Anda di halaman 1dari 22

Dampak Pengunaan Narkoba terhadap Sistem Saraf Manusia

Pengertian Narkoba Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seseorang seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta prilaku seseorang jika masuk kedalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, disuntik, intravena dan lain-lain sebagainya. Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun, kini narkoba mengalami pergeseran arti dan umumnya mengacu pada pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.

Jenis-Jenis Narkoba Berdasarkan bahannya, narkoba digolongkan atas: a) Narko Golongan 1, (Alam) terdiri dari : a. Tanaman Papaver Somniferum L.Kokainkokaina Heroin b. Morphine (Putaw) c. Ganja b) Narko Golongan 2 (Semi sintetis) : Alfasetilmetadol, Benzetidin,Betametadol c) Narko Golongan 3 (Sisntetis) : Asetildihidrokodenia. Sedangkan, berdasarkan efek yang ditimbulkan, narkoba dibedakan atas: A. OPIOID (OPIAD)

Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium. Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone (Dilaudid).

Bahan-bahan opioida yang sering disalahgunakan adalah : a. Candu

Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap (menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai "Lates". Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak,burung elang, bola dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Pemakaiannya dengan cara dihisap. b. Morfin

Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus

berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.

c. Heroin ( putaw )

Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir-akhir ini. Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik. d. Codein

Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. e. Demerol

Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna.

f. Methadon

Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik (opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (Dolphine), pentazocine (Talwin), dan propocyphene (Darvon). Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas obat tersebut adalah nalaxone (Narcan), naltrxone (Trexan), nalorphine, levalorphane, dan apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine, butorphanol (Stadol), dan buprenorphine (Buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid. Nama popoler jenis opioid : putauw, etep, PT, putih. Efek yang ditimbulkan : Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis. Gejala Intoksikasi ( keracunan ) Opioid : Kontraksi pupil ( atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat ) dan satu ( atau lebih ) tanda berikut, yang berkembang selama , atau segera setelah pemakaian opioid, yaitu mengantuk atau koma bicara cadel ,gangguan atensi atau daya ingat.

Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya: euforia awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor, gangguan pertimbangaan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan ) yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid. Gejala Putus Obat : Gejala putus obat dimulai dalam enam sampai delapan jam setelah dosis terakhir. Biasanya setelah suatu periode satu sampai dua minggu pemakaian kontinu atau pemberian antagonis narkotik. Sindroma putus obat mencapai puncak intensitasnya selama hari kedua atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10 hari setelahnya. Tetapi beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan atau lebih lama. Gejala putus obat dari ketergantungan opioid adalah : Kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi takikardia disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia. Seseorang dengan ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid, kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit jantung. Gejala residual seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan kecanduan opiat mungkin menetap selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap waktu selama sindroma abstinensi, suatu suntikan tunggal morfin atau heroin menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah kegelisahan, iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah. B. KOKAIN Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan.

Saat ini Kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal, khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksifnya juga membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik, bersama dengan morfin dan heroin karena efek adiktif dan efek merugikannya telah dikenali. Nama lain untuk Kokain : Snow, coke, girl, lady dan crack ( kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih kuat ). Efek yang ditimbulkan : Kokain digunakan karena secara karakteristik menyebabkan elasi, euforia, peningkatan harga diri dan perasan perbaikan pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif. Gejala Intoksikasi Kokain : Pada penggunaan Kokain dosis tinggi gejala intoksikasi dapat terjadi, seperti agitasi iritabilitas gangguan dalam pertimbangan perilaku seksual yang impulsif dan kemungkinan berbahaya agresi peningkatan aktivitas psikomotor Takikardia Hipertensi Midriasis . Gejala Putus Zat : Setelah menghentikan pemakaian Kokain atau setelah intoksikasi akut terjadi depresi pascaintoksikasi ( crash ) yang ditandai dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan, hipersomnolensi, kadang-kadang agitasi. Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala putus Kokain menghilang dalam 18 jam. Pada pemakaian berat, gejala putus Kokain bisa berlangsung sampai satu minggu, dan mencapai puncaknya pada dua sampai empat hari. Gejala putus Kokain juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang mengalami putus Kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif, hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam ( Valium ). C. KANABIS (GANJA)

Kanabis adalah nama singkat untuk tanaman Cannabis sativa. Semua bagian dari tanaman mengandung kanabioid psikoaktif. Tanaman kanabis biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong kecil - kecil dan digulung menjadi rokok disebut joints.

