Pragmatism and Public Policy in East Asia: Origins, Adaptations and
Developments. Singapore: Fairmont International Private Limited. (2001).
Brahm, Laurence J – (ed). China After WTO. Beijing: China Intercontinental Press.
(2002).
Brahm, Laurence J. China’s Century: The Awakening of the Next Economy
Powerhouse. Singapore: John Wiley&Sons. (2001).
Djafar, Zaenudin. Indonesia, ASEAN, dan Dinamika Asia Timur. Jakarta: Pustaka
Jaya. (2008).
Enright, Michael dan Scott, Edith dan Ka, Mun Chang. Regional Powerhouse: The
Greater Pearl River Delta and the Rise of China. Singapore: John
Wiley&Sons. (2005).
Far Eastern Economic Review, 2 Oktober 2003.
Fishman, Ted C. China Inc. – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo.
(Cetakan ke-4 Januari 2007).
Habermas, Juergen. Legitimation Crisis. London: Heinemann. (1976).
Lam, N. Mark dan Graham, John L. China Now – (terjemahan). Jakarta: Elex Media
Komputindo. (2007).
Navarro, Peter. Letupan-letupan Perang China Mendatang – (terjemahan). Jakarta:
Elex Media Komputindo. (2008).
Nye, Joseph S. Jr. Soft Power: The Means To Success in World Politics. New York:
Public Affairs. (2004).
Overholt, William J. The Rise of China. New York: Norton. (1993).
Wibowo, I. Belajar dari China. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. (2004).
Wu, Jinglian. Understanding and Interpreting Chinese Economic Reform. Singapore:
Textere Publisher. (2005).
http://www.asiaweek.com
http://www.financialexpress.com
http://www.kompas.com