1.1. Latar Belakang Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari-30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik dengan prevalensi berdasarkan kelompok populasi yaitu: Anak prasekolah (balita) 30-40%, anak usia sekolah 25-35%, dewasa tidak hamil 30-40%, hamil 50-70%, laki-laki dewasa 20-30% dan pekerja berpenghasilan rendah 30-40% (Bakta, 2006). Anemia merupakan penyebab debilitas (kelemahan) kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik (Bakta, 2006). Anemia secara fungsional didefinsikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity) (Bakta, 2006). Anemia berarti kurangnya hemoglobin di dalam darah yang dapat disebabkan oleh jumlah sel darah merah yang terlalu sedikit atau jumlah hemoglobin dalam sel yang terlalu sedikit (Guyton dan Hall, 2008). Oleh karena itu secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbal adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan (Bakta, 2006).
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity). tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut (Bakta, 2006). Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia serta ketrampilan dalam memilih,
menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya (Bakta, 2006). Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia = AIHA) adalah suatu anemia hemolitik yang timbul karena destruksi eritrosit (hemolisis) akibat adanya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri. Pada AIHA eritrosit diselimuti oleh antibodi (umumnya IgG) dengan atau tanpa komplemen, sehingga terjadi kerusakan membran eritrosit. Eritrosit ini kemudian difagositir oleh makrofag dalam RES, terutama dalam limpa dan hati sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler (Bakta dan Suastika, 1999). Anemia hemolitik autoimun merupakan kasus yang cukup jarang, hanya terjadi pada 1-3 orang per 100.000 penduduk dalam satu tahun (Wikipedia. 2012), oleh karena itu penulis tertarik untuk menjadikan anemia hemolitik autoimun sebagai laporan kasus. 1.2. Tujuan Laporan ini dibuat untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, penatalaksanaan serta prognosis dari kasus yang dipilih dengan tema anemia hemolitik autoimun.