Bentuk yang paling poten berasal dari tanaman yang berbunga atau dari eksudat resin yang dikeringkan dan berwarna coklat-hitam yang berasal dari daun yang disebut hashish atau hash. Nama populer untuk Kanabis : Nama yang umum untuk Kanabis adalah, marijuana, grass, pot, weed, tea, Mary Jane. Nama lain untuk menggambarkan tipe Kanabis dalam berbagai kekuatan adalah hemp, chasra, bhang, dagga, dinsemilla, ganja, cimenk. Efek yang ditimbulkan : Efek euforia dari kanabis telah dikenali. Efek medis yang potensial adalah sebagai analgesik, antikonvulsan dan hipnotik. Belakangan ini juga telah berhasil digunakan untuk mengobati mual sekunder yang disebabkan terapi kanker dan untuk menstimulasi nafsu makan pada pasien dengan sindroma imunodefisiensi sindrom (AIDS). Kanabis juga digunakan untuk pengobatan glaukoma. Kanabis mempunyai efek aditif dengan efek alkohol, yang seringkali digunakan dalam kombinasi dengan Kanabis. D. PSIKOTROPIKA Adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetris, bukan narkotika, yang bersifat atau berkhasiat psiko aktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabjan perubahankahas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian. Sebagaimana Narkotika, Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu Psikotropika gol. I, Psikotropika gol. II, Psyko Gol. III dan Psikotropik Gol IV. Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan adalah psikotropika Gol I, diantaranya yang dikenal dengan Ecstasi dan psikotropik Gol II yang dikenal dengan nama Shabu-shabu.

a. Ecstasy

Rumus kimia XTC adalah 3-4-Methylene-Dioxy-Methil-Amphetamine (MDMA). Senyawa ini ditemukan dan mulai dibuat di penghujung akhir abad lalu. Pada kurun waktu tahun 1950-an, industri militer Amerika Serikat mengalami kegagalan didalam percobaan penggunaan MDMA sebagai serum kebenaran. Setelah periode itu, MDMA dipakai oleh para dokter ahli jiwa. XTC mulai bereaksi setelah 20 sampai 60 menit diminum. Efeknya berlangsung maksimum 1 jam. Seluruh tubuh akan terasa melayang. Kadang-kadang lengan, kaki dan rahang terasa kaku, serta mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik". Dalam keadaan seperti ini, kita merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan. b. Shabu-Shabu

Shabu-shabu berbentuk kristal, biasanya berwarna putih, dan dikonsumsi dengan cara membakarnya di atas aluminium foil sehingga mengalir dari ujung satu ke arah ujung yang lain. Kemudian asap yang ditimbulkannya dihirup dengan sebuah Bong (sejenis pipa yang didalamnya berisi air). Air Bong tersebut berfungsi sebagai filter karena asap tersaring pada waktu melewati air tersebut. Ada sebagian pemakai yang memilih membakar Sabu dengan pipa kaca karena takut efek jangka panjang yang mungkin ditimbulkan aluminium foil yang terhirup. Sabu sering dikeluhkan sebagai penyebab paranoid (rasa takut yang berlebihan), menjadi sangat sensitif (mudah tersinggung), terlebih bagi mereka yang sering tidak berpikir positif, dan halusinasi visual. Masingmasing pemakai mengalami efek tersebut dalam kadar yang berbeda.

Selain itu, pengguna Sabu sering mempunyai kecenderungan untuk memakai dalam jumlah banyak dalam satu sesi dan sukar berhenti kecuali jika Sabu yang dimilikinya habis. Hal itu juga merupakan suatu tindakan bodoh dan sia-sia mengingat efek yang diinginkan tidak lagi bertambah (The Law Of Diminishing Return). Beberapa pemakai mengatakan Sabu tidak mempengaruhi nafsu makan. Namun sebagian besar mengatakan nafsu makan berkurang jika sedang mengkonsumsi Sabu. Bahkan banyak yang mengatakan berat badannya berkurang drastis selama memakai Sabu.

Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat manusia, Psikotropika dapat dikelompokkan menjadi : a. Depresant yaitu yang bekerja mengendorkan atau mengurangi aktifitas susunan saraf pusat (Psikotropika Gol 4), contohnya antara lain : Sedatin/Pil BK, Rohypnol, Magadon, Valium, Mandrak (MX).

b. Stimulant yaitu yang bekerja mengaktif kerja susan saraf pusat, contohnya amphetamine, MDMA, N-etil MDA & MMDA. Ketiganya ini terdapat dalam kandungan Ecstasi. c. Hallusinogen yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan halusinasi atau khayalan contohnya licercik acid dhietilamide (LSD), psylocibine, micraline. Disamping itu Psikotropika dipergunakan karena sulitnya mencari Narkotika dan mahal harganya. Penggunaan Psikotropika biasanya dicampur dengan alkohol atau minuman lain seperti air mineral, sehingga menimbulkan efek yang sama dengan Narkotika.

PENGARUH NARKOBA TERHADAP SISTEM SARAF


Penggunaan obat-obatan ini memiliki pengaruh terhadap kerja sistem saraf, misalnya hilangnya koordinasi tubuh, karena di dalam tubuh pemakai, kekurangan dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang terdapat di otak dan berperan penting dalam merambatkan impuls saraf ke sel saraf lainnya. Hal ini menyebabkan dopamin tidak dihasilkan. Apabila impuls saraf sampai pada bongkol sinapsis, maka gelembung-gelembung sinapsis akan mendekati membran presinapsis.

Namun karena dopamin tidak dihasilkan, neurotransmitte tidak dapat melepaskan isinya ke celah sinapsis sehingga impuls saraf yang dibawa tidak dapat menyebrang ke membran post sinapsis. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya depolarisasi pada membran post sinapsis dan tidak terjadi potensial kerja karena impuls saraf tidak bisa merambat ke sel saraf berikutnya. Efek lain dari penggunaan obat-obatan terlarang adalah hilangnya kendali otot gerak, kesadaran, denyut jantung melemah, hilangnya nafsu makan, terjadi kerusakan hati dan lambung, kerusakan alat respirasi, gemetar terus-menerus, terjadi kram perut dan bahkan mengakibatkan kematian. Untuk menyembuhkan para pencandu diperlukan terapi yang tepat dengan mengurangi konsumsi obat-obatan sedikit demi sedikit di bawah pengawasan dokter dan diperlukan dukungan moral dari keluarga serta lingkungannya yang diiringi oleh tekad si pemakai untuk segera sembuh. Patofisiologi Para peneliti telah melakukan penyelidikan banyak menggunakan model hewan dan pencitraan otak fungsional pada manusia dalam rangka untuk menentukan mekanisme yang mendasari kecanduan narkoba di otak. Topik menarik ini menggabungkan beberapa wilayah otak dan perubahan sinaptik, atau neuroplastisitas, yang terjadi di daerah-daerah tersebut. Efek akut Penggunaan akut dari sebagian besar obat psikoaktif menyebabkan pengeluaran dopamine dan serotonin dalam Reward Circuit. Berbagai jenis obat menghasilkan efek ini dengan metode yang berbeda. Dopamin (DA) muncul ke pelabuhan pengaruh terbesar dan tindakan yang ditandai. DA mengikat ke reseptor D1, memicu kaskade sinyal dalam sel. cAMP-dependent protein kinase (PKA) phosphorylates respon cAMP elemen protein mengikat (CREB), suatu faktor transkripsi, yang menginduksi transkripsi gen tertentu termasuk C-Fos. Reward Circuit

