Anda di halaman 1dari 21

Demam Berdarah Dengue

Steven Alexander G T 10-2010-288/E1

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2011 Jl.Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510 Ex_friendlie35@yahoo.co.id

1.1Latar Belakang
Seiring dengan berjalannya waktu, ilmu pengetahuan semakin tinggi. Begitu juga dengan pengetahuan dibidang kedokteran yang semakin hari ditemukan berbagai macam obat, penyakit, dan teknologi baru yang dapat membantu para dokter. Perkembangan ilmu

penyakit tropik dan infeksi merupakan salah satu ilmu yang selalu berkembang setiap saat yang mempunyai tujuan untuk mengurangi insiden-insiden yang disebabkan oleh penyakit ini.

1.2Tujuan
Makalah ini diharapkan dapat membantu pemahaman penulis dan pembaca dalam hal pengertian penyakit tropik khusunya Demam berdarah dengue, etiologi penyakit, penyimpangan-penyimpangan fisiologi dari tubuh kita, diagnosis penyakit, penatalaksanaan penyakit, dan juga hasil prognosis dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menangani

penyakit tropik yang selalu menjadi momok bagi penduduk tropis. Selain itu, makalah ini juga mengemukakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menegakan diagnosis penyakit tropik khususnya DBD.

2.1 Pemeriksaan
2.1.1 Anamnesis
Anamnesis merupakan waancara mendis yang merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien yuang profesional dan optimal.1 Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting: 1. Identitas pasien 2. Riwayat penyakit sekarang 3. Riwayat penyakit dahulu 4. Riwayat kesehatan keluarga 5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan, pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaiatan dengan masalah klinik maupun gangguang sistem organ tertentu. Keluhan utama adalah kuluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama biasanya diteluskan secara singkat berserta lamanya, seperti menuliskan judul berita utama surat kabar. Misalnya badan panas sejak 3 hari yang lalu.1

2.1.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11 Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.2

2.1.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan umum dan tanda-tanda vital : Adanya penurunan kesadaran, kejang dan kelemahan; suhu tinggi; nadi cepat,lemah,kecil sampai tidak teraba;tekanan darah menurun (sistolok menurun sampai 80 mmHg atau kurang).3 2. Body system : a. Pernapasan (B1 : Breathing)

Anamnesa : Pada derajat 1 dan 2 awal jarang terdapat gangguan pada sistem pernapasan kecuali bila pada derajat 3 dan 4 sering disertai keluhan sesak napas sehingga memerlukan pemasangan O2. Pemeriksaan fisik : Pada derajat 1 dan 2 kadang terdapat batuk dan pharingitis karena demam yang tinggi,suara napas tambahan (ronchi; wheezing), pada derajat 3 dan 4 napas dangkal dan cepat disertai penurunan kesadaran. b. Cardiovaskuler (B2 : Bleeding) Anamnesa: Pada derajat 1dan 2 keluhan memdadak demam tinggi 2 7 hari : badan

lemah,pusing,mual muntah,derajat 3 dan 4 orang tua/keluarga melaporkan pasien mengalami penurunan kesadaran gelisah dan kejang. Pemeriksaan fisik : Derajat 1 Uji torniquet positif,merupakan satu-satunya manifestasi perdarahan.

Derajat 2 ptekie,purpura,echymosis dan perdarahan konjungtiva Derajat 3 kulit dingin pada daerah akral,nadi cepat,hipotensi,sakit kepala ,menurunnya volome

plasma,meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah,trombositopenia dan diatesis hemoragic. Derajat 4 nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur. c. Persarafan (B3: Brain) Anamnesa: Pasien gelisah, cengeng dan rewel karena demam tinggi derajat 1dan 2 serta penurunan tingkat kesadaran pada derajat 3 dan 4. Pemeriksaan fisik : Pada derajat 2 konjungtiva mengalami perdarahan, sedang penurun-anTingkat kesadaran (composmentis, ke-apatis, ke-somnolent,kesopor kekoma )atau gelisah,GCS menurun,pupil miosis atau midriasis,reflek fisiologis atau patologis sering terjadi pada derajat 3 dan 4. d. Perkemihan Eliminasi Uri (B4: Bladder) Anamnesa: Derajat 3 dan 4 kencing sedikit bahkan tidak ada kencing. Pemeriksaan fisik : Produksi urin menurun(oliguria sampai anuria),warna berubah pakat dan berwana coklat tua pada derajat 3 dan 4.

