Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Perdarahan postpartum (PPH) bertanggung jawab untuk sekitar 25% dari kematian ibu di seluruh dunia (WHO, 2007), mencapai setinggi 60% di beberapa negara. PPH juga dapat menjadi penyebab morbiditas berat jangka panjang, dan sekitar 12% dari wanita yang bertahan hidup PPH akan mengalami anemia berat (Abou-Zahr, 2003; WHO, 2006). Selain itu, wanita yang memiliki PPP berat dan bertahan ("nyaris") secara signifikan lebih mungkin meninggal di tahun setelah PPH (Impact International, 2007). Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah salah satu penyebab kematian ibu melahirkan. Tiga utama penyebab kematian ibu melahirkan adalah perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan, hipertensi saat hamil atau pre eklamsia dan infeksi. Perdarahan setelah kehamilan atau post partum hemorrhagic (PPH) adalah konsekuensi perdarahan berlebuhan dari tempat implantasi plasenta, trauma,truktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya. Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus dicari etiologi yang spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan laserasi truktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar perdarahan post partum. Morbiditas dan mortalitas akibat PPH sebagian besar dapat dicegah melalui perawatan terampil selama persalinan. Namun, keterlambatan dalam mengidentifikasi perdarahan, keterlambatan transportasi ke titik perawatan yang tepat, dan keterlambatan dalam menerima pengobatan yang dianjurkan semua berkontribusi terhadap tingginya tingkat kematian ibu dan kesakitan akibat PPH. Perempuan mungkin melahirkan tanpa bantuan apapun. Atau, seorang kerabat, anggota masyarakat, atau dukun, sering tanpa pelatihan kesehatan formal, dapat menghadiri kelahiran yang terjadi di masyarakat. Para wanita mungkin tidak memiliki akses terhadap intervensi untuk mencegah atau mengobati PPH. Dalam beberapa kasus, wanita mungkin melahirkan di fasilitas di mana bidan terampil tidak memiliki keterampilan, peralatan, atau persediaan untuk mencegah dan mengelola PPH dan shock.

BAB II PEMBAHASAN

2.1.

Perdarahan Pascasalin 2.1.1. Definisi Perdarahan adalah kehilangan darah secara abnormal, rata-rata kehilangan darah selama pelahiran pervaginam yang ditolong dokter obstetrik tanpa komplikasi lebih dari 500 ml ; kehilangan darah rata-rata selama seksio sesaria sekitar 1000 ml (Varney, 2008). Perdarahan postpartum yang terdahulu merupakan kehilangan 500 ml darah atau lebih setelah kelahiran pervaginam, adalah tipe kehilangan darah berlebihan yang paling umum dan paling serius di bidang obstetri. Definisi perdarahan postpartum yang lebih bermakna adalah kehilangan berat badan 1 % atau lebih karena 1 ml darah beratnya 1 gram (Bobak, 2005) Menurut Manuaba (2008) waktu terjadinya perdarahan postpartum dibagi menjadi dua macam yaitu : Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. Penyebabnya adalah atonia uteri, retensio plasenta, plasenta rest, trauma persalinan (rupture uteri dan hematoma), gangguan pembekuan darah. Dan perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir. Penyebabnya adalah plasenta rest dan tertinggalnya selaput ketuban, trauma persalinan (bekas seksio sesarea pembuluh darahnya terbuka), . 2.1.2. Etiologi a) Atonia uteri (Tone) b) Perlukaan jalan lahir (Trauma) c) Retensio plasenta/sisa plasenta (Tissue) d) Gangguan pembekuan darah (Trombin) infeksi yang menimbulkan subinvolusi implantasi plasenta.

2.1.3.

Insidensi dan Faktor Risiko Angka kejadian 5-8% dari seluruh kelahiran

2.2 ATONIA UTERI 2.2.1 Definisi Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah anak dan plasenta lahir. Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:

Melakukan secara rutin manajemen aktif kala 3 pada semua wanita yang bersalin

karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri.:

Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi lahir

2.2.2 Faktor Predisposisi 1. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemelli, polihidramnion atau anak terlalu besar 2. kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep 3. kehamilan grande-multi para 4. ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis atau menderita penyakit menahun. 5. mioma uteri yang menganggu kontraksi rahim 6. infeksi intra uterine (korioamnionitis) 7. ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya

2.2.3 Diagnosis Diagnosis ditegakkan, bila setelah anak dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi ysang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis maka pada saat itu juga masih ada darah sejumlah 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah akan tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

2.2.4 Penatalaksanaan Jumlah perdarahan yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau sampai syok berat hypovolemik.