Ketika memeriksa dasar biologis dari kecanduan obat, yang pertama harus memahami jalur di mana obat bertindak dan bagaimana narkoba dapat mengubah jalur tersebut. Reward Circuit, juga disebut sebagai sistem mesolimbic, dicirikan oleh interaksi beberapa area otak. Daerah tegmental ventral (VTA) terdiri dari neuron dopaminergik yang menanggapi glutamat. Sel-sel ini merespons ketika rangsangan indikasi hadiah hadir. VTA mendukung pembelajaran dan pengembangan sensitisasi dan mengeluarkan dopamin (DA) ke otak depan. Neuron ini juga memproyeksikan dan melepaskan DA ke accubens inti, melalui jalur mesolimbic.. Hampir semua obat yang menyebabkan kecanduan obat meningkatkan pelepasan dopamin di jalur mesolimbic, di samping efek khusus mereka. Accumbens Inti (NAC) terutama terdiri dari neuron proyeksi menengah berduri (MSNs), yang neuron GABA NACC ini terkait dengan mendapatkan dan memunculkan perilaku AC dan terlibat dalam sensitivitas meningkat menjadi obat sebagai kecanduan berlangsung. Korteks prefrontal, lebih khusus cingulate anterior dan korteks orbitofrontal adalah penting bagi integrasi informasi yang memberikan kontribusi untuk apakah perilaku akan diperoleh. Tampaknya menjadi daerah di mana motivasi berasal dan arti-penting stimuli ditentukan. Proyek-proyek amigdala basolateral ke NACC dan dianggap penting untuk motivasi juga. Lebih banyak bukti menunjuk ke arah peran hipokampus dalam kecanduan narkoba karena pentingnya dalam belajar dan memori. Banyak bukti ini berasal dari penyelidikan memanipulasi sel-sel di hippocampus mengubah tingkat dopamin di NACC dan tingkat pembakaran sel VTA dopaminergik. Peran dopamin Hampir semua obat adiktif, secara langsung atau tidak langsung, menyerang sistem imbalan otak dengan membanjiri sirkuit dengan dopamin. Sebagai orang yang terus overstimulate di "sirkuit hadiah", menyesuaikan otak ke besar lonjakan dopamin

dengan memproduksi kurang dari hormon atau dengan mengurangi jumlah reseptor di sirkuit pahala. Akibatnya, dampak kimia di sirkuit pahala berkurang, mengurangi kemampuan pelaku untuk menikmati hal-hal yang sebelumnya membawa kesenangan. Penurunan ini memaksa mereka kecanduan dopamin untuk meningkatkan konsumsi obat dalam rangka upaya untuk membawa hormon "merasa-baik" mereka ke tingkat normal - efek yang dikenal sebagai toleransi. Pengembangan toleransi dopamin akhirnya dapat mengakibatkan perubahan mendasar dalam neuron dan sirkuit otak, dengan potensi untuk sangat membahayakan kesehatan jangka panjang dari otak. Antipsikotik modern dirancang untuk memblokir fungsi dopamin. Sayangnya, pemblokiran ini juga bisa menyebabkan kambuh dalam depresi, dan dapat meningkatkan perilaku adiktif. Respon Stress Selain rangkaian pahala, ada hipotesis bahwa mekanisme stres juga memainkan peran dalam kecanduan. Koob dan Kreek memiliki hipotesis bahwa selama penggunaan narkoba, faktor kortikotropin-releasing (PKR) mengaktifkan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dan sistem stres lainnya dalam amigdala diperpanjang. Aktivasi ini mempengaruhi keadaan emosi dysregulated berkaitan dengan kecanduan narkoba. Mereka telah menemukan bahwa penggunaan narkoba meningkat, demikian juga kehadiran CRF dalam cairan cerebrospinal manusia (CSF). Pada model tikus, penggunaan terpisah antagonis CRF dan antagonis reseptor CRF baik menurun diri pemberian obat studi. Penelitian lain dalam tinjauan ini menunjukkan disregulasi hormon lain yang terkait dengan sumbu HPA, termasuk enkephalin yang merupakan peptida opioid endogen yang mengatur rasa sakit. Hal ini juga muncul bahwa sistem reseptor -opioid, yang enkephalin bertindak atas, adalah berpengaruh dalam sistem reward dan dapat mengatur ekspresi hormon stres. Perilaku Memahami bagaimana perilaku kerja di sirkuit pahala dapat membantu memahami tindakan obat adiktif. Kecanduan narkoba ditandai dengan perilaku mencari obat pecandu secara terus-menerus haus, meski sudah mengetahui konsekuensinya. Obat Addictive menghasilkan pahala, yang adalah perasaan gembira