e. Pencernaan Eliminasi Alvi (B5: Bowel) Anamnesa: Pada derajat 1 dan 2 mual dan muntah/tidak ada nafsu menelan,derajat 3 terdapat nyeri tekan pada ulu hati. Pemeriksaan fisik : Derajat 1 dan 2 Mukosa mulut kering,hiperemia tenggorokan, derajat 3 dan 4 terdapat pembesaran hati dan Nyeri tekan,sakitmenelan, pembesaran limfe,nyeri tekan epigastrik, hematemisis dan melena. f. Tulang otot integumen (B6: Bone) Anamnesa: Pasien mengeluh otot,persendian dan punggung,kepanas-an,wajah tampak merah pada derajat 1 dan 2,derajat 3 dan 4 terdapat kekakuan otot/kelemahan otot dan tulang akibat kejang atau tirah baring lama. Pemeriksaan fisik : Nyeri pada sendi, otot,punggung dan kepala;kulit terasa panas, wajah tampak merah dapat disertai tanda kesakitan,pegal seluruh tubuh derajat 1 dan 2 sedangkan derajat 3 dan 4 pasien mengalami parese atau kekakuan bahkan kelumpuhan.3 makan,haus,sakit

2.2 Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue (DHF) disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 . Envelope virus mengandung dua glikoprotein. Beberapa flavivirus ditularkan ke hewan vertebra melalui vektor nyamuk dan juga kutu., dan juga ada yang ditularkan melalui vektor kelelawar dan tikus.4 Genome RNA dari flavivirus adalah sense postive. Prekusor protein dihasilkan dari genome mRNA dalam replikasi virus dimana dipisahkan oleh protease virus dan host. Flavivirus bereplikasi di sitoplasma dan pembentukan kembali partikel-partikel terjadi di

interseluler. Proliferasi di dalam intraseluluer membran adalah salah satu karakteristik dari flavivirus.5 Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese enchepalitis, dan West Nile Virus.4 Vektor utama DHF adalah nyamuk kebun yang disebut Aedes aegypti, sedangkan vektor potensialnya adalah Aedes albopictus. Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan nyamuk rumah, mempunyai warna dasar hitam dengan bintikbintik putih terutama pada kakinya. Morfologinya khas yaitu mempunyai gambaran lita yang putih pada punggungnya. Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Aedes aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia. Aedes aegypti memiliki umur yang pendek yaitau kira-kira sepuluh hari, tetapi dalam waktu ini Aedes aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya antara 3-10 hari.6

2.3 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah tropis, dimana vektor nyamuk Aedes aegypti berkembang dengan pesat dan endemik. Wilayah tropis yang merupakan tempat terjadinya demam berdarah dengue adalah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989-1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Demam berdarah dengue merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak di negara tropis dan subtropis. Sekitar 95% kasus DBD terjadi pada anak usia <15 tahun dan 5% terjadi pada bayi. Epidemi pertama kali di wilayah Asia Tenggara terjadi pada tahun 1954 di Manila, Philipina. Selanjutnya secara berangsur-angsur menyebar ke negara yang berdekatan. Pada tahun 2005 jumlah kasus DBD di Asia Tenggara cenderung meningkat 19% dan mortalitas meningkat sekitar 43% dibandingkan tahun 2004 dan Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus DBD untuk wilayah Asia Tenggara. Demam berdarah dengue masuk wilayah Indonesia tahun 1968.

