Anda di halaman 1dari 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Rokok 1. Definisi Rokok menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2003 adalah hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan (Departemen Kesehatan RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Jakarta: Depkes, 2003.). 2. Kandungan Tembakau mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen dan setidaknya 200 di antaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada tembakau adalah tar, nikotin dan CO (Gondodiputro S. Bahaya tembakau dan bentuk-bentuk sediaan tembakau. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, 2007. Departemen Kesehatan RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Jakarta: Depkes, 2003 impact of tobacco smoking and smoking cessation on cardiovascular risk and disease. Expert Review Cardiovasculare Therapy 2008; 6: 883-895 Arinola OG, Akinosum OM, Olaniyi

6 JA. Passive- and active-cigarette smoking: effects on the levels of antioxidant vitamins, immunoglobulin classes and acute phase reactants. African Journal of Biotechnology 2011; 10: 61306132.). a. Tar Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paruparu. Kadar tar dalam tembakau antara 0.5-35 mg/batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru-paru. b. Nikotin Nikotin merupakan zat, atau bahan senyawa pirolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya. Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0.5-3 nanogram, dan semuanya diserap sehingga di dalam cairan darah ada sekitar 40-50 nanogram nikotin setiap 1 ml-nya. Nikotin bukan merupakan komponen karsinogenik. Namun, hasil pembakaran dari nikotin seperti dibensakridin, dibensokarbasol, dan nitrosamin-lah yang bersifat karsinogenik. Pada saluran pernapasan, nikotin akan menghambat aktivitas silia. Selain itu, nikotin juga memiliki efek adiktif dan psikoaktif. Perokok akan merasakan kenikmatan, kecemasan berkurang, toleransi dan keterikatan fisik. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sekali merokok susah untuk berhenti. Nikotin adalah kimia simpatomimetik yang memicu pelepasan katekolamin dan neurotrasmiter lainnya pada sistem saraf pusat maupun perifer sehingga memiliki efek kardiovaskuler seperti peningkatan

7 denyut jantung, tekanan darah, dan curah jantung. Nikotin juga memiliki efek metabolik terutama dalam peningkatan proses lipolisis. Lipolisis mengakibatkan peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol dalam darah dan peningkatan metabolisme lemak ini menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen,. Efek lain adalah merangsang agregasi trombosit. Trombosit akan menggumpal dan akan menyumbat pembuluh darah yang sudah sempit akibat CO. c. Karbon Monoksida (CO) Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang/karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3%6%. Gas CO yang terhirup dengan cepat berikatan dengan hemoglobin, tidak hanya mengurangi kapasitas untuk pengangkutan oksigen tetapi juga menghambat pelepasan dari hemoglobin. Kadar karboksihemoglobin pada seorang perokok rata-rata sekitar 5%, tetapi dapat mencapai 10%, dibandingkan dengan kadar yang hanya 0,5%-2% pada seseorang yang bukan perokok. Hal ini mengakibatkan hipoksemia relatif dan selanjutnya terjadi kompensasi berupa peningkatan jumlah sel darah merah dan viskositas darah. Penelitian baru-baru ini melaporkan bahwa ada efek langsung CO pada proses aterosklerosis dan pembentukan trombus.

B. Perilaku Merokok 1. Definisi Perokok Perokok adalah seseorang yang pernah mengonsumsi hasil olahan tembakau dengan cara dibakar minimal 100 batang dalam hidupnya dan kemudian melanjutkannya dengan merokok setiap hari atau hanya sekali dalam beberapa

8 hari. Berdasarkan paparannya, perokok terbagi menjadi dua, yaitu: (CARI SITASI DEFINISI Rahmatullah P. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.): a. Perokok aktif, yaitu individu yang merokok tembakau atau lintingan tembakau. b. Perokok pasif, yaitu individu yang tidak merokok tetapi menghisap udara yang mengandung asap rokok. WHO mengklasifikasikan perokok menjadi current smoker, occasionally smoker, ex-smoker, dan never smoker. (Ravara SB, Calheiros JM, Aguiar P et al. Smoking behaviour predicts tobacco control attitudes in a high smoking prevalence hospital: a cross-sectional study in a Portuguese teaching hospital prior to the national smoking ban. BMC Public Health 2011; 11:720). a. Current smoker adalah seseorang yang pernah merokok sekurang-kurangnya 100 batang rokok dalam hidupnya dan mengonsumsinya setiap hari hingga saat ini. b. Occasionally smoker adalah seseorang yang pernah merokok sekurangkurangnya 100 batang rokok dalam hidupnya dan masih berlanjut hingga sekarang tetapi tidak mengonsumsinya setiap hari. c. Ex-smoker adalah seseorang yang dulu pernah merokok (current smoker atau occasionally smoker) tetapi telah berhenti lebih dari 6 bulan yang lalu. d. Never smoker adalah seseorang yang tidak pernah merokok sama sekali atau pernah merokok tetapi kurang dari 100 batang selama hidupnya.