yang dihasilkan dari konsentrasi dopamin berkelanjutan di celah sinaptik neuron di otak. Instrumental AC dipamerkan pada pecandu narkoba serta tikus laboratorium, tikus, dan primata, mereka dapat mengasosiasikan suatu tindakan atau perilaku, dalam hal ini mencari obat, dengan hadiah, yang merupakan efek dari obat. Bukti menunjukkan bahwa perilaku ini kemungkinan besar akibat dari perubahan sinaps yang telah terjadi akibat paparan obat berulang. Perilaku pencarian obat ini disebabkan oleh proyeksi glutamatergic dari korteks prefrontal ke NAC. Ide ini didukung dengan data dari percobaan menunjukkan perilaku mencari obat dapat dicegah mengikuti penghambatan reseptor glutamat AMPA dan melepaskan glutamat dalam NAC. Allostasis Allostasis adalah proses mencapai stabilitas melalui perubahan perilaku serta fitur fisiologis. Sebagai orang yang berkembang menjadi ketergantungan obat, ia memasuki keadaan allostatic baru, yang didefinisikan sebagai perbedaan dari tingkat normal perubahan yang bertahan dalam keadaan kronis. Kecanduan obat-obatan dapat menyebabkan kerusakan otak dan tubuh sebagai suatu organisme memasuki keadaan patologis, biaya berasal dari kerusakan dikenal sebagai beban allostatic. Disregulasi dari allostasis secara bertahap terjadi sebagai imbalan dari obat berkurang dan kemampuan untuk mengatasi keadaan tertekan berikut menggunakan narkoba mulai menurun juga. Beban allostatic dihasilkan menciptakan keadaan konstan depresi relatif terhadap perubahan allostatic normal. Apa yang mendorong penurunan ini adalah kecenderungan pengguna obat untuk mengambil obat sebelum otak dan tubuh telah kembali ke tingkat allostatic asli, menghasilkan keadaan konstan stres. Oleh karena itu, kehadiran stres lingkungan dapat menyebabkan perilaku mencari obat kuat. Neuroplastisitas Neuroplastisitas adalah mekanisme putatif balik belajar dan memori. Hal ini melibatkan perubahan fisik dalam sinaps antara dua neuron berkomunikasi, ditandai dengan peningkatan ekspresi gen, sel diubah sinyal, dan pembentukan sinapsis baru antara neuron berkomunikasi. Ketika obat adiktif yang hadir dalam sistem, mereka

muncul untuk membajak mekanisme ini dalam sistem penghargaan sehingga motivasi diarahkan untuk pengadaan obat, dan bukan manfaat alami. Tergantung pada sejarah penggunaan narkoba, sinapsis rangsang dalam nucleus accumbens (NAC) mengalami dua jenis neuroplastisitas: potensiasi jangka panjang (LTP) dan depresi jangka panjang (LTD). Dengan menggunakan tikus sebagai model, Kourrich et al. menunjukkan bahwa paparan kronis kokain meningkatkan kekuatan sinapsis dalam NAC setelah periode penarikan 10-14 hari, sementara Synapses tampaknya tidak diperkuat dalam waktu penarikan 24 jam setelah paparan kokain berulang. Dosis tunggal kokain tidak menimbulkan apapun atribut dari sinaps diperkuat. Ketika tikus obat-berpengalaman ditantang dengan satu dosis kokain, depresi synaptic terjadi. Oleh karena itu, tampaknya sejarah paparan kokain bersama dengan kali penarikan mempengaruhi arah plastisitas glutamatergic di NAC. Setelah seseorang telah beralih dari penggunaan obat untuk kecanduan, perilaku menjadi benar-benar diarahkan mencari obat, meskipun pecandu laporan euforia ini tidak intens seperti dulu. Meskipun tindakan yang berbeda selama penggunaan obat akut, jalur akhir dari kecanduan adalah sama. Aspek lain dari kecanduan narkoba merupakan respon menurun menjadi rangsangan biologis normal, seperti makanan, seks, dan interaksi sosial. Melalui pencitraan otak fungsional pasien kecanduan kokain, para ilmuwan telah mampu memvisualisasikan aktivitas metabolisme meningkat pada cingulate anterior dan korteks orbitofrontal (daerah korteks prefrontal) di otak subjek tersebut. Hiperaktifitas daerah ini dari otak pada subyek kecanduan terlibat dalam motivasi lebih intens untuk menemukan obat daripada mencari manfaat alami, serta kemampuan pecandu menurun untuk mengatasi dorongan ini. Brain imaging juga telah menunjukkan kecanduan kokain-subyek mengalami penurunan aktivitas, dibandingkan non-pecandu, di korteks prefrontal mereka ketika disajikan dengan rangsangan yang berhubungan dengan penghargaan alam. Transisi dari penggunaan narkoba dapat kecanduan terjadi secara bertahap bertahap dan diproduksi oleh pengaruh obat pilihan pada neuroplastisitas dari neuron yang ditemukan di sirkuit pahala. Selama peristiwa sebelum kecanduan, ketagihan diproduksi oleh pelepasan dopamin (DA) di korteks prefrontal. Sebagai orang transisi

