Anda di halaman 1dari 26

Criminal mind (dorado falls) Film Dorado Fall menceritakan mengenai seorang pria bernama Luke Dolan melakukan

pembunuhan massal di Synalock, sebuah perusahaan keamanan Internet yang berlokasi di Charlottesburg, Virginia. Lima orang ditembak, sementara tiga orang lainnya ditikam. Dilihat dari tingkat keparahan pembunuhan, CEO perusahaan, Adam Werner, merupakan sasaran pelaku pembunuhan. Walaupun berbeda cara pembunuhan yang dilakukan, mereka mencurigai satu pelaku yang melakukan. Selain melakukan pembunuhan masal, Luke juga membunuh kedua orang tuanya, Mark dan Mary Dolan, di rumahnya. Lukas Dolan dan Adam Werner merupakan anggota Navy SEAL di unit yang sama, di mana Werner adalah pemimpin dan Dolan yang kedua dalam komando. Dolan tampaknya merasakan bahwa ia berada dalam sebuah misi dan tampaknya menghadapi delusi. Luke Dolan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan orang tuanya, dimana BAU (agen FBI) berpikir istri dan putri Jenna Ally mungkin merupakan target berikutnya. BAU juga menyelidiki suatu misi terdahulu, yaitu Dorado Falls, sebuah misi rahasia yang dilakukan oleh Dolan dan Unit Werner, memainkan bagian dalam misi Dolan saat ini. BAU melakukan investigasi dari serangkaian peristiwa kriminal yang dilakukan oleh Luke Dolan. Istri Dolan mengatakan tidak ada gejala-gejala gangguan mental setelah kecelakaan yang dialami Dolan. Tim FBI tersebut mencurigai bahwa Luke mengalami suatu kelainan di otaknya. Pertama dicurigai bahwa Luke Dolan terkena PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik,

ketidakretanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin. PTSD adalah krisis pengalaman traumatik yang sering disebabkan oleh serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang yang dipengaruhi support system yang ada dan mekanisme koping individu. Kejadian-kejadian ini dapat memicu

ancaman kematian diri sendiri maupun orang lain bahkan merusak potensi integritas fisik, seksual, atau psikologis individu. Sebagai efek dari sebuah trauma psikologis, PTSD biasanya menunjukkan frekuensi gejala yang tidak sering muncul namun berlangsung cukup lama bila dilihat dan dibandingkan gejala pada penderita stress akut (Kaplan, 2010). Tiga tipe gajala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama, pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga, sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah atau tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu. Mereka dapat merasa ketakutan pada saat hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat mereka tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Mereka dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya (Kaplan, 2010). Tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pascatrauma setelah suatu peristiwa traumatik. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu (Kaplan, 2010): 1. Adanya trauma masa anak-anak 2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial

3. Sistem pendukung yang tidak adekuat 4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik 5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi 6. Persepsi lokus kontrol eksternal 7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan Teori biologis tentang PTSD telah dikembangkan dari penelitian pra klinik dari model stress pada binatang dan dari pengukuran variabel biologis dari populasi klinis dengan gangguan stress pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmitter telah dilibatkan diantaranya norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa terjadi hiperaktivitas sistem noradrenergik dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal. Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur). Diagnostik ditegakkan berdasar kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik dapat dilihat pada tabel 1 (Kaplan, 2010).

Awalnya diduga pelaku terkena PTSD yang dihubungkan dengan pekerjaan pasien sebagai angkatan laut yang rentan terhadap stressor yang tinggi. Namun berdasarkan kriteria diagnosis tersebut, pada film tersebut tidak didapatkan adanya pengulangan pengingatan peristiwa traumatik yang dialami dan tidak adanya suatu mimpi buruk, dimana hal tersebut merupakan gejala penting yang terlihat pada PTSD. Kecelakaan mobil yang terjadi pada pelaku memunculkan diagnosis banding lainnya yang mungkin dialami pelaku. Diduga kecelakaan tersebut menyebabkan adanya gangguan pada otak, dimana kemungkinan mengalami gangguan delusi. Delusi adalah keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan

yang salah mengenai realitas eksternal, yang dipegang teguh dan bukan merupakan keyakinan dari suatu budaya (Kaplan, 2010). Dalam film tersebut pelaku tidak mengenali orang tuanya, istri, dan anaknya. Pelaku melihat keluarganya tersebut sebagai penipu yang mengaku-ngaku keluarganya dan menganggap mereka musuh. Salah satu jenis kelainan delusi yang mirip pada apa yang terjadi di film tersebut adalah sindrom capgras, dimana tergolong dalam kelainan delusi yang tidak spesifik. Sindrom capgras adalah suatu kelainan di mana seseorang mengalami delusi bahwa seorang teman, pasangan, orang tua atau anggota keluarga dekat yang lain, telah digantikan oleh orang lain menjadi sosok yang berbeda. Sindrom capgras digolongkan sebagai sindrom misidentification delusi, suatu keyakinan delusional yang melibatkan misidentifikasi orang, tempat atau benda. Sindrom ini dapat terjadi secara akut, temporer, atau kronis. Kondisi ini membuat penderitanya bingung karena merasa orang yang dilihatnya tampak sama dengan orang yang dikenalnya. Tapi ia tetap menganggap bahwa orang tersebut adalah seorang penipu. Bisa mengenali wajah tapi setelah itu merasa asing karena tidak muncul kedekatan emosionalnya (Kaplan, 2010). Sindrom capgras pertama kali dijelaskan oleh dua dokter Perancis yaitu Joseph Capgras dan Jean Reboul-Lachaux. Hasil diagnosis ini berdasarkan riwayat pasiennya yang bernama Madame M yang meyakini bahwa semua anggota keluarga dan tetangganya telah digantikan oleh seorang penipu. Ada beberapa teori yang menjelaskan mengapa sindrom ini bisa terjadi. Banyak peneliti berpikir bahwa sindrom capgras terjadi karena ada sesuatu yang salah di otaknya. Meskipun pasien sindrom capgras sering terlihat seperti memiliki kelainan jiwa, tapi lebih dari sepertiganya memiliki tanda-tanda trauma di kepalanya seperti akibat stroke atau penggunaan obat yang berlebihan. Selain itu beberapa pasien lainnya juga memiliki kondisi tertentu seperti epilepsi atau Alzheimer. Cedera otak itu mengakibatnya putusnya ikatan emosional karena otak yang memproses informasi visual untuk melihat wajah dengan bagian yang mengendalikan respons emosional sistem limbik tidak terintegrasi (Kaplan, 2010).

Sampai saat ini diperkirakan perawatan yang paling baik untuk penderita sindrom capgras adalah melalui terapi psikologis. Meski demikian diperlukan ketekunan dalam membangun empati penderita tanpa melawan anggapan kelirunya (Kaplan, 2010).

Front of the class Sebuah film yang menurut SP menjadi sebuah motivasi yang luar biasa, bagaimana ketika seseorang memiliki kelainan yang disebut dengan Tourette syndrome berusaha untuk hidup normal bersama dengan manusia lainnya, walaupun sering diejek, dan disisihkan dari pergaulan sehari-harinya. Tourette syndrome adalah sebuah kelainan pada saraf sehingga mengakibatkan Si penderita mengeluarkan suara-suara dan gerakan-gerakan yang tidak disengaja. Film: Front of the Class Tahun: 2008 Pemeran: James Wolk, Treat Williams, Dominic Scott Kay, Sarah Drew, Kathleen York, Joe Chrest, Patricia Heaton, dan pemeran lainnya. Rating IMDb: 8.1/10 dari 1,495 pengguna (saat SP menulis artikel ini). Dalam film ini Brad Cohen yang diperankan oleh James Wolk, dikisahkan menderita kelainan Tourette syndrome sejak ia berumur 6 tahun. Sejak menderita penyakit tersebut, berbagai panggilan yang kurang mengenakan dari teman-temannya ditujukan kepadanya, namun Brad selalu mencoba untuk menerimanya. Brad juga sering dikeluarkan dari kelas, bioskop, dan tempattempat umum lainnya, karena dianggap mengganggu. Ibunya adalah sosok yang paling tegar dan selalu memperhatikannya. Ibunya sangat sayang kepadanya. Ibunya selalu berusaha mencari berbagai macam cara agar Bobo (panggilan Brad) bisa hidup normal, seperti anak kecil pada umumnya. Namun kenyataan berkata lain, belum ada obat yang bisa menyembuhkan Tourette syndrome. Kenyataan tersebut tentunya membuat Ibu Brad sangat sedih, namun dia selalu memotivasi, agar Brad tidak menyerah terhadap kelainan yang dideritanya. Selain ibunya, adiknya Jeff juga sangat menyayanginya.

Kenyataan tersebut membuat ayah Brad memilih untuk bercerai, sehingga ibunya berjuang sendiri mendidik dan memotivasi Brad. Ayahnya adalah sosok yang dibenci oleh Brad, karena tidak bisa menerima kelainan yang ada pada Brad. Ayahnya selalu marah mendengar Brad mengeluarkan suara-suara aneh tersebut. Film ini memiliki cerita yang sangat menarik yang disuguhkan dengat hatihati, sehingga tidak ada kejutan-kejutan yang berlebihan. Menurut SP film ini lebih mengkususkan untuk memotivasi penonton, agar tidak pernah mengalah terhadap situasi apapun. Selain itu, cerita percintaan Brad dengan Nancy menjadi sesuatu yang sangat spesial, sebuah cinta yang tulus dari Nancy, tanpa harus mempedulikan kekurangan Brad. Sebagai tambahan, film ini diangkat dari sebuah buku yang berjudul Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had yang ditulis oleh Brad Cohen dan Lisa Wysocky. Buku ini merupakan kisah nyata Brad Cohen, (Ferdinaen). Tinjauan Pustaka Tourette Syndrome adalah suatu gangguan saraf dan perilaku