9 Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap, jenis perokok terdiri dari (Edyson, Audah NA, dan Nugraha A. Epidemiologi penyakit tidak menular. Edisi V. Banjarbaru: PSKM Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, 2009.): a. Perokok ringan, yaitu jika tiap harinya merokok kurang atau sama dengan 10 batang. b. merokok antara 10-20 batang. c. merokok lebih dari 20 batang. 2. Perilaku Merokok Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mempunyai perilaku merokok. Secara umum dapat dibagi atas faktor farmakologis, faktor sosial dan faktor psikologis. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku merokok adalah iklan. Menurut Tomkins, ada empat tipe perilaku merokok berdasarkan Management of Affect Theory yaitu (Alamsyah RM. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan merokok dan hubungannya dengan status penyakit periodontal remaja di kota Medan. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007.): a. perasaan positif. Perilaku merokok dimana perokok merasa rokok dapat menambah atau meningkatkan kenikmatan atau untuk menyenangkan perasaan. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh Perokok berat, yaitu jika tiap harinya Perokok sedang, yaitu jika tiap harinya

10 b. perasaan negatif. Perilaku merokok dimana perokok merasa rokok dapat mengurangi perasaan negatif seperti marah, gelisah atau kesal. c. Perilaku merokok yang adiktif. Perilaku merokok yang sudah mengalami kecanduan, dimana perokok tersebut akan menambah dosis rokok setiap saat jika efek rokok berkurang. d. kebiasaan. Perilaku merokok yang tidak bertujuan untuk mengendalikan perasaan, tetapi karena merokok telah menjadi rutinitas. C. Tidur Tidur merupakan suatu proses fisiologis tubuh manusia untuk Perilaku merokok yang sudah menjadi Tipe perokok yang dipengaruhi oleh

mempertahankan diri dari kelelahan fisik, memulihkan tingkat akitivitas normal dan keseimbangan normal di antara sistem saraf pusat. Fungsi fisiologis yang spesifik dari tidur masih belum jelas, tetapi dapat dianggap bahwa nilai utama dari tidur adalah untuk memulihkan keseimbangan alami di antara pusat-pusat neuron (Guyton CA & Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Tanpa Tahun. Terjemahan oleh Irawati. Jakarta: EGC, 2007. ). Periode tidur pada manusia terbagi menjadi dua, yaitu tidur fase REM (rapid eye movement) dan fase NREM (non-rapid eye movement). Fase NREM ditandai dengan osilasi lambat neuron talamokortikal, yang kemudian terdeteksi sebagai gelombang lambat kortikal. Berdasarkan karakteristik sinyal EEG, fase