dari penggunaan obat untuk kecanduan, pelepasan DA di NAC menjadi tidak perlu untuk menghasilkan nafsu, melainkan, penurunan transmisi DA sementara aktivitas metabolisme meningkat pada korteks orbitofrontal berkontribusi mengidam. Pada saat ini seseorang mungkin mengalami tanda-tanda depresi jika kokain tidak digunakan. Sebelum seseorang menjadi kecanduan dan pameran obat-perilaku mencari, ada periode waktu di mana neuroplastisitas adalah reversible. Kecanduan terjadi ketika perilaku mencari obat muncul dan kerentanan untuk kambuh tetap ada, meskipun penarikan berkepanjangan; atribut-atribut ini perilaku adalah hasil dari perubahan neuroplastic yang dibawa oleh paparan berulang untuk obat dan relatif permanen. Mekanisme pasti dibalik efek molekul obat di plastisitas sinaps masih belum jelas. Namun, dalam proyeksi glutamatergic neuroplastisitas tampaknya merupakan hasil utama dari paparan obat berulang. Jenis keliatan hasilnya sinaptik dalam LTP, yang memperkuat hubungan antara dua neuron; awal ini terjadi dengan cepat dan hasilnya adalah konstan. Selain glutamatergic neuron, neuron dopaminergik hadir dalam merespon VTA glutamat dan dapat direkrut awal selama adaptasi syaraf yang disebabkan oleh paparan obat berulang. Seperti yang ditunjukkan oleh Kourrich, et al., Riwayat paparan obat dan waktu penarikan dari paparan terakhir tampaknya memainkan peran penting dalam arah plastisitas di neuron sistem imbalan. Sebuah aspek pembangunan neuron yang mungkin juga berperan dalam obatneuroplastisitas induksi keberadaan molekul-molekul bimbingan akson seperti semaphorins dan ephrins. Setelah pengobatan kokain diulang, ekspresi diubah (kenaikan atau penurunan tergantung pada jenis molekul) dari molekul mRNA coding untuk panduan akson terjadi pada tikus. Hal ini dapat memberikan kontribusi pada perubahan dalam karakteristik sirkuit pahala kecanduan narkoba.

Neurogenesis Kecanduan obat juga menimbulkan masalah potensi dampak buruk pada perkembangan neuron baru pada orang dewasa. Harburg Eisch dan meningkatkan tiga

konsep baru yang mereka telah diekstrapolasi dari studi baru-baru ini banyak pada kecanduan narkoba. Pertama, neurogenesis menurun sebagai akibat dari paparan berulang terhadap obat adiktif. Daftar studi menunjukkan bahwa penggunaan opiat kronis, psikostimulan, nikotin, dan alkohol neurogenesis penurunan pada tikus dan tikus. Kedua, penurunan ini jelas dalam neurogenesis tampaknya tidak tergantung pada aktivasi HPA axis. faktor lingkungan lainnya selain paparan obat seperti usia, stres dan olahraga, juga dapat memiliki efek pada neurogenesis dengan mengatur (HPA) hipotalamus-hipofisis-adrenal axis. Mount bukti menunjukkan ini untuk 3 alasan: dosis kecil opiat dan psikostimulan meningkatkan konsentrasi coricosterone dalam serum tetapi tanpa efek neurogenesis, walaupun neurogenesis menurun mirip antara self-administered dan dipaksa asupan obat, aktivasi HPA axis lebih besar dalam diriadministrasi subyek, dan bahkan setelah penghambatan meningkat akibat candu corticosterone, penurunan neurogenesis terjadi. Ini, tentu saja, perlu diteliti lebih lanjut. Terakhir, obat-obatan adiktif tampaknya hanya mempengaruhi proliferasi dalam zona subgranular (SGZ), daripada daerah lain yang terkait dengan neurogenesis. Penelitian penggunaan narkoba dan neurogenesis mungkin memiliki implikasi pada biologi sel induk. Toleransi Obat Psikologis Sistem reward ikut bertanggung jawab untuk bagian psikologis toleransi obat. Protein CREB, suatu faktor transkripsi diaktifkan oleh adenosin monofosfat siklik (cAMP) segera setelah tinggi, memicu gen yang memproduksi protein seperti dinorfin, yang memotong pelepasan dopamin dan sementara menghambat sirkuit imbalan. Pada pengguna narkoba kronis, aktivasi berkelanjutan CREB sehingga memaksa dosis yang lebih besar yang harus diambil untuk mencapai efek yang sama. Selain itu meninggalkan pengguna umumnya merasa tertekan dan tidak puas, dan tidak dapat menemukan kesenangan dalam kegiatan sebelumnya menyenangkan, sering mengarah ke kembali ke obat untuk "memperbaiki" tambahan. Mekanisme serupa, campur juga dengan sistem dopamin, namun mengandalkan pada faktor transkripsi yang berbeda, CEBPB, juga telah diusulkan. Dalam rilis ini

