Anda di halaman 1dari 6

1

Setiap Manusia adalah Desainer


Oleh Widi

Desain grafis adalah ilmu tentang bagaimana menampilkan sesuatu secara visual. Berdasarkan definisi ini, sebenarnya tanpa sadar kita sudah sangat akrab dengan desain grafis. Sebelum berangkat kuliah, biasanya kita mematut diri di depan cermin, memilih pakaian yang kita anggap keren, menata rambut kita, dan pake bedak bagi yang cewek (emang yang cowok nggak ya? Hehe). Desain grafis tidaklah berbeda dengan kegiatan berdandan sebelum berangkat kuliah ini. Sama-sama berkutat dalam wilayah penampilan. Yup, desain grafis adalah ilmu tentang bagaimana menarik perhatian. Ilmu yang sangat genit bukan? Desain grafis adalah sesuatu yang mutlak di perlukan dalam dunia media. Ada 2 fungsi esensial yang menjadikan desain grafis itu demikian penting, yaitu fungsi estetis dan fungsi komunikasi. Fungsi estetis berperan untuk menarik pembaca. Sebagus apapun content tulisan di media kita, tapi kalau nggak dikemas dengan desain yang bagus, nggak akan ada pembaca yang menyentuhnya. Nggak percaya? Ambil saja analogi yang paling dekat dengan dunia kita, dunia mahasiswa: skripsi. Kita semua tahu bahwa skripsi memiliki bentuk yang baku dan kaku. Dan kita semua juga tahu bahwa hampir tak ada seorangpun di dunia ini yang membaca skripsi, kecuali orang yang kebetulan juga sedang mengerjakan skripsi. Bayangkan kalau skripsi itu kita layout sedemikian rupa, saya yakin akan lebih banyak orang yang tertarik untuk membaca skripsi. Skripsi akan lebih bermanfaat bagi kemaslahatan umat, dan nggak hanya menuhmenuhin ruang perpus. Loh, kok malah ngomongin skripsi... Harap maklum, soalnya sekarang penulis juga lagi sibuk menggarap skripsinya yang nggak jadi-jadi. Mungkin karena terlalu sibuk mikirin gimana layoutan skripsinya nanti... hehe... Kembali ke fungsi desain grafis. Fungsi yang kedua adalah fungsi komunikasi. Artinya, desain grafis juga berfungsi untuk membantu pembaca dalam memahami isi tulisan. Hal ini terimplementasi dalam berbagai hal seperti pemasangan gambar illustrasi yang sesuai dengan isi tulisan, pemilihan font yang tepat, dsb. Ok, kiranya tak perlu berbasa-basi lagi. Segera hidupkan mesin, tancap gas dengan kecepatan 100km/jam. Langsung saja kita arungi jagad grafis yang maha indah. Lets get Rock n Roll... Memahami Huruf/Font/Tipe Seringkali pemilihan huruf menjadi hal yang dikesampingkan. Kalau dilihat sepintas, ia memang kalah seksi dengan gambar ilustrasi atau foto. Tapi jangan salah, huruf memiliki arti amat penting bagi dunia media. Bahkan, yang namanya peradaban atau masa sejarah ditandai dengan peristiwa dikenalnya tulisan oleh manusia. Zaman sebelum ada tulisan sering disebut zaman prasejarah. Maka bolehlah kita katakan bahwa huruf adalah elemen utama dalam desain media. Pernahkah kita perhatikan bahwa huruf A ataua dalam sebuah tulisan bisa berbeda dari huruf A atau a dalam tulisan yang lain? Kita tahu bahwa keduanya abjad alfabet yang sama, tapi kita juga mengamati bahwa jenis hurufnya berbeda. Bisa jadi yang satu lebih tebal atau gemuk dari yang lain, bisa jadi kaki-kaki hurufnya ada yang memiliki tangkai, atau lebih pendek atau lebih panjang, dan sebagainya. Semua itu tergantung dari jenis huruf yang kita pakai. Jenis-jenis huruf ini disebut typeface

Disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh LPM ALPHA Fakultas MIPA Universitas Jember pada tanggal 15 November 2009 Fakultas MIPA Universitas Jember

2
(atau singkatnya tipe) atau font. Contoh-contoh font misalnya Times New Roman, Arial, Garamond, dsb. Berdasarkan bentuknya, para pakar tipografi umumnya membagi jenis huruf ke dalam dua kelompok besar: serif dan sans serif. Lalu ada kelompok ketiga dan keempat yang disebut script dan dekoratif. Jenis serif dan sans serif pun berbedabeda, tapi mari sebelumnya mengetahui perbedaan serif dan sans serif. Serif adalah kelompok jenis huruf yang memiliki tangkai (stem). Lihatlah font Times New Roman, Bodoni, Garamond, atau Egyptian misalnya. Persis mendekati ujung kaki-kaki hurufnya, baik di bagian atas maupun bawah, terdapat pelebaran yang menyerupai penopang atau tangkai. Menurut sejarah, asal-usul bentuk huruf ini adalah mengikuti bentuk pilar-pilar bangunan di Yunani Kuno. Seperti kita ketahui, bagian atas dan bawah tiang pilar memang lebih besar agar bisa membuat pilar lebih kokoh. Sementara sans serif (atau tanpa serif) adalah jenis huruf yang sebaliknya: tidak memiliki tangkai. Ujung-ujung kakinya polos begitu saja. Contohnya Arial atau Helvetica (Catatan: meski amat mirip dan sering saling mensubstitusi satu sama lain, kedua font ini tidaklah mirip persis. Cobalah sekali-kali Anda cetak contoh huruf dalam ukuran besar dan amatilah. Pasti ada bedanya. Percayalah pada saya... Masa nggak percaya sih... Sumpah pocong saya juga berani... hehe..). Selain serif dan sans serif, ada pula jenis huruf sambung dan huruf gaya bebas. Huruf sambung atau script bisa juga Anda sebut huruf tulis tangan (handwriting) karena menyerupai tulisan tangan orang. Atau bisa juga disebut huruf undangan karena hampir selalu hadir di kartu-kartu undangan karena dipandang indah dan anggun. Ada berbagai macam huruf script dan handwriting, mulai dari yang kuno hingga modern, dari yang agak lurus hingga miring dan amat melingkarlingkar. Sementara huruf gaya bebas atau dekoratif mencakup segala macam jenis huruf aneh lain yang sulit dikategorikan dalam ketiga kategori lainnya. Kadang huruf ini bisa diinspirasi dari bentuk geometris tertentu, memadukan gambar atau pola tertentu, dan sebagainya. Di komputer juga dikenal font-font wingdings-like yang sebenarnya adalah clipart. Tiap hurufnya murni berupa ikon atau gambar, bukan huruf. Terus, kenapa sih font itu harus dibeda-bedakan? Bukankah hanya iman dan takwa yang membedakan kita di hadapan Tuhan? (Kok jadi kayak AA. Gym gini... hehe). Ok, kembali ke leptop... Pada ukuran teks sedang, seperti seukuran tulisan teks di surat kabar atau buku, umumnya tangkai pada kaki-kaki font serif membantu agar tulisan mudah dibaca. Mengapa? Karena tangkai font serif membantu membentuk garis tak tampak yang memandu kita mengikuti sebuah baris teks. Karena itulah kita banyak menjumpai buku-buku dilayout dengan serif. Menurut penelitian, seseorang yang membaca font serif bisa lebih tahan membaca karena tidak mudah lelahakibat adanya bantuan dari tangkai serif tadi. Namun pada kondisi-kondisi berikut ini: a) huruf amat kecil (seperti tulisan bahan-bahan di label makanan); b) huruf amat besar (seperti di plang-plang merek) yang harus dilihat dari jauh; c) di layar monitor; huruf sans serif kadang lebih mudah dibaca. Mengapa? Karena justru kaki-kaki font serif memperumit bentuk huruf sehingga sedikit lebih lama dibaca. Jika huruf kecil sekali atau pada resolusi rendah seperti di layar monitor, kaki serif bisa tampak bertindihan dan menghalangi pandangan. Karenanya kita banyak melihat plang rambu lalu lintas menggunakan huruf yang sesederhana mungkin agar bisa cepat dibaca, dan di halaman web banyak dipakai font sans serif karena lebih mudah dibaca pada ukuran kecil.

Disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh LPM ALPHA Fakultas MIPA Universitas Jember pada tanggal 15 November 2009 Fakultas MIPA Universitas Jember

3
Memahami Karakter Garis Apakah garis itu? Garis adalah bidang dengan ukuran panjang yang lebih panjang dari ukuran lebarnya. Jadi, pada dasarnya, garis adalah bidang. Berikut adalah beberapa contoh karakter garis berdasarkan bentuknya: Garis Horisontal Memiliki kesan/karakter keharmonisan, istirahat, tenang, pasif, diam, dll Garis Vertikal Memiliki kesan kuat, stabil, tegas, kokoh, megah, harapan, dll

Garis Diagonal Memiliki karakter dinamis, miring, tidak seimbang. Merupakan perubahan dari horisontal ke vertikal atau sebaliknya. Garis Lengkung Majemuk Memiliki karakter yang indah dan terkesan lucu. Para seniman menyebutnya sebagai line of beauty.

Savety Layout Pada dasarnya tidak ada karya yang jelek di dunia ini. Penilaian secara obyektif terhadap sebuah karya seni adalah tidak mungkin. Subyektifitas akan selalu berperan. Akan tetapi, kita tentu mengenal apa yang disebut dengan kebenaran umum. Dalam ranah estetika, rupanya kebenaran umum ini juga ada. Nggak percaya? Coba, sekarang siapa yang berani bilang Luna Maya itu jelek? Nggak ada kan? Hehe... Itu menandakan eksisnya kebenaran umum dalam ranah estetis ini. Demikian juga halnya dengan dunia grafis. Ada sekian kebenaran umum tentang keindahan dalam ranah grafis. Dalam dunia desain media, saya menyebutnya sebagai savety layout. Yang saya maksud dengan savety layout adalah hal-hal minimal yang harus kita lakukan, agar desain kita bisa dikatakan baik oleh sebagian besar pembaca kita. Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan pada desain kita untuk bisa mencapai apa yang saya sebut savety layout tadi: UNITY Adalah usaha untuk menjadikan desain kita menjadi suatu kesatuan sehingga terkesan harmonis, selaras, tidak tercerai berai, serta tidak menimbulkan kesan kontradiktif. Unity bisa diwujudkan dengan: 1. Membuat kesamaan total Kesamaan total disini adalah kesamaan secara keseluruhan 2. Membuat kesamaan salah satu unsure bahasa rupa Misalnya membuat kesamaan bentuk, arah, ukuran, atau warna
Disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh LPM ALPHA Fakultas MIPA Universitas Jember pada tanggal 15 November 2009 Fakultas MIPA Universitas Jember

4
3. Membuat ikatan-ikatan 4. Menggerombolkan obyek-obyek 5. Mencari kemungkinan hubungan-hubungan BALANCE Adalah usaha untuk menjadikan desain kita tidak berat sebelah, sehingga nyaman dipandang. Efek balance bisa didapat melalui: 1. Simetrical Balance (keseimbangan simetris) Jarak, ukuran, dan arah obyek terhadap poros dibuat sama. Hal ini akan menimbulkan kesan formal, tenang, statis dan kaku. 2. Obvious Balance (keseimbangan sederajat) Berkesan tidak terlalu resmi, namun mempunyai kesan dinamis.