(neurobehavioral disorder), dicirikan oleh aksi tak disadari, berlangsung cepat (brief involuntary actions), berupa tics vokal dan motor, juga disertai gangguan kejiwaan (psychiatric disturbances). Tourette Syndrome bisa disebabkan oleh genetik sekitar 50% pada kembar monozigot, 8% pada dizigot dan Neurokimiawi dimana lemahnya pengaturan dopamin di caudate nucleus. Menurut Moe PG, et.al. (2007), sindrom Tourette dapat dipicu (triggered) oleh stimulan seperti methylphenidate dan

dextroamphetamine, di samping juga adanya ketidakseimbangan (imbalance) atau hipersensitivitas terhadap neurotransmiter, terutama dopamin dan serotonin. Sindrom Tourette diduga merupakan suatu kelainan genetik, meskipun belum ada gen spesifik yang teridentifikasi. Bukti terbaru menunjukkan pola

pewarisan yang kompleks dengan satu atau beberapa gen mayor, banyak tempat (multiple loci), low penetrance, dan pengaruh lingkungan. Keluarga yang telah memiliki anak dengan Sindrom Tourette, maka anak berikutnya berisiko 25% menderita Sindrom Tourette. Meskipun patofisiologi Sindrom Tourette belum diketahui, namun diduga terjadi perubahan pada neurotransmisi dopamin, opioid, dan sistem messenger kedua. Kejadian Sindrom Tourette lebih banyak terdapat pada anak lelaki daripada anak wanita dengan perbandingan 3-5 : 1. Prevalensi diperkirakan 0,031,6%. Onset biasanya usia 7-8 tahun. Sebanyak dua pertiga penderita mengalami perbaikan gejala saat dewasa, namun perbaikan total jarang terjadi. Terdapat komorbiditas yang tinggi dengan kecemasan (anxiety), depresi, obsessivecompulsive disorder (OCD) dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Manifestasi klinis Sindrom Tourette berupa Tics motor dapat sederhana (misalnya: mata berkedip-kedip tak terkontrol, mengejapkan mata berkali-kali, sering mengangkat-angkat bahu) atau kompleks (misalnya: meniru gerakan orang lain atau echopraxia). Tics vokal dapat berupa suara yang sederhana (seperti: menyalak) atau kata tunggal. Tics vokal klasik termasuk berkata jorok (coprolalia) dan menirukan atau mengulangi ucapan orang lain (echolalia). Tics seringkali diperburuk oleh stres fisik atau emosional. Menurut Fauci AS, et.al. (2008), penderita dengan gejala ringan hanya memerlukan edukasi dan konseling (untuk diri mereka dan anggota keluarga mereka). Obat diindikasikan jika tics benar-benar mengganggu aktivitas atau menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan. Umumnya terapi dimulai dengan pemberian agonist clonidine, dimulai dari dosis rendah dan ditingkatkan dosis dan frekuensinya secara bertahap, sampai hasilnya memuaskan. Guanfacine (0,52 mg/hari) merupakan agonist baru yang disukai oleh banyak dokter karena dosisnya hanya sekali dalam sehari. Jika ini tidak efektif, dapat diberi antipsikotik. Neuroleptik atipikal (risperidone 0,2516 mg/hari, olanzapine 2,515 mg/hari, ziprasidone 20200 mg/hari) dipilih karena berhubungan dengan penurunan risiko

dari efek samping ekstrapiramidal. Jika ini tidak efektif, neuroleptik klasik seperti: haloperidol, fluphenazine, atau pimozide dapat diberikan. Suntikan botulinum toxin efektif untuk mengendalikan tics vokal yang melibatkan kumpulan otot kecil. Menurut Le T, et.al. (2008) dan Stead LG, et.al. (2004), dapat diberikan psikoterapi suportif dan farmakoterapi, misalnya golongan neuroleptik,

benzodiazepines, dan lainnya. Neuroleptik, seperti: haloperidol, risperidone. Benzodiazepines, seperti: clonazepam, diazepam. Lainnya seperti: clonidine, pimozide.

10

Lorenzos Oil Sinopsis Lorenzos Oil adalah sebuah Film yang diperankan oleh Noah Bank dan Zack OMalley Greenburg, pada film ini ia digambarkan sebagai seorang anak laki-laki bernama Lorenzo yang awalnya tidak terdapat perbedaan dengan anak lainnya, anak yang sangat ceria dan bersemangat yang tinggal di kepulauan Komoro. Ayah dari Lorenzo tersebut bekerja pada bank dunia dan tinggal di sana juga. Masalah mulai muncul pada saat keluarga tersebut pindah ke AS, anak tersebut mulai menunjukan suatu penyakit neurologis, ditandai dengan kehilangan pendengaran, dan didiagnosis menderita ALD, yang dapat berakibat fatal dalam waktu 2 tahun setelah onset muncul. ALD merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kesalahan metabolisme sejak lahir yang menjadi