dopamin kasus ke inti accumbens neuron akan memicu sintesis peningkatan substansi P yang, pada gilirannya, akan meningkatkan sintesis dopamin di VTA. Pengaruh umpan balik positif ini dianggap tertutupi oleh penyalahgunaan zat yang berulangulang. Sensitasi Sensitisasi adalah peningkatan kepekaan terhadap suatu obat setelah penggunaan jangka panjang. Delta protein FosB dan pengatur G-protein Signaling 9-2 (RGS9-2) diperkirakan terlibat: Faktor transkripsi, yang dikenal sebagai FosB delta, diperkirakan untuk mengaktifkan gen yang berlawanan dengan efek dari CREB, sebenarnya meningkatkan sensitivitas pengguna terhadap pengaruh zat tersebut. Delta FosB perlahan membangun dengan setiap paparan obat dan tetap diaktifkan selama berminggu-minggu setelah pajanan terakhir-lama setelah efek dari CREB telah pudar. Hipersensitivitas yang menyebabkan dianggap bertanggung jawab atas mengidam intens terkait dengan kecanduan narkoba, dan sering diperluas untuk bahkan isyarat perangkat penggunaan narkoba, seperti perilaku yang berkaitan atau melihat perlengkapan obat. Ada beberapa bukti bahwa delta FosB bahkan menyebabkan perubahan struktural dalam accumbens inti, yang mungkin membantu untuk mengabadikan ngidam, dan mungkin bertanggung jawab atas insiden tinggi relaps yang terjadi pada pecandu narkoba yang dirawat. Pengatur G-protein Signaling 9-2 (RGS9-2) baru-baru ini menjadi subyek penelitian KO beberapa hewan. Hewan kurang RGS9-2 tampaknya telah meningkat kepekaan terhadap agonis reseptor dopamin seperti kokain dan amphetamines; overekspresi RGS9-2 penyebab kurangnya respon terhadap agonis yang sama. RGS9-2 diyakini mengkatalisis inaktivasi protein-G digabungkan reseptor D2 dengan meningkatkan laju hidrolisis GTP dari subunit alfa G yang mengirimkan sinyal ke bagian dalam sel.

Individu mekanisme efek Mekanisme golongan obat. Depressants Depressants seperti alkohol, barbiturat, dan bekerja benzodiazepines dengan meningkatkan afinitas reseptor GABA untuk ligan tersebut; GABA. Narkotika seperti morfin dan bekerja heroin dengan meniru endorphins-bahan kimia yang diproduksi secara alami oleh tubuh yang memiliki efek mirip dengan dopamin-atau dengan menonaktifkan neuron yang biasanya menghambat pelepasan dopamin dalam sistem imbalan. Zat-zat (kadang-kadang disebut "Downers") biasanya memfasilitasi relaksasi dan pereda nyeri. Stimulan Stimulan seperti amfetamin, nikotin, dan kokain dopamin meningkatkan sinyal dalam sistem reward baik dengan langsung merangsang rilis, atau dengan menghalangi penyerapan. Zat-zat ini biasanya menyebabkan kewaspadaan tinggi dan energi. Mereka menimbulkan rasa menyenangkan dalam tubuh dan euforia, dikenal sebagai high. Setelah ini tinggi habis, pengguna dapat merasa tertekan. Hal ini membuat mereka ingin lagi dosis obat, dan dapat memperburuk kecanduan. dasar yang substansi yang berbeda mengaktifkan sistem

penghargaan adalah sebagai dijelaskan di atas, tetapi bervariasi sedikit di antara