Tindakan pertama yang harus dilakukan tergantung pada keadaan klinisnya. Secara lengkap dapat dilihat pada Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal, JNPKKR-POGI Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002 dan Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta 2002 Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal hal sebagai berikut : 1. sikap Trendelenburg, memasang venous line dan memberikan oksigen. 2. sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :

masase fundus uteri dan merangsang puting susu pemberian oksitosin dan turunan ergot secara im , iv atau sc. Memberikan derivat prostaglandin F2alpha (carboprost tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris dan takikardia.

Pemberian misoprostol 800 1000 ug per-rektal kompresi bimanual eksternal dan atau internal kompresi aorta abdominalis pemasangan tampon kondom, kondom dalam kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.

catatan : tindakan memasang tampon kasa utero-vaginal tidak dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan.

3. bila semua tindakan itu gagal maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa: ligasi arteria uterina atau arteria ovarica operasi ransel B Lynch supra vaginal histerektomi total abdominal histerektomi

2.3. Robekan Jalan Lahir Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan

lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi atau karena versi ekstraksi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfinkter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan urethra dan bahkan, yang terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini.Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta . Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intra abdominal (hal ini dibahas di bab lain). Semua sumber perdarahan yang terbuka harus di klem dan diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti. Teknis penjahitan memerlukan asisten, anesthesi lokal, penerangan lampu yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tak kooperatif maka perlu mengundang sejawat anesthesi untuk ketenangan dan keamanan melakukan hemostasis.

2.4. Retensio Plasenta Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan karena adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta accreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, dan disebut sebagai plasenta increta bila plasenta sampai menembus miometrium dan plasenta percreta bila villi korialis sampai menembus perimetrium. Faktor disposisi terjadinya plasenta accreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang dan multi-paritas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus diebut : rest placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau

plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala tiga) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta manuil, meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Sisa plasenta/rest placenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manuil atau menemukan adanya kotiledon yang tak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih adanya perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit Untuk itu harus dilakukan eksplorasi kedalam rahim dengan cara manuil/digital atau kuret dan pemberian uterotonika . Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberikan trasfusi darah sesuai keperluannya

2.5. Inversio Uteri Kegawat daruratan pada kala tiga yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit. Faktor faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar dan adanya kekuatan yang manarik fundus kebawah (misalnya karena plasenta accreta, increta dan percreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba tiba (misalnya batuk keras atau bersin).

Melakukan traksi umbilikus pada pertolongan aktif kala tiga dengan uterus yang masih atonia memungkinkan terjadinya inversio uteri.

Inversio uteri ditandai dengan tanda tanda : :


syok karena kesakitan dan perdarahan banyak bergumpal di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih

melekat.

Bila kejadiannya baru terjadi maka prognosa cukup baik akan tetapi bila kejadiannya

cukup lama maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis dan infeksi..

TINDAKAN Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut : 1. memanggil bantuan anesthesi dan memasang infus untuk cairan / darah pengganti dan pemberian obat. 2. beberapa senter memberikan tocolytic/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi dengan manuil yaitu mendorong endometrium keatas masuk kedalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk kedalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan semasih plasenta sudah terlepas atau tidak. 3. Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manuil dan bila berhasil dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru dilepaskan. 4. pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya. 5. intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan manuver diatas tak bisa dikerjakan maka dilakukan laparatomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.

2.6. Perdarahan karena gangguan perdarahan Kausa PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung dan lain lain.

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, thrombositopenia, terjadi hypofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product)serta perpanjangan tes protrhombin dan PTT (patial thromboplastin time).

Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, thrombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).