penyebab turunnya fungsi otak. Namun menurut keterangan seorang dokter dalam film ini, ALD hanya mempengaruhi pria yang usianya antara 5 sampai 10 tahun. Setelah berusaha mencari dokter yang mampu mengobati penyakit lorenzo dan gagal, kedua orang tua anak tersebut, Augusto dan Michaela Odane ditetapkan pada suatu misi untuk mencari pengobatan agar anak mereka bisa diselamatkan. Selama melakukan pencarian mereka dihadapi oleh beberapa tantangan diantaranya oleh para dokter, ilmuwan, kelompok pendukung yang skeptis yang menyatakan bahwa ALD tidak dapat disembuhkan dan tidak ada yang dapat dilakukan apalagi oleh orang awam. Namun, mereka tidak menyerah dan terus berusaha, pasangan tersebut menjadi terobsesi mencari berbagai informasi dari berbagai resensi medis yang berkaitan dengan penyakit langka tersebut. Tanpa mengenal lelah, mereka bahu membahu saling mencari informasi disemua tempat, sambil tetap merawat anak mereka di rumah. Orang tua Lorenzo mendirikan tenda di perpustakaan rumah sakit, mendaftarkan diri sebagai tenaga pembantu untuk profesor Gus Nikolais, mendesak dilakukannya penelitian, menanyakan tentang ALD kepada para dokter

11

terkemuka didunia, dan bahkan melakukan even simposium internasinal yang membahas penyakit ini. Bukan hanya pencarian medis yang mereka lakukan, tapi juga seorang teman yang dapat di percaya untuk bisa mendampingi Lorenzo menjalani hariharinya dalam menghadapi penyakitnya. Maka merekapun mendatangkan sahabat Lorenzo dari sebuah negara kecil, dimana mereka pernah tinggal disana. ALD atau adrenoleukodystrophy adalah penyakit yang disebabkan oleh mutasi gen ABCD1, penyakit ini berkembang secara progresif, ditandai oleh neuroinflamasi yang menyebabkan demielinisasi SSP sehingga menyebabkan defisit neuromotor dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Terjadi gangguan peroxisomal asam lemak beta oksidasi yang kemudian mengakibatkan terjadinya akumulasi dari asam lemak rantai sangat panjang (VLCFA) terutama asam cerotic pada seluruh jaringan tubuh, namun jaringan yang terkena dampak paling parah adalah mielin di sistem saraf pusat, korteks adrenal, dan sel leydig di testis. Mekanisme terjadinya ALD sepenuhnya belum diketahui. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat heterogen, gejala awal adalah anak tampak hiperaktif, emosi yang tidak stabil, apabila tidak diobati maka akan menyebabkan dimielinasasi yang progresif dan akhirnya kematian. Meskipun berbagai penelitian yang dilakukan namun tidak membuahkan hasil, melihat kondisi anak mereka yang sama sekali tidak menunjukan perbaikan, dan dikelilingi oleh sekelompok orang skeptis, mereka tetap bertahan dan berusaha sampai akhirnya mereka- mereka menemukan sebuah terapi yang melibatkan penambahan minyak tertentu (minyak yang mengandung asam lemak rantai panjang yang didapatkan melalui proses isolasi dari minyak kanola dan minyak zaitun) untuk diet pada anak mereka. Mereka menghubungi lebih dari 100 perusahaan di seluruh dunia untuk mendapatkan formula tersebut hingga akhirnya mereka menemui seorang ahli kimia dari inggris yang bekerja untuk Croda Internasional yang bersedia untuk melakukan penyulingan hingga minyak

12

tersebut dapat dibentuk. Minyak tersebut mengandung asam erusat, yang terbukti mampu menormalkan akumulasi dari asam lemak rantai panjang di otak yang telah menyebabkan penurunan fungsi neurologis anak mereka, sehingga dengan pemberian diet tersebut maka perkembangan penyakitnya dapat dihentikan. Walaupun perkembangan penyakit dapat dihentikan namun masih tetap ada gejala sisa kecuali ditemukan obat baru yang mampu meregenerasi selubung mielin di sel saraf. Ayah dari anak tersebut kemudian memulai suatu proyek untuk menyembuhkan kerusakan mielin yang dialami oleh anaknya. Film ini berakhir saat usia lornzo mencapai 14 tahun dan menunjukan peningkatan yang cukup memuaskan, ia bisa menelan, bisa menjawab iya dan tidak dengan mengkedipkan matanya, hingga akhirnya lorenzo mampu melihat kembali dan mulai belajar untuk menggunakan komputer. Tinjauan Pustaka X-linked Adrenoleukodystrophy (ALD) X-linked Adrenoleukodystrophy (ALD) adalah salah satu dari kelompok gangguan genetik yang disebut leukodystrophies yang menyebabkan kerusakan selubung mielin, membran isolasi yang mengelilingi sel-sel saraf di otak. Wanita memiliki dua kromosom X dan merupakan pembawa penyakit, tetapi karena lakilaki hanya memiliki satu kromosom X dan kurangnya efek perlindungan dari kromosom X tambahan, mereka berefek lebih parah. Orang dengan X-ALD terjadi akumulasi tingkat tinggi, asam lemak rantai sangat panjang jenuh (VLCFA) di otak dan korteks adrenal. Hilangnya myelin dan disfungsi progresif kelenjar adrenal adalah karakteristik utama dari X-ALD. Sementara hampir semua pasien dengan X-ALD menderita insufisiensi adrenal, yang juga dikenal sebagai penyakit Addison, gejala-gejala neurologis dapat mulai baik di masa kecil atau di masa dewasa. Bentuk otak Masa kanakkanak adalah yang paling parah, dengan onset antara usia 4 dan 10. Gejala yang