3. Axial Balance (keseimbangan terselubung) Berkesan santai, menarik, dan sangat dinamis

PROPORSI Hal ini berkenaan dengan bagaimana kita menyusun dan menentukan ukuran obyek-obyek dalam desain kita, sehingga kita bisa menonjolkan bagian-bagian yang kita anggap paling penting untuk ditonjolkan. Nah, ngomong-ngomong soal menonjol (jangan ngeres ya hehe), berikut adalah panduan yang bisa dipakai untuk menonjolkan obyek: 1. Proporsi Ukuran Pada dasarnya, menonjokan sebuah obyek bukan bergantung pada seberapa besar/kecilnya obyek itu, akan tetapi perbedaan ukurannya dengan obyek yang lain.

Disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh LPM ALPHA Fakultas MIPA Universitas Jember pada tanggal 15 November 2009 Fakultas MIPA Universitas Jember

5
Pada gambar A, lingkaran yang besar terlihat menonjol karena memang lebih besar dari lingkaran yang lain. Tetapi, pada gambar B, lingkaran yang kecil terlihat menonjol karena ukurannya paling kecil dibandingkan yang lain. Singkatnya, sesuatu akan menonjol bila ia berbeda dari yang lain. 2. Proporsi Warna Pemilihan warna juga bisa digunakan untuk penonjolan obyek. Seperti halnya dengan proporsi ukuran, penonjolan obyek bisa dilakukan dengan membedakan warna obyek tersebut dengan yang lain. Misalnya, bila obyek yang lain menggunakan warna gelap, gunakanlah warna yang terang untuk obyek yang akan kita tonjolkan, atau sebaliknya. Dalam hubungannya dengan bidang, pakailah warna yang terang untuk bidang yang luas, sedangkan untuk bidang yang sempit, gunakanlah warna yang kuat. 3. Proporsi Bentuk Idem dengan dua point di atas. Gunakan bentuk yang yang berbeda untuk menonjolkan suatu obyek. Teknik Memilih Warna Seringkali kita mengalami kesulitan dalam memadu-padankan warna. Yah, gampang-gampang susah memang, karena masing-masing kita memiliki selera yang berbeda soal warna. Namun ada teori yang bisa kita pakai sebagai acuan supaya kombinasi warna yang kita pilih tidak terlihat norak. Teorinya sederhana, jangan memadukan warna-warna yang komplementer secara bersebelahan. Warna komplementer? Apa itu? Kok nggak pernah denger? Ok, tak jelasin. Perhatikan gambar disamping! Seperti kita ketahui bersama, warna primer terdiri dari merah, biru dan kuning. Merah dan biru, bila dicampur, akan menghasilkan warna violet. Biru dan kuning akan menjadi hijau. Sedangkan kuning dan merah akan menjadi orange. Nah, yang dimaksud dengan warna komplementer adalah warna-warna yang saling berhadapan seperti kuning dengan violet, biru dengan orange, atau merah dengan hijau. Sebisa mungkin, hindarilah memasangkan secara bersebelahan warna-warna yang saling berkomplementer, karena akan mengurangi keharmonisan desain. Namun perlu diingat bahwa ini hanya sekedar teori. Terserah kita mau pake ato nggak. Bukankah teori itu dibuat untuk memudahkan? Kalo kita ngerasa teori itu nggak asik dan justru membatasi kreatifitas, ya udah, libas aja Ok, kayaknya cukup segitu dulu. Selebihnya kita lanjutkan dengan diskusi bebas aja. Yang perlu diingat, seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan ini, bahwa pada dasarnya kita sudah sangat akrab dengan desain grafis. Bahkan kita sudah melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka setiap manusia adalah grafis desainer. Tidak usah ragu, tunggu apa lagi, ayo bikin sesuatu dengan desain grafis. Ayo berdandan.... ayo main genit-genitan...[]
Disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh LPM ALPHA Fakultas MIPA Universitas Jember pada tanggal 15 November 2009 Fakultas MIPA Universitas Jember

6
Daftar Bacaan: 1. Moh. Khobir, Responsi Nirmana 1, Diskomvis ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 1996. 2. Alan Swann, Design and Layout, Phaidon Press Limited, London, 1993

Disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh LPM ALPHA Fakultas MIPA Universitas Jember pada tanggal 15 November 2009 Fakultas MIPA Universitas Jember

Anda mungkin juga menyukai