11 NREM dibagi menjadi 4 (S1, S2, S3, dan S4). Gelombang kortikal frekuensi lambat S3/S4 (<4 Hz) dikenal sebagai tidur gelombang-lambat ( slow-wave sleep/SWS), mengindikasikan bahwa seseorang sedang mengalami tidur yang dalam. (Lieberman III JA, Neubauer DN. Understanding insomnia: Diagnosis and management of a common sleep disorder. The Journal of Family Practice 2007; 56: 35a-50a.) Kontrol fisiologis siklus tidur-bangun umumnya diyakini melibatkan 2 komponen, yaitu sistem homeostatis dan irama sirkadian. Dalam pengaturan homeostatis, zat penginduksi tidur yang terakumulasi ketika seseorang dalam keadaan bangun dapat meningkatkan aktivitas neuron-neuron yang mendorong tidur sekaligus menurunkan aktivitas neuron-neuron yang menyebabkan seseorang untuk terjaga. (Lieberman III JA, Neubauer DN. Understanding insomnia: Diagnosis and management of a common sleep disorder. The Journal of Family Practice 2007; 56: 35a-50a.) Irama sirkadian bekerja dalam siklus sekitar 24 jam. Pada dasarnya irama sirkadian tidak bergantung pada keadaan bangun atau tidur, dan menentukan waktu onset tidur dengan mengubah ambang kebutuhan tidur yang akan menginduksi tidur. Suprachiasmatic nucleus (SCN) berfungsi sebagai pusat pengaturan waktu di otak dengan pengaktifan beberapa neuron dalam siklus 24 jam. Oleh karena itu, baik sistem homeostatis maupun irama sirkadian ikut berkontribusi dalam mengontrol siklus tidur-bangun. (Lieberman III JA, Neubauer DN. Understanding insomnia: Diagnosis and management of a common sleep disorder. The Journal of Family Practice 2007; 56: 35a-50a.)

12

D. Insomnia 1. Definisi Insomnia adalah


gangguan

yang dapat

didefinisikan

sebagai

kesulitan untuk memulai

tidur, mempertahankan tidur, atau tidur non-restoratif, hari.

yang disertai gangguan fungsi fisiologis di siang

Gangguan

insomnia

dinilai

sebagai persepsi subjektif kesulitan inisiasi tidur, durasi,

konsolidasi,

atau kualitas yang terjadi meskipun peluang cukup untuk tidur,

dan

yang mengakibatkan

beberapa bentuk gangguan siang hari (Scott

GW, Scott HM, OKeeffe KM et al. Insomnia-

treatment pathways, costs and quality of life. Cost Effectiveness and Resource Allocation 2011; 9: 1-10.
Schutte Rodin S, Broch L, Buysse D et al.

Clinical guideline for

the evaluation and management of chronic insomnia in adults. Journal of Clinical Sleep Medicine 2008; 4: 487-504.). Insomnia merupakan keluhan tidur yang paling lazim di populasi umum. Hal ini dapat digambarkan sebagai ketidakmampuan untuk mendapatkan tidur dengan periode yang cukup lama untuk memberikan perasaan beristirahat atau keadaan segar keesokan harinya. Meskipun insomnia mungkin terjadi secara alami, ada bukti bahwa insomnia yang tidak diobati adalah faktor risiko untuk berkembang menjadi masalah kejiwaan, seperti depresi atau penyalahgunaan zat (Kumar MV. Sleep and sleep disorders. The Indian Journal of Chest Diseases & Allied Sciences 2008; 50: 129-136.). 2. Faktor-faktor Penyebab Insomnia mungkin terjadi sebagai insomnia primer atau insomnia komorbid terhadap kondisi medis atau psikologis, penyalahgunaan zat, atau gangguan tidur

13 lainnya. Akibat dari insomnia yang tidak diobati belum dipahami secara pasti, tetapi diketahui bahwa insomnia berhubungan dengan beberapa gangguan kesehatan seperti kesehatan fisik yang buruk, kesehatan mental yang buruk termasuk gejala kecemasan dan depresi, dan penurunan kualitas hidup (Scott GW, Scott HM, OKeeffe KM et al. Insomnia-treatment pathways, costs and quality of life. Cost Effectiveness and Resource Allocation 2011; 9: 1-10.). Kesulitan tidur ini juga dapat disebabkan oleh faktor eksogen, seperti suasana ribut, lingkungan asing, nyeri dan gangguan pencernaan. Pada beberapa kasus, penyulit ini muncul mendadak dan teratasi setelah penyebab dihilangkan. Keluhan insomnia juga dapat terjadi dalam hubungan dengan gangguan tidur lain, seperti gangguan napas saat tidur, gangguan ritme sirkadian tidur, dan gangguan tidur akibat gangguan gerak (Schutte Rodin S, Broch L, Buysse D et al. Clinical guideline for the evaluation and management of chronic insomnia in adults. Journal of Clinical Sleep Medicine 2008; 4: 487-504.). 3. Kriteria Diagnostik Berikut merupakan kriteria diagnostik insomnia menurut ICSD-2 (Schutte Rodin S, Broch L, Buysse D et al. Clinical guideline for the evaluation and management of chronic insomnia in adults. Journal of Clinical Sleep Medicine 2008; 4: 487-504.). a. Adanya keluhan kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan dalam memperbaiki kualitas tidur, bangun terlalu pagi, tidur non-restoratif kronis atau kualitas tidur yang buruk.