13

paling umum biasanya perubahan perilaku seperti penarikan normal atau agresi, penurunan memori, dan prestasi sekolah yang buruk. Gejala lain termasuk kehilangan penglihatan, kesulitan belajar, kejang, ucapan buruk diartikulasikan, kesulitan menelan, tuli, gangguan kiprah dan koordinasi, kelelahan, muntah intermiten, peningkatan pigmentasi kulit, dan demensia progresif. onset yang lebih ringan pada dewasa juga dikenal sebagai Adrenomyeloneuropathy (AMN), yang biasanya dimulai antara usia 21 dan 35. Gejala mungkin termasuk kekakuan otot yang progresif, kelemahan atau kelumpuhan pada tungkai bawah, dan ataksia. Meskipun onset dewasa ALD berlangsung lebih lambat dari bentuk klasik masa anak-anak, juga dapat mengakibatkan penurunan fungsi otak. Hampir setengah wanita pembawa gen XALS akan mengembangkan bentuk ringan dari AMN tapi hampir tidak pernah berkembang gejala yang terlihat pada anak laki-laki X-ALD. X-ALD tidak sama dengan adrenoleukodsystrophy neonatal, yang merupakan penyakit bayi yang baru lahir dan bayi muda dan termasuk dalam kelompok gangguan biogenesis peroxisomal. Fungsi adrenal harus diuji secara periodik pada semua pasien dengan ALD. Pengobatan dengan hormon adrenal dapat menyelamatkan nyawa. Perawatan simtomatik dan suportif untuk ALD termasuk terapi fisik, dukungan psikologis, dan pendidikan khusus. Bukti terbaru menunjukkan bahwa campuran asam oleat dan asam erusat, yang dikenal sebagai "Minyak Lorenzo" diberikan kepada anak laki-laki dengan X-ALD sebelum onset gejala dapat mencegah atau menunda munculnya perubahan bentuk cerebral anak. Hal ini tidak diketahui apakah Minyak Lorenzo akan memiliki efek yang menguntungkan dalam AMN. Pada penelitian lanjutan, Minyak Lorenzo tidak memiliki efek menguntungkan pada anak laki-laki dengan gejala X-ALD. transplantasi sumsum tulang dapat memberikan manfaat jangka panjang untuk anak laki-laki yang memiliki bukti awal dari bentuk otak anak X-ALD, tidak dianjurkan bagi mereka yang gejalanya sudah parah atau yang memiliki onset dewasa atau bentuk neonatal.

14

Prognosis untuk pasien anak dengan cerebral X-ALD umumnya terjadi kerusakan neurologis progresif kecuali transplantasi sumsum tulang dilakukan lebih awal. Kematian biasanya terjadi dalam 1 sampai 10 tahun setelah timbulnya gejala. Onset dewasa AMN akan berlangsung selama beberapa decade.

15

Tample grandin Sinopsis Film Temple Grandin pertama kali didiagnosa autistic pada tahun 1951, di Boston saat ia berusia 4 tahun. Ia didiagnosa mengalami autism jenis infantile schizophrenic. Gejala yang menonjol antara lain tidak tertarik bermain dengan anak lain, senang merobek benda, belum dapat berbicara hingga usia 4 tahun dan tidak mau dipeluk. Tahun 1962, Temple belajar di Boarding School New Hampshire Country School. Di sekolah tersebut, Temple belajar tentang kehidupan, tentang binatang dan kematian. Teman-temannya sering menjulukinya sebagai tape recorder karena sering mengulang kata-kata orang lain. Temple tertarik dengan science, ia belajar bersama Dr. Carlock, seorang scientist yang kagum akan kecerdasannya. Dr. Carlock berpendapat bahwa Temple itu istimewa, different, not less. Temple tidak mengerti hal-hal yang abstrak, ia belajar dari visual dengan sangat luar biasa, paham dengan cepat mengenai perspektif. Hal ini membuat Temple menjadi perbincangan guru-guru Bahasa Prancis dan Matematika. Namun, Dr. Carlock selalu menekankan pada Temple, bahwa selalu ada pintu yang terbuka untuk menuju dunia baru. Temple tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah, alasannya adalah karena ia tidak suka bertemu orang banyak. Ia tidak bisa mengerti perasaan orang lain, sehingga sering dianggap aneh. Saat liburan musim panas di tahun 1966, ia pergi ke Arizona. Di sini ia mempelajari tentang ternak sapi, salah satunya adalah bagaimana sapi-sapi tersebut bisa langsung tenang setelah dimasukkan ke dalam suatu kotak. Ia juga membuat bermacam alat, termasuk squeeze-machine (mesin peluk) yang terinspirasi dari ternak sapi. Mesin ini sangat membantu menenangkan dirinya. Bujukan dari ibunya akhirnya membuat Temple bersedia untuk melanjutkan kuliah. Ia masuk kuliah di Franklin Pierce College di tahun 1966. Keadaannya