PENCEGAHAN PPP adalah salah satu dari beberapa komplikasi obstetrik dengan

preventiveintervention efektif. Manajemen aktif kala III persalinan (AMSTL), didefinisikan sebagai pemberian intramuskular dari 10 IU oksitosin, traksi tali pusat terkendali (CCT) dan pijat fundus setelah melahirkan plasenta, secara substansial mengurangi risiko perdarahan postpartum. Sebuah meta-analisis dari empat uji klinis berbasis fasilitas menunjukkan penurunan 62% dalam risiko PPH terkait dengan manajemen aktif kala tiga (Prendiville et al, 2000). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), International Federation of Obstetricians Gynecologists dan (FIGO) dan Konfederasi Internasional Bidan (ICM) merekomendasikan bahwa bidan terlatih menyediakan manajemen aktif kala tiga untuk semua kelahiran vagina (ICM dan FIGO, 2003; ICM dan FIGO, 2006) . Dengan tidak adanya bidan terlatih yang dapat menyediakan semua komponen manajemen aktif kala tiga, WHO, FIGO, dan ICM merekomendasikan bahwa oksitosin (10 IU) atau misoprostol (400-600 mcg per oral) harus diberikan oleh petugas kesehatan terlatih dalam penggunaannya untuk mencegah PPP. Oksitosin disukai untuk obat uterotonika lain di mana penggunaannya layak (Mathai et al, 2007; WHO, 2006). Tindakan pencegahan lainnya baik dapat meningkatkan kesempatan wanita untuk bertahan hidup atau mencegah kondisi yang berhubungan dengan penyebab PPP. Langkah-langkah ini meliputi: Selama perawatan antenatal: Mendeteksi dan mengobati anemia, mengembangkan rencana kesiapsiagaan kelahiran untuk memastikan melahirkan dengan petugas yang terampil, mendistribusikan misoprostol untuk ibu hamil selama trimester ketiga kehamilan dalam kasus mereka melahirkan tanpa bidan terampil Selama persalinan: Gunakan partograf untuk memantau dan membimbing pengelolaan tenaga kerja dan cepat mendeteksi kemajuan memuaskan, mendorong wanita untuk menjaga kandung kemihnya kosong, batas induksi atau augmentasi penggunaan untuk alasan medis dan kebidanan, tidak mendorong mendorong

sebelum serviks sepenuhnya melebar , jangan gunakan tekanan fundus untuk membantu kelahiran bayi, melakukan episiotomi selektif untuk alasan medis dan kebidanan saja, membantu wanita dalam pengiriman terkendali kepala dan bahu bayi untuk membantu mencegah air mata Selama tahap ketiga persalinan: Menyediakan manajemen aktif kala tiga (satu cara yang paling efektif untuk mencegah PPP), jangan memijat rahim sebelum pengiriman plasenta, tidak menggunakan tekanan fundus untuk membantu pengiriman plasenta, tidak melakukan CCT tanpa pemberian obat uterotonika, tidak melakukan CCT tanpa memberikan countertraction untuk mendukung rahim. Setelah melahirkan plasenta: rutin memeriksa vulva, vagina, perineum, dan anus untuk mengidentifikasi luka kelamin, secara rutin memeriksa plasenta dan membran untuk kelengkapan, mengevaluasi apakah rahim baik dikontrak dan pijat rahim secara berkala setelah melahirkan plasenta untuk menjaga uterus baikkontrak dan perusahaan (setidaknya setiap 15 menit untuk dua jam pertama setelah lahir), mengajarkan wanita untuk memijat rahimnya sendiri untuk tetap tegas, memantau wanita untuk perdarahan vagina dan kekerasan uterus setiap 15 menit selama Setidaknya dua jam pertama, mendorong wanita untuk menjaga kandung kemihnya kosong selama periode pasca-melahirkan

PENATALAKSANAAN PPP berat terjadi pada sekitar 11% dari kelahiran hidup (WHO, 2005). Insiden ini dianggap jauh lebih tinggi di negara-negara berkembang di mana banyak perempuan tidak memiliki akses ke petugas terlatih pada saat persalinan dan di mana manajemen aktif kala III persalinan mungkin tidak rutin. Dari perempuan yang menderita postpartum kehilangan darah yang parah, sekitar 1% dari mati sebagai akibatnya (Fawcus, 2007). Jika PPP tidak terjadi, hasil positif tergantung pada seberapa sehat wanita adalah ketika dia memiliki PPH (terutama kadar hemoglobin nya), seberapa cepat diagnosis dibuat, dan seberapa cepat pengobatan yang efektif disediakan setelah PPH dimulai.