14 b. Kesulitan tidur di atas muncul

walaupun dengan kesempatan dan dalam keadaan untuk tidur. c. Sedikitnya satu di antara bentuk gangguan terkait kesulitan tidur pada malam hari berikut dikeluhkan oleh pasien: 1. Badan lemah atau malaise; 2. Gangguan perhatian, konsentrasi atau memori; 3. Disfungsi sosial atau kemampuan bekerja atau belajar yang buruk; 4. Gangguan suasana hati atau medah tersinggung; 5. Kantuk di siang hari; 6. Penurunan motivasi, energi atau inisiatif; 7. Rawan dengan kesalahan atau kecelakaan saat bekerja atau mengemudi; 8. Tegang, sakit kepala atau keluhan gastrointestinal sebagai respon kekurangan tidur; dan 9. Gelisah atau mengkhawatirkan tentang tidurnya. E. Korelasi Perilaku Merokok dan Insomnia Ketika seseorang menghirup asap dari rokok, nikotin terdistilasi dari tembakau dan terbawa sebagai partikel asap ke dalam paru-paru, di mana zat ini diabsorbsi dengan cepat ke dalam sirkulasi vena pulmoner. Kemudian zat ini memasuki sirkulasi arterial dan dengan cepat mencapai otak. Nikotin berdifusi dengan mudah ke dalam jaringan otak, di mana zat ini berikatan dengan nicotinic acetylcholine receptors (nAChRs), sebuah gerbang ligan kanal ion. Ketika agonis kolinergik berikatan pada sisi luar kanal, kanal terbuka, menyebabkan masuknya

15 kation, yaitu natrium dan kalsium. Kation-kation ini mengaktivasi kanal kalsium, menyebabkan ion kalsium masuk lebih banyak. (Benowitz NL. Neurobiology of nicotine addiction: implications for smoking cessation treatment. The American Journal of Medicine 2008; 121: S3S10.). Diyakini bahwa sebagian besar pelepasan neurotransmiter terjadi melalui modulasi oleh nAChRs presinaptik, meskipun pelepasan langsung neurotransmiter juga terjadi. Pelepasan dopamin difasilitasi oleh pelepasan glutamat yang diperantarai oleh augmentasi nikotin, dengan menghambat penghambatan pelepasan GABA. Selain stimulasi pelepasan neurotransmiter secara langsung maupun tidak langsung, kebiasaan merokok yang sudah berlangsung lama mengurangi aktivitas monoamin oksidase A dan B otak, yang akan menyebabkan peningkatan tingkat neurotransmiter monoaminergik seperti dopamin dan norepinefrin di sinapsis, sehingga menambah efek dari nikotin dan berkontribusi terhadap timbulnya kecanduan (Benowitz NL. Neurobiology of nicotine addiction: implications for smoking cessation treatment. The American Journal of Medicine 2008; 121: S3S10.). Serotonin dan noradrenalin diketahui berperan dalam kontrol tidur. Serotonin ditemukan dalam nukleus raphe pada daerah retikular, ketika aktivasi nukleus raphe akan menghasilkan rangsangan, dan penghambatan oleh sintesis 5-HT akan mengurangi rangsangan ini. Ketika rangsangan maka nukleus raphe aktif, sedangkan ketika seseorang dalam tidur fase REM maka nukleus ini akan diam (Albery IP, Chandler C, Field A et al. Complete psychology. 2nd ed. London: Hodder Education, 2008.).

16 Saraf noradrenergik lokus coeruleus menunjukkan peningkatan aktivitas ketika seseorang terjaga dan turun ketika tidur. Pelepasan noradrenalin berhubungan dengan perubahan dari keadaan tidur menjadi terjaga. Sehingga apabila aktivitas saraf dan pelepasan neurotransmiter ini dipertahankan selama efek nikotin, maka ada kecenderungan seseorang untuk mengalami insomnia (Albery IP, Chandler C, Field A et al. Complete psychology. 2nd ed. London: Hodder Education, 2008.).

Anda mungkin juga menyukai