16

membuat Temple kesulitan mengikuti materi perkuliahan. Ia kemudian membuat squeeze-machine di kamarnya. Namun hal ini tidak disetujui karena dianggap melakukan perbuatan seksual. Temple bersikeras untuk mendapatkan squeezemachine tersebut, ia melakukan penelitian untuk membuktikan pengaruh mesinnya terhadap orang lain. Hasil penelitiannya yang koheren (masuk akal) dan menggunakan grup control ternyata diterima. Ia diperbolehkan untuk

menempatkan mesin tersebut di kamarnya. Mesin ini mengantarkan keberhasilan studinya di tahun 1970. Dalam pidato kelulusannya, ia menegaskan kata-kata aku tidak berdiri sendiri. Temple melanjutkan studinya untuk meraih gelar master di Arizona State pada tahun yang sama. Ia belajar tentang sapi di Scottsdale Feed Yards, Arizona. Temple mempelajari proses mandi sapi yang dilakukan di sana, ia juga memperhatikan bahwa sapi senang berjalan dalam lingkaran, serta lenguhan sapi (mooing) yang terdengar berbeda. Ia kemudian melakukan penelitian untuk gelar masternya mengenai agitasi (gejolak) pada sapi dan system control yang baik untuk sapi. Penelitiannya terus dilakukan hingga ia menerbitkan banyak artikel di majalah-majalah dan dapat membuat alat baru untuk menghemat biaya dalam proses mandi sapi sesuai dengan hasil penelitiannya. Ia juga berhasil menghubungi salah satu pusat pemotongan sapi dan memperbaiki system yang ada di sana, sehingga dapat lebih menghemat dalam prosesnya. Berhasil meraih gelar master belum dapat membuat Temple senang berada di tengah keramaian. Saat merayakan natal di Bronxville, New York pada tahun 1975 setelah resmi mendapatkan gelar master, ia masih menjauhi orang-orang. Ia merasa orang lain tidak suka mendengarkannya. Namun, dengan sabar ibunya memberi pengertian tentang bagaimana orang lain bersosialisasi. Di tahun 1981, Temple menghadiri National Autism Convention. Ia diminta untuk berbicara di depan orang banyak mengenai autism yang dideritanya. Ia menjadi contoh bagi penderita autism untuk tetap maju dan berkarya walaupun banyak halangan dalam perjalanannya.

17

Tinjauan Pustaka Penyakit Autistic ditandai dengan adanya trias berupa: (1) gangguan kualitatif dalam interaksi social, (2) gangguan dalam berkomunikasi dan (3) tanda repetitive dan stereotipik dari perilaku. Pada beberapa kasus, anak dengan gejala autistic dapat berkembang dan menjadi komorbid dengan schizophrenia. Prevalensi Autistic diperkirakan sekitar 0,08 % atau 8 dari 10.000 anak. Kejadiannya 4-5 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan. Menurut Mardiyono (2010), Penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autisme. Adanya hubungan antara autistic dan genetic masih belum jelas. Namun, beberapa hipotesis menyatakan bahwa terdapat beberapa gen yang berhubungan dengan autistic. Hal yang masih mengganggu adalah banyaknya autistic yang terjadi pada keluarga nonautistik. Penelitian terakhir telah menemukan beberapa gen berkaitan dengan terjadinya autistic. Analisa kromosom menunjukkan bahwa beberapa region pada kromosom 7, 2, 4, 15 dan 19 berkontribusi secara genetic dalam mendasari timbulnya autistic. Kejadian selama perinatal ternyata dapat membantu proses diagnosis dari autistic. Terjadinya perdarahan maternal pada trimester 1 dan mekonium pada cairan amnion merupakan salah satu kejadian yang cukup sering ditemukan. Usia kehamilan tua dan berat janin yang melebihi normal juga salah satunya. Kriteria diagnostic DSM-IV untuk autistic:
18

A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) 1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalamsedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini : a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial. b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya. c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain. d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. 2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini: a. Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal. b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi c. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulangulang. d. Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf

perkembangannya. 3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini : a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan focus dan intensitas yang abnormal/ berlebihan. b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.