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Pencegahan Masalah pencegahan narkoba adalah masalah yang kompleks yang pada umumnya disebabkan oleh tiga faktor yaitu: faktor individu, faktor lingkungan/sosial dan faktor ketersediaan, menunjukkan bahwa pencegahan penyalahgunaan narkoba yang efektif memerlukan pendekatan yang terpadu dan komprehensif. Pendekatan apa pun yang dilakukan tanpa mempertimbangkan ketiga faktor tersebut akan mubazir. Oleh karena itu peranan semua sektor terkait, termasuk para orang tua, para guru, tokoh-tokoh masyarakat dan agama, kelompok remaja, dan LSM-LSM di masyarakat, dalam pencegahan narkoba sangat penting. A. Peran Remaja - Pelatihan keterampilan - Kegiatan alternatif untuk mengisi waktu luang, seperti: kegiatan olah raga, kesenian, dll. B. Peran Orang Tua - Menciptakan rumah yang sehat, serasi, harmonis, cinta, kasih sayang dan komunikasi terbuka. - Mengasuh, mendidik anak yang baik. - Menjadi contoh yang baik. - Mengikuti jaringan orang tua. - Menyusun peraturan keluarga tentang Keluarga Bebas Narkoba. - Menjadi pengawas yang baik.

1 9

C. Peran Tokoh Masyarakat - Mengikutsertakan dalam pengawasan narkoba dan pelaksanaan Undang-Undang. - Mengadakan penyuluhan, kampanye pencegahan penyalahgunaan narkoba. - Merujuk korban narkoba ke tempat pengobatan. - Merencanakan, melaksanakan dan mengkoordinir program-program pencegahan penyalahgunaan narkoba.

Pengobatan Pengobatan Narkoba: 1. Pengobatan adiksi (detoks) 2. Pengobatan infeksi 3. Rehabilitasi 4. Pelatihan mandiri Pencegahan Narkoba: 1. Memperkuat keimanan 2. Memilih lingkungan pergaulan yang sehat 3. Komunikasi yang baik 4. Hindari pintu masuk narkoba yaitu rokok Pertolongan Pertama Pertolongan pertama penderita dimandikan dengan air hangat, minum banyak, makan makanan bergizi dalam jumlah sedikit dan sering dan dialihkan perhatiannya dari narkoba. Bila tidak berhasil perlu pertolongan dokter. Pengguna harus diyakinkan bahwa gejala-gejala sakaw mencapai puncak dalam 3-5 hari dan setelah 10 hari akan hilang. Empat Cara Alternatif Menurunkan Risiko atau "Harm Reduction" :

2 0

1. Menggunakan jarum suntik sekali pakai 2. Mensuci hamakan (sterilisasi) jarum suntik 3. Mengganti kebiasaan menyuntik dengan menghirup atau oral dengan tablet 4. Menghentikan sama sekali penggunaan narkoba Detoksifikasi Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau adiktif lain) dari tubuh dengan cara menghentikan total pemakaian semua zat adiktif yang dipakai atau dengan penurunan dosis obat pengganti. Detoksifikasi bisa dilakukan dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses detoksifikasi dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga minggu, hingga hasil tes urin menjadi negatif dari zat adiktif. Rehabilitasi Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif), tubuh secara fisik memang tidak ketagihan lagi, namun secara psikis ada rasa rindu dan kangen terhadap zat tersebut masih terus membuntuti alam pikiran dan perasaan sang pecandu. Sehingga sangat rentan dan sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan terjerumus lagi. Untuk itu setelah detoksifikasi perlu juga dilakukan proteksi lingkungan dan pergaulan yang bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan pecandu ke pusat rehabilitasi.

DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/Substance_dependence http://www.bnpjabar.or.id/index.php? option=com_content&view=article&id=350:pencegahan-narkoba-secaraterpadu&catid=71:artikel&Itemid=172 http://www.jombangkab.go.id/e-gov/Narkoba/apa2.htm
2 1

http://www.iapw.info/home/index.php? option=com_content&view=article&id=143:bahayanarkoba&catid=32:ragam&Itemid=45 http://blog.bukukita.com/users/warnet/?postId=5995 http://nusaindah.tripod.com/pengobatannarkoba.htm

2 2

Anda mungkin juga menyukai