Intervensi klinis yang penting dan teknologi yang tersedia untuk mencegah dan mengobati PPH tetapi baik kurang dimanfaatkan atau tidak dapat diakses bagi perempuan melahirkan di masyarakat atau fasilitas perawatan kesehatan perifer. Untuk mengelola PPH non-operasi, ada bukti untuk mendukung intervensi berikut: manajemen awal umum: administrasi oksitosin, mengosongkan kandung kemih, penggantian cairan, pemeriksaan jalan lahir dan plasenta, manajemen khusus untuk rahim atonia: obat uterotonika, pijat rahim, kompresi bimanual rahim (eksternal atau internal), kompresi aorta, balon kondom kateter, hemostatik manajemen khusus untuk luka genital: perbaikan laserasi genital, hemostatik, kompresi manajemen khusus untuk plasenta: penghapusan manual Manajemen Lanjutan sampai wanita mencapai fasilitas yang tepat atau penyedia yang tepat: anti-shock garmen, IV perfusi, "berjalan" bank darah Jika perawatan non-bedah konservatif telah gagal, satu atau lebih dari intervensi bedah berikut mungkin diperlukan (FIGO dan POPPHI, 2009): B-Lynch jahitan (menggunakan Monocryl jahitan atau Vicryl nomor 2): The BLynch jahitan bertujuan untuk mengerahkan kompresi vertikal terus menerus pada sistem pembuluh darah dan otot rahim. Laparatomi, exteriozation rahim dan rongga rahim dibuka selalu diperlukan. embolisasi arteri uterus: Seorang pasien harus cukup stabil untuk transportasi ke angiografi suite. Embolisasi harus dipertimbangkan awal karena mungkin memerlukan waktu untuk memobilisasi layanan. Ketika embolisasi berhasil, pasien dengan cepat dapat sembuh tanpa menjalani operasi tambahan. Embolisasi tidak hanya menyelamatkan kehidupan pasien, tetapi juga rahim dan organ adneksa, sehingga menjaga kesuburan. ligasi arteri iliaka internal: Ini dapat digunakan sebagai operasi profilaksis atau terapeutik. Ada kebutuhan untuk dokter kandungan yang kompeten yang fasih dan kompeten di prosedur ginekologi panggul. devascularization Stepwise: Persyaratan penting yang tidak sederhana dan mungkin tidak tersedia di setiap unit. Ada kebutuhan untuk dokter kandungan yang kompeten yang fasih dan kompeten di prosedur ginekologi panggul, dan yang memiliki

pengetahuan tentang anatomi panggul, termasuk pasokan pembuluh darah dan saraf organ panggul. Histerektomi: Histerektomi adalah pilihan langsung terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita pendarahan saat atonia uteri tidak responsif terhadap uterotonics dan di mana fasilitas untuk embolisasi tidak tersedia dan / atau dokter kandungan yang tidak berpengalaman dengan aspek teknis dari prosedur bedah konservatif atau iliaka arteri ligasi. Penelitian yang sedang berlangsung Sementara bekerja pada mencegah dan mengobati PPH telah cukup, ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk melanjutkan momentum dan memperluas akses terhadap intervensi yang alamat morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh PPH. Banyak organisasi, termasuk yang tercantum di website ini, terlibat dalam riset dan proyek percontohan. Hasil dari studi ini dan proyek percontohan akan meningkatkan dasar bukti untuk intervensi yang dipromosikan dan memberikan bimbingan untuk pelaksanaannya. Kita semua bisa membuat perbedaan, seorang wanita pada suatu waktu.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN 1. Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada kehamilan setelah 28 minggu. 2. Faktor-faktor terjadinya perdarahan antepartum adalah plasenta previa, solusio plasenta, ruptur sinus marginalis, plasenta letak rendah atau vasa previa. 3. Pentingnya diagnosa secara dini membantu penatalaksanaan secara dini sehingga dapat mengurangi angka mortalitas. 4. penggunaan Ultrasonography pada plasenta previa sangat akurat dan menunjang diagnosa secara cepat. 5. Penatalaksanaan perdarahan antepartum yang baik dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas ibu dan janin.

DAFTAR PUSTAKA

Widjanarko, Bambang. 2012. Perdarahan Post Partum.Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Krisnadi, Sofie.,dkk. 2005 . Pedoman Doagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RS DR.Hasan Sadikin. Bandung. World Health Organization (WHO). Recommendations for the Prevention of Postpartum Haemorrhage (summary of results from a WHO technical consultation, October 2006). Geneva: WHO; 2007.

Anda mungkin juga menyukai