19

d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari obyek. B. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif. C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak. Latihan di ruang kelas yang terstruktur dalam kombinasi dengan metoda perilaku adalah metoda terapi yang paling efektif untuk banyak anak autistik dan lebih unggul dibandingkan dengan tipe pendekatan perilaku lainnya. Program latihan adalah melelahkan dan memerlukan banyak waktu orang tua. Anak autistik memerlukan sebanyak mungkin struktur, dan program harian selama mungkin adalah diharapkan. Walaupun tidak ada obat yang ditemukan spesifik untuk gangguan autistik, psikofarmakoterapi adalah tambahan yang berguna bagi program terapi yang menyeluruh. Pemberian haloperidol (Haldol) menurunkan gejala perilaku dan mempercepat belajar. Obat menurunkan hiperaktivitas, stereotipik, menarik diri, kegelisahan, hubungan objek abnormal, iritabilitas dan efek yang labil. Buktibukti pendukung menyatakan bahwa, jika digunakan dengan bijaksana, haloperidol tetap merupakan obat efektif jangka panjang. Fenfluramine (Pondimin), yang menurunkan kadar serotonin darah, adalah efektif pada beberapa anak autistik. Perbaikan tampaknya tidak berhubungan dengan penurunan kadar serotonin darah. Lithium (Eskalith) dapat dicoba untuk perilaku agresif atau melukai diri sendiri jika medikasi lain gagal. Autistic adalah penyakit seumur hidup. Anak autistic dengan IQ di atas 70 dan dapat menggunakan bahasa komunikasi di usia 5-7 tahun memiliki prognosis yang paling baik. Banyak di antaranya yang memperlihatkan perubahan positif dalam komunikasi dan social. Prognosis meningkat jika lingkungan atau keluarga mendukung dan memahami kebutuhan. Meskipun pada beberapa kasus, gejala

20

akan menurun, namun dapat pula terjadi perkembangan agresifitas. Sekitar 4-32 % mengalami kejang grand mal, hal ini dapat mempengaruhi prognosis.

21

The good earth Film ini bercerita tentang BAU (behavioral analysis unit) merupakan bagian dari FBI yang menyelidiki kasus kriminal yang bersangkutan dengan gangguan kejiwaan. Kasus pada film ini adalah hilangnya beberapa pria secara misterius. Setelah penyelidikan akhirnya di temukan bahwa sang pelaku adalah seorang wanita berusia sekitar 30 40 tahun bernama Emma kerrigan, dia memiliki seorang anak berusia 10 tahun, suaminya meninggal karena kecelakaan. Emma memiliki penyakit kejiwaan yang di sebut hipokondriasis di mana dia selalu merasa sakit padahal dirinya tidak sakit sama sekali. Emma punya riwayat menderita penyakit scleroderma tetapi sudah sembuh sejak lama, ia sering berulang kali mengunjungi dokternya untuk memeriksakan penyakitnya tapi ia tidak percaya kepada dokternya kalau ia sebenarnya sudah sembuh. Karena penyakitnya itu emma sampai memiliki halusinasi atau delusi atau waham. Bahkan dia memiliki waham bahwa anaknya juga sakit, sehingga ia berusaha mencari obatnya sendiri. Dia meyakini bahwa obat yang manjur untuk penyakitnya adalah pupuk yang sama seperti yang ia gunakan pada tanaman tomat di perkebunan miliknya. Emma membuat pupuk dari manusia sehingga ia menculik beberapa orang pria sesuai dengan kriteria yang di butuhkannya dan membuat mereka menjadi pupuk sekaligus menjadi obat untuk ia dan putrinya. Kelainan yang di alami oleh Emma kerrigan merupakan gangguan somatoform yaitu hipokondriasis. Hipokondriasis merupakan salah satu dari enam gangguan somatoform yang dikategorikan dalam DSM-IV. Hipokondriasis dibedakan dari kelainan delusi somatic lainnya oleh karena gangguan ini dihubungkan dengan pengalaman gejala fisik yang dirasakan oleh penderitanya, dimana gangguan somatoform lainnya tidak menunjukkan gejala fisik di dalam dirinya. Gejala yang timbul bisa saja merupakan pernyataan gejala fisik yang dilebih-lebihkan, yang justru akan memperberat gejala fisik yang disebabkan oleh keyakinan bahwa pasien tersebut sedang sakit dan keadaannya lebih buruk dari keadaan yang sebenarnya. Gangguan somatoform diperkenalkan pada DSM-IV

22

sebagai kategori diagnosis bagi gejala somatic yang tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis umum. Pasien dengan gangguan hipokondriasis secara khas datang dengan ketakutan dan perhatian terhadap penyakitnya, dibandingkan dengan gejala yang dirasakannya. Pasien dengan hipokondriasis percaya bahwa mereka sedang menderita suatu penyakit yang serius yang belum pernah dideteksi, dan tidak dapat menerima penjelasan akan gangguan yang dideritanya. Mereka terus menyimpan keyakinan bahwa mereka memiliki penyakit yang serius.