Kasus di Indonesia pertama kali di laporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2 %. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko terjangkit DBD karena virus penyebab dan vektornya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum. Laporan yang ada sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue sudah menjadi masalah yang endemis pada 122 daerah tingkat II, 605 daerah kecamatan dan 1800 desa/kelurahan di Indonesia. Morbiditas DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sebaliknya mortalitas cenderung menurun. Akhir tahun 60-an atau awal tahun 70-an sebesar 41,3% menjadi berkisar antara 35% pada saat ini. World Health Organization pada tahun 2004 merekomendasikan kepada negara endemis DBD agar dapat menurunkan Case Fatality Rate (CFR) menjadi kurang 1%. Demam berdarah dengue dapat terjadi pada semua usia kehidupan, di Asia Tenggara yang merupakan wilayah hiperendemis DBD seringkali terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun, di Indonesia penderita DBD terbanyak adalah anak usia 5-11 tahun. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Demam berdarah dengue juga dapat terjadi pada semua ras. Faktor yang berkaitan dengan kembalinya epidemi DBD antara lain pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pengolahan limbah dan persediaan air, distribusi vektor, kepadatan vektor dan transportasi. Risiko terkenanya DBD sekitar 0.2% pada saat pertama kali terinfeksi oleh virus dengue. Ratio kematian DBD dapat mencapai 15% tetapi dapat ditekan hingga kurang dari 1% dengan pengobatan yang baik. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus aedes (terutrama A. Aegypti dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina, yaitu bejana yang berisi air jenih.5,6 Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu; 1. Vektor, perkembangbiakan vektor, kebiasaan mengigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain. 2. Pejamu (host), terdapatnya penderita di lingkungan/ keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin. 3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

2.4 Patofisiologi

Terdapat dua perubahan patofisiologi utama yang terjadi yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler dan hemostasis yang abnormal. Permeabilitas vaskuler yang meningkat mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemi dan syok. Kebocoran plasma dapat menyebabkan asites. Gangguan homeostasis dapat menimbulkan vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, sehingga memunculkan manifestasi perdarahan seperti petekie, ekimosis, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis dan melena. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons limfosit T memori akan mengakibatkan proliferasi dan diferensiasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi dapat juga terjadi dalam plasmosit. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigenantibodi yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma keluar. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan hematokrit dan penurunan natrium. Akibat pindahnya plasma ke rongga tubuh seperti pleura dan cavum abdominal dapat menimbulkan efusi pleura dan asites. Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian. Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah, Akhirnya dapat mengakibatkan perdarahan. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan penglepasan platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulasi intravaskular diseminata (KID), sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrin degradation product). Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman akibatnya terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor

pembekuan, kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal inimenunjukkan terjadinya stimulasi trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosti terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktifasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik( tissue factor pathway). Jalur intrinsic juga berperan melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).4

2.5 Working Diagnosis


Demam Dengue Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinik sebagai berikut :4,7 a. Nyeri Kepala b. Nyeri retro-orbital c. Mialgia / artralgia ( nyeri pada sendi ) d. Ruam kulit e. Manifestasi perdarahan ( petekie atau uji bendung positif ) f. Leukopenia ( berkurang nya jumlah leukosit dalam darah di bawah 5000 / uL Dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama. Demam Berdarah Dengue Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik. 2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena ( keluar nya feses pekat dan gelap yang diwarnai oleh pigmen darah atau darah yang berubah / muntahan hitam ) . 3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml). 4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb: Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia. Jadi perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu: Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)

2.6 Differential Diagnosis


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tifoid, campak, chikunguya, dan leptospirosis.4,7 Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan campak / rubela, demam chikungunya, leptosperosis, malaria, demam tifoid , gejala penyerta lain harus dinyatakan seperti batuk, pilek, diare, tipe demam, menggigil, pucat, ikterus, dan lainnya. Penyakit infeksi lain seperti sepsis ( adanya mikroorganisme pathogen atau toksinnya di dalam darah atau jaringan lain ) , meningitis meningokokus. Penyakit darah seperti, trombositopenia purpura idiopatik, leukimia, atau anemia aplastik. 2.6.1 Dengan Demam Chikungunya Kriteria diagnosis banding DBD dan demam chikunguya Kriteria Durasi Demam 2-4 hari 23,6 62,5 DBD % Chikunguya %

5-7 hari > 7 hari Manifestasi Perdarahan Test Tourniket positif Petekie menyebar Pertemuan ruam petekie Epistaksis Perdarahan Gusi Melena / Hematemesis Hepatomegali Syok

59,0 17,4

31,2 6,3

83,9 46,5 10,1 18,9 1,5 11,8 90,0 35,2

77,4 31,3 0,0 12,5 0,0 0,0 75,0 0,0

Pada hari ke-3 dan ke-4 temuan laboratorium dapat menegakkan diagnosis sebelum terjadi syok. Syok tampaknya menyingkirkan diagnosis demam chikunguya.

