Anda di halaman 1dari 1

Cara Mengatasi Limbah Rumah Makan Bagi rumah makan besar, sisa makanan merupakan limbahyang memusingkan.

Sampah makanan itu bisa berasal dari dapur, yakni bagian darisayuran dan bahan Makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang,misalnya tongkol jagung, tangkai-tangkai sayuran dan lainnya. Bisa juga sisamakanan yang tidak habis disantap para tamu. Penelitian yang dilakukan sejumlah mahasiswa JurusanTeknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang mungkin bisa mengatasi hal itu.Para mahasiswa yang terdiri dari Amin Nungroho, RP Djoko Murwono dan Danny Soetrisnanto ini mengambil sampel di unit usaha Paguyuban Argo Sebo Rumah Makan Morolejar, Pakem, Sleman. Limbah rumah makan berupa sisa sayur-sayuran, sisaikan tawar dan ayam bersama dedak hasil penggilingan beras difermentasi dengan menggunakan mikroba Nitrogen Phosphate Recovery Consentred Feed Product Development Organism (NOPCO) selama lima hari. Hasil fermentasi kemudian diblending dan dibuat pellet. Kemudian, diberikan untuk pakan ayam dan ikan tawar. Peternakan ayam dan kolam air tawar itu memang merupakan unit uaha dari rumah makan tersebut, untuk menyediakan pasokan bahan baku bagi rumah makannya. Sedangkan untuk limbah padat organik rumah makan yang tidak dapat digunakan untuk bahan pakan diperlukan dengan cara yang berbeda. Limbah pertanian dan limbah peternakan berupa kotoran hewan itu difermentasi dengan mikroba Nitrogen Fixation Phosphate and Kalium Microorganism Recovery (NOPKOR).Dengan ditambah sedikit pupuk urea, TSP, KCl (1 persen), kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi itu akan menjadi pupuk organik yang diperkaya. Kompos ini dikembalikan ke lahan pertanian sebagai pupuk organik. Pemberian pupuk organik akan memperbaiki kondisi tanah pertanian yang bisa saja unsur haranya terkuras oleh proses budidaya tanaman. Sedangkan makanan berupa pelet yang diperoleh dari limbah restoran tadi bisa menghemat ongkos budidaya peternakan ayam dan ikan air tawar. Sekaligus penghematan ongkos pembuangan sampah. Menurut para mahasiswa itu, jumlah sampah yang tadinya sebanyak empat truk setiap minggu, kini bisa ditekan hanya menjadi satu truk setiap minggunya. Lumayan kan. Pengomposan dengan mikroba NOPKOR dilakukan di sebuah bak yang beratap di atas tanah berukuran 200 x 100 x30 cm. Limbah organic dimasukkan ke dalam bak itu dan dipadatkan sampai setinggi 20 cm. Berikan pupuk urea 0,75 kg, SP-36 0,50 kg dan KCl 0,50 kg yang merupakan makanan bagi mikroba NOPKOR. . Kemudian siram dengan 2 liter cairan mikroba NOPKOR. Setelah itu, masukkan lagi limbah padat organik sampai penuh dan padat (30 cm), terus tutup dengan karung goni, sehingga terjadi kondisi fakultatif anaerob. Kondisi demikian dibiarkan beberapa hari, tetapi suhu, pH dan kelembabannya terus dikontrol. Bila ada tanda-tanda limbah padat organic mengering, siram dengan air. Suhu dijaga agar tetap antara 40-60 derajat Celcius, sedang kelembaban kurang lebih 60 persen. Pada hari ke-10, suhu turun di bawah 40 derajat celcius, limbah padat itu diaduk-aduk sampai rata, ditutup lagi dengan karung goni dan dikomposkan lagi. Jika suhu naik, berarti telah terjadi proses pengomposan. Bila kenaikannya melebihi 60 derajat celcius siram air dan terus dipantau suhu, pH dan kelembabannya. Setiap 4 hari sekali dilakukan pengadukan dan pembalikan, dan itu dilakukan sampai 3 atau 4 kali, hingga suhu limbah tadi tidak naik lagi. Itu menunjukkan kompos tersebut sudah matang. Proses ini memerlukan waktu antara 3 sampai 4 minggu, tergantung bahan mentah dan kondisi lingkungannya. Kompos yang sudah matang terlihat bila bahan sudah hancur dengan warna menyerupai tanah, tidak berbau, suhu stabil, kompos mawur, kelembaban kurang lebih 30 persen, pH stabil 6.5-7.5 dan C/N sekitar10, C/P 3-5. Bila limbah sudah seperti di atas, berarti siap dipanen.

Anda mungkin juga menyukai