Hipokondriasis biasanya disertai dengan gejala depresi dan anxietas dan biasanya terjadi bersamaan dengan gangguan depresi dan anxietas. Walaupun pada DSM-IV membatasi bahwa gejala yang timbul telah berlangsung paling kurang 6 bulan, keadaan hipokondrial yang sementara dapat muncul setelah stress yang berat, paling sering adalah akibat kematian atau penyakit yang sangat serius dari seseorang yang sangat penting bagi pasien, ataupun penyakit serius yang yang pernah diderita oleh pasien namun telah sembuh, yang dapat meninggalkan keadaan hipokondrial sementara pada kehidupan pasien. Keadaan diatas dimana perlangsungannya kurang dari enam bulan, maka di diagnosis sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan Dalam film tersebut di jelaskan bahwa Emma memiliki kenangan buruk yaitu kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan, dan ia memiliki penyakit scleroderma se tahun yang lalu dan sudah sembuh. Sejak enam bulan yang lalu dia sudah 30 kali mengunjungi rumah sakit untuk memeriksakan penyakit sclerodermanya yang sebenarnya sudah lama sembuh. Hal ini sesuai dengan gejala dan faktor pencetus dari kelainan hipokondriasis.

Tinjauan Pustaka Gangguan somatoform merupakan gejala-gejala fisik tanpa penjelasan fisiologis yang jelas, tidak berada di bawah kendali volunter, diasumsikan berhubungan dengan faktor-faktor psikologis (berkaitan dengan gangguan emosi).

23

Hipokondriasis merupakan jenis gangguan dari somatoform adalah ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius, seperti jantung atau kanker. Ketakutan tetap ada walaupun sudah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar. Gangguan ini muncul pada usia berapapun, namun paling sering pada usia 20 dan 30 tahun. Secara umum, gangguan ini dianggap paling biasa terjadi di antara orang lanjut usia. Biasanya pada penderita ini individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius, bereaksi berlebihan pada sensasi fisik dan abnormalitas minor, mengembangkan keyakinan yang salah (kebanyakan melakukan doctor shopping untuk membuktikan keyakinannya). Ciri Diagnostik Hipokondriasis : 1. Individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius. Orang tersebut menginterpretasikan sensasi tubuh atau tanda fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya. 2. Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis. 3. Keterpakuan tidak pada intensitas khayalan (orang itu mengenali kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu dibesar-besarkan atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran akan penampilan. 4. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial atau pekerjaan. 5. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atau lebih. 6. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan mental lainnya.
24

Etiologi dan Terapi Psikoanalisa: gangguan muncul karena impuls-impuls yang terepresi dan dikonversikan ke gejala fisik. Menurut teori ini, penyebab hysteria atau gangguan konversi disebabkan oleh kondisi psikologis. Ego berfungsi mengendalikan dorongan seksual atau agresi yang tidak dapat diterima secara sosial, dalam bentuk represi. Kendali ini akan menghambat timbulnya kecemasan jika individu sadar akan munculnya dorongan tersebut. Namun, energi sisa yang ada dalam dorongan tersebut dikonversikan ke dalam simtom fisik, seperti kebutaan atau kelumpuhan. Terapi: membantu mengangkat dorongan-dorongan yang terepresi. Penanganan dengan pendekatan ini dilakukan dengan cara mengungkap dan mengangkat konflik tidak sadar ke dalam kesadaran. Jika konflik ini diungkap dan dilalui, maka simtom tidak akan muncul sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah.

Behaviorisme: adanya pengangkatan gejala-gejala fisik sebagai cara untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Misalnya, orang dengan gangguan konversi dapat dibebaskan dari tugas/tanggung jawab dalam suatu pekerjaan. Lingkungan sekitar pun mendukung jika orang tersebut tidak melaksanakan tanggung jawabnya. Kemudian, ketika orang ini tidak mengalami sakit, namun ingin terbebas dari tanggung jawab, maka ia akan memunculkan simtom tersebut. Terapi: mengurangi kecemasan dan mendorong perilaku yang membolehkan pelepasan gejala. Selain itu, penanganan dengan pendekatan ini menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder yang dihubungan dengan keluhan fisik. Misalnya, mengabaikan keluhan orang yang mengalami gangguan tersebut, mengajarkan kepada orang yang mengalami gangguan itu untuk menghargai usaha memenuhi tanggung jawabnya, mengajarkan orang yang mengalami gangguan untuk mengatasi kecemasan dan stres dengan cara yang lebih adaptif.

25

Kognitif: Penjelasan kognitif berfokus pada peran dari pikiran yang terdistorsi. Orang yang mengalami hipokondriasis memiliki kecenderungan untuk membesarbesarkan keluhan fisik yang ringan. Mereka salah menginterpretasi simtom ringan sebagai tanda sakit yang serius, yang akhirnya justru menimbulkan kecemasan. Kecemasan itu sendiri akhirnya menimbulkan simtom fisik yang tidak menyenangkan. Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak putus. Demikian juga halnya dengan orang yang mengalami BDD memiliki pikiran yang salah akan konsep dirinya. Terapi: Penanganan dengan pendekatan ini dilakukan dengan restrukturisasi kognitif, yaitu dengan mengubah keyakinan penderita yang salah akan adanya suatu penyakit dalam tubuh dan keyakinan yang salah mengenai konsep diri.

26

Anda mungkin juga menyukai