Trombositopenia nyata dengan hemokonsentrasi bersamaan membedakan DBD dari penyakit syok endotoksin akibat infeksi bakteri atau meningokoksaemia. 2.6.2 Dengan Demam Tifoid : Pada Demam Typhoid : Pada minggu pertama, gejala klinis serupa dengan gejala penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis. Demam meningkat perlahan-lahan, terutama pada sore hingga malam hari. Minggu kedua, gejala menjadi lebih jelas, berupa demam, bradikardi relatif, lidah tifoid, hepatomegali, splenomegali, meteoroismus ( adanya gas dalam abdomen atau usus ), gangguan mental berupa somnolen ( mengantuk ) , stupor ( menurunnya kesadaran ), koma, delirium ( kurangnya konsentrasi / perubahan kognitif ), atau psikosis ( gangguan mental). Ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan laboratorium - Darah rutin : Dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia dan peningkatan laju endap darah - SGOT dan SGPT meningkat - Test widal : Dilakukan untuk deteksi kuman S. Typhi. 2.6.3 Dengan Leptospirosis :

Gejala klinik-nya menyerupai penyakit-penyakit demam akut lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis sebagai salah satu diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik. a. Gejala leptospirosis meliputi : - Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten - Nyeri kepala - Menggigil - Mialgia - Mual, muntah dan anoreksia - Nyeri kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan fotopobia. - Nyeri otot terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha. - Sklera ikterik (mata kuning) dan conjunctival suffusion (mata merah ) dan pembesaran kelenjar getah bening, limpa maupun hati. Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis atau radang selaput otak aseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis. Selain itu pada 50 % kasus terdapat Trombositopenia. 2.6.4 Dengan Campak : Campak disebabkan oleh paramiksovirus. Penularan terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul. Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa nyeri tenggorokan, hidung meler, batuk, nyeri otot, demam, mata merah, fotofobia (rentan terhadap cahaya, silau). Sekitar 2-4 hari kemudian baru muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik Koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar. Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya mencapai 40 Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang. 2.6.5 Dengan Anemia Aplastik :

Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang tulang yang berupa aplasia sistem eriropoitik, granulopoitik dan trombopoitik, serta aktifitas relatif sistem limfopoitik dan sistem retikuloendotelial (SRE). Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar Hb, hematokrit dan hitung eritrosit serta MCV (mean corpuscular volume). Secara klinis anak tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia ( kehilangan nafsu makan ) , lemah, palpitasi ( denyut jantung cepat ), sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia sistem hematopoitik, maka umumnya tidak ditemukan ikterus, pembesaran limpa , hepar maupun kelenjar getah bening. 2.6.6 Dengan Leukemia : Gejala Leukemia yang ditimbulkan umumnya berbeda diantara penderita, namun demikian secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Anemia. Penderita akan menampakkan cepat lelah, pucat dan bernafas cepat (sel darah merah dibawah normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya penderita bernafas cepat sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen dalam tubuh). 2. Perdarahan. Ketika Platelet (sel pembeku darah) tidak terproduksi dengan wajar karena didominasi oleh sel darah putih, maka penderita akan mengalami perdarahan dijaringan kulit (banyaknya jentik merah lebar/kecil dijaringan kulit). 3. Terserang Infeksi. Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya tahan tubuh, terutama melawan penyakit infeksi. Pada Penderita Leukemia, sel darah putih yang diterbentuk adalah tidak normal (abnormal) sehingga tidak berfungsi semestinya. Akibatnya tubuh si penderita rentan terkena infeksi virus/bakteri, bahkan dengan sendirinya akan menampakkan keluhan adanya demam, keluar cairan putih dari hidung (meler) dan batuk. 4. Nyeri Tulang dan Persendian. Hal ini disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang (bone marrow) mendesak padat oleh sel darah putih. 5. Nyeri Perut. Nyeri perut juga merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana sel leukemia dapat terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang menyebabkan pembesaran pada organ-organ tubuh ini dan timbulah nyeri. Nyeri perut ini dapat berdampak hilangnya nafsu makan penderita leukemia. 6. Pembengkakan Kelenjar Lympa. Penderita kemungkinan besar mengalami

