Anda di halaman 1dari 2

Masyarakat dan Ekonomi Dualistik

MEDIA INDONESIA, Jumat, 13 Agustus 2010 00:01 WIB 0 Komentar

"Cursing a flat tire does not fix it". Ungkapan asing itu menggambarkan situasi kita sekarang. Kita mengumpat karena situasinya memrihatinkan, sekalipun umpatan itu tidak akan langsung mengoreksi keadaan. Lacurnya, kita malahan saling melempar dan mengalamatkan umpatan kepada pihak lain yang kita anggap bersalah: dari pemimpin besar sampai orang biasa, dari lapisan atas sampai lapisan bawah, dengan latar belakang berbeda-beda. Ada sikap memonopoli kebenaran pada siapa pun yang berkomentar. Kritik-kritik oleh individu ataupun kelompok yang berlebihan mengganggu ketenangan batin lawan politik atau bahkan mereka yang bersikap netral, tetapi yang menginginkan suasana damai. Seiring dengan itu, parlemen jalanan marak di mana-mana. Tidak terlalu jelas arahnya. Apakah fenomena ini berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi dan politik? Yang pasti, fenomena itu mencerminkan tidak mulusnya keadaan di dua bidang itu. Bahwa budaya masyarakat berpengaruh terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik, tentu sudah kita sadari. Topik itulah yang dicoba dikupas sekitar 50 orang dari Yayasan Paramadina dan Ormas Nasional Demokrat dua minggu lalu. 'Menunggaling' Pemimpin Rakyat Sesuai rumusan Pancasila yang penjabarannya tertuang dalam UUD'45, idealnya yang berkuasa/pemimpin dan rakyat saling menghormati dan berempati. Bila itu dapat diwujudkan, terjadilah 'manunggaling' pemimpn-rakyat - menyatunya para pemimpin dan rakyat. Itu yang diangankan kaum muda intelektual ketika menggagas pembangunan bangsa dan negara Indonesia dari telapak penjajahan, 65 tahun yang lalu. Tentu tidak gampang, Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, mereka mengadakan perenungan lama untuk menghasilkan falsafah negara setelah merasakan denyut nadi dan menelusuri akar-akar budaya bangsa ini. Mereka sadari bahwa di zaman purba telah banyak masuk agama dan budaya asing yang dibawa para pedagang luar yang datang ke wilayah ini. Mereka menyebarkan ajaran-ajaran yang selama ratusan tahun diserap budaya dan adat istiadat penduduk. Hinduisme, misalnya, antara lain membawa sistem kasta yang membuat kelompok kalangan yang memiliki privelese (golongan Brahmana dan Kesatria) dan yang ditakdirkan melayani (golongan Waisya: petani, pedagang, tukang); serta golongan Sudra yang hina-dina. Apakah fakta itu yang kemudian ikut mendorong tumbuhnya feodalisme sampai sekarang? Mungkin itu pula alasannya mengapa sekarang yang memiliki privelese (30%) merasa nyaman dan tidak terganggu melihat yang kurang beruntung (70%). Ketimpangan ini dianggap lumrah, sekalipun sebenarnya bertentangan dengan azas demokrasi. Di Jakarta, misalnya, masyarakat sudah biasa melihat bangunan-bangunan kumuh dan yang mewah saling berdampingan atau saling membelakangi. Kontras itu kelihatan mencolok ketika disorot kamera film asing seperti yang tampil dalam film tua "Living dangerously", dibintangi Mel Gibson. Agama dan budaya Islam dengan sistem jemaahnya (=kebersamaan), datang jauh kemudian melewati Sumatra Utara, sekitar abad 13. Pengislaman Indonesia berlangsung tanpa penolakan yang berarti karena budaya Islam pandai menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan setempat. Alhasil, bagi masyarakat yang belum kuat pengaruh Hindunya bisa lebih mudah menyerap

budaya Islam daripada masyarakat yang sudah lama meresapi Hinduisme. Sampai sekarang kita masih bisa melacak sisa-sisa pengaruh-pengaruh asing tersebut. Itu antara lain juga tercermin pada jenis profesi dan sikap serta kebiasaan hidup sehari-hari. Terbukti bahwa menghadapi desakan budaya dan agama Islam, agama Hindu/Buda kemudian tidak menyumbangkan banyak peranan dalam budaya baru yang tumbuh dan berkembang di zaman Madya, kecuali yang sudah menjadi darah-daging akar budaya. Itulah situasinya sebelum modernisasi bergulir ke Indonesia dengan datangnya orang Barat (Portugis) di awal abad 16. Dualisme ekonomi Prof. Dr. Mohammad Sadli (1922-2008) lebih dari setengah abad lalu (1957) mengulas teori J. H. Boeke tentang dualisme ekonomi. Ulasan itu ditampilkan kembali oleh ekonom tamatan Berkeley, Prof. Dr. Bruce Glassburner' dalam buku "The Economy of Indonesia" (2007). J.H. Boeke, ahli ekonomi Belanda (lahir 1884) meragukan dapat diterapkannya teori-teori ekonomi Barat di Indonesia (1910) karena negeri ini menjalankan dua sistem ekonomi yang berbeda dan sama kuat. Yang pertama sistem pra-kapitalistik, dijalankan oleh masyarakat tradisional (analog golongan Waisya), yang sekarang merupakan mayoritas penduduk. Yang kedua dijalankan oleh yang telah dipengarughi sistem kapitalistik (sosialistik/komunistik) akibat pengaruh Barat. Mereka ini kalangan yang sekarang memiliki privelese (dapat kita analogikan dengan golongan Brahmana dan Kesatria). Prof. Sadli dalam esainya bertanya, apakah dualisme ini tidak mungkin dicegah dan akan menjadi gejala permanen? Untuk menjawabnya, perlu diteliti bagaimana hasil-hasil interaksi antara dua masyarakat yang menjalankan dua sistem yang saling berbenturan itu. Boeke antara lain mengatakan, nilai-nilai dalam sistem kapitalistik bersifat rasional,individualistik, dengan kebutuhan tidak terbatas oleh subyek ekonomi. Sebaliknya masyarakat pra-kapitalistik tidak/kurang memiliki spirit kompetisi ataupun spirit mengambil keuntungan, Motif ekonomi diabaikan. Dualisme sosial-ekonomi, kata Boeke selanjutnya, akan luas akibatnya terhadap masalahmasalah pembangunan. Pandangannya tersebut sangat pesimistis untuk usaha modernisasi dan peningkatan taraf hidup masyarakat."Saya tidak akan mengusulkan rencana-rencana." katanya. "Tetapi saya ingin menegaskan perlunya mengadakan 'restorasi pedesaan'.yang harus dilakukan dengan cara-cara lebih demokratis. Pemimpin-pemimpin baru harus tumbuh dari kalangan mereka dan harus disertai rasa tanggungjawab sosial yang kuat di kalangan masyarakat sendiri." Bagaimana caranya? Boeke tidak menjelaskan, tetapi: "Pelaksanaannya jangan secara besarbesaran dan jangan tergesa-gesa, maka tujuan akhir akan tercapai dengan keyakinan, sikap sosial, dan kesabaran luarbiasa." oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group

Anda mungkin juga menyukai