pembengkakan pada kelenjar lympa, baik itu yang dibawah lengan, leher, dada dan

lainnya. Kelenjar lympa bertugas menyaring darah, sel leukemia dapat terkumpul disini dan menyebabkan pembengkakan. 7. Kesulitan Bernafas (Dyspnea). Penderita mungkin menampakkan gejala kesulitan bernafas dan nyeri dada, apabila terjadi hal ini maka harus segera mendapatkan pertolongan medis. 2.6.7 Dengan Idiopatik Trombositopenik Purpura ITP adalah suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit / selaput lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui. (ITP pada anak tersering terjadi pada umur 2 8 tahun), lebih sering terjadi pada wanita.

Gejala klinis : a. Masa prodormal, keletihan, demam dan nyeri abdomen. b. Secara spontan timbul petekie dan ekimosis pada kulit. c. Epistaksis. d. Perdarahan mukosa mulut. e. Menoragia. f. Memar. g. Anemia terjadi jika banyak darah yang hilang karena perdarahan. h. Hematuria. i. Melena.

2.7 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demem dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume carian sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.4 Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria : Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi. Praktis dalam pelaksanaannya.

Mempertimbangkan cost effectiveness. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

1. Protokol 1 Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok 2. Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat 3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20% 4. Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa 5. Protokol 5 Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila : Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000 pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat. Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)} Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam : Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam. Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20% Menngkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun , 20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4 6 jam. Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tandatanda koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 liter/menit. Pemeriksaanpemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120 menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24 - 48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjdi.) Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.diuresis diusahak 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 30 ml/kgBB/jam dan kemudian

dievaluasi setelah 20 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.4

2.8 Prognosis
Demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih dini. Namun, dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring trombosit dan hematokrit maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit <100.000/ul dan hematokrit meningkat waspadai DSS.8

2.9 Komplikasi
Demam berdarah dengue dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati, kegagalan fungsi hati,miokarditis, gagal ginjal akut, sindroma uremik akut dan DIC yang menyebabkan perdarahan massif. Komplikasi tersebut umumnya jarang terjadi.8

2.10 Pencegahan
Sampai saat ini belum ada obat spesifik atau vaksin yang tersedia untuk mematikan virus dengue. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat yaitu:8 1. Lingkungan Metode lingkungan untuk mengendalikan perkembangbiakan vektor yakni dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN):
a. Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu. b. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.

c. Menutup dengan rapat tempat penampungan air. d.

Mengubur kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah.

2. Biologis Metode kontrol biologi ditujukan untuk stadium larva dari vektor. Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik seperti Gambusia affinis dan Poecilia reticulate (ikan adu/ikan cupang), bakteri penghasil endotoksin (Bacills thuringiensis serotipe H-14 dan Bacillus sphaericus). 3. Kimiawi, cara pengendalian ini antara lain: a. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Pengasapan secara luas digunakan dengan alasan harga. b. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

Daftar Pustaka
1. Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta; 2005. 2. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan terapi cairan pada demam berdarah dengue. Medicinus volume 22, maret-mei. Jakarta: EGC;2009.p.4-5. 3. Demam berdarah. Edisi 2008. Diunduh dari

http://www.scribd.com/doc/15045414/demaM-berdarah. 28 oktober 2009. 4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam: demam berdarah dengue. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2006.h.1709, 1710-1, 1711-3. 5. Brooks GF, Carrol KC, Butel JS, et all. Jaertz, melnick, &adelbergs medical microbiology: arthropod-borne&rodent-borne viral disease. 24th ed. New York: Mc Graw Hill; 2007.p.514-5, 523-4. 6. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi IV. Jakarta; 2008.h.265-6. 7. World Health Organization. 2002. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Jakarta : EGC. 8. Demam berdarah trombosit hematokrit. Diunduh dari 1

http://www.scribd.com/doc/19566116/Demam-BerdarahTrombositHematokrit, Februari 2008.

Anda mungkin juga menyukai